“Rumah Salma di sini?” Tanya Rama ketika melihat Maryam turun dari motornya. Salma mengangguk.
Motor Maryam berbelok di sebuah halaman dengan deretan rumah-rumah petak. Ada 5 rumah petak dengan dinding menempel satu sama lain. Terasnya diberi dinding penyekat antar rumah untuk menjaga privasi.
Bentuk depan semua rumah-rumah itu sama. Semua catnya pun sama, berwarna biru muda dan kusen-kusen berwarna putih. Rama menebak rumah itu pasti seperti rumah petakan yang disewakan. Bukan semacam hunian permanen.
Ukurannya kecil tapi cukup untuk tinggal Maryam bersama kedua anaknya, halaman itu muat dua mobil, cukup besar sebagai arena bermain Salma dan Fatih.
Rama menghentikan mobilnya di luar gerbang halaman, tidak berani masuk dan membuat orang lain berpikiran macam-macam. Terlebih, ia takut Maryam tak nyaman.
“Jadi setiap hari harus lewat kebun tadi?”
Lagi-lagi Salma mengangguk.
Maryam mendekati mobilnya untuk menjemput Fatih yang masih tertidur di mobil.
Rama membukakan pintu bagian belakang dan mengambil Fatih. Fatih masih tertidur nyenyak. Dan sepertinya memang benar-benar terlelap karena kenyamanan tidur di dalam mobil.
“Mbak Mar pulang malem lagi?” Sapa seseorang dari balik mobil Rama. Suaranya melengking membuat Rama berjengit. Untungnya kepalanya tidak terbentur atap mobil.
“Iya, Bu.. Biasa, jadwal ngajar nya harus diundur karena kios tadi lagi rame banget.”
Ibu itu mengangguk-angguk tapi matanya berkeliling mengawasi mobil mewah yang ada di depannya.
“Hati-hati kalau lewat sana malem-malem begini, Mbak.. Syukur kalo dianter tadi. Usahain jangan sendirian kalo lewat sana.”
“Iya, Bu.. Akan saya ingat.” Jawab Maryam singkat.
Rama mendengarkan percakapan itu dalam diam. Ia berpura-pura berlama-lama menunduk untuk mengambil Fatih kecil yang terbaring nyenyak.
Pulang malem lagi. Berarti bukan cuma sekali dia begini.. berarti dia sendirian kalau pas pulang malem? Berani bener. Rama bergumul dalam hatinya.
“Siapa Mbak Mar? Pacar ya? Syukur deh kalo udah punya pacar, ada yang nemeni pulang kerja lewat kebun bambu itu..”
“Bukan, Bu…” Kata Maryam sambil mendekati pintu tempat Fatih terbaring. “Ini wali murid Salma. Kebetulan ketemu tadi.”
Ibu itu kembali manggut-manggut dan memajukan bibirnya. Sepertinya keingintahuannya belum usai tapi Maryam berusaha mengusirnya.
Setelah memastikan Ibu tadi benar-benar sudah pergi, barulah Rama keluar dari mobilnya.
“Terima kasih banyak Mr. Rama.. Maaf merepotkan.” Ucap Maryam sambil menunggu Salma turun dan mengambil Fatih dari gendongan Rama.
“Sama sekali tidak merepotkan. Oh, ya ini di luar sekolah, jadi cukup panggil saya Rama.. Saya permisi. Bye.. Salma. Sampai jumpa besok di sekolah.” Rama berjongkok mensejajarkan tinggi dengan Salma.
“Bye Om..”
Rama terkekeh, Salma masih mengingatnya agar memanggilnya Om di luar sekolah. Ia mengulurkan tangannya mengusap kepala Salma sekali lagi.
“Good girl..”
“Di tengah kota begini ternyata masih ada yang mempertahankan kebun bambu seperti ini.. Apa nggak sadar kalau sangat menakuti warga sekitar. Mana nggak ada penerangan sama sekali… ” Gerutu Rama ketika melewati kebun bambu itu lagi.
“Pacar? Apa maksudnya pacar? Bukannya orang-orang juga tahu Maryam sudah bersuami.. kecuali.. Kecuali…” Rama melebarkan matanya karena pikirannya sendiri.
***
“Ngapain kamu balik ke sini lagi?” Tukas Ines pada adik bungsunya.
