Jaka kembali melanjutkan harinya sembari terus mengingat apa yang dikatakan Roro padanya, dia harus mulai melupakan keinginannya membalas dendam ayahnya demi keselamatan keluarga kecilnya.
Bukan tanpa alasan Roro meminta itu pada suaminya, bagi wanita sederhana itu memang Jaka berhak untuk memenuhi permintaan ayahnya yang sudah tiada, tapi melawan keluarga kaya suaminya yang memiliki uang dan kekuasaan adalah hal konyol yang bisa saja membuat mereka justru terjerumus dalam jurang kesulitan yang lebih besar.
"Memang Bang Irawan itu polisi, Ro," lanjut Jaka malam harinya. "Duh, kalau ingat kemarahanku tadi, aku jadi takut kalau dia... "
Roro yang biasanya pemarah malam itu malah terlihat tenang, dia tau kemarahannya tidak akan merubah apapun saat ini. Dia hanya memandangi wajah Jaka yag terus tergiang wajah ayahnya yang memintanya menuntut balas. "Kalau dia apa?" tanya Roro setelah anak kata Jaka tidak berlanjut.
"Ya, seperti yang kamu bilang tadi,"
"Sudah, Mas. Yang penting sekarang kita lupakan dia. Kita kerja aja untuk anak kita, yang lalu biar berlalu. Ayah lama-lama juga pasti ngerti," tutur Roro begitu lembut.
Jaka meninggikan pandangannya menatap Roro yang malam ini sangat berbeda. Dia kemudian mengecuk kening istrinya lembut kemudian mengajaknya tidur.
Hari sudah malam dan Jaka harus kembali bekerja keesokan harinya. Dia harus pergi pagi karena lupa memberikan laporan ke pabrik untuk menunjukkan hasil kerjanya hari ini.
Hari berganti dan Jaka sudah bersiap untuk pergi ke pabrik, matanya segera melirik ke arah meja makan yang masih kosong.
Jaka menghela nafas lalu meraba perutnya yang sejak subuh sudah bernyanyi. Ini bukan hal baru dalam hidupnya hingga Roro juga tidak banyak berkomentar menanggapi wajah suaminya yang suram.
Kondisi seperti ini yang membuat Jaka lelah hidup dalam kemiskinan, dia yang sudah bekerja keraspun bahkan tidak kebagian nasi untuk sarapan padahal dulu dia selalu bergelimang makanan di atas meja.
Semenjak dia pindah di rumah ini dengan istrinya, dia harus sering mengelus perut kosongnya bahkan kadang untuk beli air galon saja dia tidak mampu.
Bayangan ayahnya yang sedih melihat kondisinya kembali memenuhi kepalanya, membuat Jaka ingin kembali menemui Irawan untuk menuntut balas. Tapi baru saja dia berdiri tiba-tiba wajah Roro menggelengkan kepala seakan tau jika suaminya akan melakukan hal yang sama dengan yang dia lakukan kemarin.
"Mas," bisik Roro membuat helaan nafas Jaka kembali terdengar.
"Nggak, kok. Aku mau kerja aja," sahut Jaka dan senyum istrinya terlihat begitu indah pagi ini.
Jaka yang lapar kemudian memacu mesin motornya menyusuri jalan menuju pabrik. Suara perutnya masih menggema tapi dia tidak berdaya. Dia terus memutar gas hingga akhirnya sampai di depan pabrik saat Pak Danu terlihat berdiri dekat pos satpam dan menyambutnya dengan senyuman lebar.
"Jaka,"
Jaka yang masih memarkir motor hanya tersenyum simpul menahan perutnya yang terus bernyanyi, dia berusaha tetap datar agar Danu tidak tau apa yang dia rasakan pagi ini.
"Mmm, sudah sarapan?" tanya Danu yang segera tau isi kepala Jaka.
"Saya?" Jaka menelan ludahnya berharap pria yang berdiri dengan wajah berseri ini mau mengajaknya sarapan.
"Iya, siapa lagi. Aku belum sarapan, kalau kamu belum makan, ikut aku,"
"Alhamdulillah," bisik Jaka lalu melangkah mengikuti langkah Danu yang lambat menyebrangi jalan di depan pabrik.
"Pilih aja kamu mau apa. Ada pecel, soto, nasi campur," tunjuk Danu ke etalasei warung sederhana itu.
