“Kau mau lamar kerja?” tanya seorang petugas keamanan saat melihat pria 28 tahun itu melangkah penuh semangat.
“Iya, saya mau lamar kerja! Apa perlu bikin surat lamaran?”
“Eh! Tidak usah!” petugas itu lalu menyodorkan selembar kertas formulir untuk diisi. “Ini bolpoinnya. Isi aja, nanti aku yang antar ke HRD!”
“Segampang itu?” Jaka tak menyangka akan mendapatkan kemudahan di awal. Biasanya untuk melamar kerja dia harus membawa selembar surat dengan tulisan tangan yang rapi dan beberapa kelengkapan lain, tapi disini semua terbalik.
Ini!
Jaka menyodorkan formulir itu dan diterima dengan senyuman oleh petugas keamanan.“Baik! Sambil nunggu hasil kamu boleh ambil rokok sepuasmu!” tunjuk pria paruh baya itu ke arah meja yang terdapat rokok berbagai merek.
“Enak amat!” celetuk Jaka lalu tersenyum.
“Kerja di sini itu enak, cuma sayang jarang banget orang yang mau ngisi posisi di sini!”
“Oh, ya!”
“Sudah, sambil nunggu silahkan ngerokok dulu. Ada kopi juga di meja itu!”
Jaka hanya mengangguk lalu mengambil sebatang rokok yang segera dia nyalakan sedang petugas keamanan berjalan tegak menuju ruang HRD yang akan menentukan nasib Jaka selanjutnya.
Setelah menghabiskan sebatang rokok petugas keamanan kembali dengan senyuman. Dia lalu mengulurkan tangan membuat Jaka mengernyitkan keningnya.
“Selamat!” ucapnya singkat.
Hah!
Doa Jaka terkabul dia diterima kerja di posisi yang dia lamar.
Gampang!
Hanya itu yang ada di kepala pria tampan ini. Tentu ini tak sebanding dengan keraguannya selama ini yang membuatnya tak pernah mau bergerak untuk melamar pekerjaan.
Pekerjaan ini sangat menyenangkan, Jaka tidak bermodalkan apa-apa. Kendaraan, bahan bakar, dan segala macamnya sudah disiapkan. Dia juga dapat uang makan dan pastinya bonus jika pekerjaannya selesai tepat waktu. Jadi dia tinggal berangkat dan menerima upah. Sungguh pekerjaan impian semua orang.
Setelah yakin diterima, Jaka kemudian bertemu dengan Danu, kepala gudang yang akan mengatur keberangkatan Jaka setiap hari. Danu pria 40 tahun yang ramah dan selalu memotivasi Jaka untuk menerima pekerjaan ini meski sesekali Jaka masih saja terlihat ragu.
Hari pertama Jaka sebagai supir peti mati akan dimulai pagi ini. Roro yang kini tengah hamil besar tidak berhenti tersenyum sejak subuh. Dia sangat puas karena suaminya mendapatkan pekerjaan. Sesekali bayi dalam perutnya diusap dan ditepuk pelan. Wanita itu menjanjikan bubur dan pakaian bagus pada anak pertamanya tersebut.
"Jaka, tolong antarkan peti mati ini ke rumah duka. Alamatnya di Malang. Untuk alamat lengkapnya akan saya tuliskan." kata Danu dengan ramah.
Danu yang rampung menuliskan alamat lengkap pada selembar kertas itu kembali menghadap Jaka. Jaka yang langsung menerima kertas tersebut manggut-manggut. Rupanya Jaka familiar dengan Kepanjen, tempat tujuan Jaka hari ini. Barangkali hanya memakan waktu satu jam dari Lawang, tempat pabrik ini berdiri.
"Baik, Pak. Setelah ini akan langsung saya antarkan."
Danu mengangguk sembari menyerahkan kunci mobil pengantar peti mati. Lantas Jaka diminta untuk memanaskan mesin sembari menaikkan peti tersebut ke atas mobil.
“Ini bayaranmu!” tegas Danu lalu menyodorkan amplop putih tebal ke arah Jaka.
“Saya langsung dibayar?” Jaka berlaga sungkan padahal sebenarnya dia girang bukan kepalang.
“HRD dengar istrimu sedang hamil. Jadi aku bayar kamu sebelum berangkat, jadi kamu bisa langsung pulang setelah antar peti!”