“Aku mau tidur di sini. Berangkat dari sini ternyata lebih deket. Atau aku beli salah satu rumah di sini aja?” Rama melewati Ines di ambang pintu dan menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tamu.
Lalu meletakkan kunci mobilnya pelan-pelan di atas meja.
Karena ibu-ibu tadi, Rama merasa harus segera memvalidasi apa yang ia dengar dari ibu-ibu tetangganya Maryam soal pacar. Kenapa wanita yang bersuami ditanyai pacar? Pertanyaan itu sangat mengganggunya.
Rama tidak seharusnya ikut campur akan kehidupan pribadi seseorang, tapi entah kenapa ia merasa tak nyaman dengan pembahasan soal pacar yang diajukan pada Maryam.
Dia bukan siapa-siapanya, apalagi suami. Dia tidak berhak tidak suka. Tapi…
Disinilah ia sekarang. Ia melirik Ines sekilas untuk melihat reaksi apa yang akan diberikan kakaknya yang rautnya sekarang mirip dukun cenayang itu.
“Katakan! Sebenarnya apa yang kamu inginkan?” Ines masih berdiri di ambang pintu bersedekap.
Seolah-olah, ia tak membiarkan tamu tak tau diri ini berlama-lama di rumahnya. Tatapannya juga benar-benar mampu menikam Rama.
“Udah lama Icha belajar sama mamanya Salma?” Tanya Rama tanpa memandang Ines. Ia tahu ia tak mampu menyembunyikan apapun dari kakak dan ibunya.
“Hmm,”
“Kenal darimana?”
“Temanku tetangganya Mar di tempat tinggalnya dulu.”
Rama mengangguk-angguk. Lalu terdiam sejenak terlihat menimbang-nimbang. “Berarti Mbak tau apa yang terjadi sama mamanya Salma?” Untuk pertanyaan satu itu, Rama sungguh-sungguh memberanikan diri.
Ines memutar bola matanya malas. Tanpa dikatakan pun sebenarnya ia tahu apa yang sebenarnya adiknya ini inginkan. Tingkat keingintahuannya terhadap janda beranak dua yang baru saja diantarnya sepertinya meningkat tajam.
Rama sangat gelisah. Matanya semakin berkilat dan selalu mengalihkan pandangan saat beradu pandang dengan Ines. Gesture tubuhnya jelas tak bisa membohonginya.
“Kamu mau tau soal apa? Penting buat kamu?” Ines menyandarkan bahunya di daun pintu menunggu dengan sangat tidak sabar pada adiknya yang sekarang sangat menyebalkan.
Rama menegakkan tubuhnya lagi. Menghela nafas, berdehem, memutar bola mata, menyugar rambut. Semua gerakan yang digunakan untuk pengendalian diri sudah ia lakukan.
Lalu…
“Orang tua Salma bercerai?”
“Sejak kapan kamu mengurusi urusan orang lain?” Sambar Ines cepat. Hampir bersamaan dengan kata terakhir yang terucap dari mulut Rama.
“Tinggal jawab aja!”
“Rewel kaya cewek.” Dengus Ines.
“Iya apa nggak?” Desak Rama.
“Memangnya kenapa? Kenapa kamu harus tau?” Nada Ines sengit. Ia tidak habis pikir harus meladeni kerewelan seorang pria berumur 32 tahun.
“Karena aku jadi bisa melakukan sesuatu untuk Salma.” Sahut Rama dengan nada berat. Ia sedang sangat serius kali itu.
“Sesuatu seperti apa? Seperti mendekati mamanya dan menjadikan Salma anakmu? Jangan konyol, Ram!” Rahang Ines mengetat. Baru kali ini ia benar-benar kesal pada adik bungsunya.
“Mbak udah berpikir sejauh itu? Aku aja nggak kepikirkan sampai sejauh itu. Aku hanya ingin mengajak Salma jalan-jalan, menghiburnya dan memuaskan rasa penasarannya dengan apa yang diceritakan oleh teman-temannya. Itu aja.. Kenapa Mbak berpikir sejauh itu?”
“Lalu? Setelah kamu sudah melakukan semua itu pada Salma, lantas apa yang akan Salma dan Maryam pikirkan tentangmu? Kamu nggak mikir kalau Salma akhirnya akan bergantung padamu? Kamu nggak mikir seandainya suatu saat kamu menikah dan mematahkan hati Salma lagi? Jangan bodoh, Ram. Hentikan sekarang juga atau Mbak yang akan membuat kalian tidak akan pernah bertemu lagi.” Cecar Ines tanpa jeda.
