Bab 3
Shoimah memandang nanar kepergian suaminya, ia tak menyangka bahwa suaminya yang selama ini dianggapnya paling menguasai ilmu agama ternyata justru memiliki pemikiran yang salah dan menyimpang.Rasa sesal mulai datang menyapa hati, "seandainya saat itu aku lebih peka sebagai seorang wanita, seandainya saat itu aku lebih peka sebagai seorang ibu, mungkin aku bisa mengetahui kehamilan Aina sejak awal, dan semua ini tidak pernah terjadi.Soimah memandangi ruang makan tempat ia duduk saat ini dengan penuh penyesalan, ruangan tempat keluarga biasa beramah-tamah untuk makan bersama itu kini menjadi ruangan penuh kenangan buruk. Sepi, sunyi, tidak ada kebahagiaan. Ingatannya kembali memutar kejadian pagi itu."Aina, kamu sakit?" tanya Ustadz Sofyan ketika mendapati putri bungsunya terlihat pucat saat di meja makan. Sudah menjadi rutinitas keluarga Sofyan di setiap pagi, seluruh anggota keluarga berkumpul di meja makan untuk melakukan sarapan bersama."Cuma meriang biasa aja kayaknya, Bah. Mungkin masuk angin." Aina menyahuti sambil tersenyum. Terlihat kalem, seperti sikapnya belakangan ini, yang mendadak menjadi gadis pendiam dan terkesan anggun."Owalah, Nduk ... kok bisa masuk angin, toh? Kayaknya Ummi lihat beberapa hari belakangan kamu anteng aja di rumah, ndak keluar-keluar, semalem kamu cuma ndekem di kamar toh?" Shoimah, Ummi Aina turut menyahuti seraya meletakkan makanan yang baru dimasaknya di meja makan.Aina hanya tersenyum tipis, sebab ia sendiri pun tak tahu, apa yang menyebabkannya masuk angin. Tapi, gejala yang ia alami, memang seperti yang ia rasakan saat masuk angin, muntah saat bangun tidur, pusing dan nggak enak makan."Kamu tuh piye toh, Mi. Kamu pikir angin itu cuma dari luar? Dari kipas angin kan juga judulnya angin. Wis toh, mendingan kamu buatin anakmu itu wedang jahe, biar cepet keluar anginnya!" Ustadz Sofyan memberikan titah pada istrinya."Nggih, Bah." Shoimah berlalu dan kembali berkutat di dapur untuk menyiapkan segelas wedang jahe."Kamu mendingan cepetan sarapan, Nduk! Biar nggak makin parah masuk anginnya. Itu loh Ummimu sudah masak menu kesukaanmu, udang asam manis." Ustadz Sofyan kembali memberikan instruksi, sementara Aina hanya menjawab dengan anggukan.Ia mulai menggerakkan tangan untuk menyendok nasi, mengambil beberapa ekor udang asam manis yang tersedia di meja makan, kemudian mulai menyuapkannya ke mulut.Namun, belum sempat sendok yang ia gunakan menyentuh bibirnya, aroma udang yang menyapa indra penciuman Aina mendadak membuatnya mual. Aroma makanan favoritnya berubah menjadi aroma yang sangat mengganggunya.Aina mendorong piring, menjauhkannya dari hadapan, ia membekap mulut dan hidungnya dengan tangan, menahan agar jangan sampai memuntahkan cairan pahit dari perutnya untuk kesekian kalinya."Aina kamu kenapa?" Shoimah yang baru saja selesai menyeduh jahe untuk putrinya mendadak panik melihat kondisi Aina."Aina mual cium aroma udangnya, Mi." Jawaban mengalir begitu saja dari mulut Aina.Shoimah mengernyit, memandang suaminya yang juga berekspresi sama."Ini udang asam manis kesukaan kamu