Sampai kapan perasaan ini harus kupendam?
* * *
Suara-suara musik terdengar keras dari aula. Seharusnya Lio tidak terpengaruh dengan musik itu. Tapi langkah kakinya terus mendekat ke arah sana seolah-olah benar menariknya untuk melihat apa yang terjadi di aula.
Benar saja, di sana sedang ada Vonny yang sedang menari dengan indah. Cewek itu memang mengikuti ekstrakurikuler dance. Tidak heran karena Vonny memang cewek yang terkenal aktif mengikuti banyak kegiatan, tapi pasti cewek itu selalu mengatakan kalau dia tidak bisa melukis seperti Lio.
Lio selalu ingat pertama kali ia melatih Vonny untuk menggambar kupu-kupu. Tepat ketika mulai membuat sketsa, kupu-kupu yang Vonny buat memang tidak seindah buatan Lio. Bahkan terlihat seperti gambar anak TK bagi Lio.
Namun semua kekurangan yang ada di diri Vonny, entah kemampuan lukis cewek itu yang sebenarnya tidak ada, tapi menurut Lio kekurangan itu terhapus karena Vonny selalu terlihat sempurna di matanya.
Langkah Lio semakin mendekat ke arah kelompok ekstrakurikuler dance yang sedang berlatih. Mereka tampak tidak melihat keberadaan Lio, terutama Vonny yang masih terfokus pada formasi gerakannya.
Senyuman Lio tercipta sendiri, tanpa perlu Vonny tahu kalau ia bisa sebahagia ini hanya melihat cewek itu. Entah apa yang terjadi jika dulu Vonny tidak berbicara lebih dulu kepadanya. Mungkin ... mungkin mereka tidak akan sedekat ini.
“YO!” teriak Hans dari belakang. “Gue cariin dari tadi ternyata malah lihatin cewek-cewek lagi nari. Mata lo jaga, Yo.”
Lio tidak peduli dengan suara Hans. Walaupun masih mendengar namun perhatiannya masih terfokus pada Vonny yang menggerakkan seluruh tubuhnya dengan lihai.
“Pantes ada Vonny ternyata.” Suara Hans kembali terdengar.
“Dia cantik banget, Hans.” Lio berkata seolah-olah tidak malu mengungkapkan pujian itu tepat di dekat temannya.
“Bucin amat lo, Yo. Heran gue.” Hans tertawa kemudian memilih duduk dan menunggu Lio selesai memperhatikan Vonny. “Daripada lo berdiri mulu, duduk kali, Yo. Puas lo lihat pemandangan Vonny.”
Lio menoleh dan kini ikut duduk tepat di samping Hans. “Tapi lo pasti kaget, Hans.”
“Kenapa?” tanya Hans bingung karena sepertinya pembicaraan Lio saat ini terlihat sedih. “Ada masalah antara lo sama Vonny?”
Sudah tertebak, Lio mengangguk pelan. “Gue berani tanya ke dia, tipe cowoknya kayak apa.”
“Terus? Terus dia jawab apa?”
Lio tertawa sedih. “Yang pasti dia gak sebut cowok yang jago lukis.”
Hans menaikkan alisnya. “Jadi udah jelas jawabannya bukan lo begitu?” tanyanya tidak perlu diperjelas lagi karena memang seperti itu kenyataannya.
“Kalau dia suka sama gue. Jawabannya pasti semua yang ada di diri gue, Hans.”
Lio bersandar tapi perhatiannya masih tidak beralih dari Vonny. Musik tarian cewek itu juga belum berhenti. Ramai tapi tidak bisa membuat perasaan Lio ramai juga. Ia malah berada pada posisi lagu paling sedih dan menjadi orang yang sangat menyedihkan.
“Tapi dia sendiri jawab kalau dia suka sama cowok kayak ....”
Hans menaikkan alisnya menunggu. “Kayak?”
“Kayak Hari.”
Lio dapat melihat Hans terbelalak tapi ekspresinya kembali santai sedetik kemudian. “Gue kaget gak kaget. Sebenarnya gak aneh juga karena Hari memang kelihatan tipe semua cewek, Yo. Siapa sih cewek yang gak suka sama ketua basket? Apalagi yang tampangnya oke kayak Hari. Semua cewek CHS juga pasti incar dia.”
“Gue gak peduli semua cewek suka sama Hari.” Lio menghela napas. “Tapi asal jangan Vonny.”
“Sayangnya Vonny juga cewek dan dia sendiri yang ngaku kalau Hari itu tipenya.”
Hans memang tidak pernah sedikit saja untuk menghibur Lio. Membuat perasaannya menjadi makin sedih saja.
“Lo jago lukis, itu bakat paling keren menurut gue, Yo.” Hans lagi dan lagi berkata. “Cuma ya sayangnya gak bisa memikat hati Vonny. Bakat lukis lo gak bisa buat dia suka.”
