Seketika Jaka menelan salivanya. Pikiran buruk kembali hadir. Nama-nama saudara Ayah dan pada karyawan itu berbaur dengan sekian banyaknya keluarga Ibu. Kembali Jaka ingin kenangan tentang satu per satu keluarga Ibu. Termasuk Rani.
Kalau bukan keluarga Ayah yang berbuat jahat, tidak ada opsi selain keluarga Ibu. Kini pertanyaan Jaka menjadi sangat kompleks.
'Apakah keluarga Ibu yang membunuh Ayah dan merampas semua harta Ayah?'
Jaka bergegas mengantarkan peti mati tersebut dengan kecamuk pikiran buruknya. Dia terus mencari korelasi yang tepat tentang peran penting keluarga Ibu di tengah kebangkrutan perusahaan Ayah.
'Apakah kematian Ibu dua tahun yang lalu membuat mereka merasa bebas dan semakin semena-mena dengan keluargaku?'
Jaka berceloteh dalam hati, menafsirkan apa pun yang sekiranya bisa memecah kebisingan dalam benak.
Hanya butuh waktu dua puluh menit untuk sampai ke alamat tujuan. Jaka langsung tahu di mana persisnya rumah yang dimaksud Danu.
Jaka langsung memberhentikan mobilnya tak jauh dari rumah tersebut dan segera menurunkan peti mati. Pengurus prosesi tutup peti itu bergegas mengambil petinya dari Jaka dan memberikan bayaran sesuai yang dijanjikan.
Tampaknya semua keluarga Ibu datang untuk berbela sungkawa. Banyak mobil dan sepeda motor yang memenuhi halaman rumah. Jaka yang juga ingin melihat jenazah Rani turut melangkahkan kaki lewat pintu depan.
"Jaka!"
Jaka menoleh pada salah seorang anggota keluarga yang menyapanya. Dia tersenyum sekilas.
"Dari mana kamu tau kalau Rani meninggal? Apakah ada keluarga yang menghubungimu?"
Jaka lihat sejenak peti mati yang melintang di hadapannya. Tidak mungkin Jaka bercerita kalau dirinya sekarang bekerja sebagai pengantar peti mati. Gengsinya masih cukup tinggi.
Makanya dia putar pandangan ke arah salah seorang keluarga yang baru datang. Jaka tersenyum simpul.
"Hallo, Mbak Ratih! Keluarga Mbak Ratih sehat?" tanyanya sekadar untuk basa-basi.
"Sehat,Ka. Kemarin Mas Ben berangkat kerja ke luar kota lagi."
Seseorang yang Jaka panggil Mbak Ratih itu mengangguk. Ratih adalah salah satu kerabat yang cukup dekat dengan Ibu. Makanya Jaka tidak sungkan mendekatinya sekadar untuk mengobrol lebih jauh.
"Diva sama Zen juga sehat?"
"Sehat juga, Ka. Diva lagi bantu-bantu siapin sembako buat acara doa bersama nanti malam. Kalau Zen masih ganti baju. Katanya mau ikut pemakaman tantenya."
Jaka mengangguk paham. Pandangan pria itu berangsur pindah. Dia melihat jenazah Rani yang sudah ditutupi kain kafan. Entah apa penyebab kematiannya. Yang jelas raut wajah Jaka tidak bisa berbohong. Ada gurat kesedihan karena ayahnya juga pernah ada di posisi ini. Dikafani dan dikerumuni para keluarga.
"Saya jadi ingat almarhum Ayah, Mbak. Waktu itu Ayah meninggal sewaktu saya nggak ada di rumah."
Jaka berbicara dengan volume kecil. Suaranya hampir-hampir tidak bisa didengar oleh Ratih. Akan tetapi, Ratih peka. Dari gurat sedih Jaka, Ratih bisa membaca bahwa pria tampan itu sangat merindukan ayahnya.
