Acara pernikahan sepupu Romeo tiba, sejak malam sebelum hari H, semua keluarga sudah berkumpul di hotel yang sudah disewa beberapa kamar untuk persiapan. Serena satu kamar dengan Romeo, dilarang pisah untuk bergabung dengan sepupu lainnya yang belum menikah alih-alih alasan Romeo mau melepas rindu dengan ngobrol-ngobrol.
“Meo, yang buat akad nikah, udah dibawa semua, kan?” Serena sedang membuka koper yang ia bawa. Mengeluarkan semua pakaian yang diperlukan lalu ia pasang hanger dan menggantungnya di dalam lemari kamar hotel.
“Udah. Tinggal beskap sama kain, itu besok pagi dipakainya di kamar persiapan. Satu lantai di bawah.” Romeo asik nonton TV. Serena menata peralatan mekapnya di atas meja rias. Begitu teratur bahkan sangat rapi. Empat lipstick beda warna juga ia tata, lalu setelahnya berkacak pinggang karena puas dengan hasil kerjanya.
Romeo melirik, ia heran dengan Serena yang soal penampilan tak bisa sa
Harap bijak untuk membaca part ini ya, rate 18+________Acara pernikahan sepupu Romeo berjalan lancar, setelah resepsi selesai pukul satu. Rombongan keluarga yang akan bertolak ke Bali segera bersiap. Serena dan Romeo sudah ganti baju, Serena masih dengan riasan dan juga konde modern sisa acara resmi tadi. Pun sebagian keluarga lainnya, tak sempat mengurus rambut mereka buru-buru ke dalam bis yang sudah disiapkan menuju ke bandara.Koordinator pihak keluarga repot berteriak memanggil rombongan untuk segera ke tempat boarding, check in sudah dilakukan oleh panitia yang sejam lalu lebih dulu berangkat ke bandara.Romeo menyeret dua koper miliknya dan Serena. Serena sendiri berjalan cepat supaya tak ketinggalan keluarga lain yang sudah berjalan di depan mereka.Akhirnya, semua sudah masuk ke dalam pesawat, saling mengabsen ulang anggota keluarga supaya semua sudah lengkap. Dua puluh lima orang yang berangk
“Morning,” lirih Romeo dengan suara serak saat ia membuka kedua matanya. Pun Serena yang masih berada di sisinya.“Morning,” balas Serena dengan suara lemah juga.“Kayaknya harus minta ganti sprei, lo mau nggak bilangnya?” Romeo meringis.“Nggak. Nanti gue yang bilang ke room service biar house keeping bawain yang baru. Tapi yang pertama, bisa bantu gue ke kamar mandi. Perih, Meo.” Serena tertawa pelan. Romeo tersenyum lebar, ia beranjak lebih dulu, memberi kecupan selamat pagi di kening Serena lalu menyibak selimut yang menutupi tubuhnya.Romeo telanjang bulat, memunggungi Serena saat hendak memakai boxer.“Gue pikir lo seksi juga, Meo,” ucapan Serena membuat Romeo segera memutar tubuhnya lalu menyergap Serena hingga istrinya memekik kencang. Apalagi saat Romeo menggendong tubuh sang istri dengan menggunakan kekuatan kedua lenganya.“Dan tubuh lo, juga menggoda,” balas Romeo seraya berjalan ke dalam kamar mandi.Serena duduk di atas kloset saat Romeo menyalakan air di dalam bathub. “
Pulang dari Bali, Romeo dan Serena hanya bisa saling menatap saat melihat dari kejauhan Melvin sudah berdiri di lobi bandara hendak menjemput Serena. Rombongan keluarga sudah pulang ke rumah masing-masing. Hanya tinggal Serena dan Romeo yang belakangan karena mereka makan siang dulu tadi di bandara. “Oke. Here we go,” lirih Romeo. Serena menoleh ke arah suaminya. “Gue balik sendiri aja. Kunci rumah kita pegang satu-satu, kan?” Romeo berjalan pelan sambil menyeret koper di sisi kanan Serena. “Iya.” Serena menjawab pelan. “Bye.” Romeo berjalan cepat meninggalkan Serena, ia segera menuju tempat memesan taksi. Ia juga butuh istirahat sebentar karena harus bersiap berangkat kerja beberapa jam lagi. Serena menatap kepergian Romeo sebentar sebelum beralih menatap Melvin yang sudah berdiri seraya tersenyum ke arahnya. “Aku pikir kamu nggak jadi jemput, Mas?” Serena bercipika cipiki dengan kekasihnya itu. “Jadi. Aku hubungi kamu dari tadi, tapi kayaknya HP kamu mati, ya.” Melvin mengambil