“Tidak cukupkah hanya menjadi gurunya aja? Salma dan Maryam sudah banyak tersakiti. Mbak nggak akan mengijinkanmu mendekatinya.” Lanjutnya lagi.
“Jahat banget!” Seloroh Rama hingga membuat Ines berkilat marah padanya. “Aku nggak berpikir sejauh itu.”
“Kamu memang nggak pernah memikirkan sesuatu dengan matang. Selalu impulsif. Makanya sampai sekarang nggak nikah-nikah.” Tukas Ines menggebu-gebu.
Malam itu sudah terlalu larut baginya, dan ia harus meladeni adiknya yang rewel karena seorang janda beranak dua.
Di sisi lain, Ines merasa sangat jahat terhadap Rama, tapi di sisi lain pula ia takut adiknya justru akan menorehkan luka pada keluarga kecil Maryam suatu saat nanti.
“Jadi bener Mama dan Papa Salma sudah bercerai.. Kalau seandainya aku beneran suka sama mamanya Salma gimana?”
Ines diam tak menjawab. Matanya berkilat tajam ke arah Rama. Hanya sekilas lalu kembali mengalihkan pada pintu dan menerawang seolah mampu menembusnya.
Rama semakin salah tingkah karena mendapati kakaknya hanya diam mengabaikannya.
“Mbak.. Gimana?”
“Apanya yang gimana? Masih belum ngerti juga kamu? Pulang sana!” Usir Ines. Kepalanya berdenyut sekarang.
32 tahun ia hidup bersandingan dengan Rama, baru kali ia merasakan laki-laki itu sangat rewel dan kekanakan.
“Aku serius, Mbak!”
Ines menghela nafas sangat dalam dan menghembuskannya cepat. “Mbak juga serius, Ram! Pulang sekarang atau mbak telpon ibu. Ya ampun… Umurku udah mau 40 tapi aku masih ngurusi bujang lapuk seperti dia ini, bodoh pula?! Dosa apa yang telah aku lakukan di masa lalu, Tuhan?”
“Lebay.. Aku pulang!” Rama keluar melewati Ines. Tiba-tiba ia berhenti dan berbalik, “Ah.. Bisa jadi aku nggak nikah-nikah karena nunggu jandanya Maryam.”
“Ram!!!” Ines menggeram ketat.
Sementara Rama berlari terbirit memasuki mobilnya segera sebelum kursi rotan yang ada di cengkeraman tangan kakaknya itu melayang ke arahnya.
Rama memelankan laju mobilnya, malam itu sudah hampir pukul 22.00 tapi ia enggan pulang. Rasa penasaran terhadap Maryam dan anak-anaknya sungguh mengganggu pikirannya.
Kalau dia pulang, sudah pasti ibunya akan mencegat dan menebak apa isi pikirannya. Lalu hal yang sama pasti akan terlontar seperti halnya yang diucapkan kakaknya, Ines.
Dia sudah 32 tahun, dan sampai saat itu ia belum bisa bersikap tegas jika berkaitan dengan perempuan. Rama laki-laki lemah jika dihadapkan pada perempuan. Ia akan bertindak impulsif seperti menuruti semua keinginan perempuan agar mereka bahagia.
Dia loyal dengan wanita yang disukainya tanpa tahu bahwa ia dimanfaatkan atau tidak. Semua akan Rama lakukan untuk wanita yang disukainya. Ia akan spontan mengucapkan rencana-rencana yang akan dilakukannya bersama orang yang ia suka.
Padahal, hal itu hanya sebatas ide yang melintas di kepala. Belum terencana dengan matang dan dipikirkan baik-baik. Itulah kenapa Ibu dan Ines tidak bisa percaya pada setiap rencana-rencana Rama.
Karena tidak pernah ada satupun yang terlaksana dan benar-benar ia seriusi. Itu juga yang sebenarnya membuat Ines khawatir terhadap Maryam dan Salma kalau Rama mendekati mereka.
Ines takut Rama akan berkata yang membuat harapan Maryam dan Salma melambung tinggi, lalu tanpa sadar Rama juga lah yang menjatuhkan mereka.
Tidak… Ines tidak akan sanggup melihat itu semua. Ia akan memilih kebahagiaan Maryam dan anaknya daripada keegoisan sang adik.