"Yang udah berlalu biarin berlalu, Ka. Kematian ayahmu pun bukan kesalahanmu sendiri. Sekarang fokus aja sama istri dan anakmu. Bentar lagi Roro mau lahiran, kan?"
Jaka mengangguk, meski sedikit ragu. "Bener, Mbak, yang udah berlalu biarin berlalu. Tapi ya tetep aja, kadang-kadang saya ngerasa sedih kalo keinget Ayah. Apalagi dia ini orang baik. Saya masih belum bisa terima kenyataan tentang kematiannya Ayah."
"Ikhlasin ayahmu, Ka. Dia pun pasti nggak mau kalau tau anaknya sedih."
Punggung Jaka diusap lembut, berharap energi positif itu dapat tersalurkan. Jaka yang berusaha menetralkan emosi menoleh penuh pada Ratih. Mata wanita itu ditatap sedemikian intens.
"Mbak percaya nggak kalau aku bilang Ayah mati karena dibunuh?"
Tandas dan begitu jelas. Dengan ujaran yang teramat pedas. Tangan Ratih berhenti mengusap punggung Jaka. Kini wanita itu melayangkan tatapan tajam.
"Jaka! Apa-apaan kamu? Nggak baik ngomong kayak gitu di rumah duka. Mbak udah bilang, ikhlasin ayahmu. Jangan mikir yang aneh-aneh kayak gitu!"
Sayangnya Jaka tidak menggubris. Jaka seperti tengah tersulut perasaan yang tak biasa. Makanya pria itu berterus terang menatap Ratih, seolah-olah menaruh curiga.
"Mbak masih inget hal-hal yang berhubungan dengan mendiang Ayah sebelum meninggal?"
Ratih mendesis. "Jaka, cukup! Ini bukan saatnya bicarain soal Ayah kamu! Kita ini sedang bertamu di rumah duka. Bukannya mendoakan Rani, kamu malah bicara macam-macam yang tidak masuk akal!"
Lantas bungkam sudah mulut Jaka karena Ratih melontarkan tatapan tajam tak masuk akal. Tudingan tangannya persis terarah ke muka Jaka. Seolah-olah menunjuknya hina.
Mengapa Ratih begitu marah atas pertanyaan Jaka?
Jaka berhembus nafas kesal. Kini dia hanya bergeming menatap jenazah Rani yang mulai dimasukkan ke dalam peti. Sepanjang prosesi itu Jaka hanya melamun.
Hingga kembali lagi! Dunia Jaka buyar!
"Jaka, ini Mbak Rani."
Jaka meneguk ludah. Suara yang pernah dia kenal itu menyapa pendengarannya. Iya, itu Rani!
"Iya, di sini."
Persis di sudut ruangan, di dekat pintu menghadap peti mati.
"Mbak percaya padamu, Jaka. Mbak percaya kalau kamu bilang ayahmu meninggal karena dibunuh."
Jantung Jaka seolah-olah berhenti berdetak. Pikirannya buntu. Sosok wanita dengan gulungan rambut rapi dan pakaian putih bernoda itu berdiri di sudut ruangan. Sosok wanita itu berucap lembut dengan tangis keruh di kedua matanya.
"Mbak mau menjadi saksi atas pembunuhan ayahmu. Kakaknya Mbak, Bang Irawan adalah orang yang memberikan racun di minuman ayahmu beberapa waktu sebelum ayahmu dinyatakan meninggal."
Jaka menggigit bibir. Benarkah semua yang dikatakan Rani? Benarkah pelakunya adalah Irawan?
"Mbak sendiri yang melihatnya. Karena Mbak adalah kaki tangan Bang Irawan. Mbak menyesal, Jaka! Mbak menyesal!"
Apakah ini jawaban dari segala pertanyaan pelik perkara kematian ayahnya?
Jaka berhasil mendapatkan pinjaman mobil dari Danu. Hari ini dia tidak mendapatkan jatah tugas mengantarkan peti mati. Jadi dia lebih leluasa menggunakan mobil ini.
