Bersamaan dengan Indah yang dilarikan ke rumah sakit, datang lagi mobil Ambulance lain yang membawa seorang wanita dalam kondisi mengenaskan.
Kaki dan tangannya terpisah dari tubuhnya dengan kondisi wajah hampir tak dapat dikenali. Ialah Elvira, yang ternyata masih dalam kondisi sadar meski mengalami kecelakaan parah.
“Ibu orang tua dari pasien Elvira?” tanya suster jaga tersebut ketika melihat seorang wanita paruh baya menangisi pasien kecelakaan tragis barusan.
“Benar, saya Ibunya. Tolong izinkan saya melihat putri saya,” pinta Maharani mengiba.
“Silakan Ibu...,” jawab perawat yang berjaga diluar sebelah ruang ICU.
“Suster, tunggu! Kenapa ibu ini bisa melihat pasien di dalam? Sedangkan saya nggak bisa melihat keluarga saya?” tanya Zara dengan mata sembab.
“Sabar Ibu, kondisi putrinya sudah bisa melewati masa kritis. Untuk pasien Indah, kondisinya masih koma. Harap Ibu bersabar,” ungkap perawat yang berjalan menuju ruang ICU.
Mendengar keterangan dari perawat tersebut, Zara terkulai lemas dan terduduk di sebelah pintu ruang ICU sembari menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia mulai menangis lagi dengan suara tangis yang menyayat hati.
Sementara itu, di dalam ruang ICU yang dingin terlihat paras cantik Elvira telah berubah menakutkan dengan wajah bengkak dan bibir yang nyaris robek seluruhnya.
Melihat kondisi putrinya yang telah tak memiliki kaki, tangan dan wajah tampak hancur pula, membuat Maharani memukul dadanya berulang kali seraya menyalahkan dirinya.
“Aku memang Ibu yang nggak tahu diri, hikss... Mulut jahatku sudah buat putriku celaka. Ya Allah, ampuni sumpah serapahku pada putri malangku. Aku menyesal ya, Allah. Putriku anak yang baik. Aku yang salah. Aku yang salah, Ya Allah," ucapnya menyesali diri atas ucapan yang terlontar saat marah pada putrinya.
Perawat yang mendengar suara tangis dan rasa penyesalan Maharani yang memilukan hati saat melihat putrinya, menghampiri Maharani dan menasihati wanita paruh baya itu.
“Ibu, jangan salahkan diri Ibu seperti itu. Doakan saja agar putri ibu bisa kembali pulih. Semua sudah jadi takdir Ilahi,” ujar perawat yang ada di ruang ICU mengelus punggung wanita itu, lembut.
Dalam kesedihan yang mendalam, Maharani tak bisa mendengarkan nasihat dari perawat itu. Justru kini mengelus kepala Elvira yang tampak memar dan berucap. “El, bangun sayang. Ibu di sini Nak. Maafkan Ibu, sayang. Benar kata El, kalau Ibu yang salah. El, Ibu bawa uang yang El mau."
Di ruang ICU itu, ada dunia lain yang hanya bisa dilihat oleh kedua orang yang berada di ambang batas kematiannya.
Dua jiwa saling memandang satu dan lainnya. Bahkan Elvira yang melihat kedatangan Maharani berupaya berbicara dan menyentuh tangan sang ibu. Namun gagal. Karena ia dan Indah kini berada pada alam yang berbeda. Sehingga, Indah yang sudah menyadari keadaan mereka, iba pada gadis cantik jelita yang telah cacat itu.
“Hey, gadis muda, sudahlah jangan disesali. Aku tidak mendengar namamu dipanggil malaikat pencabut nyawa, berarti masih ada waktu untuk meminta maaf pada ibumu. Dia orang yang mencintaimu tanpa pamrih. Hidupmu jauh lebih baik dibandingkan aku yang akan wafat usai melahirkan putraku. Kamu dengarkan, namaku tadi sudah dipanggil."
"Aku sebenarnya tak rela melepas kedua anakku diurusi oleh ayahnya yang bejat bersama selingkuhannya. Jika bisa aku serahkan amalku selama ini untuk kebaikan kedua anakku, pasti aku akan rela bertukar jasad ke ragamu," imbuh Indah yang telah melihat kondisi Elvira dan memandang iba pada Maharani.