“Alhamdulillah! Terima kasih, Pak!” Jaka mencium punggung tangan Danu berkali-kali.
Betapa tidak, meski belum menghitung jumlah uang dalam amplop Jaka sangat yakin jumlah uang ini lebih dari yang dibayangkan.
Seusai mobil dipanaskan, Jaka langsung pamit pada Danu dan bergegas untuk berangkat. Mobil dikemudikan dengan kecepatan konstan menuju kota. Sepanjang perjalanan itu Jaka tidak berhenti bersenandung. Mengapa tidak dari dulu saja dia bekerja sebagai pengantar peti mati? Pekerjaan ini mendatangkan untuk yang begitu besar.
Jaka menginjak rem perlahan mengikuti rambu lalu lintas. Cahaya lampu lalu lintas yang berwarna merah itu kemudian berganti warna kuning. Sekian detik usai itu kendaraan dari belakang berlomba-lomba menyerukan klakson. Rambu berganti hijau.
Jaka yang hendak meningkatkan kecepatan mobil seketika merasakan sesuatu yang aneh dari arah belakang. Bukan! Bukan dari pengendara lain di belakangnya. Akan tetapi, dari arah peti mati yang dia bawa.
"Anakku sayang, malang sekali nasibmu!"
Suara seorang wanita dengan nada bergetar membuat tengkuk Jaka merinding. Suara itu seolah-olah menggema, menubruk pendengarannya. Usai itu suara tangis mengalun panjang dan semakin lama volumenya meninggi.
“EH!” Jaka yang penakut nyaris tidak fokus. Sembari meningkatkan kecepatan mobil, lelaki itu menggigit bibir takut. Seumur-umur dia hampir tidak pernah merasa horor seperti ini.
Tangisnya mengalun merdu. Berbaur dengan suara khas wanita yang ditahan. Sesekali suara itu sesenggukan. Hingga kemudian tangisnya pecah sudah.
"Tolong kami! Tolonglah anakku yang malang ini!"
Lagi! Suara itu semakin jelas terdengar. Tangan Jaka yang sibuk memutar kemudi bergetar hebat. Berulang kali dia menyakinkan dirinya sendiri bahwa suara itu hanya halusinasi. Meski hati Jaka tidak mampu menyangkal. Ya, suara itu ada!
Jaka tidak mampu menoleh ke belakang. Sendi-sendi lehernya seketika kaku. Kakinya lemas, nyaris mati rasa. Kalau saja keterampilan berkendaranya tak sempurna, mobil itu mungkin sudah oleng.
Jaka terpejam sedikit lebih lama sebelum memberanikan diri melihat kaca mobil. Di belakang tidak ada siapa-siapa! Tangis itu tidak lagi terdengar. Ucapan seorang wanita yang berulang kali menyebut sang anak seketika berhenti. Gemuruh dada Jaka semakin tak karuan.
Jantungnya berdetak lebih kencang dan dia semakin sesak. Keringat dingin bercucuran. Selintas dia berpikir, 'Apakah aku akhiri saja pekerjaan ini?'
Ini adalah tugas pertamanya sebagai seorang pengantar peti mati. Akan tetapi, kejadian semacam ini sudah langsung membuatnya menciut.
Namun, mengingat upahnya yang cukup besar membuat Jaka berpikir berulang kali. Apakah dia harus melanjutkan perjalanan ke Malang atau balik putar pulang ke rumah?
Jelas! Jika dia pulang sekarang, Roro akan marah habis-habisan seperti sebelumnya. Jaka sudah malu bukan kepalang kalau Roro meributkan perkara uang. Sembari mengumpulkan keberanian, Jaka membanting setir belok kiri menuju jalan satu arah.
Jaka berusaha mengalihkan perhatian dari suara-suara yang mengganggunya itu. Uang lima ratus ribu yang diiming-imingi Danu berharap bisa mengalihkan hawa-hawa negatif yang menghampirinya. Dia mencoba mengumpulkan keberanian, berharap waktu tiga puluh menit itu bisa dipangkas jauh dan dia langsung melesat sampai ke tempat tujuan. Jaka tidak menyangka peti mati ini rasanya sangat horor.
"Siapapun kau, tolong selamatkan Laras-ku!"
Deg!
