Rayra menyelinap masuk ke rumahnya. Langkahnya sangat pelan dan hati-hati. Takut ibu dan adiknya akan terbangun. Rayra berusaha menutupi memar di pipi kirinya dengan rambut panjangnya dan melangkah pelan menuju kamar.
Klik!
Lampu ruang tamu menyala. Sudah ada ibunya berdiri di depan pintu kamarnya.
"Ibu ..." ucap Rayra lirih. Ibunya sudah terlihat meneteskan air mata.
"Sudah berapa lama terjadi begini? Sudah berapa lama kamu menutupinya dari ibu, Rayra??" tanya ibunya dengan nada memaksa. Terdengar Isak tangis di suara itu.
"Apa maksud ibu? Aku tidak menutupi apapun ibu," jawab Rayra dengan suara bergetar. Dia begitu takut jika ibunya tahu apa yang sebenarnya terjadi selama ini antara dia dan Edam.
Benar saja, ibunya melangkah ke arahnya. Dan tiba-tiba menyibakkan rambutnya yg tergerai menutupi pipinya. Terlihat jelas memar di pipi kirinya. Kemudian ibunya juga menyingkap sweaternya hingga terlihat punggung Rayra yang juga ada banyak bekas memar disana.
"Apa ini??" tanya ibu Rayra yang sudah tidak bisa lagi menahan tangis.
"Bukan apa-apa, ibu. Aku saja yang kurang hati-hati, Bu. Aku terjatuh beberapa hari yang lalu di kantor," Rayra menurunkan pakaiannya dan berusaha meyakinkan ibunya.
"Kenapa kamu tidak jujur pada Ibu, Rayra? Kamu masih saja berusaha menutupi kelakuan jahat pacarmu itu?? Ibu sudah tau semuanya! Apa yang sudah dilakukan Edam padamu! Ibu berencana menyeretnya ke kantor polisi!"
"Jangan, Bu! Ibu berbuat begitu malah akan semakin menyulitkanku, Bu. Maafkan aku yang tidak pernah jujur pada Ibu. Aku hanya takut ibu khawatir tentang ini. Aku juga sedang berusaha untuk putus dan lepas dari Edam, Bu. Aku sedang berusaha," tangis Rayra pecah. Ibunya memeluknya erat berusaha menenangkan putri sulungnya itu. Betapa hancur hati ibunya melihat kondisi anaknya yang selama ini menerima perlakuan kasar dari Edam.
"Ibu tidak rela jika kamu masih bersamanya dan masih menerima perlakuan kasar seperti ini!"
Bagi Rayra, luka di hati nya bahkan jauh lebih perih dan sakit daripada memar di tubuh dan wajahnya. Dia tidak pernah menyangka akan memacari seorang psikopat, seseorang yang awalnya baik dan bahkan telah memikat hatinya. Ternyata tidak lebih dari seseorang yang sangat posesif disertai sikap brutal yang membuat Rayra tidak tahan.
Edam Rafandra, nama pria yang sangat disesali Rayra seumur hidupnya. Sikap Edam yang aneh dirasakan Rayra setelah 5 bulan berpacaran. Edam memang selalu mengatakan bahwa dia sangat mencintai Rayra, tapi hal itu tidak sesuai dengan apa yang dilakukannya. Setiap dia melihat Rayra berbicara atau bahkan hanya berpapasan dengan laki-laki yang padahal itu hanya teman Rayra atau bahkan rekan kerja, Edam pasti langsung memukulinya dengan alasan Rayra tidak boleh dekat dengan siapapun. Bahkan ketika Rayra menolak untuk pergi jalan dengannya, Edam pasti akan mendatanginya dan memukulnya selagi ada kesempatan. Rayra merasa ada yang tidak beres dengan kepribadian Edam. Karena itu dia berusaha untuk lepas dari Edam.
"Makanlah," Ibu Rayra sudah menyiapkan makan malam untuk Rayra. Ia mengelus pipi anak yang sangat disayanginya itu, menatapnya dengan iba. Berpikir apa yang dapat ia lakukan untuk Rayra.
"Ibu tidak makan? Riana sudah tidur?" tanya Rayra.
"Ibu sudah makan lebih dulu tadi. Riana sudah tidur setelah mengerjakan PR nya," jawab ibunya sembari tersenyum.
