Kayla masih mematung dan pikirannya penuh dengan berbagai macam spekulasi. Suara itu, sepertinya jelas sekali dia sangat kenal. Sepagi ini Ghafa dengan seorang wanita?“Kay, kamu kenapa?” suara Williams mengejutkan Kayla, membuyarkan pikirannya akan sang kakak.“Kak Will, katakan padaku, Kak Will tahu kan siapa wanita yang dekat dengan Kak Ghafa?” tanya Kayla langsung, karena dia memang sangat penasaran.William diam sejenak dan mengerutkan keningnya.“Kamu tanya tentang Ghafa lagi? itu–”“Tadi Kak Ghafa bilang ke aku kalau katanya Kak Will ada utang makan siang dengannya,” potong Kayla cepat.“Oh, itu sudah aku pesankan, tapi aku lupa mengirimkan lokasinya. Sebentar aku hubungi dia dulu.” William mengambil ponselnya dan mengetikkan sesuatu di sana, sementara Kayla menunggunya mengatakan sesuatu.“Nanti siang kita pergi makan bersama dengan Ghafa dan … calon kakak iparmu.” Ucapan William benar-benar membuat Kayla melebarkan bola matanya.“Calon kakak ipar? Jadi, benar kalo Kak Ghafa i
Suara deru mesin pesawat pribadi terdengar halus, namun cukup untuk mengisi keheningan di dalam kabin. William duduk di dekat jendela, pandangannya kosong menatap awan yang berarak di luar. Tangannya menggenggam erat tangan William yang duduk di sampingnya, Kayla mencoba memberi kekuatan, meski pikirannya sendiri juga dihantui kekhawatiran yang mendalam. Di seberang mereka, Ghafa duduk bersandar dengan tangan terlipat, sesekali melirik ke arah William. Tatapannya tertuju pada adiknya, seolah mencoba membaca apa yang ada di pikiran Kayla, tetapi tetap diam tanpa komentar.“Aku masih tidak percaya ini terjadi,” gumam Kayla akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar. Ia menoleh ke arah William yang masih menampakkan wajah tenangnya. Namun, Kayla tahu persis kalau saat ini jelas William sangat Khawatir.Kemudian, Kayla kembali berkata, “Kakek memang selalu terlihat tegas dan kuat. Tapi kupikir sejak pernikahan kita, dia menyimpan rasa kecewa yang mungkin memengaruhi kesehatannya.” Nada bicar
Malam sebelumnya.Di sebuah ruangan private yang hangat namun penuh dengan nuansa formal, Simon Dyson berdiri dengan wajah tegang. Baru saja acara amal Ellysium Luminar selesai, tetapi suasana malam itu sama sekali tidak memberikan ketenangan bagi pria ini. Tatapannya tajam mengarah pada Walter Drake, yang duduk dengan sikap tenang di kursi kulit mewah.“Walter, kau tahu kenapa aku di sini?” suara Simon pecah dalam keheningan, penuh nada emosi yang terpendam.Walter mendongak perlahan, matanya menatap Simon dengan pandangan datar. “Aku bisa menebak. Apa ini tentang William?” jawabnya tanpa basa-basi.Simon mendengus keras. “Tentang William, tentu saja. Di mana dia? Mengapa dia tidak hadir di acara penting seperti ini? Aku sudah cukup bersabar, Walter. Aku memutuskan untuk menjodohkan Laura dengannya karena aku percaya pada keluargamu. Tapi apa yang aku dapatkan? William tidak ada di sini, dan aku mendapatkan laporan dari putriku kalau dia dipermalukan oleh… istri William!”Walter meneg