Hidup Romeo mendadak kembali kacau. Kuliah tetap ia jalankan tapi tidak bekerja. Temannya, si pemilik mini market membebaskan Romeo terserah kapan mau kembali bekerja. Pulang kuliah rumah terasa sepi, Serena sudah satu minggu pergi. Keluarga tak ada yang curiga sama sekali karena semua tampak normal. Romeo memutuskan kembali ke club malam, tak ada tujuan lain untuk mengisi kekosongan waktu. Pukul sembilan ia bergegas ke lokasi menggunakan taksi. Sampai di sana ia sudah disambut dengan teman-teman baru dari lingkungan malam juga perempuan yang ternyata bekerja sebagai DJ di sana. Romeo tersenyum, ia merangkul wanita berpakaian seksi itu berjalan ke arah toilet. Isi kepala Romeo eror lagi, ia tak peduli apapun selain melepaskan dengan cara yang liar. Romeo mencumbu wanita itu dengan cepat. Bahkan ia membawa semakin dalam ke arah ruangan penyimpanan yang penuh barang. “Romeo, hei,” sapa manja wanita itu. Romeo melepaskan kaosnya, pun wanita itu yang sudah setengah telanjang. Dengan c
”Batalkan perceraian kamu,” tegas papa. Ia dan Romeo duduk berdua di kedai kopi, bicara berdua antar laki-laki juga ayah dan anak.“Tapi, Pa—““Nggak ada tapi-tapian, Romeo. Papa nggak mau Mamamu syok karena hal ini. Bertahan dengan pernikahan kalian. Papa nggak pernah meminta hal berat ke kamu, bukan? Tolong turuti hal ini. Tinggalkan perempuan malam itu. Papa juga akan bicara dengan Serena nanti di rumah kalian setelah dari sini.”Romeo mendesah, “Tapi Serena pergi, Pa.”“Papa akan minta Serena pulang detik ini juga.” Papa mengeluarkan ponsel dari saku celana kerja, ia segera menghubungi Serena yang segera mengiyakan.“Pa, Meo nggak mungkin bisa bertahan lebih lama. Serena juga udah pacaran sama Melvin, dirut perusahaan tempat Serena kerja. Papa nggak bisa nahan kami lebih lama.” Romeo terus membujuk.“Biar Papa yang urus. Papa minta kamu tetap bertahan. Apa susahnya, sih!” Emosi papa mulai tersulut. Romeo tak bergeming, bisa semakin kusut permasalahan jika ia tak menurut.“Meo, den
Romeo bangun tidur, ia mendengar suara dari arah dapur. Segera ia beranjak lalu berjalan keluar kamar. Serena sedang menyiapkan sarapan, tapi tidak untuknya, hanya untuk Serena sendiri.Memilih kembali masuk ke dalam kamar, Romeo merebahkan diri di atas ranjang. Ia menunggu Serena pergi bekerja lebih dulu. Toh, Romeo juga tidak ada kegiatan apapun. Kuliah berantakan, bekerja juga berhenti.Serena sudah siap berangkat, ia segera menyambar kunci mobil tak lupa tumbler berisi kopi miliknya.Mendengar suara pintu kembali terkunci otomatis, Romeo keluar kamar. Meja makan juga dapur sudah rapi dan bersih. Gilirannya membuat sarapan sendiri. Di kulkas hanya ada sereal dan susu, bahan makanan lain tidak ada.Mau tak mau Romeo makan. Ia tidak diberikan uang saku dari papanya yang juga mengancam jika minta uang ke mama Lita akan tau akibatnya.Di kantor, Serena bicara empat mata dengan bosnya. CEO wanita itu terkejut dengan kejujuran Serena. Ia juga marah tapi bingung mau memberikan peringatan
