Prolog
[Naaa ... sorry, aku typo nggak sadar, wey! Seharusnya kamar nomor 313, bukan nomor 314! Ni akibat angka 3 ma 4 deketan sih di keyboardku, dasar emang! Sorry ya, Beb ... kamu pindah ke sebelah ya! Kita bentar lagi balik kok.ðŸ˜ðŸ˜‚]"What?!"Aina memekik sesaat setelah membaca pesan yang dikirim oleh temannya, 15 menit yang lalu, tepatnya saat ia baru sampai dan memutuskan untuk langsung mandi karena terlalu gerah.Ia sengaja mengabaikan notiv pesan dari Abidah karena menganggapnya tak penting."Astaga Abidah! Pantesan tadi kamarnya nggak kekunci, ternyata aku salah kamar?" batin Aina.Sementara di lorong hotel, seorang lelaki dewasa tengah berjalan cepat sembari terus mengumpat, "dasar teman-teman nggak ada akhlak! Bisa-bisanya mereka mencampurkan obat sial*n itu ke dalam minuman gue!" Lelaki dengan tubuh tegap itu berseloroh dalam hati seraya mempercepat langkahnya. Pengaruh obat perangsang yang sengaja dibubuhkan temannya ke dalam minuman membuatnya harus segera berendam air dingin untuk meredam gejolak kelelakiannya.Namun betapa terkejutnya ia saat membuka kamar dan mendapati seorang wanita berada di kamarnya. Posisi wanita yang hanya mengenakan kimono mandi selutut dan handuk yang melilit di kepala itu membelakanginya, membuatnya tak menyadari kehadirannya."Pucuk di cinta ulam pun tiba, inikah yang dinamakan rejeki? Datang di saat yang tepat. Seperti inilah mungkin rasanya saat Jaka Tarub mendapati bidadari yang tertinggal di bumi. Berasa dapat rejeki nomplok!" Lelaki yang mulai gelap mata akibat pengaruh obat perangsang yang tak sengaja dikonsumsinya itu bagaikan seekor kucing yang melihat ikan di hadapannya, siap menerkam kapan saja.Ia menutup pintu, perlahan, kemudian memutar kunci hingga menimbulkan bunyi 'klik' dan mengejutkan Aina. Gadis itu menoleh, dan seketika menjerit saat mendapati seorang lelaki berdiri di sana dengan senyum evilnya."Aaaaaaaa."***PZMalam yang diharapkan menjadi malam penuh kenangan bersama teman-temannya, justru menjadi malam petaka bagi Aina.Kedatangannya ke Bali untuk berlibur dan healing selepas kelulusan pesantren berubah menjadi awal dari malam-malam nestapanya. Bagaimana tidak? mahkota yang selama ini ia jaga terenggut begitu saja oleh lelaki yang tidak dikenalnya di malam itu. Harkat martabatnya sebagai seorang santri seolah sirna berganti kehinaan.Hidup Aina terasa menyeramkan sejak malam itu. Jangankan memikirkan hendak melanjutkan mengejar cita-cita, berpikir bagaimana caranya untuk bisa melanjutkan hidup saja rasanya sudah membuatnya lelah. Aina yang ceria menjadi pendiam, dia yang selalu aktif bersosial menjadi pribadi yang lebih introvert.Namun perubahan itu justru menciptakan kelegaan di hati orang tuanya. Putri yang selama ini mereka cap "Ra iso meneng" itu menjelma jadi sosok yang kalem. Mereka tak tahu, ada sebab di balik perubahan itu.Aina, memutuskan untuk tidak menceritakan kejadian malam itu pada orang tuanya, karena terlalu takut dengan reaksi Abahnya yang terkenal tegas dalam urusan agama. Profesinya sebagai seorang ustad kondang di desa, membuatnya menjadi overprotektif terhadap putri-putrinya.Hari berganti minggu, dan minggu berganti bulan, hingga tak terasa, sudah berjalan satu bulan lamanya sejak kejadian di malam itu. Dan Aina tetap dengan jawaban yang sama, tiap kali ditanya ingin melanjutkan cita-cita ke mana. Ia selalu menjawab 'masih bingung'.Hidupnya tak lagi menemukan arah. Aina, kehilangan harapannya.Bab 1"Bilang sama Abah, siapa