Seminggu setelah acara pernikahan itu, Rama memboyong Maryam dan anak-anaknya menempati rumah baru mereka. Rumah bergaya Skandinavian Rama pilih sebagai tempat tinggal mereka. Rama menyiapkannya setelah ia meneriakkan di depan Enggar bahwa Maryam adalah calon istrinya. Sebenarnya ia tak yakin dengan Maryam awalnya. Ia hanya memiliki ide menyiapkan rumah itu untuk siapa saja calon istrinya nanti. Dan ketika ia mengatakan di depan banyak orang bahwa Maryam adalah calon istrinya, Rama seperti tercetus sebuah pemikiran bahwa ia akan menikah dalam waktu dekat. Entah dengan Maryam atau yang lain. Lalu ketika ia mendapat kepastian dari Maryam, Rama segera merenovasi rumah itu dan menyelesaikannya segera."Ini rumah Papa? Bagus sekali.." Celetuk Salma."Rumahnya bagus. Gede.." Celoteh Fatih.Rama tersenyum menunduk menatap Salma dan Fatih bergantian. "Ini rumah Mama." Maryam terperangah. "Mas?" "Iya.. Ini rumah kamu. Surat-surat rumah ini semuanya atas nama kamu. Jadi, tolong tampung kam
Drama malam itu datang dari Fatih yang enggan tidur di kamarnya sendiri. Ngotot meminta tidur bersama sang mama seperti biasanya.Padahal saat di rumah omanya, Fatih bisa tidur tanpa mamanya. Meski sekamar dengan Salma tapi mereka tetap tidur di kasur yang terpisah. Dan Fatih tidak keberatan.Tapi, kenapa sekarang Fatih kembali seperti awal? Tidur tanpa ketiak mamanya rasanya tak enak. Fatih merindukan nina bobok dari mamanya. Setelah berlarut-larut menggelendoti Maryam, Rama akhirnya turun tangan.Rama berusaha keras meyakinkan Fatih bahwa sudah saatnya anak itu tidur di kamarnya sendiri. Dengan berbagai iming-iming, akhirnya Fatih menurut.Rama membacakannya buku cerita sesuai yang disarankan Maryam. Sedangkan Maryam sengaja tidak menemani Fatih agar supaya anak itu mampu mandiri dengan tidur sendiri tanpanya.Rama sudah selesai membaca buku kedua di pukul 22.00 itu, tapi mata Fatih tetap enggan terpejam walaupun sudah beberapa kali anak itu menguap dan mengucek matanya sendiri.Fat
Udara pagi kali itu sedikit menusuk karena sudah mulai memasuki puncak kemarau dan angin dari australia lebih dingin dari biasanya.Anak-anak sebentar lagi memasuki masa liburan semester. Dimana rencana demi rencana telah Rama agendakan untuk liburan pertama kalinya mereka sebagai keluarga.Rama bwlum memberi tahu istrinya. Ia hanya sesekali menyinggung dan bertanya kemana biasanya liburan mereka. Tapi belum benar-benar mengajak.Kesibukan di yayasan ternyata sedang meminta seluruh perhatiannya. Sedangkan Maryam sedang banyak belajar karena ia baru saja diangkat sebagai direktur baru di perusahaan mertuanya itu."Pak, jadwal visitasi sudah keluar. Sepertinya awal semester bisa dilakukan. Sejauh ini persiapannya sudah matang. Kita belum tau apa yang kurang sampai visitasi benar-benar sedang berlangsung." Ujar Miss Hamidah, salah satu guru mengajar di TK miliknya.Rama meletakkan penanya, "Oke kalau begitu. Kita selesaikan sekarang apa yang belum diselesaikan. Saya minta tolong sama Mis