"AAAA!!!” teriak Serena dengan napas terengah. Ia duduk di atas ranjang, lalu memeriksa tubuhnya. Pakaian masih lengkap, juga tak ada Romeo di kamar itu. Ketukan pintu membuat Serena kaget, ia berjalan cepat lantas membuka pintu.Romeo berdiri dengan wajah heran. “Kenapa lo!” tegurnya tengil. “Teriak kenceng banget kayak abis diperkosa!” lanjutnya. Serena mendorong mundur Romeo.“Mimpi buruk. Burukkkk banget!” Ia meraih gelas dari rak lalu menuangkan air putih dari dispenser. Ia tenggak air hingga tanda di gelas kemudian meletakkan di bak cuci lalu kembali berjalan ke arah kamar.“Mimpi buruk? Mimpi basah kali, lo! Keringetan gitu. AC kamar emang mati? Perasaan enggak!” ketus Romeo lagi.Serena berdecak kesal, ia berhenti berjalan saat melihat Romeo berpakaian rapi. Dengan melirik sinis, gantian Serena bersedekap saat bicara dengan Romeo. “Mau kemana, lo!” Serena melirik jam dinding juga, masih jam enam pagi.“Kerja. Emang lo doang yang udah dapet kerjaan baru. Gue juga, lah!” Romeo m
“Akhirnya pulang juga,” tukas Serena seraya menghempaskan tubuh di sofa ruang TV. Ia bersandar santai.Romeo hanya tersenyum tipis, ia merapikan buah-buahan ke dalam kulkas. Serena memejamkan mata, ia terkejut saat Romeo ikut duduk disampingnya.“Mau apa, lo?!” Serena menggeser tubuhnya menjauh dari Romeo.“Mau elo,” bisik Romeo mencondongkan tubuhnya ke arah Serena yang mendorong wajah Romeo dengan telapak tangan.“Ngarep!” Serena semakin menjauh posisi duduknya. Romeo hanya tertawa puas melihat Serena panik saat ia dekati.Keduanya kembali terdiam, menatap layar TV. Akan tetapi hal itu tidak lama karena Serena kembali tampak uring-uringan.“Meo,” panggilnya pelan.“Apa?” Romeo duduk memangku bantal sofa.“Permintaan nyokap gue gimana itu? Lo udah pikirin solusinya? Kita nggak mungkin buat … buat ….”“Gue tau, kok. Kita masih terus sandiwara. Yaudah lah, Ser, tinggal kasih alasan terus aja. Apa susahnya. Bilang aja emang belum di kasih atau belum rejeki. Selesai.” Romeo sesantai itu,
Perjalanan mencapai kesuksesan tidak lah mudah, berliku bahkan berdarah-darah dapat terjadi. Proses memang butuh waktu, kesabaran dan tetap tekun menjadi kuncinya.Memasuki bulan kelahiran, sudah dipastikan Serena akan operasi. Romeo tetap bekerja sebagai ojek online karena tak mau menerima bantuan tawaran kerja dari siapapun.Perkara dengan papanya masih berlanjut, pria itu sudah menikah lagi tanpa Romeo pun Serena datang. Mau dibujuk seperti apa, Romeo tak akan bergerak datang."Kamu nggak kasihan sama Papamu, Meo?" Serena sedang merapikan pakaian bayi ke dalam koper. Esok ia dijadwalkan operasi sesar."Nggak." Romeo menjawab tegas."Susah ya kasih pengertian ke anak muda," sindir Serena diakhiri kekehan. Romeo hanya berdecak. Ia bangkit, meraih jaket ojol lantas memakainya."Hari ini aku narik sebentar, sampe siang, terus pulang."Serena mengangguk. Ia peluk suaminya memberi semangat, sedangkan Romeo bersandar manja di bahu sang istri."I love you," bisik Romeo."Love you more," ba
Malam-malam bisa jalan berdua, Serena menggamit lengan Romeo saat mereka selesai makan malam di warung tenda yang menyajikan menu soto daging. Tak lupa ia membeli minuman manis supaya segar tenggorokannya."Jangan kebanyakan minum manis, Ser," tegur Romeo."Dikit aja." Serena menyedot jus jeruk sunkies."Ser, buat makan sehari-hari gimana? Nebeng orang tua?" Romeo tak enak hati, harus merepotkan kedua mertuanya."Ada aku, cukup kok gajiku buat tambahin biaya dapur." Dengan santai Serena menjawab, keduanya berhenti berjalan di depan taman air mancur komplek, sengaja dibuat supaya bisa jadi tempat para warga berkumpul karena dihias lampu warna warni yang cantik.Pandangan Romeo lurus ke depan. Ia berpikir sampai kapan harus serumah dengan mertua, ia juga mau punya tempat tinggal sendiri walau sewa. Tak ingin meminta bantuan papanya juga, kegengsian Romeo sangat tinggi, ia harus berhasil dengan kakinya sendiri bagaimanapun juga. Belajar dari masa lalu dan kesalahan, tak akan kembali ia t