bapak dari jabang bayi itu?!" Ustadz Sofyan, Abah Aina tak dapat lagi menahan amarahnya. Mereka baru saja pulang dari rumah sakit, sesampainya di rumah, ia tak sama sekali memberikan kesempatan untuk Aina beristirahat sesuai anjuran dokter. Ia langsung menodong putrinya dengan pertanyaan yang sangat menyudutkannya.Aina menunduk, matannya terpejam mendengar suara Abahnya yang lantang. Ia meremas-remas tangannya yang bergetar, berharap dengan begitu akan mendapatkan ketenangan."Jawab!" Suara Ustadz Sofyan kembali menggelegar, bagaikan petir yang menyambar tepat di sisi telinga Aina. Gadis yang telah terenggut keperawanannya itu sampai terlonjak kaget mendengar bentakan Abahnya. Ia semakin bingung, harus dari mana menjelaskan kisahnya pada sang ayah."Istighfar, Bah ... Istighfar!" Shoimah, Ummi Aina mencoba menenangkan suaminya. Dengan suara bergetar akibat menangisi nasib putrinya."A ... Ai ... Aina tidak tahu, Bah!" Aina menjawab dengan suara terbata."Bohong! Kau yang melakukannya, mana mungkin kau tak mengetahui siapa lawan mainmu!""Demi Allah, Aina beneran nggak tahu, Bah!" Aina berusaha meyakinkan Abahnya dengan bersumpah atas nama Tuhan."Halah! Nggak usah bawa-bawa nama Allah. Harusnya kamu malu, Aina, karena kamu sudah kotor, nggak punya harga diri! Jangan berlindung dari kehinaan di balik asma suci Allah. Istighfar, Aina, istighfar!" Ustadz Sofyan kembali meneriaki putrinya dengan penuh emosi, membuat Aina kembali memejamkan mata dan menutup telinga. Wanita 20 tahun itu, kini terisak di bawah tekanan abahnya."Bagus! Nangislah, minta ampun sama Allah atas dosa-dosamu itu! Kau dilahirkan dalam kondisi suci, dididik di tempat suci, tapi kau justru mengotori dirimu sendiri, Aina! Bikin malu aja!" Ustadz Sofya berkata seraya menendang meja di hadapannya. Lagi-lagi, suara yang ditimbulkan membuat Aina kembali terlonjak.Aina mendongak, memandang abahnya dengan penuh kecewa. "Aina korban, Ba! Aina juga nggak mau ini terjadi! Seharusnya Aina bisa mengharapkan Abah menjadi pengayom untuk Aina di saat-sat seperti ini. Anina kecewa sama Abah!" Aina mengumpulkan segenap tenaga untuk balas meneriaki abahnya. Terlampau sakit rasanya saat ayahnya sendiri tak bisa mempercayainya."Heh, kau nggak akan jadi korban kalau bisa jaga diri baik-baik. Berapa kali aku bilang, sing anteng jadi wong wadon! Ojo kelayapan! Tapi nawar aja kerjaanmu. Kalau udah kejadian gini terus sok berteriak jadi korban? minta perlindungan? Kamu sadar nggak, semua itu terjadi karena kecerobohanmu sendiri, Aina!"Brak!Kali ini suara itu disebabkan oleh meja yang digebraknya.Ustadz Sofyan meraih dagu Aina, mengangkat wajahnya yang tertunduk dengan kasar, "Dengar aku baik-baik, sekarang juga kau bawa lelaki itu kemari, minta pertanggung jawabannya atas bayi ini. Dan jangan pernah kembali ke rumah ini tanpa membawanya.Aku nggak mau menanggung malu atas kehamilanmu itu. Apa kata orang nanti kalau sampai tau putri seorang ustadz malah hamil di luar nikah? Bisa hancur nama baikku gara-gara kelakuanmu, Aina! Na'udzubillah ... dasar anak aib kamu, Aina!" Ustadz Sofyan terus menghujani Aina dengan kata-kata yang semakin menghancurkan perasaannya. Ia kalap tak lagi mampu mengendalikan emosi, bahkan ia memutuskan sepihak, tanpa mau mendengarkan penjelasan putrinya."Tapi, Bah, ini musibah, Aina—.""Nggak usah tapi-tapian. Ini memang musibah. Musibah besar untuk keluarga kita. Kamu tau, akibat kelakuanmu ini, bisa saja nama baikku sebagai seorang yang