"Soto," jawab Jaka tegas.
"Ok, soto 2 makan di sini,"
Pemilik warung segera menyiapkan pesanan tanpa banyak berkata. Dia menata nasi, bihun dan suiran ayam di atasnya. Saat tangannya mengayun sendok sayur tiba-tiba Danu menunjuk ke arah telur rebus yang ada di dalam etalase. "Tambah telur,"
Jaka tersenyum senang, dia tidak menyangka atasannya itu begitu pengertian. Dia lalu menerima mangkok penuh isian setelah semua diserahkan pemilik warung.
"Makan yang banyak, pemilik pabrik hari ini ulang tahun, dia minta aku traktir semua karyawan,"
"Alhamdulillah kalau gitu," ucap Jaka mulai memakan semua nasi yang ada di depannya.
Saat dia sedang makan tiba-tiba seorang tetangga Jaka mendekat untuk membeli menu, dia lalu menepuk bahu Jaka yang masih menunduk tidak menyadari keberadaannya. "Mas, sarapan,"
"Eh, Pak De'. Iya," sahut Jaka masih sibuk dengan makanannya.
"Kamu tetangga Jaka, kan?" tanya Danu ke arah pria berkulit hitam itu.
"Iya, Pak Dan," jawabnya dengan panggilan akrab atasan Jaka ini.
"Wah, kebetulan. Aku titip makanan untuk istrinya Jaka, ya,"
"Hah, buat Roro?" Jaka terperanjak.
"Ya, kamu makan kenyang, masa istrimu nggak. Mau bungkus apa untuk istrimu, biar Pak De' yang antar?"
"Boleh," jawab Pak De' dan Jaka segera menangguk.
"Samakan saja, Pak. Sotonya enak," puji Jaka dan Danu segera membungkuskan sebungkus nasi dan seplastik soto untuk dibawa oleh tetangga Jaka ini.
Tentu Jaka sangat senang dengan pemberian atasannya ini, dia yang tadinya sedih akhirnya bisa tersenyum lagi.
"Nah, kalau kamu senyum gitu, kan, aku jadi senang," kata Danu lalu menepuk berkali-kali bahu Jaka.
"Maaf, Pak. Saya sedang banyak masalah, mangkanya jadi kayak gini."
"Masalah apa?" Danu mencoba menyelami masalah pegawai baru ini.
"Ada keinginan ayahku yang belum bisa aku penuhi. Itu membuatku jadi galau tiada henti,"
"Mmm, kayaknya serius banget ini," kekeh Danu menyairkan suasana. "Kalau aku boleh saran, kamu kerja aja dulu, fokus sama anakmu yang mau lahir. Kalau kataku, semua dalam hidup ini ada waktunya dan saat waktu itu datang, percayalah, kamu bahkan tidak akan pernah bisa menghentikannya,"
Deg!Perkataan Danu ini begitu tepat menyentuh hati Jaka, dia tidak menyangka meski tidak berkata banyak, Danu bisa mengetahuinya.Jaka tersenyum simpul lalu mengangguk tegas. "Iya, Pak. Saya fokus ke anak saja,"
"O, iya. Ngomong-ngomong bonusmu yang kemarin udah cair, tuh. Tar ke kantorku dulu, ya, ambil uangnya,"
"Dapat bonus, Pak?" tanya Jaka semakin senang.
"Pasti, lah. Masa kamu sudah kerja nggak dikasih bonus," kekeh Danu lagi semakin membuat Jaka merasa jika keputusannya untuk melupakan sejenak dendam ayahnya sudah benar adanya.
"Pak! Pak!" panggil seorang pegawai lain sambil melangkah memasuki warung tempat Jaka dan Danu sedang asik ngobrol.
"Ada apa teriak-teriak?" tanya Danu masih dengan wajahnya yang datar.
"Ada polisi datang ke pabrik, Pak?"
Danu menarik senyumnya melirik ke arah pengirim pesan itu. "Ada yang salah? Kok sampai di datangi polisi,"
"Nggak tau, Pak. Saya juga bingung,"
"Apa mungkin polisi itu..." Jaka menghentikan anak katanya melirik ke arah Danu. "Irawan," lanjutnya.