Elvira yang mudah emosi dan masih dalam kesedihan mendalam memandang ke arah Indah dengan kehamilannya dan menjawab nasihat Indah.
“Aku lebih baik mati dibandingkan hidup cacat dan dalam hinaan orang lain! Tapi, aku juga ingin sekali memohon maaf pada ibuku.”
Indah yang mendengar, melihat penderitaan dan rasa penyesalan pada anak dan ibu yang sebenarnya saling mencintai, membuat dirinya memohon pada Sang Khalid dalam khusyuknya dengan suara lirih.
“Ya Allah ... Aku mohon pada MU, untuk memberikan raga ini pada wanita muda yang cacat itu, agar ia bisa berbakti pada ibundanya dan aku mohon pada Mu, kiranya wanita itu bisa mengurusi kedua anakku. Tolong hamba, Ya Allah. Kabulkanlah hajatku ini.”
Seketika hawa di ruang ber AC yang cukup dingin kini terasa menghangat di saat sinar kekuasaan hadir di ruang ICU tersebut untuk menjawab keinginan Indah.
Seorang wanita yang memiliki amalan cukup banyak dibandingkan dosanya. Karena selama hidupnya, Indah tidak pernah menyakiti hati kedua orang tua dan semua orang yang ada di sekitarnya. Maka atas kehendak Yang Maha Kuasa, doa Indah pun dikabulkan NYA.
Di saat Indah akan melewati mautnya, secepat kilat malaikat memindahkan arwah wanita hamil yang penuh dengan amalan baik itu ke tubuh Elvira dan gadis muda itu pun, dinyatakan tewas mengenaskan karena melawan ibundanya. Sedangkan raga Indah diisi oleh jiwa seorang wanita muda yang berjanji untuk berbakti pada ibundanya.
Ketika mereka telah bertukar raga, Indah yang tengah memasuki sakaratul maut, berkata pada Elvira dengan berlinang air mata.
“Tolong, jaga kedua anakku. Hindari wanita yang bernama Angel. Karena dia adalah selingkuhan suamiku yang bernama Dimas. Aku kemarin terjatuh dari lantai kantor suamiku, karena wanita itu mendorong tubuhku. Sampaikan juga pada sahabatku Zara, kalau aku terbawa emosi dan tak mendengarkan nasihatnya. Aku rasa, sahabatku Zara pasti terpukul, jika tahu aku telah kembali pada Allahku. Tolong jalankan keinginanku. Pegang janjimu, aku percaya kamu adalah wanita baik.”
Elvira yang melihat suksmanya telah berada di raga Indah, hanya bisa menangis dan menganggukkan kepalanya pada Indah yang telah masuk ke tubuh cacatnya dan dinyatakan wafat. Sesaat kemudian, Elvira merasakan sakit luar biasa pada bagian perut buncitnya. Hingga Elvira yang masuk ke raga Indah berkata lirih, “Tolong! Perutku sakit! Tolong...!”
