Lebih baik berpura-pura tersenyum daripada harus menjelaskan kenapa aku sedih.
* * *
Bagi Lio Evgeni, melukis bukan sebuah hobi. Tapi menjadi nyawa baginya jika ia sudah merasa lelah dengan keadaan di hidupnya. Sejak kecil melukis memang menjadi kesukaannya namun seiring berjalannya waktu ternyata lukisan yang telah ia buat bukan sekadar karya saja.
Ada perasaan-perasaan yang tertuang di setiap kanvas, sketsa, cat, dan segala hal yang ia pakai untuk satu karya lukis. Dibandingkan dengan laki-laki seusianya yang lebih suka olahraga basket, sepak bola atau yang lainnya, Lio merasa melukis menjadi tempat ternyaman di hidupnya.
Walaupun mamanya selalu meminta Lio untuk bergabung dengan anak laki-laki lain, tapi entah kenapa berdiam diri di depan kanvas adalah suatu hal yang istimewa baginya. Lagi pula ia masih laki-laki normal walaupun suka melukis.
Iya, Lio bahkan memendam perasannya cintanya untuk ... Vonny.
Cewek yang kini sedang duduk di salah satu kursi kantin, tidak begitu jauh dari meja tempat Lio sendiri. Di tangan cowok itu kini sedang ada kertas dan pensil. Membuat sketsa menjadi langkah awal Lio untuk mulai melukis.
Lukisannya kali ini sudah jelas sekali di depan matanya. Vonny Zarien Teona. Seorang cewek yang sudah sejak lama Lio kenal, kini Vonny bukan lagi gadis kecil yang pernah Lio lihat dulu.
Cewek yang kini berumur enam belas tahun itu sudah berubah menjadi sangat cantik hari demi hari. Lio selalu memperhatikan setiap perubahan yang telah mereka berdua lewati. Ia tidak tahu apakah di mata Vonny, dirinya juga ada perkembangan dari segi wajah.
Sejujurnya Lio juga tidak pernah bertanya apakah dirinya tampan? Karena setiap bertemu, Vonny selalu saja memuji lukisannya. Hanya lukisannya saja.
“Makan kali, Yo!” tegur Hans, temannya yang baru saja datang dan duduk tepat di samping cowok itu. “Merhatiin Vonny gak bikin makanan lo abis. Yang ada waktu istirahat yang abis.”
Lio tersadar dari fokusnya setelah sejak tadi memang memperhatikan Vonny dan membuat sketsa ekspresi cewek itu pada detik ini, saat mereka sedang berada di kantin. “Sayang, Hans. Vonny lagi cantik sekarang.”
Hans tertawa. “Setiap hari dia juga cantik. Masa mau lo gambar terus?”
Lio pun akhirnya menghentikan kegiatannya, ia kemudian beralih untuk mulai menyantap makanannya yang sudah ia diamkan sejak tadi.
“Padahal ya ... lo kan sudah kenal sama Vonny lama. Harusnya lo santai aja kali kalau mau ketemu dia.” Hans mengatakan itu disela makan. “Kalau lo minta Vonny jadi model lukisan lo juga dia mau. Apa sih yang nggak buat seorang Lio?”
Tawa Hans sekarang tidak membuat Lio tertawa. Cowok itu makan dengan perasaan yang tidak tenang. “Gue malah merasa ... gue sama dia gak benar-benar kenal.”
“Yakin?” tanya Hans tidak percaya. “Lo aja kali yang terlalu tertutup. Cewek kayak Vonny dikenal satu sekolah. Siapa murid CHS yang gak kenal Vonny Zarien Teona? Cowok satu sekolah mau kali jadi pacar dia. Tapi gak ada yang punya kesempatan buat dekat lebih sama dia selain lo.”
Lio menghela napasnya. “Ya karena dia ... yang dia lihat cuma lukisan gue. Bukan seorang Lio.”
“Coba aja lo ajak ngobrol Vonny. Terus lo bilang sama dia, kayaknya kita temenan lama tapi lo merasa kalau dia dan lo gak saling kenal. Jujur aja coba.”
“Apa dia mau jawab?” tanya Lio lagi. “Gue tau semuanya tentang Vonny, Hans. Tapi dia yang gak mau tau tentang gue. Padahal gue sama dia, ya lo pikir aja dari gue umur delapan tahun gue kenal dia sampai sekarang kita enam belas? Udah selama itu tapi—”
“Vonny sama sekali gak terlihat suka sama lo?” potong Hans langsung. “Iya, kan? Lo berharap sedikit aja dari dia kalau dia pernah suka sama lo?”
“Iya.” Lio makan dengan perasaan tidak senang. “Tapi Vonny gak pernah bicara apa-apa tentang perasaan dia.”
Di mata Lio sekarang, Vonny Zarien Teona sedang tertawa senang bersama teman-temannya. Tetapi mata cewek itu tidak pernah benar-benar menatap matanya. Vonny dekat tapi hati cewek itu sangat jauh hingga sulit bagi Lio untuk mendekat.