terpandang tercoreng. Dan itu artinya, kamu menjadi penghambat rizki keluarga. Itulah yang disebut musibah besar. Dan semua karena kamu, Aina!" Sarkas Ustadz Sofyan semakin berapi-api. Menjadi Ustadz memang profesi satu-satunya yang ja jalani. Hanya dengan mengandalkan amplop pemberian orang lah selama ini ia menghidupi keluarga."Abah ... sudah, Bah ... sudah ...." Dalam tangisnya Shoimah berusaha menenangkan suaminya."Diam, Mi. Anak seperti ini ojo dimanja. Dia harus diberi pelajaran biar jera!" ucap Ustadz Sofyan pada istrinya."Sudah, Ba ... Kasian Aina ... dia sedang hamil, kita selesaikan masalah ini dengan kepala dingin, ya!" rayu Shoimah sekali lagi."Nggak ada solusi lain, lelaki itu harus datang dan menikahi Aina, hanya dengan cara itu nama baik keluarga kita bisa diselamatkan.Dan kau ... sekarang juga kau pergi dari sini!" Ustadz Sofyan menunjuk wajah Aina kemudian mengarahkan tulunjuknya ke arah pintu."Bah ... tolong dengar penjelasan Aina dulu." Aina berusaha meraih tangan Abahnya, mencoba meluluhkan hatinya agar bersedia mendengarkan penjelasannya. Namun ustadz Sofyan justru menepisnya."Aku bilang pergi!" Bentak ustadz Sofyan sekali lagi.Hati Aina mencolos, merasakan perlakuan ayah yang selama ini dihormatinya, ayah yang selalu ia dengarkan nasihatnya, ayah yang selalu ia jaga nama baiknya. Namun kini, ternyata ayah yang disayanginya itu menjadi sosok yang paling banyak menorehkan luka mendalam di hatinya.Ia segera bangkit, mengusap cepat air mata yang mengaliri pipi dengan kedua tangannya. Ia yang semula duduk kini berdiri, menegakkan tubuhnya agar tak terlihat lemah."Oke, Aina akan pergi. Dan lihat saja nanti, Abah akan menyesal karena telah mengusir Aina dengan cara sekeji ini!" Aina mengucapkan kalimatnya dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca, namun ia berusaha untuk tetap terlihat tegar.Kemudian ia segera berlalu pergi, berjalan ke arah pintu, mengabaikan teriakan Umminya yang histeris melarangnya pergi. Ustadz Sofyan menahan istrinya agar tak mengejar Aina, Shoimah semakin meraung, namun sedikitpun tak merubah keputusan suaminya.Aina mengehentikan langkahnya sejenak di teras rumah, menghela nafas panjang, sebelum melanjutkan langkah."Pergi sana! Nggak usah balik lagi! Mulai sekarang kau bukan anakku lagi!" Kalimat itulah yang terakhir ia dengar sebelum akhirnya ia benar-benar hilang dari pandangan kedua orang tuanya. Dan kalimat itulah yang tertancap dan membekas di hatinya. Ia pergi dengan menggenggam luka kekecewaan terhadap orang tuanya.***PZMalam telah mencapai pertengahannya saat Arsen, lelaki 32 tahun itu kembali mendapati mimpi serupa dalam tidurnya."Ya Tuhan ... dia datang lagi. " Arsen menggumam seraya mengusap wajahnya. Lagi-lagi, gadis yang ia renggut mahkotanya beberapa waktu lalu itu kembali hadir dalam mimpinya. Ia selalu datang seperti arwah yang menuntut pertanggung jawaban, padahal ia tak memb*nuhnya.Sejak ia terbangun dan mendapati tubuhnya tanpa busana di kamar 314 sebulan yang lalu, ia jadi selalu dihantui rasa bersalah terhadap gadis yang telah dinodainya. Gadis yang entah sekarang berada di mana? karena saat ia terbangun, gadis itu sudah tak ada di sisinya. Ia pergi, tanpa meninggalkan jejak apapun untuk ditelusuri. Hanya menyisakan kenangan yang menyesakkan dada, terlebih saat ia mengingat air mata yang menetes dari kedua pelupuk matanya di akhir permainannya."Salah gue sendiri yang nggak make sure dulu, dia Abella atau bukan. Asal tancap gas