"Ih, siapa itu Irawan," Danu mengerutkan keningnya."Cepat, Pak," pinta pengirim pesan itu lalu menarik tangan Danu.
"Kalau gitu saya ikut," pinta Jaka lalu bangkit dari tempat duduknya.
Jaka melangkah cepat mengikuti Danu yang terlihat tidak mau sampai terlambat menemui tamu tidak diundangnya."Bapak siapa, ya?" tanya Danu datar saat tiba di depan Irawan yang berseragam lengkap dengan bintang tanda jasa di bahunya. Saudara Jaka itu langsung tersenyum sinis melihat Jaka yang berdiri di belakang Danu dengan wajah menunduk malu.Jaka sungguh tidak menyangka jika identitasnya akan segera terbongkar oleh Irawan yang akan semakin merendahkannya."Oh, jadi kamu sekarang kerja di sini? Kasihah," ledek Irawan lalu meninggikan dagunya begitu sombong. "Jadi anak orang kaya sekarang kerja di sini? Hehehehehe,"Jaka masih menunduk, dia tidak tau harus marah atau senang mendengar perkataan Irawan yang begitu merendahkannya."Pantas saja kamu begitu marah sampai nuduh-nuduh aku yang bukan-bukan. Ternyata kamu...""Ada apa, ya, Pak?" tanya Danu dengan sopan. "Bapak tidak datang untuk menghina pekerjaan kami, kan?""Hey, aku tidak ada urusan sama kamu!" bentak Irawan membuat Danu be
"Jaka, cepatlah! Dia butuh kamu ke sana sekarang," teriak sosok Rani, salah seorang kerabat Jaka yang sempat ditemui Jaka saat mengantarkan peti jenazah."M..." Belum sempat Jaka memanggil sosok itu, tanggannya sudah lebih dulu meraih surat jalan di meja Danu lalu memutar badannya menuju mobil pick up yang sudah berisi muatan sebuah peti mati cantik berwarna putih."Mas! Mas!" panggil Bowo yang harusnya menemani Jaka hari ini."Eh," Jaka yang sudah menyalakan menis mobil untuk siap meluncur mengeluarkan kepalanya lewat kaca jendela untuk memihat Bowo di bagian belakang mobil."Mau kemana? Aku kok ditinggal," keluh Bowo sambil menggaruk tengkuknya."Maaf, aku lupa," Jaka membuka pintu samping mobil pick up itu mempersilahkan kernetnya duduk di samping sebelum Jaka kembali menyalakan mobil."Kenapa buru-buru?" tanya Bowo merasa aneh. "Memangnya kita mau ke mana?" "Itu," tunjuk Jaka pada surat jalan yang ada di atas dastboard. Kernet muda itu meraih surat jalan yang ditunjuk Jaka kemud
"Aku tidak percaya dia sejahat itu," lirih Jaka sambil menghela nafas berat. Kabar yang disampaikan Rani sungguh menyesakkan dadanya, terlebih karena dia dan keluarganya tidak pernah mau mempercayai hal mistis, gaib atau apapun namanya apa lagi yang membutuhkan tumbal.Bowo bukan tidak mendengar perkataan temannya, tapi dia tidak mau mengganggu Jaka yang kini sedang berbincang dengan mahluk gaib di sebelahnya.Mata Bowo menangkap kehadiran Rani, namun karena dia merasa ini urusan Jaka, dia pun memilih untuk diam."Itu rumahnya," tunjuk Bowo setelah tiba di belokan terakhir menuju Jalan Ijen, Kota Malang."Iya, aku tau. Aku pernah kesana,"Bowo hanya mengangguk pelan sambil memarkirkan mobil setelah dia melambai ke penjaga gerbang rumah besar itu.Jaka membuka pintu untuk turun, Tapi belum sampai kakinya menatap tiba-tiba Bowo menarik tangan suami Roro itu lalu menggeleng."Apa?" tanya Jaka tidak mengerti."Mas di mobil aja, kalau Mas turun aku takut mereka curiga," bisik Bowo lalu m
