Bentak Alina yang mendapatkan pelukan erat dari Dirgantara penuh gemas. "Loh, kok pergi? Mau kemana?" tanya Alina yang melihat suaminya itu tiba-tiba melepaskan pelukan dan beranjak dari tempat tidurnya. "Katanya nggak boleh bobok bareng kalau malam. Jadi, aku istirahat di depan saja" jawab Dirga yang masih berdiri membawa beberapa bantal dan guling di tangannya. Alina tidak menjawab, dia hanya mencebik dan kembali membelakangi Dirga.
Melihat istrinya yang tidak peduli, Dirga pun segera pergi meninggalkan kamar menuju ruang tamu. Dengan rasa malas, pemuda itu melempar bantal serta guling ke atas sofa dan menidurkan dirinya di sana. "Biasanya tidak selemah ini. Tapi entah kenapa, setelah punya istri, bukannya menikmati, malah bertambah capek aja ini," gerutu Dirga yang saat ini sudah memeluk gulingnya. "Kata siapa menikah itu damai, ribet iya" imbuhnya lagi yang tidak sengaja didengar oleh Alina. "Jadi, menikahiku, membuat kamu susah, lelah, dan __" "Ssstttt ..... sejak kapan kamu menguping di situ? Kenapa tidak tidur di kamarmu?" tanya Dirga yang langsung memotong celotehan istrinya. "Nyamuknya banyak, Mas. Aku nggak bisa tidur nyenyak" rengekan Alina membuat Dirgantara yang terkenal dingin dan tegas itu melemah. "Ya ampun, Alina. Di sana sudah ada kelambu. Kamu tinggal menurunkannya" jelas Dirga yang kini duduk menatap Alina penuh lelah. "Oh, jadi itu tadi kelambu?" "Bukan, tapi sarung buat selimut" jawab Dirga yang kemudian kembali berbaring dan membelakangi sang istri yang masih berdiri di samping sofa. Setelah menghentakkan kedua kakinya, Alina pun langsung bergegas kembali ke kamarnya. Di sepanjang langkahnya, dia terus menggerutu dan merutuki sang Letnan yang terlihat tidak peduli padanya. "Dia itu mesum! Tidak ada kelebihan lain selain mencium paksa orang!" Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Alina masih terlelap di dalam kamarnya, sementara sang suami sudah menyiapkan dua piring nasi goreng dan segelas susu. "Tau begini, aku tidak akan mau di jodohin. Bukannya ringan, malah pekerjaanku bertambah," ucapnya sambil menata sarapan di atas meja makan. "Assalamu'alaikum!" Terdengar suara salam dari pintu utama, yang membuat Dirgantara segera ke depan untuk melihatnya. "Ibu" sapa Dirga yang melihat sang ibu sudah berdiri di depan pintu. "Masuk, Bu. Kenapa ibu tidak ngomong dulu, kalau mau ke sini. Jadi Dirga bisa jemput ibu di stasiun. Lagian, kenapa Ibu pagi-pagi sekali sudah sampai sini. Padahal baru kemarin pagi kita berangkat. Masa sudah kangen," tanya Dirga sambil mengikuti langkah ibunya masuk ke dalam asrama miliknya. "Kamu ini tanya apa mengintrogasi, Ga. Lawong ibunya datang kok tidak disambut bahagia, ini malah di omelin omelin. Loh, mana Alina? Kok ibu nggak lihat dia?" jawab sang ibu sambil celingak-celinguk mencari sosok menantunya itu. "Tuh, masih di kamar ngorok. Menantu pilihan ibu yang paling ibu banggakan" celetuk Dirga yang langsung ditanggapi senyuman oleh sang ibu. "Ya Wes, ndak papa, Ga. Namanya juga pengantin baru, jadi capek. Apalagi setelah semalaman berjaga melayani sang Letnan yang ganteng ini," ucap ibu meledek putranya yang nampak lesu di kursi ruang tengah. "Melayani apanya, menyusahkan iya," lirih Dirga mengusap malas wajahnya. "Semoga, kalian berdua segera memberi ibu dan ayahmu cucu. Biar rumah kita rame lagi. Sudah lama ibu rindu dengan anak-anak." ucap wanita paruh baya itu lagi yang membuat Dirga bertambah lelah. Wanita paruh baya itu pun