Gendis meremas kedua jemarinya yang saling bertaut. Perasaannya begitu gusar ketika Gala tak kunjung menunjukkan batang hidungnya.
Jujur saja, Gendis bingung dengan apa yang kini ia rasakan. Ia senang ketika Gala akhirnya menyanggupi untuk bertemu dengannya. Namun, ia juga takut kalau Gala tak percaya dengan apa yang ia katakan nanti.
Rooftop Onilicius. Di tempat inilah Gendis menunggu Gala. Padahal perempuan itu sudah menawari Gala agar bisa bertemu di luar yang jaraknya tak begitu jauh dengan kantor Gala. Akan tetapi lelaki itu menolak secara halus dan berakhir dengan Gendis yang mengalah.
Gendis berjalan ke arah tembok pembatas tuk menengok kedatangan Gala. Barangkali lelaki itu baru saja tiba. Ia tak berpikir jika Gala memberi kabar pertemuan ini baru sekitar 20 menit yang lalu.
Sedangkan waktu tempuh kantor Gala dan toko kue miliknya kurang lebih sekitar 30 menit. Itupun kalau jalanan ibukota bisa diajak kerja sama.
"Dan kamu rela aku sama orang lain?"Pertanyaan itu bagai sembilu yang menghujam jantung Gala. Sakit tapi tak berdarah. Dadanya terasa sesak ketika membayangkan Gendis bersanding dengan laki-laki lain.Jika ditanya apakah Gala rela? Maka ia akan dengan senang hati mendengungkan jika dirinya tak rela.Namun, sampai Ibukota Indonesia sudah benar-benar pindah ke Balikpapan pun, Gala tetaplah bukan lelaki pilihan Fatma. Lantas apa yang harus Gala lakukan?Mau tak mau. Suka tak suka. Gala hanya akan menjadi penonton di pernikahan Gendis kelak."Mas, jawab!" cecar Gendis tak sabaran. Ia tentu saja menanti jawaban Gala dengan harap cemas.Bagaimana jika Gala mengatakan jika rela melihat dirinya bersama laki-laki lain? Sanggupkah Gendis mendengar kata tersebut."Aku...." Gala menjeda kalimatnya, tak tahu harus menjawab apa, "Kamu pasti bahagia sama dia, Dis."Gendis mendengkus mendengar jawaban Gala
"Mas Gala."Suara Gendis yang lantang di tengah keheningan yang menyelimuti ruangan bernuansa peach itu membuat Alina tersentak kaget. Ia menatap Gendis dengan horor. Ia penasaran namun Alina merasa waswas pada perempuan yang sudah ia anggap sebagai saudaranya sendiri.Wajah cantik Gendis terlihat begitu satu. Bibirnya pun nampak pucat pasi. Belum lagi butiran peluh sebiji jagung yang sangat kentara mengaliri wajahnya."Kamu kenapa, Dis? Kamu mimpi buruk?" tanya Alina perlahan. Ia berjalan ke arah Gendis yang terengah seperti baru saja selesai lari maraton.Alina dengan begitu telaten menyodorkan segelas air minum pada Gendis ketika perempuan itu tak kunjung menjawab pertanyaannya."Minum dulu nih, Dis!""Thanks, Lin," kata Gendis lirih saat menerima gelas yang diberikan Alina lalu menyesap isinya perlahan.Berat Gelas tak seberapa, akan tetapi Gendis merasa gelas yang isinya hanya separuh itu sudah seper
Dea menatap wajah Gala yang terlihat sayu. Hatinya merasa sakit melihat anaknya tergolek di ranjang rumah sakit. Jika saja ia bisa menggantikan posisi Gala, Dea pasti akan melakukan hal tersebut.Ia bahkan rela menukar nyawanya demi anak-anaknya. Tak akan Dea biarkan anaknya merasakan penderitaan. Meski hal tersebut rasanya begitu mustahil.Segala sesuatu yang terjadi di hidup ini sudah diatur sedemikian rupa. Ia tak bisa mengelak jika suatu hal buruk terjadi di hidupnya.Pun ketika ia yang sedang merawat tanamannya mendapat kabar jika Gala mengalami kecelakaan. Kabar tersebut membuat syaraf motoriknya seolah berhenti."Gala, bangun dong, Nak!" Dea membawa tangan Gala tuk kemudian ia tempelkan di pipinya.Hawa dingin dari tangan Gala mulai menyadari kulitnya yang halus. Gala memang belum sadar semenjak kecelakaan.Mobil Gala peyok karena menabrak pembatas jalan. Ia mengalami luka ringan di dahi sehingga harus di