Jaka mengerem mobilnya secara mendadak. Injakan rem itu terlewat kuat hingga mobil di belakangnya memencet klakson terlewat kencang. Jaka terlonjak kaget.
Suara wanita yang beberapa waktu lalu menyingkap pendengarannya kembali singgah. Kali ini suara itu terdengar semakin jelas dan menyeramkan. Hawa mencekam kembali mengurung Jaka. Seisi mobil mendadak horor.
“Astaga!” bisik Jaka ketakutan.
Tangis sesegukan terdengar semakin kencang. Telinga Jaka seperti bergetar, ingin menolak suara itu merasuki otaknya. Dia kembali memejamkan mata, sedangkan suara klakson semakin ramai menegurnya.Jaka menarik napas dalam-dalam. Bayangan tentang Roro yang akan marah besar bila ayam potong dan beras itu tidak dapat dibelikan menggerayangi otaknya. Di samping itu, dia memikirkan tentang keadaan anaknya. Kalau sampai pada titik Roro harus bersalin dan dia belum mendapat uang sama sekali, Jaka tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri. Dia akan menjadi pria paling gagal dalam memperjuangkan keluarganya.Jaka memungut kembali serpihan-serpihan keberanian yang tercecer dan kembali menyalakan mesin mobil. Dia melanjutkan perjalanannya menuju tempat tujuan. Terlepas dari rasa takut yang menyerangnya dan keinginan mendapatkan uang lebih cepat, ada amanah dari Danu yang harus dirampungkan.“Sedikit lagi Jaka! Sedikit lagi!” bisiknya menyemangati diri.Jaka mempercepat laju mobil begitu sampai di
“Kenapa, Mas?” tanya Bowo sambil terkekeh. “Ah! Nggak!” jawab Jaka sok berani. Dia sebenarnya takut bukan main tapi bukan Jaka anaknya Pak Gunawan kalau dia harus terlihat penakut di depan teman kerjanya.“Kalau gak ada apa-apa kita sarapan dulu aja!” lanjut Bowo.Roti basah yang dibekalkan Roro dari rumah ludes sudah. Jaka langsung membuang bungkusnya dan segera menandaskan secangkir kopi yang disiapkan Danu. Bowo juga ikut menghabiskan kopi jatahnya lantas memeriksa mobil."Saya Jaka. Pekerja baru yang katanya bakal nganter peti mati bareng Bowo."Bowo mengangguk. "Wah, kamu masih keliatan muda banget. Salam kenal, saya Bowo yang bakalan jadi kernet kamu hari ini," jawabnya sembari tersenyum.Keduanya sudah siap untuk berangkat. Usai memasuki mobil, mereka langsung mengenakan sabuk pengaman. Gas ditarik pelan dan mobil berhasil memotong jalan, menyusul kendaraan lain yang lewat.Perjalanan pagi ini masih cukup lancar. Belum banyak kendaraan yang berlalu lalang. Matahari pun belum m
Seketika Jaka menelan salivanya. Pikiran buruk kembali hadir. Nama-nama saudara Ayah dan pada karyawan itu berbaur dengan sekian banyaknya keluarga Ibu. Kembali Jaka ingin kenangan tentang satu per satu keluarga Ibu. Termasuk Rani.Kalau bukan keluarga Ayah yang berbuat jahat, tidak ada opsi selain keluarga Ibu. Kini pertanyaan Jaka menjadi sangat kompleks.'Apakah keluarga Ibu yang membunuh Ayah dan merampas semua harta Ayah?'Jaka bergegas mengantarkan peti mati tersebut dengan kecamuk pikiran buruknya. Dia terus mencari korelasi yang tepat tentang peran penting keluarga Ibu di tengah kebangkrutan perusahaan Ayah.'Apakah kematian Ibu dua tahun yang lalu membuat mereka merasa bebas dan semakin semena-mena dengan keluargaku?'Jaka berceloteh dalam hati, menafsirkan apa pun yang sekiranya bisa memecah kebisingan dalam benak.Hanya butuh waktu dua puluh menit untuk sampai ke alamat tujuan. Jaka langsung tahu di mana persisnya rumah yang dimaksud Danu.Jaka langsung memberhentikan mobil
