Elise mencoba untuk tetap tenang meskipun dia merasa seperti seekor rusa di bawah tatapan elang. Padma masih memerhatikannya dari kejauhan, dan Elise merasa setiap langkahnya diawasi. Mencoba mengabaikan tekanan itu, Elise mengitari sebuah patung besar di tengah ruangan, mengamati detail ukirannya meski pikirannya masih berkecamuk tentang lukisan di dinding."Kenapa hatiku mengatakan kalau lukisan itu milik ibuku?" Elise bergumam pelan, hanya untuk dirinya sendiri.Dia menoleh kembali ke arah lukisan yang terasa memanggilnya. Perlahan-lahan, dia mendekati dinding tempat lukisan itu tergantung. Jari-jarinya nyaris menyentuh kaca pelindungnya ketika dia menahan napas, air mata sudah menggenang di pelupuk mata.Namun, sebuah suara familiar memecah momen itu."Hei, Elise. Kau masih menatap lukisan itu?"Elise melompat kecil, buru-buru menghapus air mata di sudut matanya sebelum berbalik menghadapi Padma. Tatapan tajam wanita itu penuh rasa ingin tahu, seolah mencari sesuatu yang bisa dipe
Hujan turun dengan lembut di luar, suaranya mengetuk-ngetuk kaca jendela kamar seperti irama alami yang menenangkan. Namun, ketenangan itu tidak berlaku bagi Elise. Di ranjangnya yang sempit, ia berguling-guling gelisah, menarik dan menendang selimut berulang kali.Bayangan kejadian di mobil terus berputar di pikirannya. Sentuhan bibir Reiner, cengkeraman lembut di tengkuknya, dan tatapan tajam yang tak terbaca. Semua itu membuat Elise merasa tubuhnya memanas.Elise menggigit bibir bawahnya, lalu mendesah frustrasi. "Kenapa dia melakukan itu... Astaga!" gumamnya pelan.Dia mengambil bantal dan menutup wajahnya, berharap bisa meredam suara pikirannya sendiri. Kakinya menendang-nendang tak tentu arah di bawah selimut.Tanpa ia sadari, pintu kamar terbuka perlahan. Clara masuk dengan langkah tenang, matanya langsung tertuju pada Elise yang tampak gelisah di ranjang."Kau sedang apa, Elise?" suara Clara memecah keheningan.Elise tersentak. Kakinya langsung berhenti menendang, dan bantal d
Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis kamar Reiner, menciptakan pola-pola abstrak yang menari di dinding abu-abu lembut. Elise berdiri di depan pintu dengan nampan berisi sarapan. Jemarinya menggenggam pegangan nampan begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Kejadian di mobil kemarin terus terngiang di kepalanya, seperti kaset rusak yang diputar ulang tanpa henti. "Selamat pagi, Tuan." Suara Elise terdengar pelan, hampir berbisik. Pandangannya menunduk, tidak berani langsung menatap Reiner yang berdiri di depan cermin, mengenakan kemejanya perlahan. Otot-ototnya yang tegas terlihat jelas di bawah kemeja putih itu, membuat Elise tanpa sadar menggigit bibir bawahnya. Reiner berbalik menatapnya dengan ekspresi tenang, tapi tajam. "Letakkan di sana," katanya singkat, menunjuk meja kecil di dekat ranjang. Elise berjalan mendekat dengan hati-hati, setiap langkahnya seperti suara drum kecil di dadanya. Setelah meletakkan nampan, ia berbalik cepat, berharap bisa segera keluar dari