“Dan lo selalu tau kan, Hans?” ucap Lio lirih. “Banyak nama cowok yang dekat sama Vonny. Tapi bukan nama gue jadi salah satunya.”
* * *
Hari ini Lio memutuskan untuk pergi ke perpustakaan karena ia ingin mengembalikan buku yang dipinjamnya minggu lalu. Tidak butuh waktu lama karena Lio hanya akan menaruhnya ke rak dan tanda tangan. Setelah itu Lio keluar dari perpustakaan untuk kembali ke kelas lagi.
Tetapi di tengah jalan, langkahnya berhenti saat Lio mendengar suara Vonny. Rasanya Lio ingin tertawa sedih karena suara cewek itu saja sudah sangat ia hafal di kepalanya. Menyedihkan sekali ketika mengingat tidak pernah ada tempat untuk dirinya di hati cewek itu.
“Lo mau pergi ke mana, Lio?” tanya Vonny cepat. Senyuman cewek itu mengembang.
Lio berbalik dan menatap mata cewek itu. “Gue dari perpustakaan, kembaliin buku.”
Vonny kini hanya mengangguk paham. “Kalau gue dari toilet, pas banget lihat lo ada di sini jadi gue panggil deh.”
“Gak ada yang tanya lo, Von.” Lio menjawabnya dengan datar tapi malah membuat Vonny tertawa. Ia jadi bingung memperhatikan cewek itu yang selalu terlihat bahagia. Tidak pernah sedikit saja Vonny sedih sampai membuatnya tidak mengerti, apakah Vonny benar-benar hidup sebahagia ini?
“Jangan dingin-dingin dong, Yo,” ucap Vonny menyelesaikan tawanya. “Nanti gak ada cewek yang naksir sama lo.”
“Gue juga gak peduli.” Lio menjawabnya lagi dan mereka berdua mulai berjalan menyusuri lorong sekolah.
Colors High School atau yang lebih mudah disingkat CHS adalah sekolah yang sebenarnya sama seperti sekolah menengah atas lain. Ada IPA dan IPS, tapi karena sekolah ini memang memiliki gedung yang berwarna-warni tidak jauh berbeda dengan TK membuatnya menjadi nama colors.
Beruntungnya Lio menyukai melukis, kalau tidak? Ia sudah muak melihat terlalu banyak warna mencolok.
“Kalau lo sendiri gak peduli, gimana orang lain juga mau peduli sama lo?”
Suara Vonny kembali terdengar di pendengaran Lio. Gue maunya lo, Von.
“Kalau gue sih kan udah kenal sama lo. Jadi ya gue gak canggung buat ngobrol sama lo.” Vonny lagi dan lagi kembali bersuara. “Tapi kalau cewek lain? Mereka harus usaha lebih sih buat dekat sama lo.”
“Kalau lo?” tanya Lio langsung.
Vonny kebingungan. “Gue? Maksudnya?”
“Kalau lo suka sama cowok kayak gimana?”
Lio menatap mata Vonny lagi, menantikan jawaban cewek itu agar Lio tahu sebenarnya seperti apa tipe cewek itu.
“Gue ...,” balas Vonny memulai tapi ada rasa malu yang terlihat di wajahnya. “Yang suka olahraga, badannya bagus, baik, bisa sayang sama gue, setia, ramah, dan ... kalau lo tau Hari mungkin kayak dia.”
“Hari? Ketua tim basket CHS?” tanya Lio lagi.
Vonny mengangguk malu. “Ya kayak dia deh, Yo.”
Bibir Lio semakin tertekuk ketika tahu itu. Semua yang disebutkan Vonny seolah-olah tidak ada yang cocok di dirinya.
Perbedaan Lio dan Hari sangat jauh.
Hari ramah. Lio tidak.
Hari suka olahraga. Lio tidak.
Walaupun ketampanan kedua cowok itu sama, tapi kalau Vonny tidak memilih Lio. Sampai kapan pun mereka tidak akan pernah bersama.