aja. Gini kan jadinya! Salah sasaran yang membawa petaka.Lagian gue juga nggak tau kan kalau ternyata dia masih virgin, andai gue tahu sejak awal, gue nggak akan ngelakuin itu, gue nggak sebrengs*k itu lah.Huh, gegara gue renggut mahkotanya, gue berasa kaya habis cabut nyawa orang dari raganya. Selalu dihantui rasa bersalah, dan dia selalu datang layaknya arwah yang menuntut pembalasan. Gue nggak akan bisa tenang kalau terusan begini! Gue harus segera menemuknnya, dan memastikan kondisinya baik-baik aja."Bab 2Aina berjalan gontai menyusuri setapak demi setapak jalan desa yang dilaluinya. Tiga hari sudah ia berjalan tanpa arah, hanya berbekal sisa uang di dompet dan tabungannya yang tidak seberapa.Tabungan di bank yang susah payah ia kumpulkan dengan menyisihkan uang saku bulanan selama di pesantren itu sudah ia habiskan untuk biaya liburan di Bali bersama teman-temannya. Liburan yang ia harapkan akan menjadi penawar penat setelah melalui lika liku kehidupan di penjara suci yang cukup melelahkan. Namun ternyata, hal itu justru menjadi awal dari malapetaka yang harus ia terima.Ia sudah mencoba menghubungi beberapa temannya, namun jarak yang jauh juga kesibukan persiapan masuk perkuliahan membuat mereka slow respon. Aina cukup tahu diri, untuk tak banyak merepotkan teman-temannya."Ya Allah ... sekedar untuk berkeluh kesah saja rasanya aku bingung harus pada siapa? Kenapa jalan takdirku sepedih ini? Mana uang pegangan semakin menipis lagi, kalau buat modal lagi khawatir malah tambah h
Bab 3Shoimah memandang nanar kepergian suaminya, ia tak menyangka bahwa suaminya yang selama ini dianggapnya paling menguasai ilmu agama ternyata justru memiliki pemikiran yang salah dan menyimpang.Rasa sesal mulai datang menyapa hati, "seandainya saat itu aku lebih peka sebagai seorang wanita, seandainya saat itu aku lebih peka sebagai seorang ibu, mungkin aku bisa mengetahui kehamilan Aina sejak awal, dan semua ini tidak pernah terjadi.Soimah memandangi ruang makan tempat ia duduk saat ini dengan penuh penyesalan, ruangan tempat keluarga biasa beramah-tamah untuk makan bersama itu kini menjadi ruangan penuh kenangan buruk. Sepi, sunyi, tidak ada kebahagiaan. Ingatannya kembali memutar kejadian pagi itu."Aina, kamu sakit?" tanya Ustadz Sofyan ketika mendapati putri bungsunya terlihat pucat saat di meja makan. Sudah menjadi rutinitas keluarga Sofyan di setiap pagi, seluruh anggota keluarga berkumpul di meja makan untuk melakukan sarapan bersama."Cuma meriang biasa aja kayaknya, B
Bab 4Aina POVMalam semakin larut, sementara aku tak kunjung mendapatkan tempat untuk bermalam. Sudah tiga malam lamanya aku menggelandang. Mata tak bisa terpejam, karena tak adanya tempat untuk sekedar merebahkan tubuh dan memejamkan mata.Beruntung uang peganganku masih bisa digunakan untuk makan, sedikitnya dua kali dalam sehari, sehingga sumber energi dan gizi untuk diriku dan janin dalam kandunganku masih terpenuhi selama tiga hari ini.Sejak keluar dari rumah, aku merasa benar-benar sendiri. Bukan aku tidak memiliki kerabat, aku mengenal beberapa saudara dari pihak abah maupun ummi yang tinggal tak jauh dari rumah, akan tetapi aku berpikir dua kali untuk menumpang di rumah mereka. Aku tak ingin membuat abah dan ummi semakin malu kalau sampai keluarga besarnya mengetahui apa yang sebenarnya terjadi padaku. Lagipula, aku pun tak cukup punya muka jika sampai aibku tersebar ke mana-mana.Sempat terbesit dalam pikiranku untuk singgah di pesantren tempatku menimba ilmu, setidaknya se