Speedometer mencapai kecepatan tertinggi, membelah jalanan kota dirambati amarah yang berbaur dengan rasa benci. Pengakuan sosok Rani tempo kemarin menjalar ke ubun-ubun. Sumpah mati! Kalau saja benar Irawan adalah pelaku utama atas kematian ayahnya, Jaka tidak akan pernah memberi maaf sedikit pun.
Mobil yang berhasil menerobos segala kendaraan di jalan raya, kini berhenti persis di depan sebuah gedung milik pemerintah. Para penjaga simpang siur dengan pakaian khas andalan mereka.
Jaka bergegas turun dari mobil. Dia terobos pintu masuk menuju sepanjang lorong dan berakhir di suatu ruangan yang ramai para polisi. Deret bangku kepolisian dan berbagai tumpukkan buku tebal menyambutnya. Di ujung sana, persis di meja kayu bertuliskan nama Irawan, seseorang tengah menghadap penuh ke layar komputer.
"Bang Irawan!"
Jaka menggebrak meja hingga sang pemilik terlonjak kaget. Semua polisi melihatnya.
Ya, sekarang Jaka berada di kantor polisi! Di tempat Irawan bekerja.
Dengan amarah yang kian menggebu, Jaka menatap wajah Irawan. "Bang Irawan masih inget saya, kan?"
Pria berpangkat bintara dengan topi polisi kebanggaannya mendongak, mengangguk kecil disertai senyuman manis.
"Iya, kamu Jaka, anaknya Mbak Laras."
Tidak! Jaka sama sekali tidak butuh senyuman itu!
"Tumben banget kamu dateng kesini, Ka? Biasanya kalau bertamu kamu suka langsung ke rumah," lanjut Irawan dengan raut penuh tanya. Pasalnya tiba-tiba sekali Jaka datang langsung ke kantor polisi. Pun dengan muka marah sembari menggebrak meja kerjanya. Baginya ini sama sekali tidak etis.
Jaka berdecak kesal. Ini bukan saatnya untuk basa-basi. Muka Irawan yang menjelma wajah licik di mata Jaka itu dituding mentah-mentah.
"Saya pikir setelah ngerampas semua hartanya Ayah, Abang bakalan pergi jauh dari sini!"
"Ngomong apa kamu, Ka? Aneh! Kamu pikir aku nggak bisa marah sama kamu karena tuduhan ini?" kesal Irwan pada Jaka yang begitu berani di hadapannya. "Apa karena kamu jatuh miskin kamu jadi minim ahlak?" Jaka menatap nanar ke arah Irwan yang begitu marah di depannya. Dia sadar saat ini dia tidak punya dasar untuk melanjutkan perdebatan yang pasti akan jadi panjang kalau dia lanjutkan."Sudah, kalau kamu tidak mau ribut sama aku, pergi aja sana. Kita hidup masing-masing, jangan saling ganggu toh perkataanmu itu nggak mungkin ada buktinya," Irwan berbisik penuh penekanan sambil menatap tajam ke mata Jaka yang memang dia yakini berbicara tanpa dasar.Irwan lalu menunjuk ke arah pintu keluar dengan senyuman licik seakan mengusir putra yang kini sudah tidak berharta. "Aku akan kembali," bisik Jaka dengan tatapan perlahan meredup. "Aku akan cari bukti untuk seret kamu dari sini,""Ok, cari saja. Kalau kamu bisa dapat, aku akan pergi dari sini dan mengembalikan semua harta yang kamu tuduhkan