Dana menatap Gala dengan tatapan yang sulit diartikan. Perempuan itu masih tak tahu apa yang telah dialami oleh sang Kakak.Meskipun mereka tinggal satu rumah keduanya jarang sekali bertemu. Gala berangkat di saat Dana masih menyelami alam mimpinya. Pun ketika Gala pulang dari kantor ketika sang Adik sudah terlelap dalam mimpinya.Itulah mengapa Dana tak tahu apa yang telah terjadi pada Gala. Ia minim informasi."Kenapa emangnya?""Tinggal nurut aja apa susahnya sih, Na?"Dana mendengkus. Ia tak terima dengan permintaan Gala. Jika meminta sesuatu bukankah harus ada sekedar alasan tuk melakukannya?Seperti halnya ketika Gala meminta Dana untuk tak memberitahu keadaannya saat ini. Dana merasa harus ada alasan dibalik permintaan sang Kakak yang menurutnya... tak masuk akal.Semua harus ada alasan yang tepat Itulah prinsip Dana. Ia tak mau melakukan sesuatu dengan grusa-grusu."Udah d
Menunggu adalah suatu hal yang paling menyebalkan. Apalagi jika tak ada sesuatu kegiatan yang bisa menjadi kita lupa akan waktu.Jika menunggu sambil mengerjakan sesuatu, waktu akan terasa singkat. Kita tak akan sadar bahwa kegiatan yang membosankan itu terlewati dengan begitu cepat.Untuk itu Dana yang merasa bosan ketika menunggu Gala yang entah memang tertidur atau hanya memejamkan mata. Yang jelas, Dana merasa perlu mencari kegiatan agar ia tak terpaku pada hal monoton dan tak ia sukai.Dana berpamitan pada Gala untuk pergi ke minimarket yang ada di seberang rumah sakit. Ia akan membeli beberapa makanan ringan juga minuman kesukaan. Mungkin dengan memakan camilan ia bisa menghabiskan waktunya saat menunggu sang Kakak.Dengan tangan yang penuh dengan segala macam makanan ringan, Dana berjalan menuju kulkas yang ada di ujung ruangan. Saat itulah ponselnya meronta meminta di sentuh. Dana mencari benda pipih yang ada di clutchnya t
Tak ada yang bisa Dana perbuat saat ini ketika Gendis memaksa melihat keadaan Gala. Meskipun ia sudah mengatakan jika kondisi Gala sudah baik-baik saja. Meskipun ia mengatakan jika Gala sedang beristirahat saat ini. Semua itu tak mengubah niatan Gendis tuk melihat kondisi lelaki yang menempati hatinya.Mau melarang pun Dana juga tak punya kuasa. Siapa dia sampai harus melarang Gendis? Selain itu Dana pun cukup mengerti 'keinginan' Gendis. Kalau saja ia berada di posisi Gendis, mungkin saja ia juga akan memaksa seperti apa yang dilakukan kekasih Kakaknya tersebut.Dana sudah pasrah jika nanti Gala akan marah kepadanya. Toh, ini bukan sepenuhnya adalah kesalahannya. Kalau saja ia tahu jika Gendis ada di minimarket tersebut, Dana pasti akan lebih menjaga ucapannya.Dana mencoba menyamai langkah Gendis yang berjalan cepat. Kaki jenjang Gendis membuat langkahnya cukup lebar. Padahal jika dipikir-pikir perempuan itu juga belum tahu di kamar mana Gala