akhirnya berjalan menuju dapur, dia ingin melihat apa saja yang telah dilakukan oleh pasangan pengantin baru itu. Sang Ibu pun tersenyum, saat melihat ada dua piring nasi goreng yang sudah tersaji di atas meja makan. "Kamu yang membuat ini Dirga?" tanya sang Ibu menoleh ke arah putranya. Pemuda itu pun mengangguk, tanpa berkata-kata Sang ibu pun kembali berjalan menghampiri putranya lagi. "Tenang saja, Dirga. Kedatangan Ibu ke sini untuk membuat istrimu itu bisa menjadi Abdi keluarga yang kamu harapkan." Ucapan dari sang Ibu membuat Dirga terkekeh tiada henti, menurutnya tidak mungkin sang istri bisa menjadi apa yang barusan ibunya katakan. "Dirga tidak berharap terlalu tinggi Ibu. Yang Dirga inginkan hanya satu, dia tidak membuat ulah di rumah ini," ucapnya lagi yang membuat sang ibu menggelengkan kepala. "Kamu terlalu menyepelekan Alina, Dirga. Bagaimanapun juga, Alina itu berpendidikan, dia cantik, anak Lurah, pengalamannya pun luas. Jadi ... sepadan lah kalau menikah denganmu. Hanya saja, dia punya sedikit kekurangan, yaitu tidak bisa memasak, ingat, hanya sedikit," ucapan sang Ibu membuat Dirga membulat kaget. "Tidak bisa memasak menurut Ibu hal kecil? Bukan hanya itu, Bu. Dirga harus membimbing dia, Dirga harus mengarahkan dia setiap waktu. Baru satu hari menjadi suaminya saja, sudah seperti sepuluh tahun rasanya, Bu." Wanita paruh baya itu kembali tersenyum dan memeluk hangat tubuh putranya. "Kamu belum terbiasa, Dirga. Selama ini yang ada di pikiranmu hanya bertugas, melaksanakan perintah dan disiplin. Sekarang kamu sudah menikah, Nak. Kamu juga harus bisa merubah pola pikir kamu yang seperti itu. Kamu juga harus memikirkan Alina. Berpikirlah ke dalam keluarga juga. Jadi Alina tidak akan merasa kesepian, dengan begitu, dia akan merasa diperhatikan, Dirga. Dengan sendirinya dia pasti akan menjadi sosok yang membuatmu selalu merindukannya." "Ibu jangan berpantun lagi, Dirga yang menjalaninya saja sudah tidak bisa berpikir bagaimana kelanjutannya__" "Husstt ... kamu nggak boleh ngomong seperti itu. Pokoknya kamu harus berjuang untuk istrimu, untuk keluargamu. Bukan hanya untuk pekerjaanmu dan tugasmu saja. Ingat, kamu sudah menikah" Mendengar perdebatan mereka berdua membuat Alina yang saat ini tertidur di dalam kamar pun akhirnya terbangun. "Kok ribet sekali sih," ucapnya masih dalam keadaan kantuk. Wanita cantik itu pun menuruni ranjang dan berjalan keluar kamar. Samar-samar terlihat ada seorang wanita paruh baya dengan wajah yang sudah tidak asing lagi baginya. "Ibu" ucapnya yang kemudian berjalan menghampiri Ibu mertuanya. "Kok Ibu bisa datang kemari?" tanya Alina sedikit gugup. "Ibu ke sini mau menemani kamu, Alina. Katanya dua hari ke depan, suamimu akan ada tugas di luar. Jadi ibu tidak mau kamu kesepian dan ketakutan di dalam asrama ini. Sekalian Ibu mau ngajarin kamu masak. Biar kamu jadi ibu rumah tangga yang selalu dirindukan oleh suaminya." ucapan dari sang ibu mertua membuat Alina terdiam dan menoleh ke arah suaminya yang saat ini berdiri dingin menatapnya. "Masak? Kenapa masak saja harus diajarin, Bu? Alina sudah bisa, Bu," jawab wanita cantik itu sambil menyingkap rambutnya. "Pokoknya Ibu akan ajari kamu membuat masakan yang Dirga sukai. Sekarang kamu bersihkan diri dulu lalu sarapan. Tuh ... suamimu sudah membuatkan dua nasi goreng untuk mu," mendengar ucapan dari ibu mertuanya itu membuat Alina tertunduk malu. Dia tidak bisa berkata-kata lagi karena sudah tertangkap basah