Jaka kembali melanjutkan harinya sembari terus mengingat apa yang dikatakan Roro padanya, dia harus mulai melupakan keinginannya membalas dendam ayahnya demi keselamatan keluarga kecilnya. Bukan tanpa alasan Roro meminta itu pada suaminya, bagi wanita sederhana itu memang Jaka berhak untuk memenuhi permintaan ayahnya yang sudah tiada, tapi melawan keluarga kaya suaminya yang memiliki uang dan kekuasaan adalah hal konyol yang bisa saja membuat mereka justru terjerumus dalam jurang kesulitan yang lebih besar. "Memang Bang Irawan itu polisi, Ro," lanjut Jaka malam harinya. "Duh, kalau ingat kemarahanku tadi, aku jadi takut kalau dia... " Roro yang biasanya pemarah malam itu malah terlihat tenang, dia tau kemarahannya tidak akan merubah apapun saat ini. Dia hanya memandangi wajah Jaka yag terus tergiang wajah ayahnya yang memintanya menuntut balas. "Kalau dia apa?" tanya Roro setelah anak kata Jaka tidak berlanjut. "Ya, seperti yang kamu bilang tadi," "Sudah, Mas. Yang penting sekaran
Jaka melangkah cepat mengikuti Danu yang terlihat tidak mau sampai terlambat menemui tamu tidak diundangnya."Bapak siapa, ya?" tanya Danu datar saat tiba di depan Irawan yang berseragam lengkap dengan bintang tanda jasa di bahunya. Saudara Jaka itu langsung tersenyum sinis melihat Jaka yang berdiri di belakang Danu dengan wajah menunduk malu.Jaka sungguh tidak menyangka jika identitasnya akan segera terbongkar oleh Irawan yang akan semakin merendahkannya."Oh, jadi kamu sekarang kerja di sini? Kasihah," ledek Irawan lalu meninggikan dagunya begitu sombong. "Jadi anak orang kaya sekarang kerja di sini? Hehehehehe,"Jaka masih menunduk, dia tidak tau harus marah atau senang mendengar perkataan Irawan yang begitu merendahkannya."Pantas saja kamu begitu marah sampai nuduh-nuduh aku yang bukan-bukan. Ternyata kamu...""Ada apa, ya, Pak?" tanya Danu dengan sopan. "Bapak tidak datang untuk menghina pekerjaan kami, kan?""Hey, aku tidak ada urusan sama kamu!" bentak Irawan membuat Danu be
"Jaka, cepatlah! Dia butuh kamu ke sana sekarang," teriak sosok Rani, salah seorang kerabat Jaka yang sempat ditemui Jaka saat mengantarkan peti jenazah."M..." Belum sempat Jaka memanggil sosok itu, tanggannya sudah lebih dulu meraih surat jalan di meja Danu lalu memutar badannya menuju mobil pick up yang sudah berisi muatan sebuah peti mati cantik berwarna putih."Mas! Mas!" panggil Bowo yang harusnya menemani Jaka hari ini."Eh," Jaka yang sudah menyalakan menis mobil untuk siap meluncur mengeluarkan kepalanya lewat kaca jendela untuk memihat Bowo di bagian belakang mobil."Mau kemana? Aku kok ditinggal," keluh Bowo sambil menggaruk tengkuknya."Maaf, aku lupa," Jaka membuka pintu samping mobil pick up itu mempersilahkan kernetnya duduk di samping sebelum Jaka kembali menyalakan mobil."Kenapa buru-buru?" tanya Bowo merasa aneh. "Memangnya kita mau ke mana?" "Itu," tunjuk Jaka pada surat jalan yang ada di atas dastboard. Kernet muda itu meraih surat jalan yang ditunjuk Jaka kemud
"Aku tidak percaya dia sejahat itu," lirih Jaka sambil menghela nafas berat. Kabar yang disampaikan Rani sungguh menyesakkan dadanya, terlebih karena dia dan keluarganya tidak pernah mau mempercayai hal mistis, gaib atau apapun namanya apa lagi yang membutuhkan tumbal.Bowo bukan tidak mendengar perkataan temannya, tapi dia tidak mau mengganggu Jaka yang kini sedang berbincang dengan mahluk gaib di sebelahnya.Mata Bowo menangkap kehadiran Rani, namun karena dia merasa ini