Gala tak bisa mengelak ataupun menolak persyaratan yang diajukan oleh Gendis. Dirawat oleh orang yang berarti di hidupnya tentu saja menjadi 'obat' paling mujarab bagi Gala.Lelaki itu tak menampik jika hatinya teramat senang dengan adanya Gendis di sisinya. Gendis layaknya vitamin yang menambah sistem imunitas tubuhnya meningkat."Kamu tadi mau kemana sebenernya? Kamu beneran nggak sengaja ketemu sama Dana di minimarket depan?"Gendis sedang mengusap jeruk yang ada di meja samping ranjang Gala. Untuk sejenak keduanya seakan melupakan perbedaan 'status' mereka saat ini. Mereka sangat menikmati waktu berdua tanpa adanya 'pengganggu' di sekitarnya.Dana minta izin untuk pulang saat tahu jika Gendis akan membantu merawat Gala. Ia malah senang sebab merasa jika akan menghirup udara kebebasan.Menunggu adalah suatu pekerjaan yang membosankan. Badan Dana sudah pegal-pegal karena hanya duduk dan tiduran di sofa kamar rawat Ka
Gendis mempercayai ucapan yang mengatakan ada hikmah dibalik sebuah kejadian. Kecelakaan yang dialami Gala memberi hikmah berupa kebersamaan yang ia rasakan ditengah keluarga Gala.Ia memang sudah mengenal dekat semua keluarga Gala. Semua menerimanya dengan tangan terbuka. Bahkan Gendis merasakan kasih sayang yang didapat dari Dea sama besarnya dengan kasih sayang yang ia dapat dari Fatma–Mamanya.Dering ponsel yang berasal dari dalam tas Gendis menginterupsi percakapan. Gendis berjalan tuk mengambil benda pipih yang sudah merongrong meminta disentuh. Nama Alea muncul sebagai sumber kebisingan ponselnya."Kamu dimana sih, Dis? Kok nggak sampai-sampai?"Omelan Alea sontak membuat Gendis menjauhkan ponsel dari telinganya. Kupingnya terasa pengang sebab suara Alea begitu keras. Gendis sampai takut kalau gendang telinganya robek karenanya.Belum sempat mengucapkan salam saja Alea sudah mencak-mencak tak karuan. Hal tersebut memb
"Bisa nggak kalau permintaan kamu nggak aneh-aneh kayak gitu?"Gendis mengerucutkan bibirnya saat Gala mengatakan jika permintaannya aneh-aneh. Padahal menurutnya permintaannya cukup sederhana. Pergi bersama Gala sepertinya adalah hal lumrah. Tapi Gala malah menyebutnya seolah adalah hal yang tak bisa dikabulkan."Permintaanku itu simpel tahu, Mas," elak Gendis tak mau disalahkan. "Emangnya kamu beneran bisa terima kenyataan kalau aku nikah sama orang lain?"Pertanyaan Gendis begitu sarat akan ancaman. Semua itu bukanlah gertakan Gendis belaka. Nyatanya, perempuan itu memang akan menikah dengan laki-laki lain yang merupakan pilihan ibunya.Gala tahu itu. Lantas Gala bisa apa? Gala memang pernah mendengar pepatah yang mengatakan jika sebelum janur kuning melengkung seseorang masih milik semua orang. Namun, apakah Gala bisa berbuat suatu hal yang menurutnya sangat menyimpang dari prinsipnya.Sekalipun rasa sakit menghujam hatinya, mau tak
"Bukannya kamu tahu semuanya tentang aku bahkan lebih dari diriku sendiri?"Perkataan itu terus saja terngiang di kepala Gendis. Apa yang dikatakan Gala memang tak sepenuhnya salah. Namun, Gendis tak mau termakan oleh pemikiran yang bisa saja salah. Sekalipun Gala masih menunjukkan rasa perhatiannya. Pun dengan panggilan sayang yang Gala berikan untuknya. Semua itu tak serta merta membuat Gendis bisa membumbungkan rasa kepercayaan diri jika Gala.... masih menginginkannya. Dalam hal ini, Gendis ingin jawaban yang konkret. "Aku memang tahu semuanya tentang Mas Gala tapi aku kan nggak selamanya bisa tahu isi hatimu, Mas," kata Gendis setelah sekian lama terdiam. Sejak Gala memberi jawaban yang cukup ambigu, keduanya memang tak terlibat dalam percakapan apapun. 15 menit setelah mereka selesai makan, Gala mengajak Gendis dan mengatakan jika akan mengantar perempuan itu. Selama itu pula Gendis hanya menurut kemauan Gala dan Gala hanya akan berbicara seper