"Maafkan aku, Bu. Sudah membuatmu khawatir seperti ini," Rayra menggenggam tangan ibunya. Ia merasa jauh lebih tenang sekarang. Pelukan seorang ibu memang obat paling mujarab untuk menghapuskan keresahan dan ketakutan.
"Jika kamu menikah dengan orang lain apakah mungkin Edam tidak akan lagi mendekatimu, nak?" perkataan ibunya seketika membuat Rayra tersedak.
"Pelan-pelan, Rayra! Ini minum!" Ibunya menyodorkan segelas air putih pada Rayra.
"Ibu pikir hanya itu caranya untuk bisa menjauhkanmu dari Edam dan ibu juga akan merasa lebih tenang karena akan ada orang yang menjagamu," Rayra tertawa kecil mendengar perkataan ibunya itu.
"Ibu, tidak semudah itu untuk menikah. Lagipula siapa yang mau menikahiku, Bu?" ucap Rayra. Ibunya menggenggam erat tangannya dan menatapnya dengan penuh yakin.
"Tentu ada, nak," ucapnya dengan yakin. Rayra mengeryitkan dahi.
"Siapa, Bu?" tanya Rayra penasaran.
"Nanti kau akan tahu,"
"Ibu, menikah itu kan harus ada dasar suka sama suka. Telah mengenal dengan baik dan saling menerima kekurangan masing-masing. Aku rasa itu bukan jalan keluar yang baik, Bu," ucap Rayra menolak ide ibunya. Dia tidak bisa membayangkan akan hidup dengan orang yang tidak dia kenal dengan baik bahkan tidak ada perasaan sama sekali. Dia juga takut akan bertemu jenis orang seperti Edam lagi.
"Aku takut akan bertemu orang seperti Edam lagi, Bu." ucap Rayra dengan nada memelas. Berharap ibunya bisa memikirkan dengan baik cara itu. Mungkin ada cara lain yang lebih baik daripada ide untuk menikah tiba-tiba dengan orang lain.
"Jika ibu memintamu untuk menemuinya dulu, bagaimana? Ibu tidak akan memaksa kamu untuk menyetujuinya jika kamu tidak suka dengan pria itu,"
Rayra terdiam. Perlahan memikirkan kata-kata ibunya. Tatapan ibunya yang penuh harap membuat dia tidak tega untuk menolak."Apakah cara ini bisa melepaskan ku dari Edam?" pikirnya dalam hati. Beberapa saat kemudian diikuti anggukan kepala dari Rayra.
Satu Minggu kemudian...Percakapan antara Rayra dan ibunya malam itu masih tergambar jelas di ingatan Rayra. Betapa ibunya mengiba memintanya untuk menemui pria yang dimaksud oleh ibunya itu. Rayra bahkan belum bertanya banyak mengenai pria yang akan ditemuinya itu. Darimana ibunya mengenalnya dan semudah itu pula ibunya langsung merencanakan pertemuan mereka.Hari ini mereka akan bertemu. Rayra masih ragu-ragu untuk memasuki cafe tempat mereka janji bertemu. Kaki Rayra terasa sangat berat untuk melangkah masuk. Rasa trauma dan takutnya akan sosok Edam membuat ia berpikir bahwa semua laki-laki punya potensi memiliki sifat seperti Edam.Tiba-tiba ponsel Rayra berdering. Tampak jelas tulisan terpampang di panggilan telepon itu. "Edam" dengan emotikon hati dibelakangnya. Rayra sempat mengutuk dirinya sendiri karena belum menghapus emotikon tersebut.Tanpa sadar tangannya gemetar, rasa takut seketika langsung mengaliri tubuhnya. Rayra tak mau menden
Rayra merasa sangat lelah hari ini. Tuntutan pekerjaan yang harus selesai sesuai deadline mengharuskan dia untuk lembur hingga jam 10 malam. Rayra merasakan pegal dan sakit di sekujur tubuhnya, pasti memar ditubuhnya yang turut memperparah rasa sakitnya itu.Rayra sudah sampai di depan halaman rumahnya. Rumah yang tidak terlalu besar dan sederhana dengan pagar mengelilinginya. Disanalah Rayra tinggal bersama ibunya selama 25 tahun ini. Rayra hanya tinggal bertiga dengan ibu dan adiknya, sementara ayahnya sudah meninggal ketika Rayra berusia 12 tahun.Rayra baru saja ingin membuka pintu pagarnya sebelum akhirnya sebuah suara yang sangat dia kenal memanggilnya."Rayra!" Suara itu membuat tubuh Rayra gemetar. Suara yang sangat ditakutinya. Dia bahkan tak berani untuk menoleh."Sudah seminggu ini kamu tidak bisa dihubungi. Aku sudah berbaik hati berusaha menunggu kabar darimu. Tapi nyatanya kamu sama sekali tidak peduli. Apa kamu sengaja menghindar dari