"Ngomong apa kamu, Ka? Aneh! Kamu pikir aku nggak bisa marah sama kamu karena tuduhan ini?" kesal Irwan pada Jaka yang begitu berani di hadapannya. "Apa karena kamu jatuh miskin kamu jadi minim ahlak?" Jaka menatap nanar ke arah Irwan yang begitu marah di depannya. Dia sadar saat ini dia tidak punya dasar untuk melanjutkan perdebatan yang pasti akan jadi panjang kalau dia lanjutkan."Sudah, kalau kamu tidak mau ribut sama aku, pergi aja sana. Kita hidup masing-masing, jangan saling ganggu toh perkataanmu itu nggak mungkin ada buktinya," Irwan berbisik penuh penekanan sambil menatap tajam ke mata Jaka yang memang dia yakini berbicara tanpa dasar.Irwan lalu menunjuk ke arah pintu keluar dengan senyuman licik seakan mengusir putra yang kini sudah tidak berharta. "Aku akan kembali," bisik Jaka dengan tatapan perlahan meredup. "Aku akan cari bukti untuk seret kamu dari sini,""Ok, cari saja. Kalau kamu bisa dapat, aku akan pergi dari sini dan mengembalikan semua harta yang kamu tuduhkan
Jaka kembali melanjutkan harinya sembari terus mengingat apa yang dikatakan Roro padanya, dia harus mulai melupakan keinginannya membalas dendam ayahnya demi keselamatan keluarga kecilnya. Bukan tanpa alasan Roro meminta itu pada suaminya, bagi wanita sederhana itu memang Jaka berhak untuk memenuhi permintaan ayahnya yang sudah tiada, tapi melawan keluarga kaya suaminya yang memiliki uang dan kekuasaan adalah hal konyol yang bisa saja membuat mereka justru terjerumus dalam jurang kesulitan yang lebih besar. "Memang Bang Irawan itu polisi, Ro," lanjut Jaka malam harinya. "Duh, kalau ingat kemarahanku tadi, aku jadi takut kalau dia... " Roro yang biasanya pemarah malam itu malah terlihat tenang, dia tau kemarahannya tidak akan merubah apapun saat ini. Dia hanya memandangi wajah Jaka yag terus tergiang wajah ayahnya yang memintanya menuntut balas. "Kalau dia apa?" tanya Roro setelah anak kata Jaka tidak berlanjut. "Ya, seperti yang kamu bilang tadi," "Sudah, Mas. Yang penting sekaran
Jaka melangkah cepat mengikuti Danu yang terlihat tidak mau sampai terlambat menemui tamu tidak diundangnya."Bapak siapa, ya?" tanya Danu datar saat tiba di depan Irawan yang berseragam lengkap dengan bintang tanda jasa di bahunya. Saudara Jaka itu langsung tersenyum sinis melihat Jaka yang berdiri di belakang Danu dengan wajah menunduk malu.Jaka sungguh tidak menyangka jika identitasnya akan segera terbongkar oleh Irawan yang akan semakin merendahkannya."Oh, jadi kamu sekarang kerja di sini? Kasihah," ledek Irawan lalu meninggikan dagunya begitu sombong. "Jadi anak orang kaya sekarang kerja di sini? Hehehehehe,"Jaka masih menunduk, dia tidak tau harus marah atau senang mendengar perkataan Irawan yang begitu merendahkannya."Pantas saja kamu begitu marah sampai nuduh-nuduh aku yang bukan-bukan. Ternyata kamu...""Ada apa, ya, Pak?" tanya Danu dengan sopan. "Bapak tidak datang untuk menghina pekerjaan kami, kan?""Hey, aku tidak ada urusan sama kamu!" bentak Irawan membuat Danu be
"Jaka, cepatlah! Dia butuh kamu ke sana sekarang," teriak sosok Rani, salah seorang kerabat Jaka yang sempat ditemui Jaka saat mengantarkan peti jenazah."M..." Belum sempat Jaka memanggil sosok itu, tanggannya sudah lebih dulu meraih surat jalan di meja Danu lalu memutar badannya menuju mobil pick up yang sudah berisi muatan sebuah peti mati cantik berwarna putih."Mas! Mas!" panggil Bowo yang harusnya menemani Jaka hari ini."Eh," Jaka yang sudah menyalakan menis mobil untuk siap meluncur mengeluarkan kepalanya lewat kaca jendela untuk memihat Bowo di bagian belakang mobil."Mau kemana? Aku kok ditinggal," keluh Bowo sambil menggaruk tengkuknya."Maaf, aku lupa," Jaka membuka pintu samping mobil pick up itu mempersilahkan kernetnya duduk di samping sebelum Jaka kembali menyalakan mobil."Kenapa buru-buru?" tanya Bowo merasa aneh. "Memangnya kita mau ke mana?" "Itu," tunjuk Jaka pada surat jalan yang ada di atas dastboard. Kernet muda itu meraih surat jalan yang ditunjuk Jaka kemud