(Hollaaa, maaf banget buat yang udah baca bab sebelumnya dan menemukan banyak kata yang keulang. Tapi udah aku revisi pas ngerasa ada yang aneh sama bab yang aku upload) ***Gala tak menyangka Gendis masih mengingat apa yang ia suka dan apa yang tak ia suka. Rasanya ia seperti dihadapkan pada waktu ketika hubungan mereka masih terasa hangat. Saling memiliki satu sama lain dan terasa membahagiakan. Gala sadar jika Gendis memahami semua tentang dirinya melebihi diri Gala sendiri. "Kamu... gimana kabarnya, Dis?" tanya Gala setelah hanya tinggal mereka berdua. Senyum terkembang di wajah Gendis. Perempuan itu sedikit menundukkan tuk menyembunyikan kesedihannya. "Aku baik, Mas," sahut Gendis menipiskan bibirnya skeptis, "tapi nggak dengan hatiku," lanjutnya dalam hati. Gala mengangguk paham. Suasana saat ini cukup canggung. Gala yang merasa bersalah karena mengajak Gendis yang notabenenya adalah tunangan orang lain dan Gendis yang merasa jika Gala sedikit me
Ada perasaan yang tak bisa Gendis ungkapkan saat ini. Entah mengapa ia merasa gugup. Kedua kakinya seolah tak bisa diam begitu saja ketika ia sedang menunggu seseorang yang mengajaknya bertemu- Manggala Yuda. Gendis merasa seperti abg yang sedang dilanda kasmaran. Terlalu konyol untuk sikap seseorang yang pernah menjalin hubungan selama 5 tahun. Gendis tahu jika pertemuan ini tak sesimpel yang ada dalam bayangan kepalanya. Ini bukanlah sebuah pertemuan ‘kencan’ seperti pasangan pada umumnya. “Kamu udah lama datengnya, Dis?” Gendis mendongak ketika suara berat menyapa indra pendengarannya tuk mendapati Gala-seseorang cyang tengah ia tunggu dan membuatnya merasa gugup berdiri di depannya. Lelaki yang terlihat tampan dengan kemeja maroon yang lengannya digulung sampai siku itu menarik kedua sudut bibirnya ketika mata mereka saling bertemu. Tampan. Satu kata itulah yang seketika terlintas dalam benak Gendis. Ya, hal itu sepertinya sudah tak diragukan lagi. Gala m
Setiap orang tua pasti mau anaknya bahagia. Sekalipun itu bertentangan dengan 'keinginan' sang Anak. Hal itu adalah perasaan yang Dea rasakan. Setelah pertemuan pertama dengan Shiren, ia merasa jika perempuan yang merupakan teman kerja Dana adalah perempuan yang cocok untuk Gala. Shiren adalah perempuan baik, santun, dan cantik. Rasanya tak ada satupun hal yang membuatnya untuk tak menyukai Shiren. "Kamu udah pulang, Mas?" tanya Dea begitu Gala memasuki ruang keluarga di mana saat ini perempuan itu tengah menikmati reality show yang disiarkan salah satu TV swasta. Gala berhenti dan menoleh ke arah sang Mama. Lelaki itu tersenyum seraya mengangguk kecil. "Mama belum tidur?" tanya Gala balik. Ia melirik ke arah jam yang terpajang cantik di dinding dan waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Ia cukup tahu kebiasaan mamanya yang selalu tidur jam 9. Untuk itu Gala pun tentu merasa heran saat melihat Dea masih berada di ruang keluarga ketika ia baru saja pula
