“Lin, lo bareng gue. June, lo bareng Bayu aja!” Ambar membagi penumpang dengan Bayu ketika mereka berempat sampai di halaman parkir kendaraan.
“Gue, sih, nggak masalah mo bareng sama sapa.” Sahut Lina.
“Saya hanya bawa Helm satu. Kita harus ambil Helm di rumah siapa yang terdekat di antara kita.” Kata Bayu menyarankan.
“Ayo, kita ke rumah Lina aja!” Ujar Ambar dan menaiki kendaraan matik besarnya bersama Lina yang disusul Bayu dan June. Bayu mengikuti kendaraan Ambar dari belakang hingga sampai ke rumah Lina yang ternyata sangat dekat dari kampus mereka.
“Sebentar, ya!” Seru Lina dan melompat dari motor Ambar dan berlari masuk ke rumahnya. Bayu memperhatikan bahwa rumah Lina tidak jauh dari rumah Ibunya.
“Ternyata, Lina adalah tetangga Ibuku.” Gumam Bayu lirih hampir tak terdengar.
Jarak rumah Anti, Ibu Bayu, ke kampus Institut Teknik cukup dekat. Bisa ditempuh dengan berjal
Kata-kata yang dicetak miring adalah kata-kata dalam dialek gaul di Jakarta. hal ini dimaksudkan untuk lebih menghidupkan cerita, penulis berharap pembaca yang tidak terbiasa dengan dialek ini untuk memakluminya. Terima kasih.
Malam hari itu, Bayu duduk di Warkop Asep. Dia berpikir keras sambil menghirup kopinya perlahan.“Lusa, aku harus memberikan kabar tentang Kasus Paman kepada Pak Burhan. Apa yang harus aku lakukan?” Pikir Bayu sakit kepala.“Kalau Kasus Paman aku serahkan kepada Pak Burhan begitu saja, Mungkin, Paman akan langsung ditangkap. Kalau penangkapan Paman dilakukan di rumahnya, masyarakat akan heboh dan Bibi mungkin akan sangat malu. Yang terburuk, bila Paman tidak terbukti melakukan perbuatannya, mungkin aku akan menjadi sasaran dendam Paman.” Bayu merenung.Tiba-tiba, ponsel Bayu bergetar di sakunya. Bayu melihat ke layar ponselnya untuk mengetahui siapa yang meneleponnya.“Nomor siapa ini?” Pikir Bayu dengan heran. Dia tidak pernah memberikan nomornya kepada orang yang tidak dia kenal sebelumnya.“Halo, Bayu disini. Dengan siapa saya berbicara?” Tanya Bayu kepada penelepon.“
Bayu menghampiri perempuan yang sedang berdiri di depan pagar rumah Bibinya. Ketika perempuan itu bersiap hendak menekan bel di sisi samping pagar rumah, dia mendengar suara.“Maaf, Non, Anda siapa ya, dan mau ketemu siapa?” Bayu bertanya kepada perempuan itu.Perempuan itu menoleh dan melihat Bayu, lalu berkata, “Oh, Saya Dina. Saya mau bertemu Bu Mita. Tadi malam saya sudah menelepon beliau dan membuat janji.”Bayu agak terkejut mendengar pernyataan Dina.“Mau Bertemu Bibi Mita? Kalau boleh tahu ada perlu apa ya dengannya?” Tanya Bayu.“Saya berminat menyewa kamar kontrakan di sini. Saya tahu informasi bahwa Bu Mita menyewakan rumah kontrakan dari iklan online, kemudian saya menghubungi Bu Mita. Katanya ada kamar kosong di lantai tiga.” Jawab Dina menjelaskan.Bayu membuka pintu pagar dan masuk ke dalam rumah. Sesaat kemudian, dia keluar bersama Bibinya.“Mba
“Arrgghh, heekkk, hikkk!” Hanya suara tercekik yang keluar dari mulut Bayu.Tangan putih pucat yang terdiri dari kulit dan tulang terjulur ke leher Bayu. Kuku-kuku tajam mencengkeram kulit bagian tengkuk Bayu.Wanita yang mencekiknya, melotot menatapnya dengan mata berwarna merah darah. Mata itu mengatakan kepada Bayu, bahwa dia ingin membunuhnya. Wajah dengan seringai kejam dan hembusan bau busuk dari mulut dengan gigi taring yang sangat tajam.Dingin dan kering, itulah yang Bayu rasakan dari tangan itu di lehernya.Tiba-tiba, tangan pucat panjang dan berlumur darah meraih tangan pucat yang mencekik Bayu. Menariknya sekuat tenaga dan menghentaknya, membuat Bayu terkejut.“Haah, haah, haah.” Napas Bayu tersengal-sengal, meskipun udara segar baru saja masuk ke paru-paru Bayu. Bayu merasakan lega sesaat, kemudian dia menatap wanita mengerikan yang telah mencekiknya, sedang dijambak rambutnya dan diseret masuk ke dalam kamar de
