Kayla terbangun dari mimpinya. Ia bermimpi lagi tentang saat-saat dimana ia berangkat dari masa depan ke masa sekarang. Hal itu membuatnya bersedih, terlebih ternyata masa depan telah berubah. Mamanya telah tiada entah karena sebab apa. Dia tak tahu apa yang harus dilakukan selain berusaha agar tidak ada satu pun sayap kupu-kupu yang dia injak. Kalau toh ada yang diinjak pun paling tidak ia hanya ingin bisa melihat mamanya kembali hidup.
Hari ini sudah beberapa hari semenjak terakhir kali peristiwa perjamuan itu. Faiz juga sekarang dikenal sebagai seorang anggota keluarga Wijaya, bahkan dikenal sebagai seorang pemberontak yang tak mau menerima warisannya. Dalam waktu sekejap berita tentang dia menyebar seperti bak selebritis. Yang paling terkejut tentu saja teman-temannya, karena mereka sama sekali tak pernah menyangka Faiz seorang anak konglomerat. Sedangkan Arief masih tetap dingin seperti biasa. Memang benar, Faiz tidak mau menerima warisan itu, namun bukan berarti warisan
“Ayolah, apakah kalian sudah baikan? Sudah dekat lagi atau malah canggung?”“Oh itu, tenang aja. Aku dan Faiz baik-baik saja kok. Tampaknya Faiz mulai kembali ke dia yang dulu. Aku senang melihat dia menjadi anak yang lebih terlihat bersinar,” puji Iskha. “Dia juga sudah mulai tak tidur di kelas. Ah, meskipun tidur tapi sepertinya dia menyimak pelajaran dengan cara yang lain. Heran saja bagaimana ia bisa mendapatkan nilai sempurna pada pelajaran sejarah yang bahkan aku sendiri ngantuk untuk mengikutinya.”“Bisa dibilang ia sekarang sedang fokus untuk masa depannya. Sebagaimana juga aku sedang fokus untuk masa depan juga,” kata Kayla. Dia meregangkan otot lengannya. “Agaknya aku harus bersemangat juga seperti kamu hari ini.”“Yup, yuk! Udah mau telat nih,” ucap Iskha sambil menggandeng tangan Kayla.Mereka naik angkot bersama, lalu sampai di sekolah pun bersamaan. Pagi yang cerah denga
Faiz dan Kayla berada di atap. Atap sekolah ini sebenarnya ada di atas ruang gym. Di tempat ini biasanya ada anak-anak ekstrakurikuler yang juga melakukan kegiatannya seperti karate maupun juijitsu. Angin bertiup kencang, membuat rambut Kayla berkibar-kibar. Dari tempat tersebut ia bisa melihat semua halaman sekolah dari gerbang sampai ke gedung tempat mereka belajar.“Ada yang ingin kau bicarakan?” tanya Faiz.“Kau tahu kalau dua hari lagi Iskha ulang tahun?” tanya Kayla.“Oh ya?” Faiz agak terkejut.“Halah, jangan bego. Kau pasti tahu, cuma pura-pura saja nggak tahu,” ucap Kayla.Faiz mengerutkan bibirnya. Sepertinya ada sesuatu yang aneh di sini. Sejak awal Kayla selalu mengetahui sesuatu yang tidak diketahui orang lain. Bahkan yang lebih aneh lagi kenapa dia memiliki sifat, perilaku dan kebiasaan yang mirip sekali dengan sahabatnya itu.“Aku lupa,” ucap Faiz.“Kau t
Dia kemudian mencoba mengambil buku yang lain. Buku-buku tentang teori-teori, teori relativitas, fisika kuantum, elektronika, listrik, ensiklopedia tempat-tempat bersejarah dan lain-lain. Bahkan Iskha juga sampai mengumpulkan buku-buku itu ke atas meja. Dia tumpuk buku-buku itu tak peduli buku apa saja yang dia ambil. Satu per satu kemudian dia mulai memeriksa kartu peminjamnya. Satu buku, dua buku, sepuluh, seratus, entah sudah berapa banyak buku yang dia ambil untuk diperiksa kartu peminjamnya. Dia pun menutup mulutnya tak percaya. Hampir semua buku ini dibaca Faiz? Bagaimana dia bisa? Padahal di kelas ia pekerjaannya tidur melulu.Iskha menutup wajahnya. Ia berusaha memahami apa yang terjadi selama ini. Apakah selama ini Faiz pura-pura jadi anak pemalas? Apakah selama ini dia pura-pura jadi anak bodoh agar tidak diperhatikan? Kenapa dia memendam perasaannya seperti itu? Apa yang sebenarnya dipikirkan anak itu? Dia tidak bodoh! Ia bahkan jenius. Otaknya encer, lalu kenapa d