Rama berputar-putar di jalan yang sama sudah lebih dari dua putaran. Ia sudah mendapat jawaban tentang status Maryam. Lalu.. Kalau sudah mendapat jawaban akan status Maryam lalu kenapa? Apakah ia yakin ia menyukai Maryam? Kalau dengan Salma tidak perlu diragukan.
Ia sendiri tidak yakin dengan apa yang akan dilakukannya untuk Salma meski ia sudah lantang mengucapkan itu pada Ines. Dan kalimat Ines sejujurnya juga mengganggu Rama.
Benar. Bagaimana jika nanti yang dia lakukan justru akan menyakiti Salma dan keluarganya? Terutama Maryam.
Sekian bulan dia menyandang status janda, nyatanya tak berpengaruh apapun pada Maryam.Kehidupannya dengan atau tanpa suami nyatanya sama saja. Dulu, dia memiliki suami tapi seperti tak bersuami.Enggar namanya. Jarang sekali pulang ke rumah dengan alasan sedang menangani proyek di luar kota. Dinas yang awalnya hanya butuh 2 sampai 3 minggu di luar kota, menjadi bertahun-tahun saat Fatih; anak kedua mereka akan segera lahir.Alhasil, Fatih si anak bungsu tak pernah tau bagaimana rupa papanya. Padahal sosoknya ada. Hanya berbeda tempat entah di mana.Maryam sedang menikmati kebebasannya menjadi 'janda'. Dan dalam waktu bersamaan sedang berjuang keras menghidupi anak-anaknya.Ponselnya berdering. Seperti biasa, suaranya menyentak mengagetkan. Segera ia menyambar ponsel itu. Lagi-lagi nomor tanpa nama.Seperti yang lalu-lalu, Maryam selalu mengabaikan panggilan tanpa nama itu. Lalu nomor itu terus mengirim pesan padanya.Maryam meringis. Terakhir kalinya Enggar menghubunginya, ada suara p
"Mr. Rama anterin, lho Ma. Itu di belakang." Salma melambaikan tangan ke arah mobil di belakangnya."Mr. Rama baik banget, Ma. Tadi Mr. Rama bilang harus tanya Mama dulu kalau mau jadi Papa Salma. Boleh, ya, Ma? Boleh, ya?" Rengek Salma setengah berteriak di keheningan kebun bambu itu."Salma jangan teriak-teriak. Kita ngomong di rumah nanti, ya." Kata Maryam.Salma menoleh lagi ke belakang saat sorot lampu di belakang semakin jauh. Mereka sudah berhasil melewati kebun bambu itu. Dan Rama merasa cukup mengikuti Maryam dan anak-anaknya sampai melewati kebun bambu saja.Cemoohan orang terkadang lebih menyakitkan dari segala kesulitan yang telah dilalui seseorang.Rama memundurkan laju kendaraannya dan memutar balik ketika menemui tanah yang lapang.Ia cukup puas bahwa Salma mengenali mobilnya. Rasanya berbeda. Hanya sebuah lambaian anak kecil yang tak lain muridnya sendiri, tapi Rama merasa seluruh hidupnya ada pada Salma saat itu.Motor Maryam sudah berbelok ke halaman rumahnya. Cukup
Rama memang benar ada urusan pagi itu. Tapi siang menuju sore ia pasti bertandang ke rumah kakaknya. Lagipula sore nanti adalah jadwal privatnya Icha. Yang mana ia bisa bertemu dengan dua malaikat kecil kesayangannya.Terlalu berlebihan sepertinya. Tapi memang begitulah perasaan Rama terhadap Salma dan Fatih."Kalau sudah selesai semuanya, hubungi saya. Kerjakan cepat." Kata Rama. Ia memberikan satu bendel kertas yang dimasukkan dalam map.Entah berisi apa."Baik, Pak." Jawab orang itu. Lalu pamit permisi meninggalkan ruangan Rama. Seorang Bapak tua berpapasan dengannya di depan pintu.Bapak tua itu acuh tak acuh. Siapa lagi yang sedang Rama selidiki kali ini?Orang suruhan Rama itu mengangguk sekilas lalu berlalu pergi."Ram! Bapak mau bicara." Kata Pak Lukman; Bapak Rama."Iya, Pak. Ada apa? Serius, ya? Kalau soal harus urusin perusahaan, Rama nggak bisa, Pak. Rama udah sering bilang. Mending kasih ke Mbak Ines aja." Rama masih bergeming di tempatnya.Yayasan kecil yang berkecimpung