Bab 5 JDYTTaksi yang ditumpangi Aina dan Tasya berhenti tepat di depan sebuah rumah yang sangat sederhana. Tasya membayar tarif taksi kemudian mengajak Aina turun."Maaf ya mungkin tempatnya kurang nyaman dan tidak cocok untuk kamu, tapi setidaknya kamu bisa istirahat dan bermalam di sini untuk malam ini." Sebelum masuk ke rumahnya, Tasya terlebih dahulu memohon maklumnya dari Aina."Nggak apa-apa, Mbak, bisa dapat tumpangan malam ini saja saya sudah bersyukur. Makasih ya, karena sudah mau bantu saya." Aina menjawab ramah."Ya sudah, kalau gitu kita masuk aja, biar kamu bisa cepet istirahat." Tasya membuka pintu seraya mempersilakan Aina masuk."Iya, Mbak."Tasya melangkah lebih dulu, sementara Aina mengikuti di belakangnya. Mendengar suara derap langkah dari luar, seorang lelaki keluar dari kamar depan."Kamu udah pulang?" tanyanya menyapa Tasya yang sedang melepas high hillsnya. Tasya memberi isyarat pada Aina untuk duduk di kursi kayu yang terletak di ruang tamu mini rumahnya."Di
Bab 6Obrolan di antara Aina dan Tasya masih terus berlanjut. Tasya banyak berkisah tentang masa lalunya, sementara Aina lebih banyak mendengar dan sesekali bertanya."Jadi yang pertama kali membawa Mbak Tasya kemari suami, Mbak?" tanya Aina setelah mendengarkan kisah masa lalu Tasya yang tak banyak berbeda dengannya."Iya, sama seperti saat aku membawamu, bedanya, saat itu kami sama-sama tak memiliki tempat tinggal. Suamiku mulanya seorang pecandu, korban dari temannya yang pengedar, dia salah pergaulan, dan dia kesulitan berhenti sampai seluruh harta bendanya habis tak tersisa.Keluarga menolak menolongnya, sedangkan dia mulai kebingungan karena sudah kehabisan dana untuk membeli obat yang biasa dikonsumsinya.Saat bertemu denganku, dia menawarkan pekerjaan, menjelaskan dengan detail apa yang harus kukerjakan. Kebetulan dia kenal dengan salah satu Germo di sini. Dulu gang Dolly masih beroperasi bebas, beda seperti sekarang yang pemasarannya lebih banyak online, karena pemerintah set
Bab 7"Thanks, ya!" Ucap seorang lelaki dengan dandanan macho seraya merapikan penampilannya."Sama-sama, balik lagi ya, Om!" Sahut wanita muda berwajah cantik alami seraya memaksakan senyumnya."Pasti, gue akan langganan kemari deh kalau pas mampir Surabaya. Lo beda dari yang lain. Nggak agresif, tapi bikin nagih." Lelaki itu menjawab dengan senyuman mengembang, tampak sekali kepuasan tergambar di wajahnya."Ah, si Om bisa aja.""Gue serius, Ai. Ya udah ya, gue cabut dulu.""Oke, Om!" Lelaki berusia 35 tahun itu berjalan meninggalkan tempatnya membeli kenikmatan menuju mobil, diikuti oleh wanita yang baru saja dibayarnya untuk memuaskan hasrat semalam.Setelah mobil yang ditumpangi kliennya melaju meninggalkan gang Dolly, wanita tersebut kembali menutup pintu ruangannya, ia segera mengunci pintu kemudian menyandarkan tubuhnya di sana.Perlahan tubuhnya merosot seiring berjatuhannya air mata dari kedua pelupuk matanya.Ia membuka tiga lembar uang berwarna merah yang berada di dalam g