“Tolong! Perutku sakit! Tolong...!”Dua orang perawat dan satu dokter yang berjaga di ruanganICU terkejut atas teriakan Indah yang awalnya diprediksi tidak punya harapanhidup.Bersamaan dengan jeritan keras Indah yang sebenarnya adalahjiwa Elvira, terdengar pula bunyi peringatan pada layar monitor yang memantaudenyut jantung. Monitor itu secara tiba-tiba datar dengan bunyi panjang dangaris datar lurus hingga batas nol. Padahal gadis cantik yang kini cacat itu telah melewati masakritis dengan denyut jantung yang kian berangsur membaik. Melihat monitor perekam jantung dan organ tubuh Elvira yangdipantau menunjukkan garis datar tanpa irama sama sekali, membuat Maharani yangmemandangi wajah putrinya memucat, berteriak histeris.“Dokter! Tolong putri saya! Tolong...! Ada apa dengan putrisaya? Tolong selamatkan nyawanya dokter!”Dengan sigap seorang dokter menghampiri Elvira danmemberikan pertolongan dengan alat kejut jantung yang dilakukan berulang kali. Namun monitor pada sis
Zara meninggalkan ruang ICU dan berencana untuk bertemudengan dokter yang menangani kesehatan Indah. “Dokter, saya ingin besok Indah bisa mendapatkan pemeriksaanMRI. Kalau memungkinkan, biarkan Indah tetap dirawat di ruang ICU seminggu ini?Masalah biaya, saya yang bertanggung jawab.”Mendengar penjelasan dari Zara, Dokter pun menjawab, “Baik,saya dan team akan melakukan pemantauan berkala atas pasien Indah dan tetapakan kami beri waktu satu minggu di ruang ICU.”“Uhm, satu lagi Dokter. Apa bisa saudara saya, tidakmenerima kunjungan dari siapa pun, selain saya?” tanya Zara penuh harap.“Mengenai pembatasan orang yang menjenguk pasien, nantidikoordinasikan saja dengan kepala perawat,” jawab Dokter.Mendengar jawaban dari dokter, Zara undur diri dan langsungmencari kepala perawat.Setelah duduk di hadapan kepala perawat, Zara memintapadanya agar Indah tidak boleh dijenguk oleh siapa pun, kecuali dirinya. Namun, kepala perawat itu balik bertanya pada Zara. “MaafIbu, kalau suam
“Pagi Suster. Saya keluarga pasien bernama Indah. Bagaimanaperkembangan saudara saya?” tanya Zara sebelum meminta izin masuk keruang ICU.“Pagi Ibu, kebetulan sekali Ibu sudah datang. Ada yang mausaya sampaikan perihal pasien Indah,” jawab perawat jaga.“Dia baik-baik saja kan, Suster?” tanya Zara cemas.“Sejauh ini, pemeriksaan mengenai kondisi fisiknya baik.Hanya saja, saat akan menyusui bayinya, ibu Indah agak ragu dan tampak bingung.Kemungkinan besar hal itu disebabkan oleh trauma pada benturan saat iaterjatuh, seperti yang ia sampaikan,” jawab perawat tersebut.“Iya Suster. Sepertinya cedera kepalanya yang buat saudarasaya sedikit mengalami amnesia. Tapi, kalau dia sudah mengingat jatuh daritangga, kemungkinan besar dia akan mengingat kembali semua peristiwa yangterjadi,” ujar Zara bernapas lega.“Baiklah Bu, kemungkinan besar hari ini pasien akan kitapindahkan ke ruang perawatan VIP A," jelas perawat tersebut.Zara menganggukkan kepala dan berucap. “Baik suster, sayase
“Baru selama lima tahun diberi kekuasaan atas perusahaan inisaja, Dimas sudah mampu mendoktrin beberapa staf hingga satpam harus tundukpadanya. Aku tak akan segan untuk mencari akar dari masalah ini dan mencabutnyahingga tuntas!”Indah, wanita hamil 8 bulan begitu kesal. Pasalnya, diperusahaan ayahnya sendiri yang kini dipimpin oleh sang suami—Dimas, iadihalang-halangi untuk bertemu suaminya. Beruntung, seorang satpam masih mau mendengarkan titahnya.Ia jadi curiga, ada sesuatu yang disembunyikan Dimas disini.Sesampai di depan ruang kerja Dimas, Indah langsung meraih hendel pintu danmembukanya. Ceklek! Ceklek!Pintu ruang kerja Dimas tak dapat dibuka. Indah tampakmengamati beberapa ruang yang kosong di lantai empat dan bertanya pada satpamyang menemaninya, “Kenapa di lantai empat ini beberapa ruangan dikosongkan?Kemana beberapa staf yang ada di sini? Di mana ruang kerja Rara?”“Lapor Bu! Di lantai empat hanya digunakan sebagai tempatrapat dan hanya ada ruang kerja bapak.