Maryam dinikahi Enggar ketika ia masih duduk di bangku kuliah. Kira-kira semester 4. Berarti umurnya masih 20an saat itu. Ia jatuh cinta pada pandangan pertama pada Enggar yang saat itu tengah menjabat sebagai ketua BEM di kampus mereka.Maryam tak pernah menyangka bahwa cinta sepihak yang dipendamnya ternyata bersambut. Enggar tiba-tiba menghubunginya dan mengajaknya menikah. Tentu saja Maryam sangat bahagia. Saking bahagianya ia tak berpikir panjang bahwa ia harus menyelesaikan dulu tanggung jawab studinya.Saking bahagianya, ia tak mengindahkan nasihat sang ayah bahwa kuliah itu adalah jalan Maryam menggapai cita-cita yang diimpikannya sejak lama. Saking bahagianya, ia tak mencari tahu bagaimana sosok Enggar sebenarnya.Jujur saja, ia mengenal Enggar hanya dari apa yang dilihatnya di depan podium ketika Enggar berbicara dengan mahasiswa atau ketika sedang mengutarakan aspirasi mahasiswa. Ia dibuat kagum karena kepandaian berkata-kata itu.Maryam berhasil meyakinkan sang ayah bahwa
"Mas cuma kasih 500 ribu buat satu bulan. Untuk makan aja nggak cukup, Mas. Mas tiap hari protes pengen makan enak-enak tapi uang yang Mas kasih cuma segitu. Boro-boro jajan. Mau beli telur aja aku mikir-mikir. Makanya jangan protes kalau tiap hari cuma ada tahu sama tempe!" Maryam berteriak di akhir kalimatnya.Maryam tak tahan untuk tidak terpancing. Pagi itu mood-nya sedang tidak baik. Harapannya lagi-lagi pupus soal hamil dan ia akan menjalani dua bulan yang sangat menyesakkan. Sendirian tanpa kegiatan apapun dan tak diijinkan keluar oleh suami.Maryam sedang kesal dengan keadaan."Beraninya kamu!!"PRANGGGMaryam tersentak tapi tak mampu bergerak. Pecahan piring itu mengarah padanya. Beberapa pecahan halus kaca memercik di kakinya. Berdarah. Ia berdarah di beberapa tempat. Tapi Maryam tak mampu bergerak.Piring yang dipecahkan bukan hanya satu. Enggar menyapu seluruh isi meja itu dengan satu tarikan tangan. Semua piring itu pecah berikut dengan isinya yang telah susah payah Marya
Tahun-tahun berikutnya tak ada yang spesial di hidup Maryam kecuali malaikat kecil yang kini menjadikan hari-harinya lebih seperti manusia pada umumnya.Enggar sudah mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan konstruksi. Kariernya dengan cepat melejit beberapa tahun kemudian. Tapi, Maryam masih mendapat perlakuan yang sama. Uang belanja yang sama dengan beberapa tahun yang lalu. Padahal sekarang ada Salma.Lalu, tahun berikutnya ketika ia positif hamil Fatih. Enggar ditugaskan keluar kota menangani proyek baru. Enggar tak mengatakan detail tempatnya. Ia hanya mengatakan keluar kota untuk beberapa minggu. Entah dimana kota yang dimaksud Maryam tak pernah tau.Beberapa minggu itu kemudian dengan cepat berubah menjadi ulangan bulan. Enggar hilang kabar. Ponselnya entah kenapa sulit sekali dihubungi. Sampai Maryam mencoba menghubungi melalui e-mail. Namun tetap nihil.Selama itu pula Maryam tak mendapatkan uang bulanan. Ia kelimpungan kesana kemari mencari pinjaman, sampai pada akhirnya ia j