"Mas justru harus banyak berterima kasih karena kamu mau mengambil tanggung jawab ini. mas yang harusnya minta maaf. Kamu tetap istri hebat meski bekerja, kamu tetap ibu yang luar biasa walaupun tidak bisa menjemput anak-anak pulang sekolah. Kamu luar biasa, Maryam. Mas cinta kamu." Rama meninggalkan kecupan mesra di kening Maryam.Mereka sedang berjalan menuju lobi dengan saling berpelukan. Salma dan Fatih berlarian di depan mereka sambil mengoceh banyak hal.Tidak pernah terbayangkan oleh Maryam ia akan melihat Salma dan fatih tertawa begitu lepas dan ceria.Ia tak pernah menyangka bahwa masih ada laki-laki luar biasa di dunia ini yang mau menerimanya dengan ikhlas dan apa adanya."Aku juga." Jawab Maryam."Juga apa?" Tanya Rama."Aku cinta Pak Guru.." Bisik Maryam kemudian menyembunyikan wajahnya di dada Rama.Di luar, hujan masih cukup deras. Air yang menabrak kanopi kaca dan dinding kaca itu menimbulkan bunyi berdentangan yang berisik.Meredam suara celotehan Salma dan Fatih, jug
Pagi ini, cuaca tak begitu bagus di luar. Sepertinya mereka sedang berada di puncaknya musim penghujan. Pagi, siang sampai malam tiba gemericik suara hujan mengeringi kegiatan setiap manusia di kota itu.Anak-anak sudah mulai libur sekolah, dan rencana liburan mereka sepertinya akan tertunda karena cuaca.Rama berkali-kali mendesah keras karena kekecewaan melanda jiwanya. Bukan hanya karena ditundanya jadwal liburan mereka. Tetapi juga rencana bulan madunya yang mau tak mau ikut tertunda.Sebagai pengantin baru, Rama melewatkan banyak hal yang biasanya dilakukan oleh pengantin baru.Maryam pun semakin merasa bersalah, meski ini bukan salahnya juga bukan kuasanya untuk mengatur hujan, tapi ia tetap merasa tak enak pada Rama. Setiap kali Rama mendesah atau berdecak, Maryam merasa jantungnya dicubit keras sekali.Belum lagi rengekan Salma dan Fatih yang terus-menerus menagih janji liburannya.Setiap hari, Maryam mencari ide untuk menyibukkan anak-anak mereka agar teralihkan perhatiannya
Dada Maryam bergemuruh. Denyut jantungnya bertalu tak nyaman. Sudah lama sekali ia tak merasakan seperti ini. Mendengar nama Ridwan diucapkan membuat perutnya kembali mual. Teringat akan perbuatan menjijikkannya. Skandal bersama kakak iparnya sendiri itu membuat Maryam benar-benar muak. Apa kabar Ahmad? Apa ia masih hidup tenang bersama istrinya? Apa ia tenang berbagi tubuh dengan wanita yang juga membagi tubuhnya dengan adiknya sendiri? Lalu sentuhan Rama membuat ia berjingkat. Padahal Rama menyentuhnya lembut dan bertanya dengan pelan. "Kenapa? Siapa yang telepon?" Tanyanya. Maryam menghirup udara sebanyak-banyaknya sebelum menjawab sang suami. Menatap nanar pada Rama, ia sungguh malu jika menceritakan apa yang terjadi. Selama ini ia telah menyembunyikannya rapat-rapat. Ia mencoba melupakannya dan membuang memory itu sejauh dan sedalam mungkin. Ia mungkin tak akan sanggup menanggung malunya menceritakan hal yang satu itu. "Ada apa?" Tanya Rama sekali lagi. Maryam merasa lutut
"Seharusnya kita liburan ke Selandia Baru, tapi karena kondisi kemarin, jadi Mas mengubah tujuannya ke Pulau ini. Pulau ini jauh lebih cantik dari Selandia Baru, kok. Juga, kalau sesuatu terjadi, kita nggak terlalu jauh pulangnya." Maryam mengangguk mengerti. Menyandarkan kepalanya di bahu Rama menyaksikan kecipak air yang dimainkan Salma dan Fatih. Setelah telepon terakhir Ridwan sore itu, Maryam justru tak pernah tenang. Ia dilanda kekhawatiran berlebih kalau-kalau Ridwan berbuat nekad dan mendatangi Ahmad. Meski Rama sudah berhasil membawanya pergi ke luar kota saat ini, pikirannya tetap berada di rumah dan kantor juga memikirkan Ahmad. Ya. Mereka sedang berlibur di sebuah pulau di pinggiran pulau Sumatra. Memilih daerah pantai dan sedikit pedalaman karena Rama tak ingin liburannya diganggu oleh siapapun. Ia menyiapkan banyak hal untuk liburannya kali ini. Termasuk rencana mengalihkan perhatian Maryam dari Ridwan. Rama sudah mendengar hubungan Maryam dengan Ridwan yang dari du