urusan Jaka, dia pun memilih untuk diam."Itu rumahnya," tunjuk Bowo setelah tiba di belokan terakhir menuju Jalan Ijen, Kota Malang."Iya, aku tau. Aku pernah kesana,"Bowo hanya mengangguk pelan sambil memarkirkan mobil setelah dia melambai ke penjaga gerbang rumah besar itu.Jaka membuka pintu untuk turun, Tapi belum sampai kakinya menatap tiba-tiba Bowo menarik tangan suami Roro itu lalu menggeleng."Apa?" tanya Jaka tidak mengerti."Mas di mobil aja, kalau Mas turun aku takut mereka curiga," bisik Bowo lalu m
"Irawan datang dengan marah tengah malam itu, lalu menghardik ayahku seakan dialah yang membuat polisi itu jadi seperti ini," lanjut Puri terisak."Seperti ini?" kening Jaka seketika mengerut. "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti,""Mas, baiknya ngobrol di dalam aja, nggak enak dilihat pelayat," tutur seorang petugas penjaga rumah yang mendekat ke arah putri Dumadi itu. Wajahnya begitu iba melihat Puri yang kembali kehilangan orang tuanya dalam waktu yang berdekatan."Ya, masuk, yuk," ajak Puri kemudian menarik tangan Jaka.Jaka yang tidak mau menolak segera mengikuti langkah Puri dan tentunya mengajak Bowo, kernetnya karena tidak mau Roro, istrinya akan menganggap dia main mata pada gadis cantik ini.Bowo ikut saja, dia tau Jaka tidak mungkin masuk sendirian mengingat mereka datang memang untuk tugas yang sama.Setelah masuk ke ruangan lain di sudut rumah, Puri kemudian meminta pelayan menyajikan kopi dan rokok untuk tamunya dan tidak lama kemudian semua tersedia yang berarti itu saatny
"Mas, dari pada gitu, mending ayo kita ke rumah sakit," ajak Bowo sambil menepuk bahu Jaka yang begitu tegang mendengar kabar dari Wati. "Ya, itu lebih baik. Putriku udah di sana. Semoga nggak ada apa-apa sama dia," sahut Wati yang memang belum tau keadaan Roro setelah kejadian yang dia sendiri masih bingung untuk menceritakanya. "Ok, kalau gitu ayo," Jaka melangkah duluan menuju mobil sambil menarik tangan kernetnya. Dia lalu menuju rumah sakit dengan laju mobil yang cepat karena Bowo tau hati Jaka begitu kesal bercampur bingung saat ini. Mobil yang dikendarai Bowo akhirnya tiba di halaman rumah sakit di kota kecil itu lalu dengan sigap mengantarkan Jaka menuju pintu ruang UGD yang kebetulan penjaganya dia kenal. Setelah bertanya, mereka di arahkan menuju ruang perawatan dimana Roro nampak terpejam dengan wajah yang masih pucat. "Kenapa dia?" tanya Jaka sebelum mendekati istrinya. "Sepertinya dia sedang tidur," tebak Bowo sambil menatap wajah Roro. "Tapi sepertinya bayinya masi
"Jadi..." Jaka menghentikan perkataannya begitu wajah istrinya langsung masam melihatnya. "Katakan," pinta Roro masih dengan wajahnya yang pucat."Mas, jangan," ucap Bowo membuat Jaka semakin ragu."Kamu jujur sama aku, Mas. Aku nggak mau sampai ada apa-apa sama kita," harap Roro sekali lagi.Jaka semakin dilema, dia harus jujur atau mengelak. Matanya menatap ke arah Bowo yang menggeleng tapi dia sudah janji pada wanita yang sedang mengandung anaknya kalau dia akan mengatakan semua dengan sebenar-benarnya meski itu adalah kenyataan yang pahit."Jadi sebenarnya aku masih mencoba memecahkan semua bisikan dalam jiwaku soal kematian ayahku,"Glek!Roro menelan ludahnya menyadari jika apa yang terjadi padanya tidak lepas dari tindakan Jaka yang sudah dia larang sejak awal."Dan dari penyelidikanku itu, aku mengetahui kalau sebenarnya Irawan itu memang sedang menyakiti satu persatu anggota keluargaku,""Termasuk calon bayiku?" tanya Roro dengan suara yang bergetar."Dek, aku tidak pernah m