William berusaha menghubungi ayahnya untuk memberitahukan keadaan sang kakek, dia tahu walau ayahnya tidak berhubungan lagi dengan keluarga Drake, tetapi diam-diam ayahnya sering mencari tahu informasi tentang kedua orang tuanya melalui salah satu pelayan yang ada di kediaman Drake ini.“Papa, Kakek dalam–”“Aku dan mamamu sudah ada di bandara dan menunggu jadwal penerbangan. Bagaimana keadaan Kakekmu? Apa sudah jauh lebih baik dari sebelumnya?” Terdengar nada khawatir di sana.“Masih terkendali. Baiklah kalau begitu, kabari kalau kalian sudah berangkat, aku akan menyuruh orang untuk menjemput kalian nanti di bandara.” William berkata pada ayahnya dengan suara pelan.“Baiklah,” jawabnya dengan singkat, lalu panggilan telepon terputus.“Will, ada berita kurang baik.” Gabriel mendekati William dengan sedikit ragu.“Ada apa?” tanya William, sebenarnya dia sudah bisa menebak berita yang dimaksud dan perkiraannya ternyata tidak meleset.“Grup keluarga Dyson saat ini sedang mengajukan pemba
Raut wajah Daisy yang sedih membuat Kayla tak mampu menahan dirinya untuk kembali menggenggam tangan wanita tua itu. Ada sesuatu yang berat, terlalu berat, yang tergambar di balik sorot mata keriput namun tajam milik Daisy. Kayla dapat merasakan jari-jari Daisy sedikit gemetar saat disentuhnya, seolah menahan beban yang tak terlihat.“Nek, jangan bersedih lagi. Kak Will tidak akan meninggalkan nenek, dan aku juga akan bertahan, walau kakek belum memberikan restunya,” Kayla berkata pelan, berusaha menenangkan. Senyum hangat melengkung di bibirnya, meski hatinya ikut tersayat melihat kesedihan Daisy. “Aku yakin suatu saat kakek akan mengakui keberadaanku.”Daisy menatapnya dengan tatapan yang sulit diterjemahkan. Mata itu seperti menyimpan berjuta rahasia, terlalu dalam untuk dipahami sepenuhnya. Ada jejak keraguan, sekaligus kekaguman, bercampur dengan luka lama yang sepertinya masih menganga.“Kayla,” suara Daisy terdengar serak, “nenek berterima kasih karena, setelah segala ujian yan
Daisy menatap layar ponsel dengan dingin, tetapi tangan yang menggenggamnya sedikit bergetar. Matanya sekilas melirik ke arah Kayla, yang duduk tak jauh darinya dengan wajah penuh tanda tanya. Ketika panggilan tersambung, suara lembut namun menusuk terdengar dari seberang, membuat udara di ruangan itu terasa lebih berat.“Ada apa, Nona Laura?” Daisy langsung membuka percakapan tanpa basa-basi. Nada bicaranya tegas, nyaris seperti perintah. Kayla diam, memperhatikan setiap gerak-gerik Daisy dengan rasa penasaran yang tak bisa disembunyikan. Ia ingin tahu, tetapi tak berani bertanya.Di ujung sana, suara Laura terdengar lirih namun tidak jelas di telinga Kayla. Meski begitu, setiap ekspresi yang muncul di wajah Daisy membuat Kayla semakin penasaran. Tatapan Daisy berubah tajam, seperti pisau yang siap menghujam.“Maaf, aku tidak punya waktu untuk meladeni permainanmu, Nona Laura. Lagipula, kakek William yang masuk rumah sakit seharusnya tidak perlu membuatmu peduli, bukan?” ucap Daisy d
Kondisi Walter mulai membaik, tetapi tubuhnya masih terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Cahaya matahari yang lembut menerobos tirai jendela, menciptakan pola hangat di lantai marmer putih. William duduk di sampingnya, menjaga dengan setia. Suara napas Walter yang pelan dan teratur menjadi latar yang menenangkan, sementara William sesekali memeriksa jam tangannya, memastikan semuanya berjalan lancar.Di tengah ketenangan itu, pintu kamar perlahan terbuka. Anthony, ayah William, muncul di ambang pintu. Wajahnya memancarkan kerinduan dan rasa lega. Anthony berhenti sejenak, mengamati ayahnya yang terbaring, sebelum melangkah masuk dengan hati-hati.William melihat sosok Ayahnya tersenyum sekilas, dia melihat ada pancaran kerinduan di mata ayahnya itu. Perseteruan keduanya di masa lalu membuat keduanya tidak pernah bertemu dalam waktu yang cukup lama, bahkan sebelum William lahir.Walter masih dalam keadaan tidur, wajahnya terlihat tenang dan penuh kedamaian."Papa," sapa William