Kebiasaan mereka setelah bermandi peluh adalah merebahkan badan, saling berpelukan dan membicarakan banyak hal. Terutama tentang anak-anak.Rama yang justru lebih sering membahas bagaimana sekolah mereka, dimana sekolah mereka, bagaimana lingkungan yang baik untuk mereka.Maryam lebih banyak mendengar."Aku mau punya bayi lagi.." Seloroh Maryam. Ucapannya hampir seperti gumaman karena teredam dada polos Rama."Apa nggak sebaiknya nunggu Fatih genap 4 tahun?" Tanya Rama yang justru ingin menunda sejenak.5 bulan lagi, Fatih genap empat tahun. Ia ingin berpuas-puas menikmati masa pacarannya dengan Maryam dan juga mengobati rindu Fatih dan salma akan kasih sayang seorang papa."Aku keburu tua." Rengek Maryam.Rama tergelak. Hanya lima bulan saja, tapi Maryam bilang keburu tua."Apa bedanya sekarang sama nanti?" Lanjut Maryam mendesak."Memangnya kamu nggak apa-apa? Apa nggak sakit?" Tanya Rama."Apanya, Mas? Mas udah melakukannya berkali-kali baru tanya apa nggak sakit?" Maryam mendengus
Malam itu, semua orang kembali ke kamar dengan dada mengembang bahagia. Setelah Khalid memutuskan undur diri. Termasuk Khalid yang juga memasang senyum sepanjang perjalanan pulangnya.Tak apa menunggu dua sampai empat minggu lagi. Ia yakin jawaban Ines adalah 'iya' untuknya.Tetapi, masih ada satu hal lagi yang mengganjal bagi keduanya. Icha.Seharusnya, Icha ikut dilibatkan tadi. Seharusnya ia mengajak Icha diskusi terlebih dulu sebelum memutuskan pulang.Khalid sedikit menyesal. Sebab entah kapan lagi memiliki kesempatan seperti tadi, saat Icha dengan gamblang bertanya soal niatannya.Senyum Khalid semakin mengembang memingat hal itu.Ines mengetuk pelan kamar anaknya yang berada di rumah Pak Ali itu. Ines sempat melirik jam tangannya, masih jam 20.20. Biasanya Icha masih memainkan gawai untuk sekedar nonton youcup atau game online.Ines mengetuk lama. Lama tidak ada sahutan lalu Ines sedikit berseru."Icha.. Buka pintunya, Dek. Udah tidur, ya"Panggilan Adek yang selalu Ines sematka
"Gimana, Pi, Mi? Mbak Ines mana?" Tanya Rama tak sabar.Mahesa sudah lelap setelah ditimang gendong oleh papanya. Salma dan Fatih juga susah berhasil terlelap setelah sedikit drama pencarian sang mama yang sedang menggali informasi dari Icha.Maryam berjalan dari arah kamar Icha, menuju ruang tamu bergabung dengan suami dan mertuanya.Belum juga Pak Ali maupun Bu Andini menjawab, Rama kembali berkata,"Itu ketawa-ketawa kenapa? Padahal tadi kayaknya sengit banget kaya mau nerkam mangsa. Kok bisa?""Kamu cerewet banget kaya perempuan!" Sergah Bu Andini. "Tunggu aja di sini. Biarin mereka ngomong. Semoga itu pertanda baik. Kita berhutang banyak pada Nak Khalid.""Ha? Hutang apa? Perusahaan? Emang iya, Sayang?" Rama mencecar lagi, memvalidasi pada MaryammTadi sewaktu ada tamu gayanya berwibawa sekali, tak mau banyak omong tak mau ikut campur. Begitu tidak ada orang sifat aslinya langsung keluar. Jiwa kepo dan cerewetnya seringkali bikin Bu Andini pusing tujuh keliling.Maryam mendelik k