Bab 8Di siang yang terik, sebuah mobil Avanza berwarna putih berhenti tepat di depan rumah Ustad Sofyan, tak berselang lama Irul keluar dari sana kemudian mengucapkan salam kepada Ustaz Sofyan yang sudah menunggunya di teras rumah."Assalamualaikum, Ustadz.""Waalaikumsalam warahmatullah." "Udah siap aja, Ustadz?" Tanya Irul sembari memandangi Ustadz Sofyan dari atas sampai bawah. Lelaki paruh baya itu terlihat rapi dengan baju koko putih dan sarung juga sorban bernuansa batiknya, tak lupa peci putih juga melingkar di kepalanya.Ustadz kondang di Kampung Melati itu selalu mengenakan peci putih ke manapun ia pergi dan apapun acaranya, walaupun dia belum berhaji. Di daerahnya, peci putih dikenal dengan style seorang yang sudah pernah melakukan ibadah haji, atau biasa disebut dengan panggilan Pak HajiDan dia merasa menikmati ketika ada seseorang yang salah sangka dan memanggilnya dengan sebutan Pak Haji, dia merasa bangga dengan gelar itu walaupun tidak sesuai dengan kenyataan. Ia pun
Bab 9Melihat Aina yang sedang berjalan melalui spion mobil, membuat emosi Ustad Sofyan memuncak, ia mengepalkan tangan geram, air wajahnya mendadak merah."Dasar anak ndak guna! Kok iso loh dia malah ada di sini? Bikin malu orang tua aja!" Batin Ustad Sofyan.Langkah Aina terlihat semakin dekat, ia sudah melewati bagian belakang mobil yang ditumpangi Ustad Sofyan, dengan cepat lelaki paruh baya itu membuka pintu mobilnya, dan seketika menghentikan langkah Aina.Aina mundur beberapa langkah, memberikan jalan untuk seseorang di dalam mobil itu keluar. Namun ia begitu terkejut saat mendapati bahwa seseorang yang keluar dari dalam mobil adalah Abahnya sendiri, kedua matanya seketika membola, ia bahkan sampai membekap mulut dengan kedua tangannya, Aina tak dapat menutupi keterkejutannya, "Abah ...," lirihnya.Aina menelan ludah paksa, tulang kakinya mendadak bergetar hebat dan terasa lunglai. Ia berpegangan awak mobil yang ditumpangi Abahnya untuk menjaga keseimbangan, raut wajahnya menda
Awan meredup tatkala tanah mulai menimbun raga Aina yang tak lagi bernyawa, seolah bumi tak rela ditinggalkan salah satu penghuni terbaiknya.Mendung yang sama juga menebal dan menggelap di mata suami Aina. Kelopak mata indah itu sejak tadi bekerja keras untuk membendung air yang berdesak-desakan ingin ditumpahkan dari sana. Berkali-kali Arsen menengadahkan wajahnya ke langit, menahan agar air matanya tak sampai jatuh membasahi tanah kubur sang istri."Ikhlaskan, Arsen ... ikhlaskan!" gumamnya menguatkan diri sendiri, kemudian lanjut mengayun cangkul untuk mengubur jasad Aina. Ia sengaja ingin ikut serta di dalam step by step prosesi pemakaman Aina. Mulai dari memandikan, mengkafani, mengantar jenazah, hingga menguburkan, dia selalu turut serta, dibantu orang-orang yang bertugas.Di sisi kiri liang lahat, ustadz Sofyan tergugu di atas kursi rodanya. Kabar tentang kematian putrinya benar-benar mengguncang jiwanya. Belum kering rasanya air mata kesedihan ata
"Kalau sekarang Mas Arsen bertanya apakah Aina bahagia? maka Aina akan menjawab, iya, Aina sangat bahagia. Bahkan saat ini Aina berada di atas puncak kebahagiaan Aina.Bagaimana mungkin Aina tidak berbahagia, sementara Aina memiliki keluarga yang utuh, dan sangat-sangat menyayangi Aina, menerima Aina dengan segala kekurangan yang Aina miliki.Bagaimana Aina tidak bahagia, Mas? sedangkan Allah memberikan anugerah terindah di dalam hidup Aina, anugerah itu berupa Shena dan juga kamu Mas Arsen, kalian berdua adalah warna di dalam kelamnya kehidupan yang pernah Aina lalui.Dan yang terpenting, bagaimana mungkin Aina tidak bahagia, sedangkan Allah telah memberikan Aina kesempatan untuk kembali mendekati-Nya, setelah Aina mengambil jalan untuk menjauhkan diri dari-Nya?Ini adalah sebuah anugerah. Hidayah adalah anugerah terindah bagi setiap mukmin dan mukminah, dan hal itu tak pernah luput untuk Aina syukuri, Mas." Aina menjawab panjang kali lebar.