Meski tawa Dumadi begitu sinis tapi Jaka tetap harus mendengarkannya. Mereka terus berada di rumah Irawan sampai akhirnya langit perlahan gelap dan Jaka sadar kalau ini saatnya pulang.Dia bersama Bowo kemudian memasuki kembali mobil pick up tua yang berjalan begitu lambat menyusuri jalan pulang yang hari itu terlihat lebih lengang.Sesekali mata Jak terlihat sayu karena lelah dengan semua kejadian barusan dan kembali terang begitu tiba di jalan kampung yang berarti dia semakin dekat dengan rumahnya."Aku turun di sana aja," ucap Bowo sambil menepuk bahu Jaka yang tegap."Oh!" Sedetik kemudian Jaka sudah menyalakan lampu sein dan mobil perlahan bergerak ke kiri.Tangan Bowo segera membuka pintu lalu melambai begitu kedua kakinya mendarat di atas tanah yang basah, sepertinya hujan turun beberapa saat lalu. "Ah, sudah sampai," ucapnya lalu menutup pintu dengan tangan kirinya."Yok!" jawab Jaka singkat lalu kembali menginjak pedal gas sebelum Bowo menyampaikan salam perpisahan.Entah men
Serpihan itu perlahan terbang meninggalkan rumah mewah milik perwira polisi itu meski Jaka dan Bowo terus mengamatinya.Butiran-butiran itu terbang begitu bebas kemudian menghilang tersapu angin."Itu!" teriak Bowo menyadari ada yang salah dari diamnya mereka. "Kemana mereka?" Pertanyaan itu membuat Jaka tersadar, Irawan yang ada di kamar tiba-tiba menghilang. Entah kapan dia pergi, mungkin saat Red menghilang atau mungkin saat mereka lengah.Gila!Teriak Jaka lalu melangkah masuk ke dalam kamar milik sepupunya itu dengan wajah penuh kesedihan. "Bagaimana aku bisa melupakannya," desis Jaka lalu masuk ke dalam kamar untuk memastikan apa yang dia lihat. "Dia benar-benar hilang," ulang Jaka setelah memastikan jika kamar itu memang sudah kosong."Sudah! Sudah!" Tiba-tiba dari dinding yang bisa terlihat sesosok cahaya yang kemudian dikenali Jaka sebagai Gunawan, ayahnya. "Aku tau ini pasti terjadi. Mereka pasti punya rencana jahat hingga kamu harus hati-hati padanya.""Ayah, tapi dia meng
"Diam!" teriak Marni yang sudah sejak tadi ingin menghabisi adik ipar Jaka itu. "Kamu tidak akan bisa lari lagi. Sekarang aku akan menghabisimu!" Darma yang mendengar perkataan Marni langsung berdiri karena ternyata tadi yang melilit tubuhnya tidak berfungsi. Dia lalu menatap wajah Marni yang ketakutan kemudian menepis tangan pelayan Irawan itu kuat-kuat hingga pisau yang ada di tangannya terpetal jauh."Kee--napa kamu bisa sekuat ini?" tanya Marni tidak percaya."Mas, habisi dia. Dia ini setan. Dia akan mudah kamu taklukkan sekarang!" teriak Darma lalu memutar lehernya ke arah Jaka.Tidak perlu menunggu, Jaka langsung mendekat ke arah Marni. "Tenyata mudah mengalahkanmu!" teriak Jaka lalu meremas jemarinya untuk siap membogem wanita paruh baya itu.Plas!Tangannya melayang dan wajah sedetik kemudian wajah Marni remuk karena bogemannya itu. Ah!Marni terkapar di atas lantai lalu melirik ke arah kamar dimana Irawan sudah jadi mayat hidup yang tidak kunjung dijemput sang malaikat maut