Rama menyenggol bahu kakaknya. "Ada apa? Kayaknya serius banget.""Bukan urusanmu. Ngapain, sih, kesini lagi?" Sahut Ines ketus."Jangan ketus-ketus banget sama adikmu. Nanti kalau aku udah nikah Mbak pasti kesepian karena nggak ada yang ngajak main Icha.""Ck.." Ines memandang sinis Rama lalu pergi meninggalkan Rama. Maryam sudah terlalu lama bicara di luar. Ia takut Maryam kenapa-kenapa atau tengah bimbang.Ines menyusul keluar.Seperti dugaannya, Maryam sudah selesai bicara. Wanita itu sedang termangu menatapi ponsel. Maryam memang tengah bimbang. Ia mengambil keputusan untuk tidak bertemu laki-laki yang telah banyak menggoreskan luka di hatinya itu. Juga luka pada anak-anaknya.Maryam bertanya soal keputusannya apa sudah benar pada Ines. Ines menggeleng lalu memeluk Maryam. "Kamu perlu waras untuk tetap hidup dan mencari kebahagiaan bersama anak-anak kamu. Dan dia hanya akan merusak kebahagiaanmu. Biarin aja dia cari cara pulangnya sendiri." Kata Ines. Ia melepas pelukannya. "Mati
"Ceritanya panjang. Alasan saya tidak bisa pulang setelah pergi dinas itu karena saya di guna-guna oleh salah satu warga di tempat dimana saya dinas. Saya di guna-guna dan dinikahkan paksa dengan gadis disana. Maafkan saya, Yah. Saya mau lepas darinya, saya masih ingin sama-sama sama Mar."Ujar Enggar tanpa mempedulikan perubahan raut kedua lawan bicaranya.Pak Ahsin dan istrinya terlihat sangat enggan mendengar cerita dari mulut Enggar. Mereka tak peduli. Enggar mau dipaksa menikah atau sukarela menikah dengan gadis lain, tanpa itu semua mereka sudah kecewa dengan laki-laki itu karena telah menyusahkan anaknya."Saya selalu diancam agar tidak keluar dari desa itu. Mereka selalu bilang mau celakain Maryam kalau saya nggak menuruti kemauan mereka. Mereka punya ilmu hitam yang kuat, Yah." Terang Enggar."Kalau begitu apa yang kamu lakukan disini sekarang? Kamu harus menuruti mereka agar anak saya tidak celaka. Lagipula, anak saya pasti lebih kesusahan kalau kamu disisinya." Tukas Bu Ahsi
Malam itu, semua orang kembali ke kamar dengan dada mengembang bahagia. Setelah Khalid memutuskan undur diri. Termasuk Khalid yang juga memasang senyum sepanjang perjalanan pulangnya.Tak apa menunggu dua sampai empat minggu lagi. Ia yakin jawaban Ines adalah 'iya' untuknya.Tetapi, masih ada satu hal lagi yang mengganjal bagi keduanya. Icha.Seharusnya, Icha ikut dilibatkan tadi. Seharusnya ia mengajak Icha diskusi terlebih dulu sebelum memutuskan pulang.Khalid sedikit menyesal. Sebab entah kapan lagi memiliki kesempatan seperti tadi, saat Icha dengan gamblang bertanya soal niatannya.Senyum Khalid semakin mengembang memingat hal itu.Ines mengetuk pelan kamar anaknya yang berada di rumah Pak Ali itu. Ines sempat melirik jam tangannya, masih jam 20.20. Biasanya Icha masih memainkan gawai untuk sekedar nonton youcup atau game online.Ines mengetuk lama. Lama tidak ada sahutan lalu Ines sedikit berseru."Icha.. Buka pintunya, Dek. Udah tidur, ya"Panggilan Adek yang selalu Ines sematka
"Gimana, Pi, Mi? Mbak Ines mana?" Tanya Rama tak sabar.Mahesa sudah lelap setelah ditimang gendong oleh papanya. Salma dan Fatih juga susah berhasil terlelap setelah sedikit drama pencarian sang mama yang sedang menggali informasi dari Icha.Maryam berjalan dari arah kamar Icha, menuju ruang tamu bergabung dengan suami dan mertuanya.Belum juga Pak Ali maupun Bu Andini menjawab, Rama kembali berkata,"Itu ketawa-ketawa kenapa? Padahal tadi kayaknya sengit banget kaya mau nerkam mangsa. Kok bisa?""Kamu cerewet banget kaya perempuan!" Sergah Bu Andini. "Tunggu aja di sini. Biarin mereka ngomong. Semoga itu pertanda baik. Kita berhutang banyak pada Nak Khalid.""Ha? Hutang apa? Perusahaan? Emang iya, Sayang?" Rama mencecar lagi, memvalidasi pada MaryammTadi sewaktu ada tamu gayanya berwibawa sekali, tak mau banyak omong tak mau ikut campur. Begitu tidak ada orang sifat aslinya langsung keluar. Jiwa kepo dan cerewetnya seringkali bikin Bu Andini pusing tujuh keliling.Maryam mendelik k