Bab 31 JDYT"Sayang, kok belum istirahat?" tanya Arsen saat memasuki kamarnya dan mendapati istrinya masih asyik bermain bersama Shena, putrinya. Aina memang terlihat sangat bersemangat saat bersama Shena, itu sebabnya dokter memberikan izin untuk Aina pulang jika memang alasannya adalah Shena. Karena energi positif yang Aina dapatkan saat bersama Shena diharapkan menjadi pengobatan terbaik untuk penyakitnya.Aina tersenyum, "belum, Mas ... masih asyik main ini Shenanya," jawab Aina."Ya sudah, sini Shena biar sama aku, kamu istirahat, geh! Inget kata dokter, kamu butuh banyak istirahat, Sayang ...," ucap Arsen seraya bersiap mengambil Shena."Mas mau bawa Shena ke mana?" tanya Aina sembari menangkis tangan Arsen yang hendak mengambil Shena."Ke kamarnya, Sayang ... biar ditidurkan sama Suster," jawab Arsen apa adanya."Malam ini, Shena biar di sini saja ya, Mas? Tidur sama kita," pinta Aina."Kamu yakin? Tidur kamu bisa terganggu saat Shena menangis dan butuh susu. Sementara kamu but
Bab 30 JDYT"Bagaimana kondisi istri saya, Dok?" tanya Arsen pada dokter yang hampir dua tahun ini mendampingi pengobatan Aina."Proses kemotheraphy-nya sudah selesai, Pak, namun sepertinya Ibu masih harus rawat inap untuk beberapa hari, karena kondisinya kurang baik, sehingga membutuhkan perawatan dan pengawasan secara intensif." Dokter menjelaskan kondisi Aina.Arsen menghembuskan nafas kasar. Dua tahun sudah ia mendampingi Aina menjalankan pengobatan, namun seperti tidak ada hasilnya. Kondisi Aina semakin hari semakin menurun."Apa ada kemungkinan sembuh untuk anak saya, Dok?" kali ini ustadz Sofyan yang bertanya. Sudah sejak lama ia memaksa untuk ikut serta mengantar Aina kemo, dan bertemu langsung dengan dokter yang menangani Aina, namun Aina selalu melarangnya.Aina tak ingin membuat Abahnya menjadi terbebani saat mendengar penjelasan dokter tentang kondisinya, namun kali ini Aina tidak bisa lagi menolak. Abahnya itu terus memaksa, dan Aina tidak memiliki pilihan lain selain men
Bab 29 JDYT"Alhamdulillah ... terima kasih ya, Sayang ... kamu sangat nikmat," ungkap Arsen sesaat setelah menyelesaikan aktiftas suami istri. Ia mencium kening Aina penuh cinta. Sementara Aina hanya tersenyum sebagai balasan.Malam ini harusnya menjadi malam paling bahagia bagi sepasang suami istri baru, namun Aina merasakan hal yang berbeda.Melakukan hubungan badan selalu mengingatkannya pada kondisi-kondisi buruk sebelumnya yang sempat ia alami, sehingga menimbulkan trauma dan rasa tidak nyaman tersendiri. Namun ia berusaha menyembunyikan perasaan itu di hadapan suaminya, sebab tak ingin membuatnya kecewa.Arsen membaringkan tubuhnya di sisi Aina, kemudian membersihkan sisa-sisa pergulatannya dengan Aina menggunakan tissue. Namun betapa terkejutnya Arsen saat mendapati bercak darah di tissue yang ia gunakan untuk membersihkan senjatanya, hal yang sama juga dirasakan oleh Aina."Sayang, kok kamu berdarah?" tanya Arsen bingung, begitu juga dengan Aina. Pasalnya mereka berdua paham,