lho, Nduk!" Kali ini Shoimah menunjukkan keheranannya dengan sebuah kalimat."Iya, Mi, tapi ini aroma amisnya terasa banget, beda sama yang biasanya." Aina berkata sembari kembali menahan gejolak dari dalam perutnya."Masa toh? Kok iso loh!" Soimah segera mengambil sepiring udang yang sudah disajikan di meja kemudian mengendusnya."Enggak kok, Nduk, ini udangnya kayak biasanya kok, tadi juga sebelum masak Ummi cek udangnya masih segar, jadi ya ndak amis." Jawaban Shoimah membuat Aina dan Abahnya terheran."Dek ... dek ... kamu tuh masuk angin aja kok udah kayak orang hamil, sensitifan gitu sama bau-bauan, Mbak aja yang hamil ndak segitunya." Alina, Kakak Aina yang sedang hamil tujuh bulan baru bergabung dan turut menimpali sembari mengelus-elus perut buncitnya."Hush! Kalau ngomong tuh mbok dijaga toh, Lin!" Ustadz Sofyan memperingati putri sulungnya."Bercanda, Bah," balas Alina sambil terkekeh, ia mendudukkan dirinya di kursi yang tersedia."Tapi ya bener juga, dulu Ummimu itu kalau hamil ya mesti mabok gitu, ndak bisa nyium aroma yang agak menyengat dikit pasti mual. Ya kaya Aina ini, wong udang sedep gitu kok malah dibilang amis. Kamu ndak hamil, kan, Na?" tanya ustadz Sofyan dengan pandangan penuh selidik.Sementara Aina, ia justru terdiam, ucapan kakak dan Abahnya seolah membuatnya terpikirkan akan satu hal."Hamil? Malam itu ... apakah dia meninggalkan benih di rahim ini? Ya Tuhan ... terlalu sibuk meratapi nasib membuatku sampai melupakan jadwal haid yang seharusnya sudah terjadi di minggu lalu. Apa yang terjadi? Apa mungkin aku hamil? Bagaimana kalau hal itu benar-benar terjadi?" berbagai pertanyaan mendadak memenuhi benak Aina. Membuatnya semakin merasakan berat di kepala, dan di detik berikutnya, ia hanya mendengar seluruh keluarganya memekikkan namanya tanpa tau apa yang tengah terjadi. Aina kehilangan kesadarannya.Seluruh keluarga panik, dan mencoba menyadarkan Aina, dengan mengoleskan minyak kayu putih di bawah hidung Aina, namun gadis itu tak kunjung siuman.Akhirnya, mereka memutuskan untuk membawa Aina ke rumah sakit agar mendapatkan penanganan, Aina langsung masuk UGD dan diperiksa, hingga beberapa saat kemudian, seorang dokter keluar dari ruang pemeriksaan."Suami dari pasien Aina yang mana, ya?" tanya dokter membuat kedua orang tua Aina bingung.Abah dan Ummi Aina saling berpandangan heran, "suami, Dok? Putri saya belum menikah." Ustadz Sofyan menjawab dengan cepat.Dokter perempuan berusia tiga puluhan itu terlihat menghela nafas, memandang Ustadz Sofyan dan istrinya bergantian."Kalau begitu, silakan Bapak dan Ibu ikut ke ruangan saya. Ada yang harus saya jelaskan."Abah dan Ummi Aina pun mengikuti langkah dokter."Sebenarnya apa yang terjadi dengan putri saya, Dok?" Ustadz Sofyan tak sabar untuk bertanya, dan ingin tahu tentang kondisi putrinya. Pikiran buruk mendadak mendominasi isi kepalanya.Dokter memandang Ustadz Sofyan, miris, kondisi seperti ini adalah kondisi yang sulit baginya. Di mana ia harus menyampaikan kabar yang seharusnya menjadi kabar gembira, sebagai kabar yang mungkin dianggap malapetaka."Maaf, sebelumnya, Pak, Bu ... sebenarnya berat bagi saya untuk mengatakan ini, tapi saya rasa Bapak dan Ibu sebagai orang tua pasien berhak tahu.Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan fisik dan laboratorium, maka kami nyatakan bahwa putri Bapak dan Ibu positiv hamil." Dokter menyampaikan kalimatnya dengan berat hati."Hamil?!" Ustad Sofyan dan istrinya memekik bersamaan."Betul, Pak, Bu. Aina hamil, usia kandungannya sudah tujuh minggu.""Tidak mungkin, Dok. Anak saya belum menikah, dia tidak mungkin hamil. Pergaulannya juga terjamin. Dia tumbuh di pesantren, dia paham agama, jadi tidak mungkin dia berzina." Ustadz Sofyan merasa sulit mempercayai ucapan dokter. Ada rasa tak terima dalam hati saat dokter menyatakan putrinya hamil"Mohon maaf, Pak. Untuk hal itu, silakan Bapak tanyakan sendiri pada putri Bapak. Yang jelas, menurut hasil pemeriksaan laboratorium, Aina dinyatakan positif hamil. Silakan Bapak cek sendiri hasilnya." Dokter menyerahkan sebuah amplop berisikan hasil tes laboratorium Aina. Ustadz Sofyan dan istrinya segera membaca hasil tes tersebut. Tak lama kemudian, kalimat istighfar terucap dari bibir ustadz Sofyan, namun bukan dengan nada penyesalan, melainkan dengan nada geram diliputi emosi yang menegangkan.Ummi Aina mengerjap, bayangan tentang kejadian tig hari lalu selalu hadir dan mengganggu pikirannya, " Ya Allah ... bodohnya aku yang sama sekali tidak curiga dengan sikap Aina yang tiba-tiba berubah. Aina yang biasanya ceria menjadi pendiam, Aina yang biasanya ra iso meneng jadi anteng. Aina yang suka ceriwis jadi jarang bicara. Sungguh tak peka aku yang mengira semua itu perubahan baik karena Aina yang sudah beranjak dewasa. Seharusnya aku peka sebagai seorang ibu, bukan justru merasa tak mengenali putriku sendiri seperti ini. Ke mana saja aku selama ini?Ya Allah ... ampuni dosa-dosaku yang masih sangat banyak kekurangan dalam menjalankan tugasmu sebagai seorang ibu dari anak-anakku. Lindungilah Aina, di manapun ia berada." Ummi Aina melanjutkan harapannya seraya mengusap wajah menggunakan kedua tangan.Ia berniat beranjak, namun tanpa sengaja tangannya menyenggol gelas kosong di sisinya. Gelas itu jatuh dan pecah menjadi berkeping-keping. Seketika ingatan Shoimah tertuju pada Aina."Astaghfirullah, Aina ... Kamu baik-baik aja kan, Nak?" gumamnya pelan, berusaha menetralkan degub jantungnya yang berlompatan. Firasatnya sebagai seorang ibu mengatakan bahwa Aina tidak sedang baik-baik saja.Bab 4Aina POVMalam semakin larut, sementara aku tak kunjung mendapatkan tempat untuk bermalam. Sudah tiga malam lamanya aku menggelandang. Mata tak bisa terpejam, karena tak adanya tempat untuk sekedar merebahkan tubuh dan memejamkan mata.Beruntung uang peganganku masih bisa digunakan untuk makan, sedikitnya dua kali dalam sehari, sehingga sumber energi dan gizi untuk diriku dan janin dalam kandunganku masih terpenuhi selama tiga hari ini.Sejak keluar dari rumah, aku merasa benar-benar sendiri. Bukan aku tidak memiliki kerabat, aku mengenal beberapa saudara dari pihak abah maupun ummi yang tinggal tak jauh dari rumah, akan tetapi aku berpikir dua kali untuk menumpang di rumah mereka. Aku tak ingin membuat abah dan ummi semakin malu kalau sampai keluarga besarnya mengetahui apa yang sebenarnya terjadi padaku. Lagipula, aku pun tak cukup punya muka jika sampai aibku tersebar ke mana-mana.Sempat terbesit dalam pikiranku untuk singgah di pesantren tempatku menimba ilmu, setidaknya se