“Indah! Tidakkkkk! Ya Allah! Bangun Indah! Indahhhhh!”Zara, teman dekat Indah berteriak saat melihattubuh Indah tergeletak berada di depan tangga darurat lantai 2. Ia memeluktubuh sahabatnya yang masih terlihat napasnya, pelan.“Cepat hubungi ambulans Pak! Tolong! Cepat Pak, hikss....,” tangis Zarameraung-raung dengan terus memeluk tubuh sahabatnya yang dalam keadaan taksadarkan diri atau koma.Disaat ia menangis, dilihatnya seorang wanita diam berjongkok memandang ke arahZara dan terlihat dua orang pria yang tak lain Dimas dan seorang satpammenuruni tangga darurat menuju tempat Zara bersimpuh memangku tubuh Indah yangberlumuran darah pada bagian kepalanya.Zara yang berfokus pada diri Indah hanya mampu menangis dan berusahamenyadarkan sahabatnya dengan kata-kata yang menyayat hati bagi orang yangmendengarnya.“Indah..., bangun sayang. Indah jangan tinggalkan aku seperti ini. Kenapa kamuke kantor ini sendirian? Siapa yang melakukan ini padamu, Indah...., bangunsayang..., i
“Pagi Suster. Saya keluarga pasien bernama Indah. Bagaimanaperkembangan saudara saya?” tanya Zara sebelum meminta izin masuk keruang ICU.“Pagi Ibu, kebetulan sekali Ibu sudah datang. Ada yang mausaya sampaikan perihal pasien Indah,” jawab perawat jaga.“Dia baik-baik saja kan, Suster?” tanya Zara cemas.“Sejauh ini, pemeriksaan mengenai kondisi fisiknya baik.Hanya saja, saat akan menyusui bayinya, ibu Indah agak ragu dan tampak bingung.Kemungkinan besar hal itu disebabkan oleh trauma pada benturan saat iaterjatuh, seperti yang ia sampaikan,” jawab perawat tersebut.“Iya Suster. Sepertinya cedera kepalanya yang buat saudarasaya sedikit mengalami amnesia. Tapi, kalau dia sudah mengingat jatuh daritangga, kemungkinan besar dia akan mengingat kembali semua peristiwa yangterjadi,” ujar Zara bernapas lega.“Baiklah Bu, kemungkinan besar hari ini pasien akan kitapindahkan ke ruang perawatan VIP A," jelas perawat tersebut.Zara menganggukkan kepala dan berucap. “Baik suster, sayase
Zara meninggalkan ruang ICU dan berencana untuk bertemudengan dokter yang menangani kesehatan Indah. “Dokter, saya ingin besok Indah bisa mendapatkan pemeriksaanMRI. Kalau memungkinkan, biarkan Indah tetap dirawat di ruang ICU seminggu ini?Masalah biaya, saya yang bertanggung jawab.”Mendengar penjelasan dari Zara, Dokter pun menjawab, “Baik,saya dan team akan melakukan pemantauan berkala atas pasien Indah dan tetapakan kami beri waktu satu minggu di ruang ICU.”“Uhm, satu lagi Dokter. Apa bisa saudara saya, tidakmenerima kunjungan dari siapa pun, selain saya?” tanya Zara penuh harap.“Mengenai pembatasan orang yang menjenguk pasien, nantidikoordinasikan saja dengan kepala perawat,” jawab Dokter.Mendengar jawaban dari dokter, Zara undur diri dan langsungmencari kepala perawat.Setelah duduk di hadapan kepala perawat, Zara memintapadanya agar Indah tidak boleh dijenguk oleh siapa pun, kecuali dirinya. Namun, kepala perawat itu balik bertanya pada Zara. “MaafIbu, kalau suam