Hujan malam itu tak lagi deras. Menyisakan rintik lembut terbawa angin sepoi menimpa punggung Ines yang kini sempurna menghadap Khalid.Matanya memicing, mengkerut lalu membeliak karena sebuah hantaman memori masa lalu.Memori itu masih berserak, tapi ia bisa mengingatnya.Seorang laki-laki berdarah campuran arab dengan cambang dimana-mana, bola mata cokelat yang perlahan memejam itu berada di bawahnya, menopang bobot tubuhnya. Saat Ines bangkit dari atas tubuh itu, ia melihat belakang kepala laki-laki itu mengalir darah segar.Saat itu, yang dilakukan Ines adalah berteriak kencang histeris. Ia sama sekali belum pernah melihat darah sebanyak itu.Dan laki-laki itu terluka kepalanya karena kecerobohannya.Ines tengah bercanda dengan temannya waktu itu di halaman fakultas entah berebut apa, berlarian mundur tanpa tahu bahwa ada batu besar yang siap menyambutnya tanpa dosa.Ines mundur dan tersandung batu itu, tubuhnya terpelanting mundur menabrak seseorang di belakangnya dan menindih or
Tok tok tok. Maryam mengetuk pintu kamar Icha beberapa kali, tetapi tidak ada sahutan. Mustahil Icha sudah tertidur. Maryam meraih handle pintu itu, terkunci. "Mbak Icha cantik.. Ini Tante. Boleh Tante masuk? Mbak Icha belum tidur 'kan?" Bibir Maryam hampir menempel dengan pintu karena suara rendahnya. Ia tak ingin membuat keirbutan di malam itu sekaligus agar suaranya tetap terdengar oleh Icha. "Mbak Icha.. Tante pengen curhat, nih.." Bujuk Maryam lagi. Ia menggunakan panggilan 'Mbak' pada Icha agar Icha dianggap sebagai yang paling tua dan dihargai. Nyatanya, Icha bukan anak kecil lagi. Panggilan yang awalnya diciptakannya untuk melatih Salma dan Fatih itu justru amat sangat disukai oleh Icha. Tak lama terdengar bunyi anak kunci diputar. Kemudian handle pintu bergerak dan membuat pintu itu terbuka."Kalau Tante mau membujukku karena Mama, mending Tante pergi aja. Maaf. Icha lagi pengen sendiri." Icha hendak menutup pintunya kembali tapi ditahan oleh tangan Maryam. "Tunggu du
Khalid adalah mahasiswa luar negeri dari program 'Student Exchange' di kampus tempat Ines menimba ilmu. Fakultas yang sama, tetapi sayangnya mereka berbeda jurusan. Hanya sekitar satu tahun, dua semester penuh Khalid memintal ilmu di nusantara kendati ia masih memiliki darah nusantara dari ibunya. Ibunya berasal dari sini. Mereka tinggal berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain termasuk Indonesia karena bisnis keluarganya. Tetapi sejak ibunya meninggal 18 tahun lalu, keluarga mereka seolah ikut berhenti melupakan nusantara. Mereka mulai menetap di Dubai dan selama 18 tahun itu tak ada yang kembali ke Indonesia. Baru sekarang Khalid kembali karena mengingat seorang gadis yang dulu dikenalnya. Dengan alasan ingin mengembangkan bisnis, Khalid membujuk sang ayah agar mengijinkannya ke Indonesia. Lalu tepat sebulan yang lalu, ia tak sengaja bertemu dengan Ines di sebuah bank yang ternyata ia adalah manager di sana. Bagaimana Khalid masih mengingat wajah Ines padahal sudah lewa
Setelah acara reuni malam itu, Khalid bergegas terbang menuju Dubai untuk menemui kedua ayahnya. Dini hari pesawatnya mulai meninggalkan zona udara Indonesia menuju negara yang memiliki teknologi super canggih itu.Di sanalah tempat tinggalnya selama 20 tahun terakhir.Ah, lebih tepatnya, di sanalah ayahnya sekarang tinggal. Seorang diri. Hanya ditemani seorang asisten rumah tangga yang membantu beliau mencukupi kebutuhan sehari-hari. Usianya sudah menjelang 85 tahun. Istrinya sudah lama meninggal meninggalkannya sendirian di dunia ini.Anak-anaknya?Anaknya melanglang buana mengikuti rezekinya masing-masing bersama keluarga masing-masing. Tinggalah si bungsu yang tak kunjung menikah dan membuatnya resah.Hidupnya dilanda gelisah karena memikirkan si bungsu yang katanya enggan menikah.Maka malam itu, merasa waktunya telah dekat. Beliau meminta anak bungsunya agar lekas kembali ke tanah air."Hidup tak melulu soal bisnis dan uang. Ada ruang kosong di jiwa yang harus segera diisi agar