Suasana sore di kediaman keluarga Drake dipenuhi canda tawa yang hangat. Walter, yang baru saja pulang dari rumah sakit, duduk di sofa ruang tengah dengan senyum lembut di wajahnya. Anthony, Risda, Daisy dan Kayla duduk di sekitarnya, berbagi cerita ringan yang menghangatkan hati. Ruangan itu dipenuhi aura nostalgia dan kebahagiaan.Kayla, yang biasanya lebih pendiam di hadapan anggota keluarga Drake lainnya, hari itu terlihat lebih santai. Senyumnya tak pernah lepas saat mendengarkan cerita-cerita Walter tentang masa mudanya. Ia sesekali melontarkan komentar yang membuat semuanya tertawa.“Jadi, Kakek benar-benar sempat mencoba drifting dengan mobil antik hanya untuk menghindari nenek yang sedang marah?” Kayla tertawa, membayangkan adegan yang diceritakan Walter.“Tentu saja,” Walter menjawab dengan nada bercanda. “Saat itu nenekmu benar-benar mengerikan jika sudah marah. Tapi lihat, aku masih hidup sampai sekarang, bukan?”Anthony dan Risda ikut tertawa. Rasanya sudah lama sekali mer
Ghafa duduk di bangku kayu di taman kota, tempat yang mereka sepakati sebelumnya. Pakaian santainya tampak sedikit kusut, menandakan bahwa ia sudah berada di sana cukup lama. Ia menatap lurus ke depan, namun kakinya bergerak-gerak tanpa sadar—sebuah kebiasaan yang muncul saat dirinya mulai gelisah.Sesekali, ia melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah lebih dari lima menit berlalu sejak waktu yang mereka sepakati. Ia menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk lututnya, pikirannya mulai dipenuhi keraguan. Apakah Sandra benar-benar akan datang?Lagi-lagi ia melirik jam tangannya. Lima menit berubah menjadi sepuluh, lalu dua puluh. Hatinya mulai terasa aneh. Bukan marah, bukan kesal—lebih kepada sebuah perasaan yang sulit dijelaskan.Ia menggigit bibirnya, lalu menyandarkan tubuhnya ke belakang. Satu tarikan napas panjang lagi. Saat ia mulai mengangkat ponselnya, ragu apakah harus menghubungi Sandra lebih dulu. Namun, dia matikan ponselnya dan memasu
Belum sempat berlama-lama sibuk dengan pikirannya sendiri, wanita itu menyapa Sandra."Hei, bukannya kamu wanita yang ada di pameran tadi?" Dia mendekati Sandra dengan tersenyum ringan.Rambut pirangnya dan wajah bulenya itu membuat Sandra mengernyitkan keningnya."Kamu kenal dengannya, Stella?" Ghafa berkata ramah. Stella, ternyata wanita itu bernama Stella, dan cara Ghafa bicara dengannya sangat berbeda ketika dia bicara dengan Sandra, kesannya terasa sangat hangat dan cukup akrab."Tentu saja! Dia adalah penyelamat Kayla saat di acara itu saat si wanita jahat itu ingin menjatuhkan Kayla!" Stella berkata dengan antusias pada Ghafa. "Kau harus berterima kasih padanya, Kak Ghafa!" Stella lalu menepuk lengan Ghafa dengan lembut, menunjukkan keakraban mereka."Memangnya Kayla kenapa?" tanya Ghafa melihat ke arah Sandra dengan tatapan tajam menuntut jawab.Sandra tersenyum penuh misteri, sengaja dia lakukan dengan sedkit menggoda. "Itu ... ceritanya panjang. Aku akan cerita kalau kamu ma