"Dis, Abang pinjem charger laptop—LAH, kamu nangis?"Januar baru saja masuk ke kamar Gendis tanpa mengetuk pintu terlebih dulu dan tertegun saat mendapati Adiknya sedang duduk sambil memeluk boneka Panda kesayangannya. Januar melihat air mata mengalir di pipi Gendis dan hal itu selalu membuatnya tak suka. Ia memang bukan kakak yang baik karena selalu jahil dengan adiknya. Namun, melihat bagaimana Gendis mengeluarkan air mata tentu bukanlah hal yang ia sukai. Sekalipun mereka sering bertengkar, Januar mau Gendis selalu tersenyum setiap saat. Gendis hanya melirik ke arah Januar yang berdiri di tengah kamarnya. Ia merutuki kebodohannya yang lupa mengunci pintu sehingga siapapun bisa masuk ke kamarnya dan melihat fakta ini. Selain itu, rasanya Gendis juga ingin menjawab pertanyaan Januar dengan suara lantang. "UDAH TAHU NANGIS, MASIH NANYA LAGI!" Mungkin seperti itulah Gendis akan menjawab pertanyaan sang Kakak. Akan tetapi saat ini, ia merasa malas unt
"Aku kemarin ke Onilicius, Mas."Gala tak bisa menahan diri untuk tak menoleh dengan cepat sampai tulang lehernya terdengar berderak. Namun, ia hanya menatap si Pembicara selama satu menit tuk kemudian mengalihkan pandangannya pada jalanan di depannya. Gala sendiri tak tahu harus menanggapi apa dan bagaimana karena jujur saja ia masih selalu ingin tahu dengan segala hal yang berhubungan dengan... Gendis Ayu Paradista. Dengan menyebut Onilicius–yang merupakan juga bagian daripada Gendis, Gala tahu jika ia tak bisa mengabaikan pembicaraan itu begitu saja. Gala berdeham pelan tuk melegakan tenggorokannya. "Oh, ya?"Sebab bingung, pada akhirnya Gala hanya menanggapi dengan dua kata tersebut. Ia pikir tak mungkin jika langsung bertanya pada Shiren mengenai apakah ia bertemu Gendis dan segala sesuatu mengenai gadis itu. Lagipula, Gala juga belum mengerti maksud pembicaraan Shiren yang menurutnya begitu tiba-tiba. Lewat ekor matanya Gala melihat S
Shiren pernah mendengar sebuah pepatah Jawa yang berbunyi Dudu sanak dudu kadang (Meskipun tidak ada ikatan darah, namun terasa sudah seperti bagian dari keluarga). Shiren tak pernah mempercayai hal itu sebab di mana ia akan menemukan 'hal' di dunia ini. Namun, pemikirannya berubah ketika sekarang di sini—di rumah Gala ia merasakan hal tersebut. Rasanya ia ingin menangis mendapati perlakuan keluarga Gala yang baik luar biasa. Ia tamu tapi tak seperti tamu sebab Dea–perempuan yang tak lain adalah Ibu Gala dan Dana memperlakukannya seperti anaknya sendiri. Shiren tak memungkiri jika hatinya terasa menghangat mendapati perlakuan baik dari Dea. Ia pun bisa merasakan jika Dea memang benar-benar tulus terhadapnya. "Lauknya dipakai dong, Ren," kata Dea lembut. Shiren sedikit membersit hidungnya mendapat perhatian tersebut. Ia sedikit mendongak agar genangan di pelupuk matanya tak tumpah seketika. Kedua sudut bibir Shiren melengkung membentuk sebuah senyuman, "
Gala menghentikan langkahnya setelah mendengar satu nama yang disebut Mamanya. Dalam diam, ia seolah ingin mengulang waktu beberapa menit yang lalu tuk memastikan jika telinganya benar-benar tak salah mendengar. "Oh, iya, Gal. Tolong nanti ajak Dana dan Shiren sekalian ya."Itulah ucapan Dea yang mencatutkan satu nama. Shiren. Apa perempuan itu ada di rumahnya saat ini? pikir Gala. Untuk apa? Gala berbalik dengan alis terangkat sempurna, "Shiren, Ma?"Dea yang tak sadar jika Gala masih berada di sana (dengan rasa penasaran yang tinggi) mendongak. Tak ragu, perempuan itu mengangguk sebagai jawaban. "Iya, dia ada di kamar Dana sekarang.""Oh, pantas," gumam Gala hanya dalam hati. Saat ia masuk ke rumahnya, Gala tak menemukan satupun orang atau adanya tamu di rumahnya. Ia hanya menemukan Dea yang sedang mengatur hidangan yang kemudian di bawa ke meja makan. "Oke, Ma." Gala merujuk pada perintah Dea tuk memanggil Dana dan Shiren bersam