Taman belakang itu sejuk dengan aroma tanah basah yang samar tercium di udara. Elise berdiri di dekat gazebo, menyapu daun-daun kering yang berserakan. Suara gemercik air dari kolam ikan di sampingnya memberikan sedikit ketenangan, meskipun pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian-kejadian sebelumnya.Sebenarnya, menyapu bukanlah tugasnya. Di dalam kontraknya, jelas tertulis bahwa Elise bertugas sebagai pelayan pribadi Tuan Abraham. Tapi sejak Reiner Barack, cucu Tuan Abraham, kembali ke rumah dan Elise berpindah tugas melayani lelaki itu, Greta tampaknya selalu menemukan alasan untuk menambah beban pekerjaannya."Kau tidak perlu mengomel, Elise," suara Greta terdengar dari arah dinding pembatas, saat dia menyiram tanaman dengan gerakan malas. "Selagi kau nganggur, kau juga wajib ikut bantu beres-beres."Elise menghela napas panjang, menahan komentar yang ingin meluncur dari bibirnya. Dia memilih untuk membuang muka, pura-pura sibuk dengan sapunya. Namun dalam hatinya, dia merasa kes
Setelah Elise membersihkan diri dan merasa lega setelah seharian membantu pekerjaan rumah, pikirannya kembali tertuju pada buku catatan ibunya. Ia ingin duduk tenang di tanah kosong belakang rumah untuk membacanya. Namun, tugas yang menumpuk kembali menghentikannya.Saat hendak menuju kamar untuk mengambil buku catatan tersebut, pikirannya melayang. "Haruskah aku menyisihkan waktu untuk membaca ini sekarang? Tapi, pekerjaan belum selesai..."Elise menghela napas, mengingat pakaian bersih Tuan Reiner yang belum ditata di lemari. "Sebaiknya aku selesaikan dulu tugasku sebelum Tuan Reiner pulang." Dengan langkah cepat, Elise menuju ruang penyimpanan pakaian, mengangkat satu keranjang penuh milik Reiner.Namun, langkah Elise terhenti ketika suara Nyonya Barbra memanggilnya dengan nada tegas dari ujung ruangan.Barbra: "Berhenti di situ, Elise!"Elise menunduk sopan, meskipun hatinya mulai cemas. "Iya, Nyonya..."Barbra melangkah mendekat dengan ekspresi dingin khasnya, menunjuk keranjang
Reiner melangkah masuk ke tempat hiburan malam itu dengan langkah mantap. Bau alkohol dan suara musik keras menyambutnya, tapi wajahnya tetap dingin tanpa emosi. Beberapa wanita mencoba mendekat, menyapanya dengan suara manja, tapi Reiner hanya mengibaskan tangannya untuk menolak. Matanya terpaku pada sosok yang sedang tertawa keras di sofa, dikelilingi wanita-wanita berpakaian minim.Karl.Reiner berjalan mendekat. Sepatunya yang mahal menimbulkan bunyi tegas saat menyentuh lantai, membuat Karl menoleh dengan raut wajah terkejut sebelum dengan cepat kembali memasang senyum miringnya."Kau terkejut aku bisa menemukanmu?"Karl melepaskan lengannya dari salah satu wanita di sebelahnya, duduk lebih tegak, lalu meneguk minuman di tangannya sebelum tertawa kecil."Reiner Barack, pengusaha muda yang berpengaruh, datang menemuiku di tempat seperti ini. Suatu kehormatan."Reiner tak menjawab. Tatapannya yang tajam membuat wanita-wanita di sekitar Karl merasa tidak nyaman. Satu per satu mereka
Taman di belakang rumah keluarga Barack tampak sunyi, hanya suara desiran angin yang menggoyangkan dedaunan pohon pinus yang terdengar. Elise duduk di atas rerumputan yang lembut, terlindung dari sinar matahari oleh bayangan pohon yang menjulang tinggi. Di pangkuannya, ada sebuah buku catatan setebal tiga sentimeter dengan sampul cokelat polos. Buku itu sudah tua, terlihat dari beberapa bagian yang warnanya memudar. Elise memandang buku itu dengan perasaan campur aduk.“Kenapa aku merasa buku ini seperti sebuah teka-teki?” gumamnya pelan.Ia menelan ludah, tangannya gemetar saat membuka halaman pertama. Selama ini, ia tidak pernah berani menyentuh terlalu dalam, tetapi rasa penasaran yang menumpuk selama bertahun-tahun akhirnya mengalahkan ketakutannya.“Maafkan aku, Mama. Aku hanya ingin tahu,” bisiknya lirih.Halaman pertama hanya berisi coretan kecil, seperti catatan harian biasa. Elise membaca pelan-pelan. Awalnya, tidak ada yang aneh. Ibunya, Roseta, menulis tentang pekerjaannya