"Irawan datang dengan marah tengah malam itu, lalu menghardik ayahku seakan dialah yang membuat polisi itu jadi seperti ini," lanjut Puri terisak."Seperti ini?" kening Jaka seketika mengerut. "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti,""Mas, baiknya ngobrol di dalam aja, nggak enak dilihat pelayat," tutur seorang petugas penjaga rumah yang mendekat ke arah putri Dumadi itu. Wajahnya begitu iba melihat Puri yang kembali kehilangan orang tuanya dalam waktu yang berdekatan."Ya, masuk, yuk," ajak Puri kemudian menarik tangan Jaka.Jaka yang tidak mau menolak segera mengikuti langkah Puri dan tentunya mengajak Bowo, kernetnya karena tidak mau Roro, istrinya akan menganggap dia main mata pada gadis cantik ini.Bowo ikut saja, dia tau Jaka tidak mungkin masuk sendirian mengingat mereka datang memang untuk tugas yang sama.Setelah masuk ke ruangan lain di sudut rumah, Puri kemudian meminta pelayan menyajikan kopi dan rokok untuk tamunya dan tidak lama kemudian semua tersedia yang berarti itu saatny
"Mas, dari pada gitu, mending ayo kita ke rumah sakit," ajak Bowo sambil menepuk bahu Jaka yang begitu tegang mendengar kabar dari Wati. "Ya, itu lebih baik. Putriku udah di sana. Semoga nggak ada apa-apa sama dia," sahut Wati yang memang belum tau keadaan Roro setelah kejadian yang dia sendiri masih bingung untuk menceritakanya. "Ok, kalau gitu ayo," Jaka melangkah duluan menuju mobil sambil menarik tangan kernetnya. Dia lalu menuju rumah sakit dengan laju mobil yang cepat karena Bowo tau hati Jaka begitu kesal bercampur bingung saat ini. Mobil yang dikendarai Bowo akhirnya tiba di halaman rumah sakit di kota kecil itu lalu dengan sigap mengantarkan Jaka menuju pintu ruang UGD yang kebetulan penjaganya dia kenal. Setelah bertanya, mereka di arahkan menuju ruang perawatan dimana Roro nampak terpejam dengan wajah yang masih pucat. "Kenapa dia?" tanya Jaka sebelum mendekati istrinya. "Sepertinya dia sedang tidur," tebak Bowo sambil menatap wajah Roro. "Tapi sepertinya bayinya masi
"Jadi..." Jaka menghentikan perkataannya begitu wajah istrinya langsung masam melihatnya. "Katakan," pinta Roro masih dengan wajahnya yang pucat."Mas, jangan," ucap Bowo membuat Jaka semakin ragu."Kamu jujur sama aku, Mas. Aku nggak mau sampai ada apa-apa sama kita," harap Roro sekali lagi.Jaka semakin dilema, dia harus jujur atau mengelak. Matanya menatap ke arah Bowo yang menggeleng tapi dia sudah janji pada wanita yang sedang mengandung anaknya kalau dia akan mengatakan semua dengan sebenar-benarnya meski itu adalah kenyataan yang pahit."Jadi sebenarnya aku masih mencoba memecahkan semua bisikan dalam jiwaku soal kematian ayahku,"Glek!Roro menelan ludahnya menyadari jika apa yang terjadi padanya tidak lepas dari tindakan Jaka yang sudah dia larang sejak awal."Dan dari penyelidikanku itu, aku mengetahui kalau sebenarnya Irawan itu memang sedang menyakiti satu persatu anggota keluargaku,""Termasuk calon bayiku?" tanya Roro dengan suara yang bergetar."Dek, aku tidak pernah m
"Tapi, Yah..."Gunawan menunduk melihat raut wajah putranya yang begitu galau dengan apa yang akan dia putuskan. "Nggak papa, Nak. Ayah tau kamu pasti akan membela Roro, istrimu. Apa lagi ada anakmu, pasti kamu akan lebih memilih dia, kan?" Senyuman tidak ikhlas itu mengembang di wajah Gunawan yang memastikan keputusan Jaka sebelum putranya mengucap apa yang akan dia putuskan.Jaka tidak menjawab, dia masih terlalu takut untuk mengucap karena sejak kecil pria yang duduk di sampingnya ini selalu mengajarkan kepadanya untuk tidak mengingkari janji meskipun itu sebuah janji yang remeh.Sosok cahaya itu lalu berdiri kemudian melangkah menjauhi Jaka tanpa mengucap sepatah katapun dan kepergian Gunawan sungguh membuat Jaka semakin tidak tau apa yang harus dia putuskan saat ini.Tok!Tok!Ketukan itu membuyarkan lamunan Jaka yang segera bergerak menuju pintu. "Iya, siapa?" tanya Jaka lalu menarik gagang pintu."Ka, ini Ibu," ucap Wati dari balik pintu."Oh, Ibu. Gimana kabar Roro, Bu?""Ka,
