“Tante seneng deh kamu mau ikut hari ini.”
Athalia tersenyum begitu mendengar ungkapan jujur dari Padma Hardjaja, mamanya Asa. “Aku lebih seneng karena diajakin dan dibolehin ke sini, Tante.”
“Kata Abang, kamu penasaran mau coba nembak. Mau ikut Tante latihan di Perbakin?” tawar Padma.
Athalia langsung antusias dengan tawaran Padma. “Emang boleh, Tante?”
“Boleh dong. Abang, Ilana, sama Meisie juga suka ikut.” Padma mendapati gelas Athalia yang sudah kosong dan segera mengambil pitcher yang tak jauh darinya, untuk kemudian mengisi gelas Athalia.
“Makasih, Tante….” Athalia menerima gelas yang diisikan Padma dengan sopan.
“Mereka bertiga suka taru
“Kamu nggak mau titip oleh-oleh?”“Apa ya? Aku bingung….” Dari seberang sana, terdengar Athalia yang memang kebingungan saat sebelumnya Asa menanyakan soal oleh-oleh. “Apa aja deh, yang bisa dibawa sama kamu aja.”“Oke.” Asa tertawa kecil. “Ya udah, sana lanjut makannya.”“Iya, hati-hati ya, Sa.”“Kamu juga. Jangan lupa kabarin aku kalau nanti sore udah sampai kosan.”“Iya, pasti kok.”Setelah bertukar salam, Asa memasukkan ponselnya ke dalam saku celana, lalu menoleh ke depannya untuk menemukan Janardana Kalasta yang biasa dipanggil Janar tersebut, menatapnya dengan seringai jahil.“Jadi buja
“Khansa?”“Kaget ya?” tanya perempuan bernama Khansa itu sambil tersenyum lebar. “Aku pulang lho. Yuk, nikah.”Asa segera menghampirinya dan menjitak kening Khansa. Sejak dulu Khansa memang selalu bercanda soal mereka yang akan menikah. Padahal Asa tak pernah menyukai Khansa dan Khansa pun selalu punya pacar.“Nggak usah ngaco.”Khansa dan Padma tertawa. Asa menghampiri sang mama dan memeluknya singkat meski ada Khansa di antara mereka.“Istirahat dulu gih,” pesan Padma pada anak sulungnya tersebut, ia tak memaksa Asa untuk menemui Khansa dulu karena tahu, anaknya pasti kelelahan.“Iya, Ma.” Asa berbalik dan pamit pada Khansa, tapi sebelum benar-benar meninggalkan dapur, Asa kembali berpesan pada mamanya. “Ma, tapi Abang nanti mau jemput Athalia ya. Kayaknya nggak makan malam di rumah dulu, nggak apa-apa?”“Nggak apa-apa.” Perempuan paruh baya itu tersenyum mengiakan, tapi kemudian ia menambahkan, “Tapi, Bang, ajak Atha makan malam di rumah aja kalau dia mau. Hari ini Mama masak makan
“Aku hamil, Sa…. Gimana dong?”Asa tertegun saat mendengarnya, karena ia tahu, Khansa belum menikah dan sekarang malah mengatakan kalau dirinya hamil.“Ya…. Aku nggak tahu, Khansa,” jawab Asa setelah tertegun beberapa saat. “Aku malah lebih bingung kenapa kamu ngomongnya ke aku. Bukan aku yang hamilin kamu, aku juga bukan keluargamu yang harus tahu soal itu.”Jangankan menghamili Khansa, menyentuhnya lebih dari pegangan tangan untuk membantu Khansa menyeberang jalan saja terakhir Asa lakukan saat mereka masih sekolah.“Di mana ayah anakmu?” tanya Asa setelah mereka berdiam beberapa saat.“Aku… nggak tahu.” Khansa menggigit bibirnya. “Ini karena… one night stand. Itu semua terjadi begitu aja, Sa. Tahu-tahu sebulan yang lalu aku sadar ada yang beda sama aku.”“Jadi kamu pulang tanpa tahu siapa ayah anakmu?”“Iya.” Khansa mengangguk. “Aku udah berusaha cari siapa ayahnya, tapi… kamu tahu kan, itu bukan hal yang mudah. Aku bahkan nggak tahu dia orang Indonesia atau asli orang sana.”Asa m