"Aku tidak percaya dia sejahat itu," lirih Jaka sambil menghela nafas berat. Kabar yang disampaikan Rani sungguh menyesakkan dadanya, terlebih karena dia dan keluarganya tidak pernah mau mempercayai hal mistis, gaib atau apapun namanya apa lagi yang membutuhkan tumbal.Bowo bukan tidak mendengar perkataan temannya, tapi dia tidak mau mengganggu Jaka yang kini sedang berbincang dengan mahluk gaib di sebelahnya.Mata Bowo menangkap kehadiran Rani, namun karena dia merasa ini urusan Jaka, dia pun memilih untuk diam."Itu rumahnya," tunjuk Bowo setelah tiba di belokan terakhir menuju Jalan Ijen, Kota Malang."Iya, aku tau. Aku pernah kesana,"Bowo hanya mengangguk pelan sambil memarkirkan mobil setelah dia melambai ke penjaga gerbang rumah besar itu.Jaka membuka pintu untuk turun, Tapi belum sampai kakinya menatap tiba-tiba Bowo menarik tangan suami Roro itu lalu menggeleng."Apa?" tanya Jaka tidak mengerti."Mas di mobil aja, kalau Mas turun aku takut mereka curiga," bisik Bowo lalu m
Meski tawa Dumadi begitu sinis tapi Jaka tetap harus mendengarkannya. Mereka terus berada di rumah Irawan sampai akhirnya langit perlahan gelap dan Jaka sadar kalau ini saatnya pulang.Dia bersama Bowo kemudian memasuki kembali mobil pick up tua yang berjalan begitu lambat menyusuri jalan pulang yang hari itu terlihat lebih lengang.Sesekali mata Jak terlihat sayu karena lelah dengan semua kejadian barusan dan kembali terang begitu tiba di jalan kampung yang berarti dia semakin dekat dengan rumahnya."Aku turun di sana aja," ucap Bowo sambil menepuk bahu Jaka yang tegap."Oh!" Sedetik kemudian Jaka sudah menyalakan lampu sein dan mobil perlahan bergerak ke kiri.Tangan Bowo segera membuka pintu lalu melambai begitu kedua kakinya mendarat di atas tanah yang basah, sepertinya hujan turun beberapa saat lalu. "Ah, sudah sampai," ucapnya lalu menutup pintu dengan tangan kirinya."Yok!" jawab Jaka singkat lalu kembali menginjak pedal gas sebelum Bowo menyampaikan salam perpisahan.Entah men
Serpihan itu perlahan terbang meninggalkan rumah mewah milik perwira polisi itu meski Jaka dan Bowo terus mengamatinya.Butiran-butiran itu terbang begitu bebas kemudian menghilang tersapu angin."Itu!" teriak Bowo menyadari ada yang salah dari diamnya mereka. "Kemana mereka?" Pertanyaan itu membuat Jaka tersadar, Irawan yang ada di kamar tiba-tiba menghilang. Entah kapan dia pergi, mungkin saat Red menghilang atau mungkin saat mereka lengah.Gila!Teriak Jaka lalu melangkah masuk ke dalam kamar milik sepupunya itu dengan wajah penuh kesedihan. "Bagaimana aku bisa melupakannya," desis Jaka lalu masuk ke dalam kamar untuk memastikan apa yang dia lihat. "Dia benar-benar hilang," ulang Jaka setelah memastikan jika kamar itu memang sudah kosong."Sudah! Sudah!" Tiba-tiba dari dinding yang bisa terlihat sesosok cahaya yang kemudian dikenali Jaka sebagai Gunawan, ayahnya. "Aku tau ini pasti terjadi. Mereka pasti punya rencana jahat hingga kamu harus hati-hati padanya.""Ayah, tapi dia meng