* * *
Lio berjalan ke ruang ganti pria di CHS. Ia memang ingin mengganti seragam sekolahnya menjadi pakaian olahraga karena sebentar lagi jam pelajaran dimulai. Namun perhatiannya terhenti pada Hari, cowok itu berada tepat di satu ruangan yang sama. Dia terlihat baru saja selesai olahraga.
Ia sesekali memperhatikan bagaimana gerak-gerik Hari. Kalau saja bukan karena Vonny, rasanya Lio sudah muak berada di sana berlama-lama hanya untuk ingin tahu ucapan Hans itu benar. Kalau cewek-cewek memang menyukai tipe cowok seperti Hari?
Tetapi sepertinya tidak perlu diragukan, walaupun mereka berdua memiliki postur tubuh yang sama. Hanya saja untuk Hari, cowok itu ketua tim basket CHS, yang semua mata akan melihat ke arahnya. Membuat cowok itu menjadi pusat perhatian jika sedang latihan atau pun tanding. Berbeda sekali dengan Lio yang memilih untuk diam dan fokus melukis. Orang-orang tidak ada yang mau berlama-lama memperhatikan seseorang melukis, yang ada mereka malah akan mengantuk.
Ketika seragam olahraganya sudah berganti, Lio memilih untuk keluar saja. Ia selalu berpikir menjaga kesehatan itu penting, terutama bentuk tubuh. Ia tidak ingin bentuk tubuhnya merusak karena terlalu sering duduk yang bisa saja membuat tubuhnya membungkuk. Maka walaupun tidak suka olahraga, tapi Lio masih menyempatkan untuk tetap menggerakkan badan.
Lio baru saja akan menaruh ponselnya di tas dan memulai jam olahraga, namun perhatiannya teralihkan ketika ponsel itu bergetar lalu layarnya menyala. Nama Vonny tertera di sana, cewek itu baru saja mengirim pesan kepadanya.
Vonny : Lio
Vonny : Lo lagi sibuk gak nanti pulang sekolah?
Vonny : Gue ada tugas gambar nih. Lo kan tau gimana gue yang gak bisa gambar.
Vonny : Sudah lama juga gue gak main ke rumah lo. Ketemu nyokap lo gitu.
Vonny : Bisa bantu gue gak?
Seperti biasanya, seharusnya Lio mengatakan tidak. Ia tidak boleh membiarkan Vonny terlalu masuk ke dalam hidupnya. Cewek itu bahkan tidak menganggap kebersamaan mereka lebih dari apa pun. Hanya teman dari kecil, selebihnya mereka akan berakhir tidak sama-sama.
Namun begitu bodohnya Lio, seolah-olah pesona Vonny memang tidak pernah terkalahkan oleh apa pun. Membuatnya tidak bisa berbohong kalau dirinya masih dianggap penting oleh cewek itu. Walaupun ya ... terlihat seperti dimanfaatkan karena Vonny yang meminta bantuan kepadanya.
Bunyi peluit terdengar dari luar ruang ganti. Membuat Lio harus segera membalas pesan itu sebelum ia terlambat masuk barisan dan mulai pelajaran olahraga.
Lio : Bisa
Lio : Mau pulang bareng atau nggak?
Tidak butuh lama Lio mendapatkan balasan dari Vonny. Sepertinya cewek itu memang sedang menantikan balasan darinya. Sial, kenapa juga Lio harus tersenyum hanya karena pesan tidak begitu berharga ini?
Vonny : Thanks, LIOOO! Sumpah lo memang teman terbaik gue!
Vonny : Gue langsung ke rumah lo aja. Sendiri. Soalnya ada latihan dance tambahan nati sore.
Setelah membaca itu, Lio benar-benar menaruh ponselnya dan tidak lagi memedulikan balasan dari Vonny.
Tapi ia selalu bertanya-tanya, sampai kapan perasaan ini akan dipendamnya sendiri?
Sebentar atau selamanya?