Hujan malam itu tak lagi deras. Menyisakan rintik lembut terbawa angin sepoi menimpa punggung Ines yang kini sempurna menghadap Khalid.Matanya memicing, mengkerut lalu membeliak karena sebuah hantaman memori masa lalu.Memori itu masih berserak, tapi ia bisa mengingatnya.Seorang laki-laki berdarah campuran arab dengan cambang dimana-mana, bola mata cokelat yang perlahan memejam itu berada di bawahnya, menopang bobot tubuhnya. Saat Ines bangkit dari atas tubuh itu, ia melihat belakang kepala laki-laki itu mengalir darah segar.Saat itu, yang dilakukan Ines adalah berteriak kencang histeris. Ia sama sekali belum pernah melihat darah sebanyak itu.Dan laki-laki itu terluka kepalanya karena kecerobohannya.Ines tengah bercanda dengan temannya waktu itu di halaman fakultas entah berebut apa, berlarian mundur tanpa tahu bahwa ada batu besar yang siap menyambutnya tanpa dosa.Ines mundur dan tersandung batu itu, tubuhnya terpelanting mundur menabrak seseorang di belakangnya dan menindih or
Tok tok tok. Maryam mengetuk pintu kamar Icha beberapa kali, tetapi tidak ada sahutan. Mustahil Icha sudah tertidur. Maryam meraih handle pintu itu, terkunci. "Mbak Icha cantik.. Ini Tante. Boleh Tante masuk? Mbak Icha belum tidur 'kan?" Bibir Maryam hampir menempel dengan pintu karena suara rendahnya. Ia tak ingin membuat keirbutan di malam itu sekaligus agar suaranya tetap terdengar oleh Icha. "Mbak Icha.. Tante pengen curhat, nih.." Bujuk Maryam lagi. Ia menggunakan panggilan 'Mbak' pada Icha agar Icha dianggap sebagai yang paling tua dan dihargai. Nyatanya, Icha bukan anak kecil lagi. Panggilan yang awalnya diciptakannya untuk melatih Salma dan Fatih itu justru amat sangat disukai oleh Icha. Tak lama terdengar bunyi anak kunci diputar. Kemudian handle pintu bergerak dan membuat pintu itu terbuka."Kalau Tante mau membujukku karena Mama, mending Tante pergi aja. Maaf. Icha lagi pengen sendiri." Icha hendak menutup pintunya kembali tapi ditahan oleh tangan Maryam. "Tunggu du
Khalid adalah mahasiswa luar negeri dari program 'Student Exchange' di kampus tempat Ines menimba ilmu. Fakultas yang sama, tetapi sayangnya mereka berbeda jurusan. Hanya sekitar satu tahun, dua semester penuh Khalid memintal ilmu di nusantara kendati ia masih memiliki darah nusantara dari ibunya. Ibunya berasal dari sini. Mereka tinggal berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain termasuk Indonesia karena bisnis keluarganya. Tetapi sejak ibunya meninggal 18 tahun lalu, keluarga mereka seolah ikut berhenti melupakan nusantara. Mereka mulai menetap di Dubai dan selama 18 tahun itu tak ada yang kembali ke Indonesia. Baru sekarang Khalid kembali karena mengingat seorang gadis yang dulu dikenalnya. Dengan alasan ingin mengembangkan bisnis, Khalid membujuk sang ayah agar mengijinkannya ke Indonesia. Lalu tepat sebulan yang lalu, ia tak sengaja bertemu dengan Ines di sebuah bank yang ternyata ia adalah manager di sana. Bagaimana Khalid masih mengingat wajah Ines padahal sudah lewa