Elise terbangun dengan napas yang berat. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, meski udara di kamar terasa cukup dingin. Cahaya remang dari lampu meja menyinari wajahnya yang pucat. Mimpi itu lagi. Sekilas bayangan api, teriakan, dan suara kaca pecah membangunkan dirinya.Namun, seperti biasa, semuanya kabur ketika dia mencoba mengingatnya.Dia mengusap wajah dengan tangan gemetar, lalu memutar tubuh menghadap laci kecil di samping tempat tidur. Tangannya meraih ke dalam laci, mencari sesuatu yang selama ini ia sembunyikan bahkan dari dirinya sendiri. Sebuah foto.Dengan hati-hati, Elise mengangkat foto itu ke atas, menatapnya sambil tetap berbaring. Foto itu sudah tua, warnanya memudar, tapi wajah seorang wanita tetap terlihat jelas. Rambutnya hitam panjang, mata sayunya terlihat lelah, namun ada senyum kecil di wajah itu. Hanya saja, sebuah luka yang menahun di pipi kanan wanita itu tampak mencolok."Mama..."Air mata Elise menggenang di pelupuk mata. Wanita di foto itu adalah ibu
Tobey duduk di kursi, wajahnya tegang dan penuh kemarahan. Tangan kanannya mencengkeram sandaran kursi dengan erat, sementara tangan kirinya meremas ponsel, matanya terpaku pada foto yang ada di layar—sebuah gambar pria yang tak lain adalah ayah Elise. Ketika matanya menyapu ruang itu, ia mendapati bawahannya masih sibuk mengutak-atik komputer, mencoba mencari solusi dari teka-teki yang membuatnya semakin jengkel. "Damn!" Tobey mengumpat kasar, suaranya serak penuh kekesalan. "Kau memang serakah, Harrys! Bahkan setelah mati, kau masih menyusahkan hidupku!" Ia melemparkan ponselnya ke meja dengan kasar, kemudian berdiri dan berjalan mondar-mandir, berpikir keras. Ruangan itu terasa semakin sempit, seolah-olah setiap sudutnya menekan perasaan Tobey yang semakin membara. Di ambang pintu, Karl muncul, memandangnya dengan wajah ragu-ragu. “Apakah mungkin kode sandinya ulang tahun Roseta?” Tobey menoleh, matanya menyipit dengan keraguan. "Itu terlalu mudah, Karl." Suaranya terdengar taj
Di dalam ruangan yang cukup terang, suasana semakin tegang. Semua mata tertuju pada brankas besar yang terletak di tengah ruangan. Ahli IT yang duduk di depan komputer mulai mengoperasikan alatnya, dan layar di hadapannya menunjukkan data yang bergerak cepat. Semua orang menunggu dengan cemas, menyadari bahwa brankas itu hanya bisa dibuka dengan sidik jari yang cocok. Tentu saja, itu hanya masalah waktu. Tak lama lagi, brankas itu akan terbuka, dan rahasia yang tersembunyi di dalamnya akan terungkap. Semua mata kini beralih ke Elise yang terikat di sudut ruangan. Wajahnya tampak pucat dan penuh kecemasan. Tiba-tiba, salah satu suruhan lainnya yang tampaknya bertugas menjaga keamanan ruangan, berjalan mendekat dengan ekspresi cemas. Wajahnya menunjukkan ketegangan. "Tuan, kami mendeteksi gerakan di sekitar gedung. Sepertinya ada orang lain yang mendekat." Tobey mengerutkan keningnya, lalu mengalihkan pandangannya ke Elise yang duduk di sudut ruangan, tampak semakin ketakutan. Tata