"Ka--ka---ka..." Lidah Jaka kelu, dia ingin teriak tapi rasa takut membuatnya tidak mampu mengucap sepatah katapun."Mas Jaka," Bowo yang baru tiba menepuk bahu rekannya tapi belum sadar jika di samping mereka hadir sosok Dumadi. "Kenapa?" tanya Bowo melihat mata Jaka yang terbelalak ketakutan."Itu..." tunjuk Jaka pada Dumadi yang sayangnya tidak dapat dilihat oleh Bowo."Siapa?" tanya Bowo lalu terkekeh. "Di situ nggak ada siapa-siapa, Mas. Mas tadi belum mandi, ya. Kok kayak habis lihat hantu,""Mandi?" Jaka teringat kalau dia memang belum mandi pagi ini dan bergegas pergi kerja karena takut kesiangan. "Me--mangnya ngefek kalau aku belum mandi, Wo?""Iya, lah. Apa lagi kalau Mas belum mandi besar. Semakin nampak sosok-sosok astral di tempat ini,""Astaga!" Jaka menepuk jidatnya lalu menggelengkan kepala menyadari kebodohan yang dia lakukan pagi ini. "Kalau gitu, aku mandi dulu aja. Lagi pula kayaknya peti yang harus kita antar juga belum siap," kata Jaka yang cepat-cepat menuju kam
Meski tawa Dumadi begitu sinis tapi Jaka tetap harus mendengarkannya. Mereka terus berada di rumah Irawan sampai akhirnya langit perlahan gelap dan Jaka sadar kalau ini saatnya pulang.Dia bersama Bowo kemudian memasuki kembali mobil pick up tua yang berjalan begitu lambat menyusuri jalan pulang yang hari itu terlihat lebih lengang.Sesekali mata Jak terlihat sayu karena lelah dengan semua kejadian barusan dan kembali terang begitu tiba di jalan kampung yang berarti dia semakin dekat dengan rumahnya."Aku turun di sana aja," ucap Bowo sambil menepuk bahu Jaka yang tegap."Oh!" Sedetik kemudian Jaka sudah menyalakan lampu sein dan mobil perlahan bergerak ke kiri.Tangan Bowo segera membuka pintu lalu melambai begitu kedua kakinya mendarat di atas tanah yang basah, sepertinya hujan turun beberapa saat lalu. "Ah, sudah sampai," ucapnya lalu menutup pintu dengan tangan kirinya."Yok!" jawab Jaka singkat lalu kembali menginjak pedal gas sebelum Bowo menyampaikan salam perpisahan.Entah men
Serpihan itu perlahan terbang meninggalkan rumah mewah milik perwira polisi itu meski Jaka dan Bowo terus mengamatinya.Butiran-butiran itu terbang begitu bebas kemudian menghilang tersapu angin."Itu!" teriak Bowo menyadari ada yang salah dari diamnya mereka. "Kemana mereka?" Pertanyaan itu membuat Jaka tersadar, Irawan yang ada di kamar tiba-tiba menghilang. Entah kapan dia pergi, mungkin saat Red menghilang atau mungkin saat mereka lengah.Gila!Teriak Jaka lalu melangkah masuk ke dalam kamar milik sepupunya itu dengan wajah penuh kesedihan. "Bagaimana aku bisa melupakannya," desis Jaka lalu masuk ke dalam kamar untuk memastikan apa yang dia lihat. "Dia benar-benar hilang," ulang Jaka setelah memastikan jika kamar itu memang sudah kosong."Sudah! Sudah!" Tiba-tiba dari dinding yang bisa terlihat sesosok cahaya yang kemudian dikenali Jaka sebagai Gunawan, ayahnya. "Aku tau ini pasti terjadi. Mereka pasti punya rencana jahat hingga kamu harus hati-hati padanya.""Ayah, tapi dia meng