* * *
Aku selalu ingin kebahagiaan datang di hidupku agar aku tahu kalau sedih yang aku rasakan itu hanya sementara. * * * Warna biru menjadi usapan terakhir untuk memperjelas lukisan yang sedang Lio kerjakan. Sketsa Vonny yang ia buat di sekolah kini sudah dipindahkan ke kanvas yang lebih besar. Sudah sejam yang lalu Lio mengurung diri di kamar dan mengerjakan lukisan ini dengan cepat. Senyuman tipis namun penuh kebahagiaan kini terpancar jelas di wajah Lio. Lukisan wajah Vonny yang kesebelas, sisanya ia menaruh di tempat paling pojok di kamarnya, ia tidak ingin orang lain melihat terutama Vonny sendiri kalau selama ini Lio menggambar wajah cewek itu. Dulu waktu masih kecil, Lio juga pernah melukis wajah Vonny karena permintaan cewek itu sendiri. Tapi yang pasti karena kemampuan melukisnya belum sehebat sekarang, jelas bentuknya tidak benar-benar sesuai dengan wajah Vonny. Tapi Lio tetap bersyukur karena Vonny menyukainya, ia meli
Sampai kapan perasaan ini harus kupendam?* * *Suara-suara musik terdengar keras dari aula. Seharusnya Lio tidak terpengaruh dengan musik itu. Tapi langkah kakinya terus mendekat ke arah sana seolah-olah benar menariknya untuk melihat apa yang terjadi di aula.Benar saja, di sana sedang ada Vonny yang sedang menari dengan indah. Cewek itu memang mengikuti ekstrakurikuler dance. Tidak heran karena Vonny memang cewek yang terkenal aktif mengikuti banyak kegiatan, tapi pasti cewek itu selalu mengatakan kalau dia tidak bisa melukis seperti Lio.Lio selalu ingat pertama kali ia melatih Vonny untuk menggambar kupu-kupu. Tepat ketika mulai membuat sketsa, kupu-kupu yang Vonny buat memang tidak seindah buatan Lio. Bahkan terlihat seperti gambar anak TK bagi Lio.Namun semua kekurangan yang ada di diri Vonny, entah kemampuan lukis cewek itu yang sebenarnya tidak ada, tapi menurut Lio kekurangan itu terhapus karena Vonny s
Tanpa kamu bilang, aku sangat-sangat tau kalau kamu tidak mencintaiku. * * * “Vonny beneran mau datang ke rumah, Yo?” Lio mengangguk mendengar pertanyaan mamanya. Ia tidak begitu antusias hanya karena Vonny datang karena ia tahu kalau tujuan Vonny hanya karena ingin meminta bantuan darinya. “Kamu mau jalan berdua sama Vonny atau ada kegiatan lain?” Danisa, mamanya kembali bertanya. “Kalau cuma di rumah, Mama mau sekalian masakin makanan kesukaan Vonny nih.” Mamanya memang mengenal Vonny sejak hari pertama cewek itu berkenalan dengan Lio. Saat itu wanita paruh baya yang mengajak bicara mamanya ada ibu Vonny. Mereka tidak sengaja memulai obrolan dan baru mengetahui kalau saling bertetangga di perumahan yang sama. Apalagi sama-sama memiliki anak yang seumur juga. Namun sayangnya, bukan seperti di sinetron-sinetron yang akan menjodohkan anaknya, Lio sama sekali tidak merasakan itu. Padahal kalau mamanya akan menjodohkan Lio dengan
Ini tentang sedih yang menanti gilirannya bahagia.* * *Langit malam ini begitu gelap. Tidak ada bintang yang benar-benar menerangi. Cahaya bulan yang mengintip di balik awan yang menutup seolah-olah ikut menahan ide lukisan yang seharusnya sedang Lio kerjakan malam ini.Seharusnya ia mewarnai langit yang cerah, penuh dengan awan indah, dan burnng-burung yang berkelompok saling beterbangan. Tapi kali ini, tepat di kanvas putih kini sama sekali tidak ada hal terang di dalamnya.Lio baru saja menghabiskan satu botol cat lukis berwarna hitam yang ia tumpahkan begitu saja ke kanvas. Tidak ada warna lain yang benar-benar cocok berada di sana. Seperti langit malam ini, tidak ada bintang, tidak terang, dan penuh kegelapan.Percuma Lio menggerakkan kuasnya ke setiap sudut saat hasil lukisannya tidak terlihat apa-apa.Pikirannya masih melayang saat Vonny masih ada di kamarnya, mengerjakan tugas menggambar cewek itu hingga selesai. Tapi seti
“Kamu bisa gambar kupu-kupu sebagus itu?”Suara itu membuat Lio langsung menoleh. Ia memang memilih untuk duduk sendirian di taman yang tidak begitu jauh dari rumahnya. Tapi mamanya yang memaksa menemani Lio pun hanya diminta olehnya untuk duduk di kursi yang tidak begitu jauh dari tempat Lio sekarang.Lio dapat melihat di sebelah mamanya ada seorang wanita paruh baya yang usianya terlihat sama. Mereka seperti sedang sangat asyik mengobrol bersama.Maka ketika suara lembut yang tiba-tiba saja terdengar membuat Lio cukup terkejut. Ia mendapati seorang gadis kecil seusianya, dengan rambut panjang sepinggang, tersenyum memperhatikan lukisan Lio.“Mau apa kamu di sini?” tanya Lio cepat.Gadis kecil itu kini menatap Lio. “Lihat lukisan kamu yang bagus.”Lio tercekat mendengarnya, yang mengatakan kalau lukisannya bagus pasti selalu mamanya. Belum ada orang asing yang memuji hasil lukisannya ini. Lio memang sedan