Hubungan ibunya dan Athalia sudah lama memburuk. Kalau diingat-ingat, persisnya sejak sang ayah mulai mempertanyakan apakah Athalia adalah anak kandungnya atau anak dari selingkuhan ibunya.“Mama yang selingkuh, tapi aku yang kena getahnya! Papa udah nggak nganggep aku anaknya lagi gara-gara Mama yang egois!”Kala itu Athalia yang merasa marah setelah ayahnya yang menghilang entah ke mana, memilih untuk mengonfrontasi Astrid. Astrid di saat itu juga melakukan hal yang sama dengan apa yang ia lakukan hari ini—menampar Athalia tanpa peduli di mana mereka berada.Sebenarnya saat Astrid mulai berteriak, seorang satpam yang posisinya di depan pintu lobi sudah mulai berjalan menghampiri mereka. Ini bukan pertama kali ada kejadian semacam ini di lobi kantor, tapi tetap saja bukan untuk dibiarkan.Langkah lelaki paruh baya itu melangkah semakin cepat saat tahu-tahu Astrid sudah melayangkan tamparannya ke wajah Athalia.Dua perempuan beda generasi itu digiring ke tempat yang lebih sepi, setela
Athalia pikir, ia memang akan ditakdirkan hidup sendiri dan kesepian.Pemikiran itu muncul di benak Athalia saat keluarganya tercerai berai hingga ia bertemu dengan Marcell. Dulunya, Marcell selalu bisa membuat Athalia bahagia bahkan dengan hal kecil.Namun, entah sejak kapan persisnya—Athalia lupa—kebahagiaan Marcell menjelma menjadi menghajar Athalia sampai ia mengemis maaf padanya. Padahal Athalia saat itu tidak melakukan kesalahan apa pun, tapi Marcell akan selalu berhenti setelah Athalia memohon padanya.Sejak saat itu, Athalia percaya kalau meskipun ada seseorang yang katanya mencintainya, ia tetap bisa saja merasa sendiri dan kesepian.“Tante salut sama kamu.” Suara selembut beledu milik Padma Hardjaja menyadarkan Athalia kala
“Nginep?”“Iya, nginep aja ya, Tha?” Padma kini tengah mengangguk sebagai salah satu usahanya untuk meyakinkan Athalia agar ia menginap di kediaman Tanaka malam ini.“Ilana sama Meisie seukuran kok sama kamu, kamu bisa pakai baju mereka untuk malam ini dan besok. Atau mau diambilin bajunya di kos-kosan sama Ilana? Kebetulan dia baru on the way dari kantor.”Athalia bahkan tak tahu harus menanggapi ucapan Padma yang mana terlebih dahulu—soal ia menginap di sini atau usulannya untuk menyuruh si anak tengah Tanaka mengambilkan pakaiannya seusai pulang kerja.Tidakkah keduanya sama-sama merepotkan?“Aku udah ngerepotin Tante banyak banget hari ini.” Athalia menjawab seray
Ini pertama kalinya ada orang lain yang menginap di kamar Asa dan orang itu bukanlah keluarga atau teman masa kecilnya—seperti anak-anak sahabat ayah dan ibunya.Selalu ada yang pertama, begitulah kata orang-orang.Kini melihat Athalia sudah bersiap tidur di kamarnya, membuat Asa jadi bimbang.Apa boleh jika ini bukan kali pertama dan terakhir Athalia ada di sini?“Kamu yakin nggak mau tidur di sini aja dan aku yang di kamar tamu?”“Yakin seribu persen.” Asa mengulum senyumnya saat menjawab pertanyaan Athalia. Sejak tadi Athalia sudah menanyakan hal yang sama dan Asa masih sabar untuk menjawabnya dengan jawaban yang sama. “Kamu di sini aja, lebih nyaman. Jendelanya lebih lebar