Bab 5 JDYTTaksi yang ditumpangi Aina dan Tasya berhenti tepat di depan sebuah rumah yang sangat sederhana. Tasya membayar tarif taksi kemudian mengajak Aina turun."Maaf ya mungkin tempatnya kurang nyaman dan tidak cocok untuk kamu, tapi setidaknya kamu bisa istirahat dan bermalam di sini untuk malam ini." Sebelum masuk ke rumahnya, Tasya terlebih dahulu memohon maklumnya dari Aina."Nggak apa-apa, Mbak, bisa dapat tumpangan malam ini saja saya sudah bersyukur. Makasih ya, karena sudah mau bantu saya." Aina menjawab ramah."Ya sudah, kalau gitu kita masuk aja, biar kamu bisa cepet istirahat." Tasya membuka pintu seraya mempersilakan Aina masuk."Iya, Mbak."Tasya melangkah lebih dulu, sementara Aina mengikuti di belakangnya. Mendengar suara derap langkah dari luar, seorang lelaki keluar dari kamar depan."Kamu udah pulang?" tanyanya menyapa Tasya yang sedang melepas high hillsnya. Tasya memberi isyarat pada Aina untuk duduk di kursi kayu yang terletak di ruang tamu mini rumahnya."Di
Bab 6Obrolan di antara Aina dan Tasya masih terus berlanjut. Tasya banyak berkisah tentang masa lalunya, sementara Aina lebih banyak mendengar dan sesekali bertanya."Jadi yang pertama kali membawa Mbak Tasya kemari suami, Mbak?" tanya Aina setelah mendengarkan kisah masa lalu Tasya yang tak banyak berbeda dengannya."Iya, sama seperti saat aku membawamu, bedanya, saat itu kami sama-sama tak memiliki tempat tinggal. Suamiku mulanya seorang pecandu, korban dari temannya yang pengedar, dia salah pergaulan, dan dia kesulitan berhenti sampai seluruh harta bendanya habis tak tersisa.Keluarga menolak menolongnya, sedangkan dia mulai kebingungan karena sudah kehabisan dana untuk membeli obat yang biasa dikonsumsinya.Saat bertemu denganku, dia menawarkan pekerjaan, menjelaskan dengan detail apa yang harus kukerjakan. Kebetulan dia kenal dengan salah satu Germo di sini. Dulu gang Dolly masih beroperasi bebas, beda seperti sekarang yang pemasarannya lebih banyak online, karena pemerintah set
Bab 7"Thanks, ya!" Ucap seorang lelaki dengan dandanan macho seraya merapikan penampilannya."Sama-sama, balik lagi ya, Om!" Sahut wanita muda berwajah cantik alami seraya memaksakan senyumnya."Pasti, gue akan langganan kemari deh kalau pas mampir Surabaya. Lo beda dari yang lain. Nggak agresif, tapi bikin nagih." Lelaki itu menjawab dengan senyuman mengembang, tampak sekali kepuasan tergambar di wajahnya."Ah, si Om bisa aja.""Gue serius, Ai. Ya udah ya, gue cabut dulu.""Oke, Om!" Lelaki berusia 35 tahun itu berjalan meninggalkan tempatnya membeli kenikmatan menuju mobil, diikuti oleh wanita yang baru saja dibayarnya untuk memuaskan hasrat semalam.Setelah mobil yang ditumpangi kliennya melaju meninggalkan gang Dolly, wanita tersebut kembali menutup pintu ruangannya, ia segera mengunci pintu kemudian menyandarkan tubuhnya di sana.Perlahan tubuhnya merosot seiring berjatuhannya air mata dari kedua pelupuk matanya.Ia membuka tiga lembar uang berwarna merah yang berada di dalam g