"Belum ada kabar lagi dari Pak Khalid, Teh?" Tanya Maryam yang sengaja berhenti di meja Teh Arum pagi itu."Belum, Bu. Nomor Pak Khalid tidak aktif sejak seminggu yang lalu."Sudah lewat dua minggu sejak pertemuan mereka membahas kerja sama itu. Tapi Khalid seolah raib begitu saja.Tak ada kabar. Arum pun tak bisa menghubungi siapapun entah sekretarisnya atau kantor Khalid. Sebab Khalid lah yang menghubungi mereka secara langsung menggunakan nomor pribadinya pertama kali.Sesuatu terasa janggal. Apa sebenarnya Khalid memiliki maksud lain?Tapi obrolan mereka dua minggu yang lalu biasa saja. Obrolan layaknya bisnis lainnya. Tidak ada yang mencurigakan.Kecuali satu. Sebutan unik yang dilontarkan Khalid untuk Mbak Ines.Astaga."Aneh.." Gumamnya.Pikiran Maryam terbang ke beberapa hari yang lalu saat ia berkunjung ke rumah oma dan opa anak-anaknya.Bu Andini sempat menyinggung bahwa Ines uring-uringan sejak pulang dari acara reuni kampusnya itu.Tidak jelas apa yang ia kesalkan tapi kat
Malam di kediaman keluarga Rama. Icha berada di sana, dititipkan oleh mamanya karena ia akan memenuhi undangan reuni itu.Icha memilih berada di rumah om dan tantenya karena lebih rame. Juga bisa bermain dengan Mahesa. Dari pada di rumah oma-nya. Bisa-bisa ia mati kutu. Kata Icha.Jadilah malam itu ia menginao di sana. Rama tak tinggal diam. Ejekan demi ejekan ia lontarkan pada kakaknya itu.Seumur-umur ia tak pernah melihat kakaknya keluar rumah untuk acara-acara semacam itu. Kecuali benar-benar resmi.Rama mengernyit. "Nggak biasanya ikut-ikutan acara begituan. Famgat (family gathering) kantor aja dia sering mangkir." Ejek Rama yang ia utarakan pada Maryam.Ia sedang duduk berdua di kursi ruang makan hanya bersama istrinya, sambil mengawasi anak-anak bermain di depan televisi ruang keluarga."Sewaktu ke butik itu dia juga terus uring-uringan. Katanya Mbak Ines dapet undangan khusus untuk acara itu. Jadi ngerasa nggak enak kalau nggak dateng." Sahut Maryam."Memangnya siapa ngundang?
Ines bergidik karena sapaan yang kedengarannya sangat biasa itu.Tapi karena ekspresi si laki-laki itulah Ines merasa jijik. Ganteng, sih. Tapi...Tampang si laki-laki itu sudah di usia sangat matang. Ines berani menebak kalau usianya pasti di atas empat puluhan. Mustahil kalau laki-laki itu belum menikah.Atau, dia memang tipe laki-laki genit yang suka tebar pesona dengan caranya yang sok cuek seperti tadi?Ines menegakkan duduknya lantas menggeleng menyapu pikirannya soal si laki-laki itu. Ngapain pula dia memikirkan orang asing?"Kasihan yang jadi istrinya. Suaminya genit begitu." Gumamnya lirih seraya melirik singkat punggung laki-laki yang sekarang sudah menghilang di balik elevator."Mbak Ines.. Ngelihatin apa?" Sapa Maryam dari belakang Ines.Ines terperanjat. Seperti seseorang yang ketahuan diam-diam memata-matai, Ines salah tingkah."Eh? Udah selesai?" Lontarnya."Nunggu lama, ya? Maaf, Mbak. Jadi, kan? Udah makan?" "Jadi.. jadi. Mm, Mar?""Ya?""Tamu tadi, aku dengar mau ke