Setelah acara selesai, Ghafa mengajak Sandra untuk pergi menemaninya ke acara pesta pernikahan temannya. Kebetulan sekali acara Sandra bersamaan dengan acara pernikahan temannya ini, hingga dia yang gengsi untuk hanya sekadar mendatangi pameran Sandra pun, ada alasan lainnya yang dia ucapkan pada wanita itu.Ghafa paham sekali dari bahasa tubuh Sandra bahwa wanita itu sepertinya menyukainya, hanya saja dirinya yang masih belum mau memikirkan masalah percintaan ini karena terlanjut banyak kecewa dengan para mantannya membuatnya membentengi dirinya dengan sangat tinggi."Ke acara pernikahan temanmu?" tanya Sandra dengan wajah sumringah saat itu.Ghafa mengangguk pasti. "Ya Kebetulan sekali acaramu ini bertepatan dengan acara pernikahan temanku, kebetulan aku sudah membeli tiket dari jauh hari, dan acaranya tidak bersamaan, jadi aku bisa datang ke semua acara."Mendengar kalimat yang baru saja terlontar dari mulut Ghafa sekilas Sandra tampak murung. Mungkin dia sudah merasa sangat spesia
Sandra menatap layar ponselnya dengan perasaan yang semakin tak menentu. Pesan yang ia kirimkan ke Ghafa sudah berstatus "terbaca", tetapi seolah hanya berbisik ke dalam kehampaan tanpa balasan yang diperolehnya. Apa pria itu benar-benar berpikir kalau hubungan mereka hanya putus sampai malam itu saja?Wanita itu terlihat mendesah panjang, jari-jarinya menggenggam erat ponsel, menahan desakan perasaan yang semakin kuat mencengkeram dadanya. Ia menggigit bibir, mencoba menghalau gelombang kekecewaan yang mulai menghantamnya. Hatinya berdegup tak menentu, seperti menanti sesuatu yang mungkin takkan pernah datang. "Kenapa aku masih berharap?" bisiknya, nyaris tanpa suara."Apa aku terlalu berharap?" gumamnya pelan, menatap langit-langit kamar hotelnya di Los Angeles. Ia menarik napas panjang, mencoba mengusir semua keraguan yang berkecamuk di dalam pikirannya. Besok adalah hari penting itu, tapi sampai detik ini, Ghafa tidak ada memberi kabar sedikit pun.Sejak bertemu dengan Ghafa saat
Sandra menatap Ghafa dengan mata yang masih sembab, mengerucutkan bibirnya.Hal ini tentu saja membuat Ghafa melihat ada ekspresi manja yang mirip dengan Kayla.Sementara Sandra yang melihat Ghafa tidak memiliki respons padanya, membuatnya menarik napas panjang sebelum akhirnya berbicara dengan suara yang sedikit bergetar."Aku baru saja ribut besar dengan orang tuaku," ucapnya pelan. "Ayahku ingin aku mengurus bisnis keluarga, tapi aku nggak bisa ... aku nggak mau."Ghafa menatapnya dengan sedikit rasa ingin tahu, tetapi tetap diam."Bahkan waktu itu, dia mencoba mengenalkanku dengan seseorang yang katanya cocok jadi pasangan hidupku." Kembali Sandra berkata dengan nada berat.Sandra menarik napas panjang, lalu melanjutkan, "Aku sebenarnya kagum dengan pria itu, tapi aku harus tau diri juga."Mata Ghafa sedikit menyipit, tetapi ia tetap mendengarkan."Aku nggak tahu apa-apa waktu itu," lanjut Sandra dengan suara lebih pelan. "Saat aku bertengkar dengan Kayla di kantor William, aku ba
Ghafa menarik Sandra keluar dari kafe dengan langkah cepat, meninggalkan pegawai dan pelanggan yang sibuk berbisik-bisik, mencoba menebak apa yang sebenarnya terjadi. Begitu mereka sampai di luar, Sandra mencoba melepaskan tangannya, tetapi Ghafa menggenggamnya lebih erat."Heh, sakit! Lepasin tanganku!" protes Sandra sambil mencoba menarik tangannya.Ghafa berhenti dan menatapnya dengan tatapan tajam. "Kamu sadar nggak apa yang baru saja kamu lakukan di dalam? Kamu bikin aku terlihat seperti—""Seorang ayah yang kabur dari tanggung jawab?" potong Sandra dengan nada datar. Wajah Ghafa langsung berubah tegang."Hei Nona," katanya dengan suara rendah, nyaris seperti sebuah ancaman, "kalau kamu sedang bosan dan ingin bermain-main, ayo, jangan tanggung. Aku tahu bagaimana caranya bisa membuat anak dengan--""Maaf-maaf, aku tidak ada bermaksud seperti itu aku hanya ...." Sandra memperlihatkan wajah frustrasinya. "Tuan, bisa bawa aku ke tempat yang lebih tenang?" pintanya dengan suara rendah