Bab 8Di siang yang terik, sebuah mobil Avanza berwarna putih berhenti tepat di depan rumah Ustad Sofyan, tak berselang lama Irul keluar dari sana kemudian mengucapkan salam kepada Ustaz Sofyan yang sudah menunggunya di teras rumah."Assalamualaikum, Ustadz.""Waalaikumsalam warahmatullah." "Udah siap aja, Ustadz?" Tanya Irul sembari memandangi Ustadz Sofyan dari atas sampai bawah. Lelaki paruh baya itu terlihat rapi dengan baju koko putih dan sarung juga sorban bernuansa batiknya, tak lupa peci putih juga melingkar di kepalanya.Ustadz kondang di Kampung Melati itu selalu mengenakan peci putih ke manapun ia pergi dan apapun acaranya, walaupun dia belum berhaji. Di daerahnya, peci putih dikenal dengan style seorang yang sudah pernah melakukan ibadah haji, atau biasa disebut dengan panggilan Pak HajiDan dia merasa menikmati ketika ada seseorang yang salah sangka dan memanggilnya dengan sebutan Pak Haji, dia merasa bangga dengan gelar itu walaupun tidak sesuai dengan kenyataan. Ia pun
Bab 9Melihat Aina yang sedang berjalan melalui spion mobil, membuat emosi Ustad Sofyan memuncak, ia mengepalkan tangan geram, air wajahnya mendadak merah."Dasar anak ndak guna! Kok iso loh dia malah ada di sini? Bikin malu orang tua aja!" Batin Ustad Sofyan.Langkah Aina terlihat semakin dekat, ia sudah melewati bagian belakang mobil yang ditumpangi Ustad Sofyan, dengan cepat lelaki paruh baya itu membuka pintu mobilnya, dan seketika menghentikan langkah Aina.Aina mundur beberapa langkah, memberikan jalan untuk seseorang di dalam mobil itu keluar. Namun ia begitu terkejut saat mendapati bahwa seseorang yang keluar dari dalam mobil adalah Abahnya sendiri, kedua matanya seketika membola, ia bahkan sampai membekap mulut dengan kedua tangannya, Aina tak dapat menutupi keterkejutannya, "Abah ...," lirihnya.Aina menelan ludah paksa, tulang kakinya mendadak bergetar hebat dan terasa lunglai. Ia berpegangan awak mobil yang ditumpangi Abahnya untuk menjaga keseimbangan, raut wajahnya menda
Bab 10"Mi, makanan hari ini cuma tempe sama sambel aja? Lauk lainnya mana?" tanta ustadz Sofyan di pagi yang cukup cerah.Ia tengah duduk di meja makan, bersiap menikmati hidangan yang disajikan oleh istrinya.Soimah berjalan ke arah meja makan, meletakkan dua gelas kosong di sana, kemudian mengisinya dengan air putih," Ndak ada, Bah ... ada nya memang cuma itu. Kita kan harus berhemat, karena sudah sebulan ini tidak ada pemasukan sama sekali. Bahkan Abah saja sudah lama ndak kasih Ummi uang nafkah, sedangkan uang pegangan ummi juga sudah terpakai habis." Istri ustadz Sofyan mulai mengeluhkan kondisi mereka, sembari menyodorkan segelas air minum ke hadapan suaminya.Kondisi ekonomi mereka memang berubah drastis sejak kabar Aina bekerja sebagai psk tersebar luas ke seluruh penjuru Kampung Melati. Ustadzs Sofyan tak menyangka, bahwa sikap kasarnya terhadap Aina siang itu justru menjadi bumerang baginya.Entah bagaimana caranya kabar itu tiba-tina tersebar dan merusak nama baiknya. Tak
