Sementara Anye dirundung rasa kesal dikarenakan sang kakak berlaku semena-mena padanya, ayahnya justru tengah memadu kasih dan menuntaskan segala rindu yang membuat kepalanya pusing tujuh keliling karena harus berjauhan dengan sang istri."Eugh ... huh, kamu gak seperti orang yang baru sembuh dari sakit! Aku ngerasa ini HB paling bru//tal yang pernah kita lakuin sejak kamu menghalalkanku. Memangnya kamu minum obat ku/at gitu?" ujar Mita setelah berhasil mengendalikan pernapasannya yang semula ngos-ngosan parah.Perbuatan suaminya betul-betul berhasil membuat wanita itu tak berdaya. "Aku gak ada minum yang aneh-aneh, kamu sendiri yang salah karna sudah menghilang dari jarak pandangku. Kamu pikir tombol rinduku bisa kamu on off kan seenaknya? Kepalaku sampai pusing karna kangen berat sama kamu. Aku lelaki normal Mita, bisa uring-uringan gak jelas aku di kantor kalo lebih lama lagi aku tidak menerima asupan vitamin dari tub_uhmu," Arya masih memeluk sang istri yang benar-benar pas
"Anyway, kukira aku tahu dari mana sisi li//arku kepadamu berasal, itu pasti menurun dari sifat bi//nal mendiang mama yang mungkin merasa tidak cukup dengan bel//ain satu laki-laki. Tapi syukurlah so far aku gak merasa butuh lelaki lain selain dia yang meme//lukku hangat saat ini." Arya kembali mengeratkan pelukannya."Benarkah begitu, Mitaku?" Arya menatap lembut ke arah wanitanya."Sudahlah, yang berlalu cobalah untuk dimaafkan, aku berjanji pelan-pelan kita sibak semua tabir tentang mendiang Mama Melati. Aku yakin dia punya kebaikan yang juga menurun pada putrinya yang cantik jelita setengah mati dan berhati lembut ini. Kebaikan yang membuat aku jatuh cinta berkali-kali pada dia dan dia lagi dan lagi ... istriku, calon ibu dari semua anak-anakku, belahan jiwa yang kelak juga akan menjadi bidadari syurgaku.Bagaimana pun aku sangat berterima kasih pada Mama Melati yang telah melahirkan bidadari untukku sebelum ia menghembuskan napas terakhirnya." Lagi-lagi Arya mengeratkan peluk
"Mas, aku grogi," bisik Anye. Dia duduk di sisi Anjas di kursi penumpang, sementara mobil dikemudikan oleh Kang Dudung menuju Restoran di salah satu hotel bintang lima tempat menginap klien mereka yang berasal dari Australia. Mr. Jacobs, sang CEO turun langsung untuk menjajaki perpanjangan kerjasama antara perusahaan miliknya dengan Bagaskara Group. "Kenapa grogi?" Anjas bertanya, dia sedikit melirik ke arah sang adik, namun kemudian segera mengembalikan tatapannya lurus ke depan. "Mas Den bilang Mr. Jacobs ini duren sawit, Mas ... lagi cari jodoh juga katanya," bisik Anye namun masih terdengar oleh Kang Dudung yang spontan terkekeh gaje. "Memangnya kenapa? Ga dosa juga kan jadi 'Duda Keren Sarang Duwit' , bukan maunya dia jadi duda dan ga ada salahnya juga cari ganti sang istri yang pergi meninggalkannya dengan laki-laki lain. He deserve to be happy, right? just like me" Anjas menjawab dengan kalem. "Kamu kenapa, Mas? Sedang nyari jodoh juga? Mbak Vania kurang apa lagi co
Anjas puas setelah berhasil mendandani Anye sesuai dengan yang ia harapkan. Meski untuk meminta gadis itu mengenakan hijab, masih belum ia utarakan. Anye sendiri merasa sangat excited dengan upaya Anjas yang ia nilai segitunya, karena bagaimana pun dia merasa dirinya memang tampak jadi lebih anggun dan elegan. Kepercayaan dirinya yang memang sudah tinggi jadi ke up. Dia merasa nyaman dengan outfit yang dibelikan Anjas untuknya dan yang terpenting ia merasa bahagia dan itu semua berkat apa yang dilakukan Anjas untuknya."Kita langsung temui Mr. Jacobs dan Mas akan perkenalkan kamu sebagai putri Om Elang--CEO Bagaskara Group.Ini juga amanah dari papi kamu. Kalau gak ada titah dari beliau sih sejujurnya malas banget bawa cewek ketemuan sama Mr. Jacobs. " Anjas membuang tatapannya ke sembarang arah Sementara Anye tak ambil pusing, mau ketemu siapa aja dia sih asyik-asyik aja, asalkan tidak membuatnya ilfil atau tak nyaman."Ayo, cepat! Mr. Jacobs sudah dalam perjalanan menuju tempat