* * *
Tanpa kamu bilang, aku sangat-sangat tau kalau kamu tidak mencintaiku. * * * “Vonny beneran mau datang ke rumah, Yo?” Lio mengangguk mendengar pertanyaan mamanya. Ia tidak begitu antusias hanya karena Vonny datang karena ia tahu kalau tujuan Vonny hanya karena ingin meminta bantuan darinya. “Kamu mau jalan berdua sama Vonny atau ada kegiatan lain?” Danisa, mamanya kembali bertanya. “Kalau cuma di rumah, Mama mau sekalian masakin makanan kesukaan Vonny nih.” Mamanya memang mengenal Vonny sejak hari pertama cewek itu berkenalan dengan Lio. Saat itu wanita paruh baya yang mengajak bicara mamanya ada ibu Vonny. Mereka tidak sengaja memulai obrolan dan baru mengetahui kalau saling bertetangga di perumahan yang sama. Apalagi sama-sama memiliki anak yang seumur juga. Namun sayangnya, bukan seperti di sinetron-sinetron yang akan menjodohkan anaknya, Lio sama sekali tidak merasakan itu. Padahal kalau mamanya akan menjodohkan Lio dengan
Ini tentang sedih yang menanti gilirannya bahagia.* * *Langit malam ini begitu gelap. Tidak ada bintang yang benar-benar menerangi. Cahaya bulan yang mengintip di balik awan yang menutup seolah-olah ikut menahan ide lukisan yang seharusnya sedang Lio kerjakan malam ini.Seharusnya ia mewarnai langit yang cerah, penuh dengan awan indah, dan burnng-burung yang berkelompok saling beterbangan. Tapi kali ini, tepat di kanvas putih kini sama sekali tidak ada hal terang di dalamnya.Lio baru saja menghabiskan satu botol cat lukis berwarna hitam yang ia tumpahkan begitu saja ke kanvas. Tidak ada warna lain yang benar-benar cocok berada di sana. Seperti langit malam ini, tidak ada bintang, tidak terang, dan penuh kegelapan.Percuma Lio menggerakkan kuasnya ke setiap sudut saat hasil lukisannya tidak terlihat apa-apa.Pikirannya masih melayang saat Vonny masih ada di kamarnya, mengerjakan tugas menggambar cewek itu hingga selesai. Tapi seti
“Kamu bisa gambar kupu-kupu sebagus itu?”Suara itu membuat Lio langsung menoleh. Ia memang memilih untuk duduk sendirian di taman yang tidak begitu jauh dari rumahnya. Tapi mamanya yang memaksa menemani Lio pun hanya diminta olehnya untuk duduk di kursi yang tidak begitu jauh dari tempat Lio sekarang.Lio dapat melihat di sebelah mamanya ada seorang wanita paruh baya yang usianya terlihat sama. Mereka seperti sedang sangat asyik mengobrol bersama.Maka ketika suara lembut yang tiba-tiba saja terdengar membuat Lio cukup terkejut. Ia mendapati seorang gadis kecil seusianya, dengan rambut panjang sepinggang, tersenyum memperhatikan lukisan Lio.“Mau apa kamu di sini?” tanya Lio cepat.Gadis kecil itu kini menatap Lio. “Lihat lukisan kamu yang bagus.”Lio tercekat mendengarnya, yang mengatakan kalau lukisannya bagus pasti selalu mamanya. Belum ada orang asing yang memuji hasil lukisannya ini. Lio memang sedan
Lebih baik berpura-pura tersenyum daripada harus menjelaskan kenapa aku sedih.* * *Bagi Lio Evgeni, melukis bukan sebuah hobi. Tapi menjadi nyawa baginya jika ia sudah merasa lelah dengan keadaan di hidupnya. Sejak kecil melukis memang menjadi kesukaannya namun seiring berjalannya waktu ternyata lukisan yang telah ia buat bukan sekadar karya saja.Ada perasaan-perasaan yang tertuang di setiap kanvas, sketsa, cat, dan segala hal yang ia pakai untuk satu karya lukis. Dibandingkan dengan laki-laki seusianya yang lebih suka olahraga basket, sepak bola atau yang lainnya, Lio merasa melukis menjadi tempat ternyaman di hidupnya.Walaupun mamanya selalu meminta Lio untuk bergabung dengan anak laki-laki lain, tapi entah kenapa berdiam diri di depan kanvas adalah suatu hal yang istimewa baginya. Lagi pula ia masih laki-laki normal walaupun suka melukis.Iya, Lio bahkan memendam perasannya cintanya untuk ... Vonny.Cewek yan
Aku selalu ingin kebahagiaan datang di hidupku agar aku tahu kalau sedih yang aku rasakan itu hanya sementara. * * * Warna biru menjadi usapan terakhir untuk memperjelas lukisan yang sedang Lio kerjakan. Sketsa Vonny yang ia buat di sekolah kini sudah dipindahkan ke kanvas yang lebih besar. Sudah sejam yang lalu Lio mengurung diri di kamar dan mengerjakan lukisan ini dengan cepat. Senyuman tipis namun penuh kebahagiaan kini terpancar jelas di wajah Lio. Lukisan wajah Vonny yang kesebelas, sisanya ia menaruh di tempat paling pojok di kamarnya, ia tidak ingin orang lain melihat terutama Vonny sendiri kalau selama ini Lio menggambar wajah cewek itu. Dulu waktu masih kecil, Lio juga pernah melukis wajah Vonny karena permintaan cewek itu sendiri. Tapi yang pasti karena kemampuan melukisnya belum sehebat sekarang, jelas bentuknya tidak benar-benar sesuai dengan wajah Vonny. Tapi Lio tetap bersyukur karena Vonny menyukainya, ia meli