bangun kesiangan dan tidak membuat sarapan. ***** "Gimana Dirga, apa Alina sudah menjadi istri seperti yang kamu inginkan?" "Seminggu ini Dirga dibuatkan masakan sop tahu asin, seperti yang Ibu ajarkan padanya." "Jangan ngawur kamu, Ga. Ibu mengajari Alina, empat puluh macam masakan Nusantara yang begitu lezat. Jadi, jangan aneh-aneh kamu, Ga!”Dirgantara mendapatkan tugas mengawasi pendidikan yang tengah ditempuh oleh para prajurit. Dia tidak akan bertemu dengan Alina selama seminggu ke depan. Untunglah ada sang ibu yang akan menemani istri manjanya itu. "Alina, tolong kamu siapkan semua pakaian tugas milik suamimu. Mari ibu bantu kamu untuk menyiapkannya. Biar kamu terbiasa dan tahu mana-mana saja seragam yang harus dibawa," lirih ibu sambil merangkul lengan menantunya itu. "Baiklah, Bu," jawab Alina yang ditanggapi senyuman oleh nyonya Suyarso. Kini kedua wanita itu tengah sibuk menata dan menyiapkan pakaian milik Dirgantara. "Lin, apakah kamu bahagia hidup bersama, Dirga?" tanya sang ibu mertua, membuat Alina kaget. "Ehm ... kan baru dua hari, Bu. Mana bisa Alina menilai," jawaban dari Alina tersebut membuat nyonya Suyarso mengernyit. "Kok baru dua hari? Bukannya kamu juga sangat menginginkan pernikahan ini? Nyatanya kamu ikut daftar calon menantu keluarga Suyarso." Seketika Alina terdiam dan menunduk. "Jangan bilang
"Begini, katanya pak Dirgantara nitip minta dibawain selimut warna coklat yang ada di dalam lemari. Katanya di sana udaranya sangat dingin. Kebetulan saya mau pergi ke asrama satu, jadi sekalian saya bawain, Mbak," jawab pria paruh baya berseragam itu dengan wajah tenang. Seketika Alina menghela nafas kasar. Dia tidak menyangka, pria paruh baya itu benar-benar membuatnya jantungan. "Ya ampun, Pak. Saya kira ada kabar apa, ternyata hanya sebuah selimu. Kalau begitu bapak tunggu sebentar di sini. Saya akan ke dalam mengambilkan selimut pesanan mas Dirga," sahut Alina yang pergi meninggalkan pria berseragam itu menuju kamar. Dengan hati-hati, wanita cantik itu membuka lemari pakaian agar tidak membangunkan ibu mertuanya. Dengan seksama, Alina melihat-lihat lipatan selimut yang ada di depannya. "Apa yang ini?" batinnya sambil mengambil selimut tipis berwarna coklat dan membawanya ke depan. "Ini, Pak. Terima kasih ya Pak, sebelumnya sudah mau di repotkan." Pria itu pun berdiri dan meneri
Wanita paruh baya itupun akhirnya beranjak dari ruang tamu menuju kamar menantunya. Setelah cukup lama berpikir, akhirnya nyonya Suyarso memberanikan diri untuk mengetuk pintu yang sedikit terbuka itu. "Alina, apakah ibu boleh masuk?" tanya sang mertua sedikit sungkan. "Masuk, Bu," jawab Alina yang yang berbaring dengan posisi membelakangi pintu. "Nak Alina, apakah ibu boleh ngomong sebentar," lirih nyonya Suyarso yang kini sudah duduk di tepi ranjang. "Silahkan, Bu," jawab Alina masih dengan posisi yang sama. Setelah cukup lama terdiam, nyonya Suyarso akhirnya memberanikan diri untuk mengatakan pada Alina, perihal sikapnya barusan yang tidak menghargai orang lain. "Jadi ... menurut Ibu, sikap Alina kurang baik?" lirih Alina yang kini sudah bangkit dan menatap ibu mertuanya itu. "Bukan begitu, Alina. Ibu hanya ingin memberi pengertian kepadamu. Barusan sikapmu yang main nyelonong itu salah, Nak. Seharusnya salam dulu dan menebar senyum. Walau tidak menyapa, setidaknya tersenyumlah