“Gimana tidurnya, Mbak? Nyenyak kan?”“Nyenyak kok.” Athalia berharap rambut yang ia gerai saat menjawab pertanyaan Ilana barusan, mampu menutupi rona wajahnya yang memerah.Athalia tahu, tidak seharusnya ia merona hanya karena pertanyaan sesederhana dan sewajar itu. Hanya saja, kejadian semalam langsung melintas di benak Athalia dan membuatnya merasa menjadi seperti orang mesum.But he kissed me, batin Athalia yang masih tak percaya kalau kejadian semalam benar-benar nyata.“Tidurnya menjelang tengah malem ya, Mbak? Kayaknya sekilas aku denger ada suara-suara orang ngobrol dari kamar Abang pas semalem,” tambah Ilana yang sepertinya tak tahu kalau seandainya Athalia bisa menutup
“Mama tahu florist yang bagus dan bisa cepet jadi nggak? Florist langgananku tutup.”“Tahu, Mama ada beberapa florist langganan.” Padma meraih ponselnya dan dugaan Asa, mamanya itu sedang mengirim beberapa kontak florist untuknya.Denting singkat di ponselnya membuktikan dugaan Asa. Asa meraih ponselnya dan tersenyum lebar melihat sederet kontak yang dikirimkan Padma.“Thank you, Ma!” Asa tersenyum lebar dan ia bisa merasakan tatapan ingin tahu dari kedua orangtuanya.Siang ini Asa makan siang bertiga dengan orangtuanya. Padma datang ke kantor dan mengajaknya untuk ikut makan siang bersama. Asa pun mengiakan tanpa pikir panjang. Ia selalu suka berada di sekitar keluarganya sekalipun saat ia sudah menikah seperti sekarang.
“Sekarang aku ngerti perasaannya Mbak Aline.”“Mbak Aline?”Asa mengangguk, ia menaruh ponselnya ke saku jas dengan asal, lalu menghampiri Athalia yang masih duduk di depan meja rias. Istrinya hari ini sangat terlihat cantik, padahal mereka hanya akan menghadiri pernikahan dari anak rekan bisnisnya.Kalau sudah begini, Asa harus mengubur dalam-dalam ketidakrelaannya untuk mengajak Athalia ke pesta tersebut. Asa tidak boleh egois dengan berpikir bahwa orang lain tidak boleh melihat istrinya yang secantik ini.“Dulu kan Mbak Aline kayaknya nggak begitu suka sama aku, waktu kita baru deket dan pacaran,” ungkap Asa yang kini sudah berdiri di belakang Athalia.Dengan perlahan dan lembut, Asa mengambil alih kalung yang sedang Athalia berusaha
“Ika Handaru tertangkap dalam OTT KPK pada Jumat malam, di kediaman salah satu pejabat terkait kasus suap untuk tender proyek pemerintahan di kawasan….”“Wow.”Asa berdecak pelan saat benar-benar mendengar apa yang dikatakan oleh pembawa acara di siaran berita pagi. Terlihat sosok Ika Handaru berjalan dengan tangan diborgol di depan dan ada dua orang berseragam yang mengapitnya.Setelah Marcell dipenjara dan vonis hakim diserukan lantang, Ika memang masih mencoba mengintimidasi Asa dan Athalia. Tapi semua itu selesai saat Asa kembali melaporkan perbuatannya ke polisi.Tidak cukup dengan itu, Asa juga mengancam supaya Ika ti
“Kamu nggak mau istirahat sebentar, Bang?”Asa menggeleng tanpa menatap mamanya, yang baru saja bertanya. Lelaki itu tetap bertahan duduk di samping ranjang Banyu—sang kakek yang tengah tertidur setelah beberapa jam lalu mengeluh dadanya terasa nyeri.“Kamu belum makan dan tidur lho, Bang.”“Iya sih, Ma, tapi aku mau nemenin Eyang dulu di sini….”“Sampai kapan?”Sampai kapan?Asa tidak benar-benar tahu jawabannya, jadi ia hanya menggeleng sekenanya. Apakah sampai tengah malam nanti bisa dibilang cukup? Atau lebih baik sampai besok pagi?