Bab 11Arsen POV.Bali, Iam comming ... Ah, akhirnya sampai juga aku di Pulau Dewata ini. Urusan kerjaan 3 bulan belakangan ini benar-benar padat, aku sampai nggak punya waktu untuk sekedar healing atau menghabiskan waktu untuk diriku sendiri.Semoga saja aku belum terlambat, wanita itu terus mendatangiku di dalam mimpi selama 3 bulan belakangan, dan aku baru sempat kembali kemari hari ini. Aku harus bergerak cepat, untuk mencari tahu keberadaannya, dan memastikan bahwa ia bpaik-baik saja. Dengan begitu aku akan terbebas dari rasa bersalah yang terus menghantui.Sebaiknya aku langsung menuju ke hotel tempat kami melakukannya saat itu, mungkin dari sana aku bisa mendapatkan informasi tentangnya.Kulangkahkan kaki lebar-lebar, keluar dari area bandara untuk menemukan kendaraan dan melanjutkan perjalanan."Hotel Sukma Ayu, ya, Bli!" ucapku pada sopir taksi."Siap."Taksi melaju cepat membelah jalanan yang cukup lenggang. Ya, aku memutuskan untuk mencari tahu informasi tentang gadis itu t
Awan meredup tatkala tanah mulai menimbun raga Aina yang tak lagi bernyawa, seolah bumi tak rela ditinggalkan salah satu penghuni terbaiknya.Mendung yang sama juga menebal dan menggelap di mata suami Aina. Kelopak mata indah itu sejak tadi bekerja keras untuk membendung air yang berdesak-desakan ingin ditumpahkan dari sana. Berkali-kali Arsen menengadahkan wajahnya ke langit, menahan agar air matanya tak sampai jatuh membasahi tanah kubur sang istri."Ikhlaskan, Arsen ... ikhlaskan!" gumamnya menguatkan diri sendiri, kemudian lanjut mengayun cangkul untuk mengubur jasad Aina. Ia sengaja ingin ikut serta di dalam step by step prosesi pemakaman Aina. Mulai dari memandikan, mengkafani, mengantar jenazah, hingga menguburkan, dia selalu turut serta, dibantu orang-orang yang bertugas.Di sisi kiri liang lahat, ustadz Sofyan tergugu di atas kursi rodanya. Kabar tentang kematian putrinya benar-benar mengguncang jiwanya. Belum kering rasanya air mata kesedihan ata
"Kalau sekarang Mas Arsen bertanya apakah Aina bahagia? maka Aina akan menjawab, iya, Aina sangat bahagia. Bahkan saat ini Aina berada di atas puncak kebahagiaan Aina.Bagaimana mungkin Aina tidak berbahagia, sementara Aina memiliki keluarga yang utuh, dan sangat-sangat menyayangi Aina, menerima Aina dengan segala kekurangan yang Aina miliki.Bagaimana Aina tidak bahagia, Mas? sedangkan Allah memberikan anugerah terindah di dalam hidup Aina, anugerah itu berupa Shena dan juga kamu Mas Arsen, kalian berdua adalah warna di dalam kelamnya kehidupan yang pernah Aina lalui.Dan yang terpenting, bagaimana mungkin Aina tidak bahagia, sedangkan Allah telah memberikan Aina kesempatan untuk kembali mendekati-Nya, setelah Aina mengambil jalan untuk menjauhkan diri dari-Nya?Ini adalah sebuah anugerah. Hidayah adalah anugerah terindah bagi setiap mukmin dan mukminah, dan hal itu tak pernah luput untuk Aina syukuri, Mas." Aina menjawab panjang kali lebar.