"Loh ... Dirgantara!" ucap sang ibu dengan senyum mengembang di wajahnya. Wanita paruh baya itu membuka lebar kedua tangannya, menyambut kedatangan putra sulungnya itu. Dirgantara langsung memeluk hangat sang ibu penuh kasih dan rindu. Abimanyu pun ikut berdiri dan menepuk lembut pundak sang kakak. Mereka nampak begitu bersemangat dan senang melihat kedatangan Dirgantara. Sejenak mereka terdiam dan menoleh ke arah Alina. "Na, sambut suamimu" ucap ibu yang mengagetkan Alina. "Hah," Segera wanita cantik itu menjabat tangan suaminya dengan senyum di wajah cantiknya. "Alina, ini bukan lebaran. Tapi dia suamimu yang baru pulang dari tugasnya. Disambut dong," titah sang ibu mertua yang membuat Alina mengerutkan keningnya. "Lah ... baru juga dua hari, Bu. Tidak sampai setahun, ngapain harus histeris begitu?" Jawaban dari Alina tersebut membuat Abimanyu tergelak. "Kamu istri yang hebat! Mantu pilihan ibu, memang keren. Aku suka!" sahut Abimanyu sambil merangkul pundak Alina. "Kamu ini ap
AKU MENOLAK UNTUK DIJODOHKAN, TAPI AYAH DAN IBU MEMAKSAKU, HINGGA AKHIRNYA MENERIMA DAN …Batin Dirgantara sambil terus menatap lekat wajah cantik sang istri yang mulai mengoleskan krim di wajahnya. "Kenapa kamu melihatku seperti itu? Apakah ada yang salah dari wajahku?" tanya Alina terlihat sangat panik. Dia sangat perfect dalam berpenampilan, sehingga dia sangat takut, jika ada satupun yang kurang dari dirinya. Dirgantara menggeleng sambil berucap, "cantik, sangat cantik." Sontak jawaban dari Dirgantara itu membuat Alina salah tingkah. "Oh, begitu ya," lirih Alina yang kembali fokus pada kaca cermin yang ada di hadapannya. Sementara Dirgantara hanya terkekeh dan menggeleng. Dia benar-benar dibuat tergila-gila oleh wanita yang sekarang sangat manja dan keras kepala itu. Setelah selesai menggunakan krim di wajahnya, Alina bergegas merapikan tempat tidur dan bersiap untuk beristirahat. "Seharian tadi, ngapain aja dengan ibu?" tanya Dirgantara penuh rasa penasaran. Alina pun kembali t
Dirgantara menatap Alina. Dia ingin mendengarkan perkataan Alina yang sempat terputus. "Liburan minggu depan, bolehkan aku pulang ke rumah ibu. Aku sudah rindu pada Ayah dan Ibu," lirih Alina yang langsung diangguki oleh suaminya itu. "Terima kasih ya, Mas," imbuh Alina nampak begitu bahagia dan girang. Melihat istrinya begitu bersemangat, membuat Dirgantara senang. "Baiklah, berangkatlah dengan hati-hati. Ingat, pulang tepat waktu, aku akan buatkan makanan untukmu," ucap Alina sambil memperbaiki pakaian suaminya. "Aku tidak bisa menentukan kapan waktu pulang, Alina. Nanti, aku akan kabari lagi," ucap Dirgantara yang kemudian pergi meninggalkan kediamannya yang nyaman itu menuju tempat tugas. Di sana sudah berbaris para prajurit melakukan pelatihan-pelatihan yang biasa di lakukan untuk persiapan diri. Dirgantara masuk ke dalam sebuah gedung dan melakukan pertemuan dengan atasannya. Mereka merencanakan sesuatu untuk pengiriman para prajurit ke daerah rawan konflik. Dirgantara nampa
"Maafkan aku yang belum bisa membuatmu senang," lirih Alina yang membuat sang suami terkekeh. Kedua mata pasangan itu kini saling beradu. Ada tekanan dalam dada Dirgantara yang ingin keluar dari tempatnya. "Alina, bolehkah aku mencium keningmu? Sekali saja?" lirih sang Letnan berpamitan pada istrinya. Tanpa banyak berpikir, Alina akhirnya tersenyum dan mengangguk, yang membuat hati Dirgantara seketika menjadi lega. Dengan lembut, pemuda berwajah sempurna itu mengecup hangat kening Alina. Tanpa di sadari, Dirgantara lanjut mencium kedua pipi dan hidung Alina yang mancung. "Mas""Aku tahu, kamu belum siap," jawab Dirgantara yang masih terus mengamati wajah cantik istrinya. Alina kemudian mengatakan pada Dirgantara untuk tidak memberitahu ibu mertuanya, masalah masakannya hari ini. Seketika Dirgantara terkekeh tiada henti. "Alina ... Alina ... ya tidak mungkinlah. Apalagi, masakanmu tadi begitu enak," sahut Dirgantara yang membuat Alina gemas dan memukul kesal pada suaminya. "Jahat