2 hari kemudian...Rayra sedang berdiri di depan kantor tempat Mada bekerja. Kata Ibunya, Mada menjabat sebagai Branch Manager disana. Rayra menghela nafas berkali-kali, bingung apakah harus masuk atau tidak. Ibunya memaksanya untuk memberi ucapan terima kasih atas pertolongan Mada dua hari yang lalu. Alhasil sekarang Rayra benar-benar berada disana dengan tas yang berisi bekal makan siang lengkap buatan ibunya untuk Mada.Rayra menatap layar ponselnya. Disana sudah ada kontak Mada yang diberi oleh ibunya."Halo," ucap Rayra ketika terdengar suara Halo di seberang telepon. Akhirnya dia menelpon Mada."Apa kamu ada waktu sebentar? Ada yang mau kuberikan," ucap Rayra, setelah menerima jawaban setuju dari Mada. Rayra berjalan masuk ke kantor itu.Rayra melihat Mada yang keluar dari lift. Aura tampannya sempat membuat Rayra terdiam sejenak. Ditambah senyum menawan hampir membuat Rayra menjatuhkan bekal makan siang yang sudah susah pay
Kebersamaan Rayra dan Mada kemarin malam ternyata tertangkap mata oleh Edam. Selama beberapa hari Edam selalu berusaha menghadang Rayra tapi tak pernah berhasil karena ada Mada yang diam-diam mengikuti Rayra. Edam semakin geram juga semakin cemburu melihat Mada dan Rayra. Namun dia tidak menyerah. Rupanya malam ini tidak terlihat Mada mengikuti Rayra. Wanita itu pulang sendirian dan terlihat sibuk dengan ponselnya. Di tangan kanannya, Edam sudah memegang sebuah payung. Bukan dia gunakan untuk berlindung dari hujan, tapi dia sudah berniat jahat untuk melakukan sesuatu yang tak baik pada Rayra dengan payung itu. Dia bersembunyi di balik mobil yang diparkir di pinggir jalan. Menunggu Rayra melewatinya. Buk! Edam memukulkan payung itu ke belakang kepala Rayra. Seketika Rayra langsung terhuyung dan terjatuh pingsan. "Aku sudah mencoba baik padamu, Rayra! Tapi kamu malah semakin membuatku marah. Jangan salahkan aku jika aku begini pa
Kebersamaan Rayra dan Mada kemarin malam ternyata tertangkap mata oleh Edam. Selama beberapa hari Edam selalu berusaha menghadang Rayra tapi tak pernah berhasil karena ada Mada yang diam-diam mengikuti Rayra. Edam semakin geram juga semakin cemburu melihat Mada dan Rayra. Namun dia tidak menyerah. Rupanya malam ini tidak terlihat Mada mengikuti Rayra. Wanita itu pulang sendirian dan terlihat sibuk dengan ponselnya. Di tangan kanannya, Edam sudah memegang sebuah payung. Bukan dia gunakan untuk berlindung dari hujan, tapi dia sudah berniat jahat untuk melakukan sesuatu yang tak baik pada Rayra dengan payung itu. Dia bersembunyi di balik mobil yang diparkir di pinggir jalan. Menunggu Rayra melewatinya. Buk! Edam memukulkan payung itu ke belakang kepala Rayra. Seketika Rayra langsung terhuyung dan terjatuh pingsan. "Aku sudah mencoba baik padamu, Rayra! Tapi kamu malah semakin membuatku marah. Jangan salahkan aku jika aku begini pa