Bab 31 JDYT"Sayang, kok belum istirahat?" tanya Arsen saat memasuki kamarnya dan mendapati istrinya masih asyik bermain bersama Shena, putrinya. Aina memang terlihat sangat bersemangat saat bersama Shena, itu sebabnya dokter memberikan izin untuk Aina pulang jika memang alasannya adalah Shena. Karena energi positif yang Aina dapatkan saat bersama Shena diharapkan menjadi pengobatan terbaik untuk penyakitnya.Aina tersenyum, "belum, Mas ... masih asyik main ini Shenanya," jawab Aina."Ya sudah, sini Shena biar sama aku, kamu istirahat, geh! Inget kata dokter, kamu butuh banyak istirahat, Sayang ...," ucap Arsen seraya bersiap mengambil Shena."Mas mau bawa Shena ke mana?" tanya Aina sembari menangkis tangan Arsen yang hendak mengambil Shena."Ke kamarnya, Sayang ... biar ditidurkan sama Suster," jawab Arsen apa adanya."Malam ini, Shena biar di sini saja ya, Mas? Tidur sama kita," pinta Aina."Kamu yakin? Tidur kamu bisa terganggu saat Shena menangis dan butuh susu. Sementara kamu but
Bab 30 JDYT"Bagaimana kondisi istri saya, Dok?" tanya Arsen pada dokter yang hampir dua tahun ini mendampingi pengobatan Aina."Proses kemotheraphy-nya sudah selesai, Pak, namun sepertinya Ibu masih harus rawat inap untuk beberapa hari, karena kondisinya kurang baik, sehingga membutuhkan perawatan dan pengawasan secara intensif." Dokter menjelaskan kondisi Aina.Arsen menghembuskan nafas kasar. Dua tahun sudah ia mendampingi Aina menjalankan pengobatan, namun seperti tidak ada hasilnya. Kondisi Aina semakin hari semakin menurun."Apa ada kemungkinan sembuh untuk anak saya, Dok?" kali ini ustadz Sofyan yang bertanya. Sudah sejak lama ia memaksa untuk ikut serta mengantar Aina kemo, dan bertemu langsung dengan dokter yang menangani Aina, namun Aina selalu melarangnya.Aina tak ingin membuat Abahnya menjadi terbebani saat mendengar penjelasan dokter tentang kondisinya, namun kali ini Aina tidak bisa lagi menolak. Abahnya itu terus memaksa, dan Aina tidak memiliki pilihan lain selain men
Bab 29 JDYT"Alhamdulillah ... terima kasih ya, Sayang ... kamu sangat nikmat," ungkap Arsen sesaat setelah menyelesaikan aktiftas suami istri. Ia mencium kening Aina penuh cinta. Sementara Aina hanya tersenyum sebagai balasan.Malam ini harusnya menjadi malam paling bahagia bagi sepasang suami istri baru, namun Aina merasakan hal yang berbeda.Melakukan hubungan badan selalu mengingatkannya pada kondisi-kondisi buruk sebelumnya yang sempat ia alami, sehingga menimbulkan trauma dan rasa tidak nyaman tersendiri. Namun ia berusaha menyembunyikan perasaan itu di hadapan suaminya, sebab tak ingin membuatnya kecewa.Arsen membaringkan tubuhnya di sisi Aina, kemudian membersihkan sisa-sisa pergulatannya dengan Aina menggunakan tissue. Namun betapa terkejutnya Arsen saat mendapati bercak darah di tissue yang ia gunakan untuk membersihkan senjatanya, hal yang sama juga dirasakan oleh Aina."Sayang, kok kamu berdarah?" tanya Arsen bingung, begitu juga dengan Aina. Pasalnya mereka berdua paham,