“Kok rumahnya sempit sih, Mas?” ucap Alina menatap ke setiap sudut ruangan asrama yang baru saja dia tempati. “Syukuri saja, yang penting tidak kepanasan dan kehujanan. Dari pada banyak tanya, mendingan kamu siapkan makan siang” jawab Dirga, yang membuat Alina membulat kaget. “Masak? Kan, Alina sudah bilang, aku nggak bisa masak, Pak! Eh … Mas,” sahut Alina lagi yang membuat pemuda gagah itu menggelengkan kepalanya. Tanpa banyak bicara, Dirga langsung mengambil kantong plastik berwarna merah dan membawanya ke dapur. Dia segera membuka dan mengeluarkan semua sayuran dan daging yang ada di dalam kantong plastik tersebut. Sebelum berangkat ke asrama, sang ibu sudah menyiapkan semua kebutuhan putranya itu hingga satu minggu kedepan. Melihat sang suami sibuk di dapur memasak makanan, Alina pun mencoba menghampiri dan bertanya, “Apakah kamu butuh bantuanku, Mas?” Dirga tidak menjawab, dia hanya menggeleng dan berdehem. Semua dikerjakan dengan cepat dan sempurna. Aroma wangi masakan mula
"Maafkan aku yang belum bisa membuatmu senang," lirih Alina yang membuat sang suami terkekeh. Kedua mata pasangan itu kini saling beradu. Ada tekanan dalam dada Dirgantara yang ingin keluar dari tempatnya. "Alina, bolehkah aku mencium keningmu? Sekali saja?" lirih sang Letnan berpamitan pada istrinya. Tanpa banyak berpikir, Alina akhirnya tersenyum dan mengangguk, yang membuat hati Dirgantara seketika menjadi lega. Dengan lembut, pemuda berwajah sempurna itu mengecup hangat kening Alina. Tanpa di sadari, Dirgantara lanjut mencium kedua pipi dan hidung Alina yang mancung. "Mas""Aku tahu, kamu belum siap," jawab Dirgantara yang masih terus mengamati wajah cantik istrinya. Alina kemudian mengatakan pada Dirgantara untuk tidak memberitahu ibu mertuanya, masalah masakannya hari ini. Seketika Dirgantara terkekeh tiada henti. "Alina ... Alina ... ya tidak mungkinlah. Apalagi, masakanmu tadi begitu enak," sahut Dirgantara yang membuat Alina gemas dan memukul kesal pada suaminya. "Jahat
Dirgantara menatap Alina. Dia ingin mendengarkan perkataan Alina yang sempat terputus. "Liburan minggu depan, bolehkan aku pulang ke rumah ibu. Aku sudah rindu pada Ayah dan Ibu," lirih Alina yang langsung diangguki oleh suaminya itu. "Terima kasih ya, Mas," imbuh Alina nampak begitu bahagia dan girang. Melihat istrinya begitu bersemangat, membuat Dirgantara senang. "Baiklah, berangkatlah dengan hati-hati. Ingat, pulang tepat waktu, aku akan buatkan makanan untukmu," ucap Alina sambil memperbaiki pakaian suaminya. "Aku tidak bisa menentukan kapan waktu pulang, Alina. Nanti, aku akan kabari lagi," ucap Dirgantara yang kemudian pergi meninggalkan kediamannya yang nyaman itu menuju tempat tugas. Di sana sudah berbaris para prajurit melakukan pelatihan-pelatihan yang biasa di lakukan untuk persiapan diri. Dirgantara masuk ke dalam sebuah gedung dan melakukan pertemuan dengan atasannya. Mereka merencanakan sesuatu untuk pengiriman para prajurit ke daerah rawan konflik. Dirgantara nampa