"Diam!" teriak Marni yang sudah sejak tadi ingin menghabisi adik ipar Jaka itu. "Kamu tidak akan bisa lari lagi. Sekarang aku akan menghabisimu!" Darma yang mendengar perkataan Marni langsung berdiri karena ternyata tadi yang melilit tubuhnya tidak berfungsi. Dia lalu menatap wajah Marni yang ketakutan kemudian menepis tangan pelayan Irawan itu kuat-kuat hingga pisau yang ada di tangannya terpetal jauh."Kee--napa kamu bisa sekuat ini?" tanya Marni tidak percaya."Mas, habisi dia. Dia ini setan. Dia akan mudah kamu taklukkan sekarang!" teriak Darma lalu memutar lehernya ke arah Jaka.Tidak perlu menunggu, Jaka langsung mendekat ke arah Marni. "Tenyata mudah mengalahkanmu!" teriak Jaka lalu meremas jemarinya untuk siap membogem wanita paruh baya itu.Plas!Tangannya melayang dan wajah sedetik kemudian wajah Marni remuk karena bogemannya itu. Ah!Marni terkapar di atas lantai lalu melirik ke arah kamar dimana Irawan sudah jadi mayat hidup yang tidak kunjung dijemput sang malaikat maut
"Aku tau kelemahan mereka," desis Darma lalu melirik ke arah Jaka.Hah!Jaka terbelalak mendengar perkataan adik iparnya itu merasa tidak mungkin tapi wajah Darma nampak begitu yakin dengan apa yang dikatakannya."Lalu apa yang kamu tau soal mereka?" tanya Bowo dengan wajah kebingungan. "Kalau bisa kita habisi saja sekarang,"Mendengar perkataan Bowo wajah Darma yang awalnya begitu yakin sontak berubah tertunduk. Dia lalu melirik ke arah Jaka yang masih duduk di sampingnya kemudian berkata. "Tapi aku tidak tau caranya,"Mmm!Jaka yang tadinya yakin pada Darma dengan kesal berkata. "Kamu ini kayak kentut. Tadi yakin banget, sekarang ragu. Sebenarnya mau kamu apa, sih?""Ada sosok yang terang di saat aku mau masuk ke gerbang kematian, Mas. Dia bilang kamu adalah orang yang kuat, hanya saja ketidakyakinan itu membuatmu lemah."Deg!Jantung Bowo berdegup kencang, dia teringat pada perkataan Nenek Manda soal kekuatan Jaka yang tersembunyi. Dia lalu menarik tangan Jaka kuat-kuat hingga kepa
"Kalian harus ijinkan Darma tetap di rumah itu dan membantu Jaka dari rong-rongan Irawan," bisik Nenek Manda dengan suara yang tiba-tiba jadi lantang. Tidak cuma suaranya yang jadi lantang, mata Nenek Manda berubah jadi merah dan rambutnya seperti terkibar angin yang datang dari sekeliling rumah.Bowo yang tidak mengerti tentang perubahan diri wanita tua itu hanya terdiam memandangi sorot mata yang begitu asing baginya. Dia terus mencoba mengartikan apa gerangan maksud dari nenek sakti ini. "Apa yang kamu maksud sebenarnya?" tanya kernet baik itu berharap Manda mau menjelaskan lebih detail maksud perkataannya."Aku tau ini terdengar aneh, tepi kamu harus biarkan Darma di sana. Hanya itu tugas terakhir Darma di hidupnya,""Apa?" Bowo terbelalak. Dia kembali teringat cerita ibu warung kalau adik ipar Jaka itu saat ini sedang dalam keadaan koma dan bisa kapan saja meninggal.Bowo berusaha menenangkan diri karena kabar ini bukan kabar bagus baginya, dia terus berharap apa yang dia pikirk
"Tidak ada!" teriak Bowo setelah memastikan dua sosok itu sudah pergi dari tempat yang mereka duga adalah tempat persembunyian mereka."Iya, tapi aku yakin dia akan kembali ke rumah ini. Mereka berdua masih mau Mas mati," tambah Darma lalu mendekat ke arah Jaka. "Mas tau kan kenapa aku tidak mau Mas jadi korban mereka?""Apa?" tanya Jaka semakin penasaran dengan keputusan adiknya yang tidak mau meninggal padahal saat ini dia sedang ada di gerbang antara hidup dan mati."Karena Rio, Mas. Anakmu masih butuh kamu dan aku lihat tenagamu semakin hari semakin tipis saja. Sepertinya ada sesuatu denganmu hingga tenaga pemberian nenak sakti itu tidak semuanya bisa kamu dapatkan!"Jaka mengangguk membenarkan apa yang dikatakan Darma sore itu. Semenjak beberapa hari lalu tenaganya sudah tidak sebesar sebelumnya. Dia kembali jadi penakut seperti tidak berdaya apa lagi saat pelayan Irawan yang notabene adalah seorang wanita menyerangnya saja dia tidak bisa mengelak.Mendengar cerita Darma tentang