Mr. Jacobs mencium punggung tangan Anye. Jelas terlihat betapa ia sangat tertarik sekali dengan putri dari kolega bisnisnya itu. Perbedaan usia lima belas tahun tampaknya tak menjadi masalah bagi konglomerat asal negeri kanguru itu. Apalagi Mrs. Jacobs--ibu Matthew terlihat sangat welcome pada gadis muda itu.Lantas bagaimana dengan Anye sendiri? "Apa Denis akan fine-fine saja jika kamu menceritakan tentang pertemuanmu dengan Matthew Jacobs tadi?" tanya Anjas. Sejujurnya kalau pertanyaan itu diajukan kepadanya maka dia sungguh tidak baik-baik saja.Anye mengendikkan bahunya. Wajahnya terlihat tanpa beban dan dengan entengnya menyahut, "Sepertinya kamu gak seneng aku akrab sama Mr. Jacobs dan ibunya. Hayooo ngaku, Mas jealous ya? Ngaku aja, gak usah pake malu-malu segala." Anye dengan iseng menggoda Anjas yang masih setia dengan wajah datarnya."Kamu harus pandai-pandai menjaga diri, Anyelir. Dengan iman setipis tissue yang dibelah dua, Mas khawatir sedikit rayuan bisa menggoy
60. Menelpon RayaRaya baru saja akan menarik selimut, dia berencana tidur lebih awal setelah lelah seharian membantu Raj menyelesaikan berbagai kerjaan di perusahaan yang dirintis oleh ayah mereka--Johan Arba.Raj dan Rayalah yang membesarkan perusahaan keluarga itu hingga cabangnya menggurita sampai ke beberapa negara tetangga. Tak heran kalau sampai saat ini dua bersaudara itu belum-belum lagi berkeluarga. Meski selama ini selalu saja alasannya karena trauma melihat drama rumah tangga yang sering kali dipertontonkan oleh Johan dan Widuri--ibu mereka. Pertengkaran diwarnai jerit tangis dan piring terbang adalah gambaran sehari-hari yang seolah bagai bahasa cinta di rumah mereka yang agak berbeda dari suasana rumah tangga pada umumnya. Itu juga sepertinya yang menjadikan Raya dan Raj cenderung tinggal di apartemen mereka masing-masing daripada berkumpul dengan Johan dan Widuri sejak keduanya mulai berkuliah.Mereka bukan golongan orang kaya old money, semua dirintis dari nol oleh Joh
"Sori, Kak! Aku cuma pengen bilang kalo kami berencana ketemu papa besok di rumahnya, apakah itu ide yang baik?" tanya Mita dan Raya spontan terbahak. "Kau mau mengantarkan nyawamu pada mamaku?" Mita mengernyitkan dahinya bingung. Maksud hati ingin mengatakan kalau ia telah siap menjumpai sang papa ditemani suaminya, eh malah dibilang mau menyetorkan nyawa pula. "Kau lupa kalau mamaku membenci mendiang mamamu, jangan harap kau akan terbebas dari kebenciannya karena ada darah wanita yang ia benci itu mengalir di tubuhmu. Aku kenal baik mamaku. Dia pembu//nuh berdarah dingin dalam arti yang sebenarnya, sebaiknya kau jaga jarak sajalah darinya. Aku akan menyampaikan pada papa terkait niatmu, saranku jauhi rumah kami, mamaku tak akan sudi rumahnya diinjak oleh putri mendiang perempuan yang paling ia benci," papar Raya dengan gamblang tanpa ada sedikit pun niat untuk menutupi kondisi real keluarganya. "Jadi mamamu mengenaliku? Dia tahu aku juga putri biologis papa?" Kejar Mita,
Anjas memacu Pajero Sport hitamnya menuju pinggiran kota. Sudah lama ia tidak mendatangi tempat itu. Tempat ia menyemai asa demi membangun masa depan yang ia perjuangkan cerah bersama seseorang yang sudi ia bersamai dalam suka dan duka.Mobil itu memasuki sebuah halaman minimalis yang dilengkapi carport. Sebuah bangunan berdindingkan paranet yang disokong tiang-tiang baja ringan dari bawah hingga ke bumbungan mengesankan luas ruang terbuka yang dihuni puluhan deretan instalasi hidroponik. Anjas menanam berbagai jenis sawi, kale dan selada. Ia juga menanam beberapa jenis sayur lainnya berikut buah-buahan seperti melon, terong ungu, mentimun, zukini, paprika, pare, anggur lokal dan stroberi."Assalamualaikum, Pak Bowo. Maaf saya kesorean, gak apa kok Pak saya ditinggal sendiri aja, saya hanya kangen sama mentimun dan kawan-kawannya saja kok, sepertinya sudah ada yang bisa dipanen pekan ini kan ya, Pak?" sapa Anjas pada seorang buruh taninya yang tinggal di dekat instalasi hidroponi