AKU MENOLAK UNTUK DIJODOHKAN, TAPI AYAH DAN IBU MEMAKSAKU, HINGGA AKHIRNYA MENERIMA DAN …Batin Dirgantara sambil terus menatap lekat wajah cantik sang istri yang mulai mengoleskan krim di wajahnya. "Kenapa kamu melihatku seperti itu? Apakah ada yang salah dari wajahku?" tanya Alina terlihat sangat panik. Dia sangat perfect dalam berpenampilan, sehingga dia sangat takut, jika ada satupun yang kurang dari dirinya. Dirgantara menggeleng sambil berucap, "cantik, sangat cantik." Sontak jawaban dari Dirgantara itu membuat Alina salah tingkah. "Oh, begitu ya," lirih Alina yang kembali fokus pada kaca cermin yang ada di hadapannya. Sementara Dirgantara hanya terkekeh dan menggeleng. Dia benar-benar dibuat tergila-gila oleh wanita yang sekarang sangat manja dan keras kepala itu. Setelah selesai menggunakan krim di wajahnya, Alina bergegas merapikan tempat tidur dan bersiap untuk beristirahat. "Seharian tadi, ngapain aja dengan ibu?" tanya Dirgantara penuh rasa penasaran. Alina pun kembali t
"Loh ... Dirgantara!" ucap sang ibu dengan senyum mengembang di wajahnya. Wanita paruh baya itu membuka lebar kedua tangannya, menyambut kedatangan putra sulungnya itu. Dirgantara langsung memeluk hangat sang ibu penuh kasih dan rindu. Abimanyu pun ikut berdiri dan menepuk lembut pundak sang kakak. Mereka nampak begitu bersemangat dan senang melihat kedatangan Dirgantara. Sejenak mereka terdiam dan menoleh ke arah Alina. "Na, sambut suamimu" ucap ibu yang mengagetkan Alina. "Hah," Segera wanita cantik itu menjabat tangan suaminya dengan senyum di wajah cantiknya. "Alina, ini bukan lebaran. Tapi dia suamimu yang baru pulang dari tugasnya. Disambut dong," titah sang ibu mertua yang membuat Alina mengerutkan keningnya. "Lah ... baru juga dua hari, Bu. Tidak sampai setahun, ngapain harus histeris begitu?" Jawaban dari Alina tersebut membuat Abimanyu tergelak. "Kamu istri yang hebat! Mantu pilihan ibu, memang keren. Aku suka!" sahut Abimanyu sambil merangkul pundak Alina. "Kamu ini ap
Wanita paruh baya itupun akhirnya beranjak dari ruang tamu menuju kamar menantunya. Setelah cukup lama berpikir, akhirnya nyonya Suyarso memberanikan diri untuk mengetuk pintu yang sedikit terbuka itu. "Alina, apakah ibu boleh masuk?" tanya sang mertua sedikit sungkan. "Masuk, Bu," jawab Alina yang yang berbaring dengan posisi membelakangi pintu. "Nak Alina, apakah ibu boleh ngomong sebentar," lirih nyonya Suyarso yang kini sudah duduk di tepi ranjang. "Silahkan, Bu," jawab Alina masih dengan posisi yang sama. Setelah cukup lama terdiam, nyonya Suyarso akhirnya memberanikan diri untuk mengatakan pada Alina, perihal sikapnya barusan yang tidak menghargai orang lain. "Jadi ... menurut Ibu, sikap Alina kurang baik?" lirih Alina yang kini sudah bangkit dan menatap ibu mertuanya itu. "Bukan begitu, Alina. Ibu hanya ingin memberi pengertian kepadamu. Barusan sikapmu yang main nyelonong itu salah, Nak. Seharusnya salam dulu dan menebar senyum. Walau tidak menyapa, setidaknya tersenyumlah
"Begini, katanya pak Dirgantara nitip minta dibawain selimut warna coklat yang ada di dalam lemari. Katanya di sana udaranya sangat dingin. Kebetulan saya mau pergi ke asrama satu, jadi sekalian saya bawain, Mbak," jawab pria paruh baya berseragam itu dengan wajah tenang. Seketika Alina menghela nafas kasar. Dia tidak menyangka, pria paruh baya itu benar-benar membuatnya jantungan. "Ya ampun, Pak. Saya kira ada kabar apa, ternyata hanya sebuah selimu. Kalau begitu bapak tunggu sebentar di sini. Saya akan ke dalam mengambilkan selimut pesanan mas Dirga," sahut Alina yang pergi meninggalkan pria berseragam itu menuju kamar. Dengan hati-hati, wanita cantik itu membuka lemari pakaian agar tidak membangunkan ibu mertuanya. Dengan seksama, Alina melihat-lihat lipatan selimut yang ada di depannya. "Apa yang ini?" batinnya sambil mengambil selimut tipis berwarna coklat dan membawanya ke depan. "Ini, Pak. Terima kasih ya Pak, sebelumnya sudah mau di repotkan." Pria itu pun berdiri dan meneri