Tentu kabar yang baru sampai di telinga Jaka bukanlah kabar baik hingga dia memutuskan untuk buru-buru pergi dari warung dan menyalakan mesin mobil untuk terlebih dulu menyelesaikan tugasnya hari ini.Sama seperti Jaka, Bowo juga tidak punya rencana lain kecuali menyelesaikan tugas hari ini dan kembali ke rumah Jaka untuk bertanya pada Darma apa yang sebenarnya terjadi.Setelah tugas selesai cepat-cepat keduanya menuju rumah kontrakan Jaka dan menemui Darma yang sore itu berada di ruang tengah sambil menikmati rokok yang dibawa Jaka dari Kediri.Wajah adik Roro itu terlihat biasa saja seperti tidak terjadi apa-apa. Ya, kalau Jaka tidak tau ceritanya, tentu wajah Darma sore itu biasa saja, tapi setelah tau apa yang terjadi pada adik iparnya, Jaka jadi penasaran juga untuk bertanya. "Sudah makan?" tanya Jaka dengan suara bergetar sambil duduk di samping Darma yang jelas dia tau sedang dalam keadaan buruk di rumah sakit."Kenapa wajahmu seperti itu?" tanya Darma merasa risih dengan tata
Setelah perbincangan panjang pagi itu, Jaka kembali ke pabrik untuk memulai aktifitasnya. Dia melupakan sejenak masalah adik iparnya untuk fokus dengan tugas yang diberikan Danu hari ini.Tugasnya tidak berat, hanya mengantarkan dua buah peti mati ke Surabaya tepatnya di daerah Waru dekat Terminal Bungurasih. Untuk urusan antar peti ke Surabaya memang baru bagi Jaka tapi tidak untuk Bowo yang nampak begitu siap duduk di samping Jaka yang terlihat bingung akan memilih jalan yang mana mengingat jalan menuju Surabaya adalah hal asing baginya.Karena merasa Jaka tidak akan mampu menyetir hingga tujuan dan terlalu riskan memberikan tugas ini pada Jaka akhirnya Bowo sepakat untuk memengang kemudi sembari Jaka mengingat-ingat jalan ke titik tujuan.Sepakat duduk di samping kemudi, Jaka mulai terlihat nyaman dengan joknya. Dia juga mengeluarkan sekotak rokok pemberian rumah duka di Kediri agar tidak mengantuk saat mobil mulai melaju."Mas, tadi kata Mas kan mau sarapan dulu. Jadi nggak nih?"
Jaka berlari sekencangnya dengan seluruh kekuatan yang dia miliki. Kakinya sempat beberapa kali tersandung kerikil tapi dia buru-buru menyeimbangkan diri agar tidak terjatuh di saat yang genting ini.Sama seperti kakak iparnya. Darma juga berlari dibelakang Jaka tanpa mau menoleh ke belakang dan baru berhenti saat akhirnya mereka berdua tiba di depan halaman masjid."Alhamdulillah," Jaka yang terengah-engah langsung duduk di tangga masjid yang mulai dipadati para jamaah. "Kamu dengar kan tadi itu, Ma?" tanya Jaka pada Darma yang mengikutinya duduk di tangga."Iya, Mas. Jelas banget. Udah kita sholat aja. Jangan pikirin yang tadi,"Keduanya kemudian kompak berdiri dan melangkah masuk ke dalam masjid. Setelah mendapat posisi sholat yang mereka rasa paling tepat, Jaka dan Darma perlahan khusuk dalam ibadah pagi mereka.Selama sholat hingga melantunkan doa, Jaka dan Darma terlihat tidak sedikitpun menoleh ke belakang. Mereka masih takut kalau sosok asing itu akan mendekati mereka meski me