"Diam!" teriak Marni yang sudah sejak tadi ingin menghabisi adik ipar Jaka itu. "Kamu tidak akan bisa lari lagi. Sekarang aku akan menghabisimu!" Darma yang mendengar perkataan Marni langsung berdiri karena ternyata tadi yang melilit tubuhnya tidak berfungsi. Dia lalu menatap wajah Marni yang ketakutan kemudian menepis tangan pelayan Irawan itu kuat-kuat hingga pisau yang ada di tangannya terpetal jauh."Kee--napa kamu bisa sekuat ini?" tanya Marni tidak percaya."Mas, habisi dia. Dia ini setan. Dia akan mudah kamu taklukkan sekarang!" teriak Darma lalu memutar lehernya ke arah Jaka.Tidak perlu menunggu, Jaka langsung mendekat ke arah Marni. "Tenyata mudah mengalahkanmu!" teriak Jaka lalu meremas jemarinya untuk siap membogem wanita paruh baya itu.Plas!Tangannya melayang dan wajah sedetik kemudian wajah Marni remuk karena bogemannya itu. Ah!Marni terkapar di atas lantai lalu melirik ke arah kamar dimana Irawan sudah jadi mayat hidup yang tidak kunjung dijemput sang malaikat maut
"Aku tau kelemahan mereka," desis Darma lalu melirik ke arah Jaka.Hah!Jaka terbelalak mendengar perkataan adik iparnya itu merasa tidak mungkin tapi wajah Darma nampak begitu yakin dengan apa yang dikatakannya."Lalu apa yang kamu tau soal mereka?" tanya Bowo dengan wajah kebingungan. "Kalau bisa kita habisi saja sekarang,"Mendengar perkataan Bowo wajah Darma yang awalnya begitu yakin sontak berubah tertunduk. Dia lalu melirik ke arah Jaka yang masih duduk di sampingnya kemudian berkata. "Tapi aku tidak tau caranya,"Mmm!Jaka yang tadinya yakin pada Darma dengan kesal berkata. "Kamu ini kayak kentut. Tadi yakin banget, sekarang ragu. Sebenarnya mau kamu apa, sih?""Ada sosok yang terang di saat aku mau masuk ke gerbang kematian, Mas. Dia bilang kamu adalah orang yang kuat, hanya saja ketidakyakinan itu membuatmu lemah."Deg!Jantung Bowo berdegup kencang, dia teringat pada perkataan Nenek Manda soal kekuatan Jaka yang tersembunyi. Dia lalu menarik tangan Jaka kuat-kuat hingga kepa
"Kalian harus ijinkan Darma tetap di rumah itu dan membantu Jaka dari rong-rongan Irawan," bisik Nenek Manda dengan suara yang tiba-tiba jadi lantang. Tidak cuma suaranya yang jadi lantang, mata Nenek Manda berubah jadi merah dan rambutnya seperti terkibar angin yang datang dari sekeliling rumah.Bowo yang tidak mengerti tentang perubahan diri wanita tua itu hanya terdiam memandangi sorot mata yang begitu asing baginya. Dia terus mencoba mengartikan apa gerangan maksud dari nenek sakti ini. "Apa yang kamu maksud sebenarnya?" tanya kernet baik itu berharap Manda mau menjelaskan lebih detail maksud perkataannya."Aku tau ini terdengar aneh, tepi kamu harus biarkan Darma di sana. Hanya itu tugas terakhir Darma di hidupnya,""Apa?" Bowo terbelalak. Dia kembali teringat cerita ibu warung kalau adik ipar Jaka itu saat ini sedang dalam keadaan koma dan bisa kapan saja meninggal.Bowo berusaha menenangkan diri karena kabar ini bukan kabar bagus baginya, dia terus berharap apa yang dia pikirk
"Tidak ada!" teriak Bowo setelah memastikan dua sosok itu sudah pergi dari tempat yang mereka duga adalah tempat persembunyian mereka."Iya, tapi aku yakin dia akan kembali ke rumah ini. Mereka berdua masih mau Mas mati," tambah Darma lalu mendekat ke arah Jaka. "Mas tau kan kenapa aku tidak mau Mas jadi korban mereka?""Apa?" tanya Jaka semakin penasaran dengan keputusan adiknya yang tidak mau meninggal padahal saat ini dia sedang ada di gerbang antara hidup dan mati."Karena Rio, Mas. Anakmu masih butuh kamu dan aku lihat tenagamu semakin hari semakin tipis saja. Sepertinya ada sesuatu denganmu hingga tenaga pemberian nenak sakti itu tidak semuanya bisa kamu dapatkan!"Jaka mengangguk membenarkan apa yang dikatakan Darma sore itu. Semenjak beberapa hari lalu tenaganya sudah tidak sebesar sebelumnya. Dia kembali jadi penakut seperti tidak berdaya apa lagi saat pelayan Irawan yang notabene adalah seorang wanita menyerangnya saja dia tidak bisa mengelak.Mendengar cerita Darma tentang