Extra Chapter. Ghafa Sandra 1. Pertemuan Kembali.Sandra melangkah masuk ke dalam kafe dengan wajah kusut. Rambutnya yang biasanya rapi terlihat berantakan, menandakan betapa kacau harinya. Ia baru saja berdebat sengit dengan ayahnya, seorang pebisnis sukses yang selalu memandang dunia seni sebagai hal remeh. Sang ayah menginginkan Sandra fokus pada perusahaan keluarga, namun hatinya menolak keras. Dunia seni adalah rumah bagi Sandra, tempat ia menemukan kebebasan dan ekspresi sejati dan itu sejak dulu tidak disukai oleh ayahnya.Dan ayahnya makin marah karena dia gagal membawa proposal kerjasama dengan Ellysium Luminar Indonesia. Sandra melewati kursi seseorang yang saat itu posisinya berada sedikit menghalangi jalan. Dia duduk di bangku pojok yang bisa melihat ke arah jalan. Beberapa kali Sandra menghela napasnya. Mencoba mengingat kejadian beberapa hari lalu. Pria yang bernama William itu ternyata juga sudah beristri dan istirnya mungkin memiliki hubungan yang rumit dan tidak baik
Setelah beberapa bulan penuh suka dan duka, bayi Kayla dan William kini telah berusia 6 bulan. Hari itu, mereka membawa bayi mereka untuk imunisasi di klinik langganan keluarga. Perjalanan mereka merawat bayi prematur ini tidaklah mudah. Kayla sempat hampir terkena baby blues syndrome karena kurangnya tidur dan kekhawatiran berlebih terhadap kondisi bayinya. Namun, berkat dukungan William yang selalu hadir, membantu bangun tengah malam, dan memberikan semangat, Kayla mampu melewati masa-masa sulit tersebut dengan cepat. Saat ini, Kayla merasa campur aduk antara lega dan sedikit gugup, tetapi kehadiran William di sisinya memberikan ketenangan yang ia butuhkan.Sore itu, sebuah mobil keluarga berhenti di depan rumah besar keluarga Drake. Di depan pintu, Hana, Andre, Risda, Anthony, Daisy, dan Walter sudah menunggu dengan antusias. Bahkan Ghafa, Kakak Kayla sudah datang bersama dengan kekasih hatinya.William memeluk tubuh sang istrinya dengan lembut. Di tangannya yang lain, ia menggendon
William segera pergi ke rumah sakit dimana tempat Kayla berada, dalam perjalan tersebut dia juga sudah menghubungi Hana dan juga Risda, yang kebetulan keduanya masih ada di sini saat ini. Mereka bergerak ke rumah sakit tersebut dengan cepat. Sesampainya di sana, dia bertemu dengan dokter yang langsung menanganinya.“Nyonya Kayla harus segera dilakukan tindakan operasi agar tidak membahayakan dirinya dan juga anak yang ada dalam kandungannya.” Itu yang dikatakan dokter saat itu.Hal ini tentu membuat Kepala William berputar dan terasa sangat sakit sekali, rasanya penyesalan sangat kuat menjalar dalam tubuhnya sekarang ini.“Bagaimana Kayla, Will?” tanya Hana saat bertemu dengan William yang terlihat cukup gugup di depan ruang operasi.“Kayla harus dilakukan tindakan segera, Ma.” William berkata dengan suara lemah.“Bagaimana bisa Kayla mengalami kecelakaan? Apa sopir kamu tidak membawa kendaraan dengan hati-hati?” Risda kali ini bicara dengan nada cemas.“Tadi ada kendaraan yang remnya