Bab 28 JDYT"Saya terima nikah dan kawinnya, Sukainah binti Sofyan, dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." Dengan menjabat tangan ustadz Sofyan, Arsen mengucap kalimat sakralnya dengan mantap dan dalam sekali tarikan nafas."Bagaimana saksi, sah?" "Sah!""Alhamdulillahirabbil 'aalamiin. Baarokallahu laka wa baaroka alaika wajama'a bainakuma fii khair." Kyai Musthofa langsung menyambung dengan doa saat semua saksi menyatakan sah. Diaminkan seluruh santri pondok pesantren Darul Falah beserta beberapa keluarga dari pihak Arsen.Acara pernikahan Aina dan Arsen berjalan dengan lancar. Walaupun sederhana, namun terasa khidmat. Setelah khutbah nikah dibacakan dan doa-doa dipanjatkan, acara pagi hari itu ditutup dengan proses pertemuan kedua mempelai. Dengan diiringi lantunan sholawat nabi dan Albanjari, Arsen yang diapit oleh Kyai Musthofa dan ustadz Sofyan berjalan dari tempat lelaki ke tempat tamu perempuan yang hanya terpisah oleh tirai masjid.Di sana, Aina didampingi oleh bu Nyai K
Bab 27"Aina ...?" ustadz Sofyan mengulangi ucapannya sekal lagi, sembari berjalan mendekat ke arah Aina. Sementara Aina hanya memasang ekspresi datar, namun walau begitu, air wajahnya tidak dapat menyembunyikan beragam rasa yang tengah melandanya.Kini keduanya saling berhadapan, pandangan mereka saling bersirobok, menyampaikan rasa yang bergejolak di dada.Di hadapan Aina, ustadz Sofyan bersimpuh, memohon maaf atas kesalahan-kesalahannya. Ia tak lagi memandang Aina sebagai putri yang harus menghormatinya, melainkan memandangnya sebagai manusia yang telah ia hancurkan hidupnya. "Maafkan Abah, Aina ... maafkan Abah ...," ucap ustadz Sofyan di sela tangis penyesalannya. Melihat itu, air mata Aina menetes begitu saja, kemudian dengan cepat ia menepisnya.Aina berjongkok, mensejajarkan dirinya dengan posisi sang abah, kemudian meraih kedua bahu abahnya, dan mengajaknya untuk berdiri."Abah tidak perlu seperti ini," ucapnya terdengar datar.Ustadz Sofyan berdiri perlahan, mengikuti gerak
Bab 26Setelah sholat shubuh dan membaca serangkaian doa yang selalu istiqomah dilakukan oleh ustadz Sofyan, lelaki yang kini berstatus duda itu melanjutkan aktivitas memberi makan ayam-ayam yang diternaknya sejak beberapa bulan lalu. Tepatnya setelah kepergian mendiang istrinya.Ustadz Sofyan dengan segala keterbatasannya memutuskan untuk berternak ayam sebagai hiburan sekaligus jalan rizki kecil-kecilan. Ia menyebutnya hiburan sebab dengan beraktivitas bersama ayam-ayam itu setidaknya membuat ia melupakan kesedihan dan kesendiriannya.Putrinya, Alina, sempat mengajaknya untuk tinggal di rumah suaminya, namun ia menolak sebab merasa tak enak hati dengan besan. Rumah Alina memang bersebelahan dengan rumah mertuanya, bahkan bisa dikatakan sambung, karena hanya ada satu dapur untuk dua rumah, sesuai permintaan mertuanya. Selain itu, ia merasa berat jika harus meninggalkan rumah dengan penuh kenangan bersama keluarganya.Ustadz Sofyan memilih hidup sendiri, sebatang kara di rumahnya. Mel
Bab 25 JDYT"Pagi, Shena cantik ... hari ini hari minggu, seperti biasa, Ayah akan ajak kamu berkunjung ke tempat bunda. Lets go, kita siap-siap." Arsen mengambil Shena–putrinya yang baru terbangun dari box bayi.Seperti biasa, tepatnya sejak dua bulan lalu, Arsen mulai terbiasa merawat bayi Shena, putri dari hasil hubungannya dengan Aina. Di hari-hari kerja, Arsen akan membawa Shena ke kantornya ditemani seorang baby sitter, sedang di hari minggu, ia meminta baby sitter untuk berlibur, dan menjadikannya waktu untuk quality time bersama Shena.Shena, nama bayi cantik itu diambil dari gabungan nama ayah dan bundanya, Arsen dan Aina. Ia sengaja memilih nama itu, sebagai bukti pada Aina, bahwa ia serius ingin mempertanggung jawabkan perbuatannya.Dua bulan ini, Arsen menggunakan waktu untuk mulai mendekati Aina, perlahan mengembalikan kepercayaan Aina terhadapnya. Awalnya Aina menunjukkan penolakan, namun kearena kehigihan usahanya, perlahan Aina mulai bisa menerima kehadiran Arsen.Aina