Pagi itu, tubuh Elise tersentak hebat, seakan terbangun dari mimpi buruk yang terlalu nyata. Matanya langsung terbuka lebar, menatap langit-langit gelap di atasnya. Napasnya memburu, dadanya naik-turun seiring ketakutan yang belum sepenuhnya hilang dari pikirannya. Dia bergumam pelan, hampir tidak terdengar, "Sudah pagi ternyata..." Namun, pagi itu tidak membawa ketenangan. Elise masih terikat di kursi kayu keras, dengan tali yang menggerus pergelangan tangannya. Dia mencoba lagi untuk membebaskan diri, menarik-narik tali bergantian dengan penuh harap, tetapi usahanya hanya membuat kulitnya semakin memerah dan perih. Rasa sakit itu seperti memperingatkan bahwa kebebasan masih jauh dari jangkauan. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Elise segera berhenti bergerak, memejamkan mata, dan menyandarkan kepalanya ke dinding. Dia berpura-pura tidur, mencoba mendengarkan percakapan yang terjadi di luar ruangannya. "Tuan akan langsung membawa dia pergi?" suara berat Karl terde
Pukul delapan malam, suasana di luar rumah Eddie masih tampak tenang. Reiner memarkir mobilnya di depan pagar yang sudah mulai berkarat. Langkahnya terdengar berat dan cepat di atas jalan setapak menuju pintu utama. Ketika pintu terbuka, Eddie—dengan rambutnya yang mulai memutih dan postur tubuh sedikit membungkuk—terlihat terkejut mendapati Reiner berdiri di ambang pintu dengan ekspresi tegang. “Silakan masuk, Tuan... sepertinya ada yang genting,” kata Eddie sambil mempersilakan Reiner masuk ke ruang tamu. Tanpa menunggu basa-basi, Reiner langsung membuka pembicaraan. “Apa kau masih sering menemui Karl?” Kening Eddie berkerut. Nama itu seperti pisau tua yang kembali mengiris luka lama. “Ada apa dengan Karl?” tanyanya penuh kebingungan. Reiner mendesah berat, mencoba menahan ledakan emosinya. “Elise hilang.” Mata Eddie membelalak. “E-Elise hilang? Bagaimana bisa, Tuan?” Reiner meraup wajahnya dengan kasar, frustrasi. “Kau tahu kira-kira Karl tinggal di mana? Kau itu kakak kandun
Tubuh Elise gemetar, kedua tangannya terikat erat di belakang punggung, sementara kakinya dililit tali yang sama kuatnya. Lakban menutup rapat mulutnya, membuatnya hanya bisa mengeluarkan suara samar dari tenggorokannya. Dia duduk bersimpuh di lantai, punggungnya bersandar pada sebuah lemari kayu yang besar. Perlahan, Elise membuka matanya. Pandangannya buram pada awalnya, tapi sedikit demi sedikit, ruangan itu mulai terlihat jelas. Cahaya remang dari sebuah lampu gantung tua memantulkan bayangan menyeramkan di dinding. Jantungnya berdegup kencang saat ia menyadari bahwa dirinya berada di tempat asing, dalam kondisi tidak berdaya. Suara langkah kaki terdengar mendekat. Karl muncul dari kegelapan, mengenakan jaket kulit yang terlihat usang. Wajahnya dihiasi seringaian dingin yang mengirimkan hawa menakutkan ke seluruh ruangan. "Bangun juga kau, Elise," ucap Karl dengan nada mengejek, matanya menyipit tajam saat dia mendekati tubuh Elise yang terikat. Elise berusaha menggerakkan tub
Polisi mulai sibuk bergerak, menyebar ke seluruh area bangunan tua yang telah lama terbengkalai di tengah hutan. Mereka menggedor setiap sudut, membuka pintu-pintu berkarat dan menyisir ruang-ruang yang diselimuti debu tebal. Meskipun bangunan ini sudah lama ditinggalkan, tidak ada yang tahu bahwa di dalamnya masih tersimpan sesuatu yang sangat penting, sesuatu yang bisa mengubah banyak hal."Dua langkah ke kiri!" perintah seorang polisi dengan suara tegas saat ia menyisir ruang yang dipenuhi komputer-komputer tua dan alat-alat aneh. Dalam salah satu sudut ruangan, sebuah brangkas besar berdiri tegak, menunggu untuk dibuka oleh Tobey. Tapi kini, brangkas itu hanya menjadi objek misteri bagi para penyelidik."Jangan bergerak! Kalian sudah terkepung!" teriak polisi lain yang sudah mengarahkan senjata mereka ke empat orang yang berada di dalam ruangan tersebut. Para pengikut Tobey terkejut, namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Tangan mereka terangkat ke udara sebagai tanda menyerah.