Jam 00.00 Bayu terbangun di ruang tamu. Gelap dan suram. Kenop pintu kamarnya digoncang dari luar. Seakan ada yang memaksa masuk, untungnya pintu terkunci. Bayu menegang, sekujur tubuhnya berkeringat dingin. Dia memandang kenop yang masih terguncang. “Kriek.” Suara engsel pintu yang jarang diminyaki terdengar. Pintu dibuka perlahan dari luar. Sesosok bayangan hitam terlihat di depan pintu. Bayangan hitam tanpa wajah hanya menyisakan mulut dengan lidah merah darah dan gigi-gigi putih tajam menyeringai serta mata merah menatap Bayu. Udara dingin malam hari berhembus dari luar ke dalam ruangan. Membuat Bayu bergidik sesaat. Mendadak, bayangan hitam berlari menerkam Bayu yang duduk tertegun di kasurnya. Seketika, Bayu menghindari dengan berguling ke samping dan secara refleks berdiri kemudian berlari kencang keluar kamar. Bayu berlari menuju pintu pagar kecil yang memisahkan antar rumah kontrakan dengan rumah Bibinya, Param
“Hei, Ini minuman dinginnya, Bayu.” Kata Dina sambil memberikan minuman teh dalam kemasan botol plastik.“Terima kasih, tidak usah repot-repot!” Jawab Bayu menolak dan langsung keluar dari kamar Dina.Bayu berjalan menuju kembali kamarnya ketika ponselnya bergetar.“Halo, Pak Burhan, ya besok lusa saya akan memberitahukan semuanya kepada bapak. Tidak, tidak saya tidak mengulur waktu atau alasan yang lain. Saya sedang meyakinkan teman saya. Yakinlah, Pak. Baik, terima kasih banyak, Pak Burhan.” Bayu memutuskan telepon.“Sigh, masalah bertambah lagi. Bukan hanya kasus Paman tapi juga Dina. Aku harus bersiap!” Pikir Bayu bertekad.Bayu kembali ke kamarnya. Dia duduk di ruang tamu kamarnya.“Aku harus mencari bantuan untuk menyelesaikan masalah-masalah ini. Tapi minta bantuan siapa?” Bayu memutar otaknya.“kalau saja aku bisa menghipnotis orang, aku bisa membuat mereka meng
Bayu sedang mengobrol di teras rumah Arlen sembari minum es teh manis yang disuguhkan oleh Arlen.“Kamu sendirian saja di rumah , Len?” Tanya Bayu.“Yah, ayahku berlayar, Kakakku sudah menikah dan tinggal bersama suaminya. Yah, beginilah aku, selalu sendirian di rumah sejak aku masih SMA.” Jawab Arlen riang.“Len, aku mau minta pendapatmu.” Kata Bayu sambil meluruskan punggungnya.“Silakan saja, selama aku bisa membantu.” Jawab Arlen santai.“Kalau misalnya, kamu punya seorang Paman, dia itu seorang pembunuh keji dan kebetulan kamu menjadi saksi pada saat dia membunuh, apa yang akan kamu lakukan?” Tanya Bayu serius.“Wah, pertanyaanmu berat banget,Yu. Memangnya ada apa, Yu?” Ujar Arlen lalu bertanya kembali dengan sedikit bingung.“Sudahlah, jawab saja pertanyaanku kalau bisa.” Kata Bayu mengabaikan pertanyaan Arlen.&l
Bayu mengangkat ponselnya dan berkata, “Ya Pak, hari Minggu sore jam 4 saya serahkan semuanya. Jangan kuatir, Pak. Ya, ya. Sama-sama, Pak.”“Yah, semoga semuanya lancar.” Bayu berharap di dalam hatinya.“June sedang apa ya, sekarang?” Pikiran Bayu melayang kemana-mana.Bayu duduk melamun di ruang depan kamar kontrakannya.Tangan Bayu secara tidak sadar membuka buku telepon di ponselnya dan melihat nomor June. Dia menekan tombol ‘Telepon’.“Halo, Bayu, tumben telepon aku. Ada apa?” June menjawab telepon Bayu.“Tidak apa-apa, June, aku hanya ingin dengar suaramu.” Jawab Bayu canggung.“Haha, baru beberapa hari nggak ketemu, kamu sudah kangen sama aku.” Canda June senang.“Iya, nih. Habisnya jenuh di rumah.” Jawab Bayu ringan.“Kenapa, pengen main? Jalan yuk sama Lina dan Ambar. K
Beberapa saat kemudian, Bayu dan Santoso sampai di tempat tujuan. Bayu mengamati rumah tua milik keluarga Arlen. Sesaat kemudian, Bayu melihat Arlen melambaikan tangan kepadanya dari lantai dua rumah tua itu.Bayu berjalan diikuti Santoso di belakangnya.“Yu, ini rumah teman kamu, ya? Rumah ini masih bergaya kolonial.” Kata Santoso mengamati rumah Arlen.Sampai di depan pagar rumah tua keluarga Arlen, Bayu melihat bahwa pintu pagar tidak terkunci. Dia mendorong pintu dan masuk bersama Pamannya.Arlen keluar dari rumah dan menyambut kedatangan Bayu dan Pamannya di teras rumah.“Len, kenalkan ini Paman saya, Santoso.” Kata Bayu memperkenalkan.“Halo Paman. Saya Arlen teman kuliah Bayu.” Jawab Arlen meperkenalkan diri.“Hai, Arlen.” Sapa Santoso singkat.“Ayo masuk ke dalam.” Ajak Arlen.Santoso dan Bayu duduk di kursi tamu yang terbuat dari kayu j