2 hari kemudian...Rayra sedang berdiri di depan kantor tempat Mada bekerja. Kata Ibunya, Mada menjabat sebagai Branch Manager disana. Rayra menghela nafas berkali-kali, bingung apakah harus masuk atau tidak. Ibunya memaksanya untuk memberi ucapan terima kasih atas pertolongan Mada dua hari yang lalu. Alhasil sekarang Rayra benar-benar berada disana dengan tas yang berisi bekal makan siang lengkap buatan ibunya untuk Mada.Rayra menatap layar ponselnya. Disana sudah ada kontak Mada yang diberi oleh ibunya."Halo," ucap Rayra ketika terdengar suara Halo di seberang telepon. Akhirnya dia menelpon Mada."Apa kamu ada waktu sebentar? Ada yang mau kuberikan," ucap Rayra, setelah menerima jawaban setuju dari Mada. Rayra berjalan masuk ke kantor itu.Rayra melihat Mada yang keluar dari lift. Aura tampannya sempat membuat Rayra terdiam sejenak. Ditambah senyum menawan hampir membuat Rayra menjatuhkan bekal makan siang yang sudah susah pay
Rayra merasa sangat lelah hari ini. Tuntutan pekerjaan yang harus selesai sesuai deadline mengharuskan dia untuk lembur hingga jam 10 malam. Rayra merasakan pegal dan sakit di sekujur tubuhnya, pasti memar ditubuhnya yang turut memperparah rasa sakitnya itu.Rayra sudah sampai di depan halaman rumahnya. Rumah yang tidak terlalu besar dan sederhana dengan pagar mengelilinginya. Disanalah Rayra tinggal bersama ibunya selama 25 tahun ini. Rayra hanya tinggal bertiga dengan ibu dan adiknya, sementara ayahnya sudah meninggal ketika Rayra berusia 12 tahun.Rayra baru saja ingin membuka pintu pagarnya sebelum akhirnya sebuah suara yang sangat dia kenal memanggilnya."Rayra!" Suara itu membuat tubuh Rayra gemetar. Suara yang sangat ditakutinya. Dia bahkan tak berani untuk menoleh."Sudah seminggu ini kamu tidak bisa dihubungi. Aku sudah berbaik hati berusaha menunggu kabar darimu. Tapi nyatanya kamu sama sekali tidak peduli. Apa kamu sengaja menghindar dari
Satu Minggu kemudian...Percakapan antara Rayra dan ibunya malam itu masih tergambar jelas di ingatan Rayra. Betapa ibunya mengiba memintanya untuk menemui pria yang dimaksud oleh ibunya itu. Rayra bahkan belum bertanya banyak mengenai pria yang akan ditemuinya itu. Darimana ibunya mengenalnya dan semudah itu pula ibunya langsung merencanakan pertemuan mereka.Hari ini mereka akan bertemu. Rayra masih ragu-ragu untuk memasuki cafe tempat mereka janji bertemu. Kaki Rayra terasa sangat berat untuk melangkah masuk. Rasa trauma dan takutnya akan sosok Edam membuat ia berpikir bahwa semua laki-laki punya potensi memiliki sifat seperti Edam.Tiba-tiba ponsel Rayra berdering. Tampak jelas tulisan terpampang di panggilan telepon itu. "Edam" dengan emotikon hati dibelakangnya. Rayra sempat mengutuk dirinya sendiri karena belum menghapus emotikon tersebut.Tanpa sadar tangannya gemetar, rasa takut seketika langsung mengaliri tubuhnya. Rayra tak mau menden
Rayra menyelinap masuk ke rumahnya. Langkahnya sangat pelan dan hati-hati. Takut ibu dan adiknya akan terbangun. Rayra berusaha menutupi memar di pipi kirinya dengan rambut panjangnya dan melangkah pelan menuju kamar.Klik!Lampu ruang tamu menyala. Sudah ada ibunya berdiri di depan pintu kamarnya."Ibu ..." ucap Rayra lirih. Ibunya sudah terlihat meneteskan air mata."Sudah berapa lama terjadi begini? Sudah berapa lama kamu menutupinya dari ibu, Rayra??" tanya ibunya dengan nada memaksa. Terdengar Isak tangis di suara itu."Apa maksud ibu? Aku tidak menutupi apapun ibu," jawab Rayra dengan suara bergetar. Dia begitu takut jika ibunya tahu apa yang sebenarnya terjadi selama ini antara dia dan Edam.Benar saja, ibunya melangkah ke arahnya. Dan tiba-tiba menyibakkan rambutnya yg tergerai menutupi pipinya. Terlihat jelas memar di pipi kirinya. Kemudian ibunya juga menyingkap sweaternya hingga terlihat punggung Rayra yang juga ada ba