"Meo, bangun ... kamu jalan jam berapa?" Serena duduk di tepi ranjang, ia sudah selesai mandi juga berpakaian. Jam masih diangka lima pagi, karena Tira sedang menginap di rumah temannya, ia ke kantor berangkat sendiri.Romeo bergeliat, ia buka matanya perlahan lalu tersenyum. Bukannya langsung beranjak, ia justru mendusalkan wajah ke arah perut Serena.Ia ciumi perut buncit Serena begitu penuh kebahagiaan. Perlahan, Romeo duduk, ia menyapa Serena dengan belaian di kepala lantas segera ke kamar mandi.Serena keluar kamar, ia kaget karena papanya sudah berdiri di depan kamar. "Romeo?" Tatapan papa begitu datar.Hanya bisa senyam senyum yang ditunjukkan Serena. "Papa mau ngomong sama suamimu." Lalu papa turun ke lantai bawah. Serena menutup pintu lagi, tadinya ia mau menyiapkan kopi untuk Romeo."Meo," ketuk Serena ke pintu kamar mandi. Pintu terbuka, Romeo masih dalam keadaan basah kuyup, belum selesai mandi. "Papa mau ngomong sama kamu," tukasnya. Romeo mengangguk. "Aku tunggu di bawah
Serena menutup pagar, ia gandeng Romeo masuk ke dalam rumah. Duduk bersama di ruang tamu.Kepala Romeo tertunduk dalam dengan kedua tangan saling meremas. "Aku nggak sangka Papa bisa secepat ini mau dekat sama perempuan lain, Ser. Gampang banget Papa lupain Mama!" Emosi Romeo mulai muncul. Serena meraih jemari tangan suaminya yang saling meremas keras."Papa butuh temen, emang kamu udah tau siapa ceweknya? Bukan ani-ani atau cewek kegatelan, kan?!" Kalimat Serena membuat Romeo menoleh cepat ke arahnya. "Barang kali, namanya jaman sekarang," sambung Serena."Perempuannya Bu Hartoyo, janda RT delapan. Ibunya Fadlan. Musuh aku waktu SMP sampe SMA, mantan pacarnya Tira," tukas Romeo."HAH!" Serena teriak kencang sekali. Romeo mengusap kasar wajahnya."Kayak nggak ada pilihan lagi Papa, kan?! Aku nggak masalahin Bu Hartoyo! Aku masalahin anaknya. Si Fadlan itu males! Dia kerjanya game melulu! Yang ada morotin Papa!" kesal Romeo."Emang kamu nggak males," cicit Serena yang masih bisa dideng
Serena seolah membatu, setiap hari Romeo datang sekedar memberikan makanan dan tak lupa uang seadanya. Kini, kehamilan Serena sudah masuk bulan kelima, perutnya sudah mulai tampak membuncit.Saat berjalan terlihat tonjolan pada perutnya yang mampu membuat mata tetangga jelatan alias siap menggosipkan dirinya untuk kesekian kalinya."Mbak, gue drop di perempatan deket kantor lo aja, ya," ujar Tira seraya mengeluarkan mobil dari dalam garasi."Iya," tukas Serena seraya masuk ke dalam mobil. Serena kembali bekerja, di rumah saja membuatnya justru bosan. Karena kehamilannya, ia tak lagi menjadi aspri dari Moza, tapi ia pindah ke bagian keuangan.Bagus Serena cepat belajar, ia juga tak malu bertanya jika ada hal yang membingungkan.Serena dan Tira melewati rumah tetangga yang suka bergosip. Ia mulai kesal namun Tira meminta mengabaikan. Berita ia hamil bukan dengan Romeo hingga ia dibilang cerai lalu menjadi simpanan Om-om juga marak disebar."Mbak, udah coba ngobrol sama Romeo?" Tira meme