Tak terasa sekolah hari ini sudah selesai. Murid-murid sudah beranjak dari bangku mereka untuk pulang ke rumah masing-masing. Arief bahkan membawa tempat bekal milik Lusi. Gadis itu sangat senang ketika tempat bekalnya dibawa Arief. Lusi buru-buru menggandeng Iskha, tampak sekali hatinya berbunga-bunga.“Lho, tumben gandeng-gandeng ini sambil senyum-senyum,” ucap Iskha menggoda sahabatnya.“Hehehe, ada deh,” ucap Lusi nyengir.“Cieehh, yang mulai pedekate. Gimana? Sukses belom?” tanya Iskha.“Sejauh ini sih aman-aman saja. Dia suka lho masakan buatanku,” jawab Lusi.“Kenapa? Kamu kasih mantra-mantra cinta gitu? Hihihihi,” goda Iskha.“Yaaahh, sejuta harapan sih ada. Kalau mantra cinta nggak ada. Paling juga kalau pas masak dikasih perasaan biar kesannya mendalam,” jelas Lusi.“Sok romantis. Biasanya aja nggak,” ledek Iskha.“Pokoknya hari
Setelah menyusun rencana untuk ulang tahun Iskha, Arief kemudian segera pergi ke tempat parkir untuk mengambil sepeda motornya. Sepeda motornya merupakan sepeda motor cowok merk Honda CBR-250-RR. Sepeda motor canggih yang paling keren di kelasnya. Suaranya yang menderu, warnanya yang kelabu, membuat makin gagah saja penunggangnya. Arief memasukkan tempat bekal yang diberikan Lusi tadi ke dalam ranselnya. Sebenarnya dia menghargai siapapun bahkan ketika ada orang yang berbuat baik kepadanya. Ia pasti akan membalasnya dengan berbuat baik. Sebenarnya pula, ia tak menaruh perasaan apapun ketika menerima bekal buatan Lusi, baginya Lusi melakukan itu karena sebagai teman, tidak ada yang lebih. Meskipun mungkin Lusi punya maksud lain yang tidak bisa diungkapkannya.Arief langsung pulang. Dia tidak pernah mampir ke mana-mana setelah memang tak ada urusan lagi di sekolah. Urusannya di sekolah sudah padat sehingga ia tak pernah mencoba berharap untuk bisa main ke sana kemari. Dengan se
“Assalaamu’alaykum,” sapa seseorang dari luar pagar.Penasaran, akhirnya Iskha pun keluar dari rumah. Dia sangat terkejut melihat siapa yang datang. Faiz? Cowok itu kembali dengan model rambut landak berdiri sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celana jinsnya. Sementara itu kepalanya melongok dari atas pagar. Dasar cowok tiang listrik, tingginya benar-benar membuat Iskha nggak percaya kalau dulu dia dan Faiz sepantaran. Kedatangan Faiz ini cukup mengejutkan, karena dia jarang sekali datang ke rumahnya.“Wa’alaykum salam.... Faiz?” jawab Iskha. Iskha segera pergi ke pagar lalu membukanya. “Ada apa? Masuk dulu!”“Jalan-jalan yuk?!” ajak Faiz.“Hah? Jalan-jalan?” tanya Iskha tak yakin.“Iyalah, di deket sini kan ada taman kan? Aku ingin jalan-jalan sambil ngobrol ama kamu kalau boleh,” ucap Faiz.“Sekarang?”“Tahun
Iskha segera beringsut menuju ke ayunan yang berada di bagian taman berpasir putih. Desain taman ini cukup unik. Ada banyak mainan anak-anak seperti prosotan, ayunan dan jungkat-jungkit. Selain itu juga ada macam alat-alat senam seperti yang menggunakan tuas dan pedal yang bisa digunakan untuk bergerak. Terkadang orang-orang menggunakan alat-alat ini ketika mereka sedang berolahraga di taman. Tak cuma itu taman ini juga membentuk rute yang cocok digunakan untuk jogging, karena rindang dan ditumbuhi berbagai macam tanaman yang membuat siapapun betah untuk berolaharga di sini. Selain itu tempat sampahnya juga tersedia di berbagai sudut taman sehingga kebersihannya tetap terjaga.Gadis itu pun duduk di ayunan tersebut. Rambutnya bergerak-gerak ketika ayunan itu cukup cepat bergerak. Faiz berdiri di sebelahnya sambil memegangi ayunan itu agar tak terlalu cepat. Dia jadi teringat lagi sewaktu kecil juga melakukan hal ini. Dia menjaga agar ayunan itu tidak terlalu cepat berayun unt
Faiz sudah berada di rumah Iskha. Dia tampak berada di ruang tamu dengan Iskha yang mengobatinya dengan antiseptic. Perlahan-lahan gadis itu menuangkan cairan anti kuman ke kapas setelah itu dibasuh ke lukanya Faiz. Dengan telaten Iskha melakukannya. Dia bahkan sesekali meniup luka itu seolah-olah sangat sayang sekali luka itu bisa ada di sana. Terakhir ia mengambil plester bergambar kucing lucu, setelah itu ditempelkannya plester itu di siku. Dia tersenyum, seolah-olah karyanya sangat cantik dan imut.“Iskha?!” panggil Faiz yang membuyarkan gadis itu dari dunia khayalannya.“Hah? Apa?” tanya Iskha.“Serius?”“Maksudnya?”“Serius pake plester ini? Aku ini cowok. Orangnya macho, jago silat. Masa’ dikasih plester gambar kartun kucing lucu gini sih? Hilang dong kemachoanku,” keluh Faiz.Iskha ngikik. “Itu cocok kok buatmu.”“Tapi kan...!” Faiz prote