Tentu kabar yang baru sampai di telinga Jaka bukanlah kabar baik hingga dia memutuskan untuk buru-buru pergi dari warung dan menyalakan mesin mobil untuk terlebih dulu menyelesaikan tugasnya hari ini.Sama seperti Jaka, Bowo juga tidak punya rencana lain kecuali menyelesaikan tugas hari ini dan kembali ke rumah Jaka untuk bertanya pada Darma apa yang sebenarnya terjadi.Setelah tugas selesai cepat-cepat keduanya menuju rumah kontrakan Jaka dan menemui Darma yang sore itu berada di ruang tengah sambil menikmati rokok yang dibawa Jaka dari Kediri.Wajah adik Roro itu terlihat biasa saja seperti tidak terjadi apa-apa. Ya, kalau Jaka tidak tau ceritanya, tentu wajah Darma sore itu biasa saja, tapi setelah tau apa yang terjadi pada adik iparnya, Jaka jadi penasaran juga untuk bertanya. "Sudah makan?" tanya Jaka dengan suara bergetar sambil duduk di samping Darma yang jelas dia tau sedang dalam keadaan buruk di rumah sakit."Kenapa wajahmu seperti itu?" tanya Darma merasa risih dengan tata
Setelah perbincangan panjang pagi itu, Jaka kembali ke pabrik untuk memulai aktifitasnya. Dia melupakan sejenak masalah adik iparnya untuk fokus dengan tugas yang diberikan Danu hari ini.Tugasnya tidak berat, hanya mengantarkan dua buah peti mati ke Surabaya tepatnya di daerah Waru dekat Terminal Bungurasih. Untuk urusan antar peti ke Surabaya memang baru bagi Jaka tapi tidak untuk Bowo yang nampak begitu siap duduk di samping Jaka yang terlihat bingung akan memilih jalan yang mana mengingat jalan menuju Surabaya adalah hal asing baginya.Karena merasa Jaka tidak akan mampu menyetir hingga tujuan dan terlalu riskan memberikan tugas ini pada Jaka akhirnya Bowo sepakat untuk memengang kemudi sembari Jaka mengingat-ingat jalan ke titik tujuan.Sepakat duduk di samping kemudi, Jaka mulai terlihat nyaman dengan joknya. Dia juga mengeluarkan sekotak rokok pemberian rumah duka di Kediri agar tidak mengantuk saat mobil mulai melaju."Mas, tadi kata Mas kan mau sarapan dulu. Jadi nggak nih?"
Jaka berlari sekencangnya dengan seluruh kekuatan yang dia miliki. Kakinya sempat beberapa kali tersandung kerikil tapi dia buru-buru menyeimbangkan diri agar tidak terjatuh di saat yang genting ini.Sama seperti kakak iparnya. Darma juga berlari dibelakang Jaka tanpa mau menoleh ke belakang dan baru berhenti saat akhirnya mereka berdua tiba di depan halaman masjid."Alhamdulillah," Jaka yang terengah-engah langsung duduk di tangga masjid yang mulai dipadati para jamaah. "Kamu dengar kan tadi itu, Ma?" tanya Jaka pada Darma yang mengikutinya duduk di tangga."Iya, Mas. Jelas banget. Udah kita sholat aja. Jangan pikirin yang tadi,"Keduanya kemudian kompak berdiri dan melangkah masuk ke dalam masjid. Setelah mendapat posisi sholat yang mereka rasa paling tepat, Jaka dan Darma perlahan khusuk dalam ibadah pagi mereka.Selama sholat hingga melantunkan doa, Jaka dan Darma terlihat tidak sedikitpun menoleh ke belakang. Mereka masih takut kalau sosok asing itu akan mendekati mereka meski me