Setelah acara reuni malam itu, Khalid bergegas terbang menuju Dubai untuk menemui kedua ayahnya. Dini hari pesawatnya mulai meninggalkan zona udara Indonesia menuju negara yang memiliki teknologi super canggih itu.Di sanalah tempat tinggalnya selama 20 tahun terakhir.Ah, lebih tepatnya, di sanalah ayahnya sekarang tinggal. Seorang diri. Hanya ditemani seorang asisten rumah tangga yang membantu beliau mencukupi kebutuhan sehari-hari. Usianya sudah menjelang 85 tahun. Istrinya sudah lama meninggal meninggalkannya sendirian di dunia ini.Anak-anaknya?Anaknya melanglang buana mengikuti rezekinya masing-masing bersama keluarga masing-masing. Tinggalah si bungsu yang tak kunjung menikah dan membuatnya resah.Hidupnya dilanda gelisah karena memikirkan si bungsu yang katanya enggan menikah.Maka malam itu, merasa waktunya telah dekat. Beliau meminta anak bungsunya agar lekas kembali ke tanah air."Hidup tak melulu soal bisnis dan uang. Ada ruang kosong di jiwa yang harus segera diisi agar
"Belum ada kabar lagi dari Pak Khalid, Teh?" Tanya Maryam yang sengaja berhenti di meja Teh Arum pagi itu."Belum, Bu. Nomor Pak Khalid tidak aktif sejak seminggu yang lalu."Sudah lewat dua minggu sejak pertemuan mereka membahas kerja sama itu. Tapi Khalid seolah raib begitu saja.Tak ada kabar. Arum pun tak bisa menghubungi siapapun entah sekretarisnya atau kantor Khalid. Sebab Khalid lah yang menghubungi mereka secara langsung menggunakan nomor pribadinya pertama kali.Sesuatu terasa janggal. Apa sebenarnya Khalid memiliki maksud lain?Tapi obrolan mereka dua minggu yang lalu biasa saja. Obrolan layaknya bisnis lainnya. Tidak ada yang mencurigakan.Kecuali satu. Sebutan unik yang dilontarkan Khalid untuk Mbak Ines.Astaga."Aneh.." Gumamnya.Pikiran Maryam terbang ke beberapa hari yang lalu saat ia berkunjung ke rumah oma dan opa anak-anaknya.Bu Andini sempat menyinggung bahwa Ines uring-uringan sejak pulang dari acara reuni kampusnya itu.Tidak jelas apa yang ia kesalkan tapi kat
Malam di kediaman keluarga Rama. Icha berada di sana, dititipkan oleh mamanya karena ia akan memenuhi undangan reuni itu.Icha memilih berada di rumah om dan tantenya karena lebih rame. Juga bisa bermain dengan Mahesa. Dari pada di rumah oma-nya. Bisa-bisa ia mati kutu. Kata Icha.Jadilah malam itu ia menginao di sana. Rama tak tinggal diam. Ejekan demi ejekan ia lontarkan pada kakaknya itu.Seumur-umur ia tak pernah melihat kakaknya keluar rumah untuk acara-acara semacam itu. Kecuali benar-benar resmi.Rama mengernyit. "Nggak biasanya ikut-ikutan acara begituan. Famgat (family gathering) kantor aja dia sering mangkir." Ejek Rama yang ia utarakan pada Maryam.Ia sedang duduk berdua di kursi ruang makan hanya bersama istrinya, sambil mengawasi anak-anak bermain di depan televisi ruang keluarga."Sewaktu ke butik itu dia juga terus uring-uringan. Katanya Mbak Ines dapet undangan khusus untuk acara itu. Jadi ngerasa nggak enak kalau nggak dateng." Sahut Maryam."Memangnya siapa ngundang?
Ines bergidik karena sapaan yang kedengarannya sangat biasa itu.Tapi karena ekspresi si laki-laki itulah Ines merasa jijik. Ganteng, sih. Tapi...Tampang si laki-laki itu sudah di usia sangat matang. Ines berani menebak kalau usianya pasti di atas empat puluhan. Mustahil kalau laki-laki itu belum menikah.Atau, dia memang tipe laki-laki genit yang suka tebar pesona dengan caranya yang sok cuek seperti tadi?Ines menegakkan duduknya lantas menggeleng menyapu pikirannya soal si laki-laki itu. Ngapain pula dia memikirkan orang asing?"Kasihan yang jadi istrinya. Suaminya genit begitu." Gumamnya lirih seraya melirik singkat punggung laki-laki yang sekarang sudah menghilang di balik elevator."Mbak Ines.. Ngelihatin apa?" Sapa Maryam dari belakang Ines.Ines terperanjat. Seperti seseorang yang ketahuan diam-diam memata-matai, Ines salah tingkah."Eh? Udah selesai?" Lontarnya."Nunggu lama, ya? Maaf, Mbak. Jadi, kan? Udah makan?" "Jadi.. jadi. Mm, Mar?""Ya?""Tamu tadi, aku dengar mau ke