Dirgantara mendapatkan tugas mengawasi pendidikan yang tengah ditempuh oleh para prajurit. Dia tidak akan bertemu dengan Alina selama seminggu ke depan. Untunglah ada sang ibu yang akan menemani istri manjanya itu. "Alina, tolong kamu siapkan semua pakaian tugas milik suamimu. Mari ibu bantu kamu untuk menyiapkannya. Biar kamu terbiasa dan tahu mana-mana saja seragam yang harus dibawa," lirih ibu sambil merangkul lengan menantunya itu. "Baiklah, Bu," jawab Alina yang ditanggapi senyuman oleh nyonya Suyarso. Kini kedua wanita itu tengah sibuk menata dan menyiapkan pakaian milik Dirgantara. "Lin, apakah kamu bahagia hidup bersama, Dirga?" tanya sang ibu mertua, membuat Alina kaget. "Ehm ... kan baru dua hari, Bu. Mana bisa Alina menilai," jawaban dari Alina tersebut membuat nyonya Suyarso mengernyit. "Kok baru dua hari? Bukannya kamu juga sangat menginginkan pernikahan ini? Nyatanya kamu ikut daftar calon menantu keluarga Suyarso." Seketika Alina terdiam dan menunduk. "Jangan bilang
Bentak Alina yang mendapatkan pelukan erat dari Dirgantara penuh gemas. "Loh, kok pergi? Mau kemana?" tanya Alina yang melihat suaminya itu tiba-tiba melepaskan pelukan dan beranjak dari tempat tidurnya. "Katanya nggak boleh bobok bareng kalau malam. Jadi, aku istirahat di depan saja" jawab Dirga yang masih berdiri membawa beberapa bantal dan guling di tangannya. Alina tidak menjawab, dia hanya mencebik dan kembali membelakangi Dirga. Melihat istrinya yang tidak peduli, Dirga pun segera pergi meninggalkan kamar menuju ruang tamu. Dengan rasa malas, pemuda itu melempar bantal serta guling ke atas sofa dan menidurkan dirinya di sana. "Biasanya tidak selemah ini. Tapi entah kenapa, setelah punya istri, bukannya menikmati, malah bertambah capek aja ini," gerutu Dirga yang saat ini sudah memeluk gulingnya. "Kata siapa menikah itu damai, ribet iya" imbuhnya lagi yang tidak sengaja didengar oleh Alina. "Jadi, menikahiku, membuat kamu susah, lelah, dan __""Ssstttt ..... sejak kapan kamu
“Kemana dia?” Alina langsung bangkit dari tempat tidurnya dan mencari-cari keberadaan suaminya yang tidak ada di kamar. "Kemana sih tuh, orang. Baru juga sehari, sudah ngilang aja. Nggak tanggung jawab banget jadi suami," gerutu Alina yang celingak-celinguk mencari sosok tampan Dirga yang tidak segera muncul. Dengan malas, Alina melihat ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul enam sore. Perutnya pun mulai keroncongan. "Aduh, aku sudah lapar, tapi kemana sih dia?" gumamnya nampak kesal. Tidak lama, terdengar suara pintu terbuka, yang membuat Alina bergegas untuk melihatnya. "Dari mana saja? Kok nggak pamit dulu?" tanya Alina yang memberondong pertanyaan pada sang suami. Dirgantara yang baru saja duduk di sofa, terus mengamati Alina yang sedang berdiri di depannya dengan wajah marah. Dia tidak bisa menahan senyum, saat melihat sang istri yang terus cerewet padanya.Alina memandang suaminya dengan mata yang tajam, seolah-olah ingin menusuknya. "Kamu tidak pamit, kamu pergi b