“Kayaknya setiap kita ketemu, Naya makin cantik deh, Tha,” puji Aline. Ia menyenggol pelan bahu Athalia yang duduk di sebelahnya dengan iseng.Athalia tersenyum malu. Padahal yang dipuji adalah anaknya, tapi rasanya ia tetap tidak bisa meyembunyikan senyum malu sekaligus bangganya.“Makasih, Tante Aline.” Athalia menirukan suara anak kecil, seolah yang baru saja membalas pujian dari Aline adalah anaknya, Naya.Aline yang duduk di samping Athalia pun tertawa karenanya. “Tapi beneran lho, Naya makin cantik deh. Hati-hati nih, pas gede yang deketin pasti banyak banget.”Athalia meringis. “Bapaknya bakal jadi super duper protektif kayaknya.”
Rasa tidak percaya diri mulai menguasai Athalia, tapi ia memutuskan untuk tetap memulas wajahnya dengan makeup. Semenjak beberapa bulan ini, Athalia jadi agak malas merawat kulit wajahnya.Berjibaku menjadi ibu baru membuat Athalia masih jungkir balik untuk mengatur waktunya dan tentu saja, memakai serangkaian skincare menjadi hal terakhir yang melintas di benaknya.Makanya saat kemarin Asa mengajaknya keluar untuk dinner berdua saja dalam rangka hari jadi pernikahan mereka yang kedua, Athalia sempat ragu.Sepertinya Asa menyadari apa yang menjadi keraguan Athalia. Asa meyakinkannya kalau Athalia baik-baik saja, ia masih cantik—dan bahkan lebih cantik dari sebelumnya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan hanya untuk pergi keluar malam ini.“Inget, Tha, jangan minderan.&rdq
Sudahkah Asa mengatakan pada orang-orang di luar sana, kalau ia sangat suka menggenggam tangan istrinya, Athalia?Hmm, Asa lupa. Tapi seingat Asa, kedua adiknya pernah iseng bertanya mengenai kebiasaan Asa yang satu itu. Kadang-kadang pun Athalia masih suka keheranan, kenapa Asa suka sekali menggenggam tangannya hingga mereka menjadi seperti dua orang yang nyaris tidak terpisahkan.Seperti saat ini.“Tangan kamu nggak lembap emangnya?”Asa mengernyit. “Lembap kenapa?”“Soalnya dari tadi kita gandengan terus.”Kekehan kecil meluncur dari bibir Asa yang segera menggeleng, sebagai jawaban untuk pertanyaan Athalia. “Nggak. Kamu emangnya ngerasa begitu?”&ld
“Si Kakak udah mulai kelihatan ya.”“Iya.” Athalia setuju dengan pernyataan suaminya barusan. “Berarti aku kelihatan lebih gemukan dong ya? Perutku kelihatan lebih besar lima kali lipat dari sebelumnya.”“Hmmm.” Asa berhenti melangkah dan menjauh sedikit dari Athalia. Matanya menyipit, menatap sang istri dari puncak kepala hingga ujung kaki.Gestur pura-pura serius itu memancing tawa Athalia. Athalia menggoyangkan genggaman tangan mereka yang masih menyatu.“Ya nggak perlu ngelihatin aku segitunya juga dong, Sayang,” rajuk Athalia.Ganti Asa yang tertawa dan ia pun kembali memangkas jarak di antara mereka. Keduanya kembali berjalan menelusuri mall yang sore ini mereka da
"Kayaknya Mbak Atha belum tidur deh, Bang. Abang langsung temenin Mbak Atha aja gih sana."Baru saja Asa tiba di ruang tengah rumahnya, ia disambut kedua adiknya yang menatapnya dengan khawatir.“Athalia udah di kamar?” Asa melonggarkan dasinya. Sepulangnya dari kantor, Asa lanjut ke kantor polisi dan menemui pengacaranya untuk berkonsultasi mengenai laporannya dan Athalia terhadap Marcell.“Udah,” jawab Meisie. “Tapi… tadi tuh mamanya si brengsek itu telepon Mbak Atha. Mbak Atha udah balik marahin dia sih, tapi nggak lama setelah itu Mbak Atha minta waktu sendiri di kamarnya dan kita nggak tega buat gangguin dia.”Meisie adalah sosok yang jarang memaki atau menyebut seseorang sebagai bajingan atau brengsek. Tapi saat sekarang adiknya itu dengan mudah menyebut Marcel