Halo, kembali lagi ketemu saya, maaf lamaaa nggak update. Semoga kalian masih mau membaca karya ini ya, terima kasih.****Romeo diam, ia merenungi semuanya. Di dalam hati, ia tau Serena yang sudah membuatnya jatuh cinta sejak keduanya kecil. Petualangan cinta Romeo sendiri dengan perempuan lain hanya basa basi, tak serius. Hanya Serena yang bisa mengikat hatinya."Gue harus mulai dari mana?" gumamnya merutuki diri karena laki-laki seharusnya bekerja keras demi membahagiakan diri sendiri dan wanita yang dicintai. Bukan seperti dirinya yang seenaknya sendiri.Bergelut dengan hati, membuat Romeo meneteskan air mata akibat terlalu santai selama ini. Kini ia akan menjadi seorang ayah, ada tanggung jawab baru yang harus diemban.Bekerja dengan papanya, bisa saja. Tetapi bagi Romeo yang berprinsip keras jika ia bisa berdiri di kaki sendiri tak akan mau menikmati fasilitas kemudahan itu.Grup chat SMA ia buka, ia mencoba menghubungi temannya satu persatu yang dekat dengannya dulu. Mencari lo
“Kenapa, lo? Sadar udah bikin kesalahan?” lirih Tira. Ia dan Romeo masih berdiri di depan rumah tanpa pagar itu.“Gue mau ngobrol sama Serena. Banyak yang perlu gue sampaikan.”“Apa? Cerai?” Tira memalingkan wajah sambil berdecak sinis.“Bukan urusan lo, Ra. Sini biar gue yang kas—““Lho, Meo,” suara papa terdengar dari teras. Romeo menyambar plastik dari tangan Tira lantas berjalan mendekat.“Pa,” sapa Romeo tak lupa menyalim tangan.“Kok di sini? Tira kasih tau alamat rumah ini, ya?” Papa menatap Tira yang menggelengkan kepala.“Meo lewat jalan tembusan ke rumah baru, Pa. Terus lihat mobil Tira, jadi Meo berhenti dulu.” Romeo tersenyum tipis.“Emang rumahnya di mana sekarang? Rumah lama kosong, ya? Papa udah lama nggak ngobrol sama Papamu. Sibuk kerja,” tukas papa Serena sedih lama tak bicara dengan sahabatnya.“Itu, Pa. Lewat jalan itu, belok kiri, udah sampai. Selama ini Meo lewat gerbang utama di ujung depan sana, tadi iseng lewat jalan lain, ternyata ….”“Kita tetanggaan lagi!”
Tira sedang di kampus saat Serena memintanya jemput. Buru-buru adiknya segera ke lokasi yang Serena beritahu. Di tengah jalan, tepatnya lampu merah Tira melihat Romeo dengan motornya berhenti di sisi kanannya. “Meo!” panggil Tira. Romeo menoleh namun tatapannya sangat dingin. “Lo kemana aja! Mbak Rena nyariin! Lo block nomer dia!” teriak Tira. Romeo hanya diam, tak mau menjawab. “Tiga bulan, Meo. Lo jauhin Kakak gue!” lanjut Tira masih berteriak. Lampu berganti hijau, secepat mungkin Romeo menarik gas lantas melaju jauh. Tira kesal, ia hanya bisa memukul kemudi saking emosinya.Serena diam saja, masih duduk di tempatnya. “Mbak,” sapa Tira. Serena mendongak, Tira berdiri di hadapan Serena, ia sudah tau maksud tatapan kakaknya tanpa perlu menjelaskan. “Ayo pulang,” ajaknya.“Gue takut, Ra,” resah Serena.“Kita hadapi, ya, Mbak.” Tira merangkul Serena. Kakaknya memang menjadi murung apalagi sejak meninggalkan apartemen dua bulan lalu dan memilih kembali ke rumah orang tuanya. Tetapi ruma
Mama Lita masih tak sadarkan diri, penyakitnya kambuh secara mendadak. Romeo dan Serena bolak balik ke rumah sakit guna mengunjungi Lita yang tak merespon.“Mama kenapa begini, Ma, maafin Romeo, Ma,” lirih Romeo sambil mengusap wajah Lita. Kedua orang tua Serena juga selalu datang setiap hari. Mereka masih tak paham kenapa Romeo dan Serena begitu sedih juga dirundung penyesalan.“Mbak, lo baiknya sama Romeo jujur ke Mama Papa kita juga. Jangan nambah masalah baru.” Tira memberi saran, Serena yang dijemput Tira dari kantornya untuk langsung ke rumah sakit hanya bisa menganggukkan kepala.“Gue takut, Ra,” lirih Serena dengan suara bergetar. Ia juga menggigit kuku jarinya saking dilanda khawatir.“Berdoa aja semoga Tante Lita membaik kondisinya. Gue masih penasaran siapa yang bocorin rahasia ini. Perlu dicari tau?” tukas Tira sepintas sebelum fokus kembali ke jalanan di depannya.“Iya, gue juga nggak habis pikir. Romeo memang lagi ada yang suka sama dia, Michelle namanya, tapi kan baru k