"Aku tau kelemahan mereka," desis Darma lalu melirik ke arah Jaka.Hah!Jaka terbelalak mendengar perkataan adik iparnya itu merasa tidak mungkin tapi wajah Darma nampak begitu yakin dengan apa yang dikatakannya."Lalu apa yang kamu tau soal mereka?" tanya Bowo dengan wajah kebingungan. "Kalau bisa kita habisi saja sekarang,"Mendengar perkataan Bowo wajah Darma yang awalnya begitu yakin sontak berubah tertunduk. Dia lalu melirik ke arah Jaka yang masih duduk di sampingnya kemudian berkata. "Tapi aku tidak tau caranya,"Mmm!Jaka yang tadinya yakin pada Darma dengan kesal berkata. "Kamu ini kayak kentut. Tadi yakin banget, sekarang ragu. Sebenarnya mau kamu apa, sih?""Ada sosok yang terang di saat aku mau masuk ke gerbang kematian, Mas. Dia bilang kamu adalah orang yang kuat, hanya saja ketidakyakinan itu membuatmu lemah."Deg!Jantung Bowo berdegup kencang, dia teringat pada perkataan Nenek Manda soal kekuatan Jaka yang tersembunyi. Dia lalu menarik tangan Jaka kuat-kuat hingga kepa
"Kalian harus ijinkan Darma tetap di rumah itu dan membantu Jaka dari rong-rongan Irawan," bisik Nenek Manda dengan suara yang tiba-tiba jadi lantang. Tidak cuma suaranya yang jadi lantang, mata Nenek Manda berubah jadi merah dan rambutnya seperti terkibar angin yang datang dari sekeliling rumah.Bowo yang tidak mengerti tentang perubahan diri wanita tua itu hanya terdiam memandangi sorot mata yang begitu asing baginya. Dia terus mencoba mengartikan apa gerangan maksud dari nenek sakti ini. "Apa yang kamu maksud sebenarnya?" tanya kernet baik itu berharap Manda mau menjelaskan lebih detail maksud perkataannya."Aku tau ini terdengar aneh, tepi kamu harus biarkan Darma di sana. Hanya itu tugas terakhir Darma di hidupnya,""Apa?" Bowo terbelalak. Dia kembali teringat cerita ibu warung kalau adik ipar Jaka itu saat ini sedang dalam keadaan koma dan bisa kapan saja meninggal.Bowo berusaha menenangkan diri karena kabar ini bukan kabar bagus baginya, dia terus berharap apa yang dia pikirk
"Tidak ada!" teriak Bowo setelah memastikan dua sosok itu sudah pergi dari tempat yang mereka duga adalah tempat persembunyian mereka."Iya, tapi aku yakin dia akan kembali ke rumah ini. Mereka berdua masih mau Mas mati," tambah Darma lalu mendekat ke arah Jaka. "Mas tau kan kenapa aku tidak mau Mas jadi korban mereka?""Apa?" tanya Jaka semakin penasaran dengan keputusan adiknya yang tidak mau meninggal padahal saat ini dia sedang ada di gerbang antara hidup dan mati."Karena Rio, Mas. Anakmu masih butuh kamu dan aku lihat tenagamu semakin hari semakin tipis saja. Sepertinya ada sesuatu denganmu hingga tenaga pemberian nenak sakti itu tidak semuanya bisa kamu dapatkan!"Jaka mengangguk membenarkan apa yang dikatakan Darma sore itu. Semenjak beberapa hari lalu tenaganya sudah tidak sebesar sebelumnya. Dia kembali jadi penakut seperti tidak berdaya apa lagi saat pelayan Irawan yang notabene adalah seorang wanita menyerangnya saja dia tidak bisa mengelak.Mendengar cerita Darma tentang