Bab 28 JDYT"Saya terima nikah dan kawinnya, Sukainah binti Sofyan, dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." Dengan menjabat tangan ustadz Sofyan, Arsen mengucap kalimat sakralnya dengan mantap dan dalam sekali tarikan nafas."Bagaimana saksi, sah?" "Sah!""Alhamdulillahirabbil 'aalamiin. Baarokallahu laka wa baaroka alaika wajama'a bainakuma fii khair." Kyai Musthofa langsung menyambung dengan doa saat semua saksi menyatakan sah. Diaminkan seluruh santri pondok pesantren Darul Falah beserta beberapa keluarga dari pihak Arsen.Acara pernikahan Aina dan Arsen berjalan dengan lancar. Walaupun sederhana, namun terasa khidmat. Setelah khutbah nikah dibacakan dan doa-doa dipanjatkan, acara pagi hari itu ditutup dengan proses pertemuan kedua mempelai. Dengan diiringi lantunan sholawat nabi dan Albanjari, Arsen yang diapit oleh Kyai Musthofa dan ustadz Sofyan berjalan dari tempat lelaki ke tempat tamu perempuan yang hanya terpisah oleh tirai masjid.Di sana, Aina didampingi oleh bu Nyai K
Bab 27"Aina ...?" ustadz Sofyan mengulangi ucapannya sekal lagi, sembari berjalan mendekat ke arah Aina. Sementara Aina hanya memasang ekspresi datar, namun walau begitu, air wajahnya tidak dapat menyembunyikan beragam rasa yang tengah melandanya.Kini keduanya saling berhadapan, pandangan mereka saling bersirobok, menyampaikan rasa yang bergejolak di dada.Di hadapan Aina, ustadz Sofyan bersimpuh, memohon maaf atas kesalahan-kesalahannya. Ia tak lagi memandang Aina sebagai putri yang harus menghormatinya, melainkan memandangnya sebagai manusia yang telah ia hancurkan hidupnya. "Maafkan Abah, Aina ... maafkan Abah ...," ucap ustadz Sofyan di sela tangis penyesalannya. Melihat itu, air mata Aina menetes begitu saja, kemudian dengan cepat ia menepisnya.Aina berjongkok, mensejajarkan dirinya dengan posisi sang abah, kemudian meraih kedua bahu abahnya, dan mengajaknya untuk berdiri."Abah tidak perlu seperti ini," ucapnya terdengar datar.Ustadz Sofyan berdiri perlahan, mengikuti gerak
Bab 26Setelah sholat shubuh dan membaca serangkaian doa yang selalu istiqomah dilakukan oleh ustadz Sofyan, lelaki yang kini berstatus duda itu melanjutkan aktivitas memberi makan ayam-ayam yang diternaknya sejak beberapa bulan lalu. Tepatnya setelah kepergian mendiang istrinya.Ustadz Sofyan dengan segala keterbatasannya memutuskan untuk berternak ayam sebagai hiburan sekaligus jalan rizki kecil-kecilan. Ia menyebutnya hiburan sebab dengan beraktivitas bersama ayam-ayam itu setidaknya membuat ia melupakan kesedihan dan kesendiriannya.Putrinya, Alina, sempat mengajaknya untuk tinggal di rumah suaminya, namun ia menolak sebab merasa tak enak hati dengan besan. Rumah Alina memang bersebelahan dengan rumah mertuanya, bahkan bisa dikatakan sambung, karena hanya ada satu dapur untuk dua rumah, sesuai permintaan mertuanya. Selain itu, ia merasa berat jika harus meninggalkan rumah dengan penuh kenangan bersama keluarganya.Ustadz Sofyan memilih hidup sendiri, sebatang kara di rumahnya. Mel
Bab 25 JDYT"Pagi, Shena cantik ... hari ini hari minggu, seperti biasa, Ayah akan ajak kamu berkunjung ke tempat bunda. Lets go, kita siap-siap." Arsen mengambil Shena–putrinya yang baru terbangun dari box bayi.Seperti biasa, tepatnya sejak dua bulan lalu, Arsen mulai terbiasa merawat bayi Shena, putri dari hasil hubungannya dengan Aina. Di hari-hari kerja, Arsen akan membawa Shena ke kantornya ditemani seorang baby sitter, sedang di hari minggu, ia meminta baby sitter untuk berlibur, dan menjadikannya waktu untuk quality time bersama Shena.Shena, nama bayi cantik itu diambil dari gabungan nama ayah dan bundanya, Arsen dan Aina. Ia sengaja memilih nama itu, sebagai bukti pada Aina, bahwa ia serius ingin mempertanggung jawabkan perbuatannya.Dua bulan ini, Arsen menggunakan waktu untuk mulai mendekati Aina, perlahan mengembalikan kepercayaan Aina terhadapnya. Awalnya Aina menunjukkan penolakan, namun kearena kehigihan usahanya, perlahan Aina mulai bisa menerima kehadiran Arsen.Aina