Kediaman Keluarga BarackReiner memarkir mobil di area halaman, suara mesin yang berhenti menarik perhatian Will yang sedang duduk di pos bersama para penjaga. "Baru pulang, Tuan?"Reiner hanya mengangguk singkat, kemudian berjalan masuk ke dalam rumah. Udara di dalam terasa hangat, namun pikirannya tidak. Ada sesuatu yang mengganjal sejak dia melihat barang berserakan di jalan pinus tadi.Saat tiba di ruang tengah, suaranya bergema, memanggil, "Elise!"Yang muncul bukan Elise, melainkan Clara, dengan wajah sedikit ragu."Maaf, Tuan... Elise sedang tidak di rumah."Kening Reiner langsung berkerut, nada suaranya berubah. "Kemana dia?" "Saya kurang tahu, Tuan. Dari siang saya tidak melihat Elise."Reiner terdiam, pikirannya langsung berputar. Dia berjalan menuju tangga, melangkah ke lantai dua sambil mencoba menenangkan diri.Reiner membatin, "Apa dia pergi menemui ayah dan adiknya lagi? Atau ke galeri seni seperti biasa?"Tapi kenapa tidak ada pesan? Dia merogoh ponsel dari saku cela
Siang itu, matahari bersinar terang di halaman rumah keluarga Barbra. Elise sedang sibuk menyapu dedaunan kering yang berguguran. Dengan gerakan cepat, ia mencoba menyelesaikan pekerjaannya, namun perhatiannya terusik oleh percakapan yang terjadi di teras depan. "Reiner sering sekali mencuri pandang padaku waktu itu," suara Olivia terdengar jelas, diiringi tawa kecil. "Ah, aku ingat itu. Anak itu selalu mencari alasan untuk bertemu denganmu," sahut Barbra dengan nada bercanda, tetapi ada kehangatan di dalamnya. Mendengar obrolan itu, Elise menghentikan gerakan sapunya. Ia berdiri di balik pohon besar, mencuri dengar pembicaraan mereka. Dadanya terasa sedikit sesak, meskipun ia sendiri tidak mengerti mengapa. Olivia melanjutkan, "Dia benar-benar berbeda saat itu, Bibi. Lebih hangat, lebih perhatian. Tapi, yah, waktu memang mengubah segalanya." Elise mendengus pelan, mencoba mengalihkan rasa tak nyaman dengan menyapu daun-daun kering lebih keras. Tak lama kemudian, Reiner muncul da
Pagi itu, Elise sudah berdiri di depan kamar Reiner, memeluk keranjang pakaian yang semalam harus ia setrika ulang. Matanya menatap pintu kayu itu dengan ragu. Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum mengetuk. Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh pintu, gagang pintu itu berputar, dan sosok Olivia muncul dari dalam. Olivia menguap kecil, tampak santai dengan piyama satin yang terkesan mahal. Rambutnya tergerai rapi, meskipun baru saja bangun tidur. Elise membeku. Pandangan mereka bertemu, dan Olivia tampak terkejut. “Eh, Elise? Kau di sini pagi-pagi sekali?” tanya Olivia sambil merapikan rambutnya. Elise menelan ludah. “Sa-saya… saya mau mengantar pakaian, Nona. Semua harus rapi sebelum Tuan Reiner bangun.” “Oh, begitu ya?” Olivia tersenyum tipis sambil menyingkir memberi jalan. “Silakan masuk saja.” Elise mengangguk canggung, melangkah masuk ke kamar sambil memeluk keranjang pakaian erat-erat. Dia tidak berani menoleh, tetapi langkah Olivia yang gemulai ta