Tentu kabar yang baru sampai di telinga Jaka bukanlah kabar baik hingga dia memutuskan untuk buru-buru pergi dari warung dan menyalakan mesin mobil untuk terlebih dulu menyelesaikan tugasnya hari ini.Sama seperti Jaka, Bowo juga tidak punya rencana lain kecuali menyelesaikan tugas hari ini dan kembali ke rumah Jaka untuk bertanya pada Darma apa yang sebenarnya terjadi.Setelah tugas selesai cepat-cepat keduanya menuju rumah kontrakan Jaka dan menemui Darma yang sore itu berada di ruang tengah sambil menikmati rokok yang dibawa Jaka dari Kediri.Wajah adik Roro itu terlihat biasa saja seperti tidak terjadi apa-apa. Ya, kalau Jaka tidak tau ceritanya, tentu wajah Darma sore itu biasa saja, tapi setelah tau apa yang terjadi pada adik iparnya, Jaka jadi penasaran juga untuk bertanya. "Sudah makan?" tanya Jaka dengan suara bergetar sambil duduk di samping Darma yang jelas dia tau sedang dalam keadaan buruk di rumah sakit."Kenapa wajahmu seperti itu?" tanya Darma merasa risih dengan tata
Setelah perbincangan panjang pagi itu, Jaka kembali ke pabrik untuk memulai aktifitasnya. Dia melupakan sejenak masalah adik iparnya untuk fokus dengan tugas yang diberikan Danu hari ini.Tugasnya tidak berat, hanya mengantarkan dua buah peti mati ke Surabaya tepatnya di daerah Waru dekat Terminal Bungurasih. Untuk urusan antar peti ke Surabaya memang baru bagi Jaka tapi tidak untuk Bowo yang nampak begitu siap duduk di samping Jaka yang terlihat bingung akan memilih jalan yang mana mengingat jalan menuju Surabaya adalah hal asing baginya.Karena merasa Jaka tidak akan mampu menyetir hingga tujuan dan terlalu riskan memberikan tugas ini pada Jaka akhirnya Bowo sepakat untuk memengang kemudi sembari Jaka mengingat-ingat jalan ke titik tujuan.Sepakat duduk di samping kemudi, Jaka mulai terlihat nyaman dengan joknya. Dia juga mengeluarkan sekotak rokok pemberian rumah duka di Kediri agar tidak mengantuk saat mobil mulai melaju."Mas, tadi kata Mas kan mau sarapan dulu. Jadi nggak nih?"
Jaka berlari sekencangnya dengan seluruh kekuatan yang dia miliki. Kakinya sempat beberapa kali tersandung kerikil tapi dia buru-buru menyeimbangkan diri agar tidak terjatuh di saat yang genting ini.Sama seperti kakak iparnya. Darma juga berlari dibelakang Jaka tanpa mau menoleh ke belakang dan baru berhenti saat akhirnya mereka berdua tiba di depan halaman masjid."Alhamdulillah," Jaka yang terengah-engah langsung duduk di tangga masjid yang mulai dipadati para jamaah. "Kamu dengar kan tadi itu, Ma?" tanya Jaka pada Darma yang mengikutinya duduk di tangga."Iya, Mas. Jelas banget. Udah kita sholat aja. Jangan pikirin yang tadi,"Keduanya kemudian kompak berdiri dan melangkah masuk ke dalam masjid. Setelah mendapat posisi sholat yang mereka rasa paling tepat, Jaka dan Darma perlahan khusuk dalam ibadah pagi mereka.Selama sholat hingga melantunkan doa, Jaka dan Darma terlihat tidak sedikitpun menoleh ke belakang. Mereka masih takut kalau sosok asing itu akan mendekati mereka meski me