“Tolong! Perutku sakit! Tolong...!”Dua orang perawat dan satu dokter yang berjaga di ruanganICU terkejut atas teriakan Indah yang awalnya diprediksi tidak punya harapanhidup.Bersamaan dengan jeritan keras Indah yang sebenarnya adalahjiwa Elvira, terdengar pula bunyi peringatan pada layar monitor yang memantaudenyut jantung. Monitor itu secara tiba-tiba datar dengan bunyi panjang dangaris datar lurus hingga batas nol. Padahal gadis cantik yang kini cacat itu telah melewati masakritis dengan denyut jantung yang kian berangsur membaik. Melihat monitor perekam jantung dan organ tubuh Elvira yangdipantau menunjukkan garis datar tanpa irama sama sekali, membuat Maharani yangmemandangi wajah putrinya memucat, berteriak histeris.“Dokter! Tolong putri saya! Tolong...! Ada apa dengan putrisaya? Tolong selamatkan nyawanya dokter!”Dengan sigap seorang dokter menghampiri Elvira danmemberikan pertolongan dengan alat kejut jantung yang dilakukan berulang kali. Namun monitor pada sis
Bersamaan dengan Indah yang dilarikan ke rumah sakit, datanglagi mobil Ambulance lain yang membawa seorang wanita dalam kondisimengenaskan. Kaki dan tangannya terpisah dari tubuhnya dengan kondisiwajah hampir tak dapat dikenali. Ialah Elvira, yang ternyata masih dalamkondisi sadar meski mengalami kecelakaan parah.“Ibu orang tua dari pasien Elvira?” tanya suster jagatersebut ketika melihat seorang wanita paruh baya menangisi pasien kecelakaantragis barusan.“Benar, saya Ibunya. Tolong izinkan saya melihat putrisaya,” pinta Maharani mengiba.“Silakan Ibu...,” jawab perawat yang berjaga diluar sebelahruang ICU.“Suster, tunggu! Kenapa ibu ini bisa melihat pasien didalam? Sedangkan saya nggak bisa melihat keluarga saya?” tanya Zara dengan matasembab.“Sabar Ibu, kondisi putrinya sudah bisa melewati masakritis. Untuk pasien Indah, kondisinya masih koma. Harap Ibu bersabar,” ungkapperawat yang berjalan menuju ruang ICU.Mendengar keterangan dari perawat tersebut, Zara terkulai
“Indah! Tidakkkkk! Ya Allah! Bangun Indah! Indahhhhh!”Zara, teman dekat Indah berteriak saat melihattubuh Indah tergeletak berada di depan tangga darurat lantai 2. Ia memeluktubuh sahabatnya yang masih terlihat napasnya, pelan.“Cepat hubungi ambulans Pak! Tolong! Cepat Pak, hikss....,” tangis Zarameraung-raung dengan terus memeluk tubuh sahabatnya yang dalam keadaan taksadarkan diri atau koma.Disaat ia menangis, dilihatnya seorang wanita diam berjongkok memandang ke arahZara dan terlihat dua orang pria yang tak lain Dimas dan seorang satpammenuruni tangga darurat menuju tempat Zara bersimpuh memangku tubuh Indah yangberlumuran darah pada bagian kepalanya.Zara yang berfokus pada diri Indah hanya mampu menangis dan berusahamenyadarkan sahabatnya dengan kata-kata yang menyayat hati bagi orang yangmendengarnya.“Indah..., bangun sayang. Indah jangan tinggalkan aku seperti ini. Kenapa kamuke kantor ini sendirian? Siapa yang melakukan ini padamu, Indah...., bangunsayang..., i
“Baru selama lima tahun diberi kekuasaan atas perusahaan inisaja, Dimas sudah mampu mendoktrin beberapa staf hingga satpam harus tundukpadanya. Aku tak akan segan untuk mencari akar dari masalah ini dan mencabutnyahingga tuntas!”Indah, wanita hamil 8 bulan begitu kesal. Pasalnya, diperusahaan ayahnya sendiri yang kini dipimpin oleh sang suami—Dimas, iadihalang-halangi untuk bertemu suaminya. Beruntung, seorang satpam masih mau mendengarkan titahnya.Ia jadi curiga, ada sesuatu yang disembunyikan Dimas disini.Sesampai di depan ruang kerja Dimas, Indah langsung meraih hendel pintu danmembukanya. Ceklek! Ceklek!Pintu ruang kerja Dimas tak dapat dibuka. Indah tampakmengamati beberapa ruang yang kosong di lantai empat dan bertanya pada satpamyang menemaninya, “Kenapa di lantai empat ini beberapa ruangan dikosongkan?Kemana beberapa staf yang ada di sini? Di mana ruang kerja Rara?”“Lapor Bu! Di lantai empat hanya digunakan sebagai tempatrapat dan hanya ada ruang kerja bapak.