Ulang tahun Zola sekitar setengah bulan lagi, tetapi dia jarang merayakan ulang tahunnya. Dulu, ketika masih di Jantera, dia akan makan bersama Jeni atau Mahendra. Setelah kembali ke Kota Binru, ulang tahun pertamanya dirayakan setelah menikah dengan Boris dan dia melewatinya sendirian.Hari itu, Boris sibuk dengan pekerjaannya dan Zola juga tidak mengatakan apa-apa. Dia masih ingat bahwa Mahendra sangat marah karena itu. Dia merasa bahwa Boris tidak melakukan tugasnya sebagai suami. Jika bukan karena dia menghentikannya, lelaki itu mungkin akan menemui Boris untuk meminta penjelasan.Memikirkan semua ini membuat hati Zola merasa tidak nyaman. Meskipun saat ini kelihatannya Mahendra memang melakukan kesalahan. Orang lain boleh menyalahkannya, tetapi hanya Zola yang tidak bisa.Zola tidak segera memberi jawaban kepada Jeni dan hanya berkata, "Lihat saja nanti, hari ini kita sudah lelah, mari pulang lebih awal."Keduanya membereskan barang-barang mereka dan keluar dari kantor. Di luar su
Meskipun tujuan sebenarnya adalah mencari catatan pembelian Audy, Zola dan Jeni memutuskan mengeluarkan sebuah kalung agar alasan untuk hal ini lebih masuk akal. Jadi jawaban Zola tidak dianggap sebagai kebohongan. Setelah mendengarnya, Boris hanya mengangguk dan berkata,"Kalau ada yang dibutuhkan, langsung saja hubungi Jesse, dia akan mengaturnya, oke?""Oke." Zola juga tidak ragu untuk mengangguk, tetapi dia tidak tahan untuk bertanya, "Apakah ini termasuk menggunakan koneksi orang dalam?"Boris tersenyum tipis dan bertanya, "Menurutmu?""Seharusnya nggak, ‘kan?""Kenapa? Takut aku minta imbalan?"Wajah tampannya dan bibir tipisnya mengisyaratkan senyum lembut yang memberi kesan menenangkan seperti angin musim semi. Malam itu, saat berbaring di tempat tidur, Boris yang jarang tidak membaca buku malah sibuk dengan ponselnya. Zola penasaran dan bertanya, "Sedang berbincang tentang apa?"Lelaki itu langsung menyerahkan ponselnya pada Zola. Layar memperlihatkan percakapan dengan Tedy. D
Zola terdiam sejenak, wajahnya menunjukkan sedikit kaku. Dia berkata, "Baik, aku mengerti."Boris memandangnya sejenak, lalu mengangkat dagunya sedikit dengan jarinya. Lelaki itu menundukkan untuk mencium bibirnya. Baru setelah itu dia merasa puas dan berbalik untuk keluar dari rumah.Namun, Zola hanya terdiam saja. Ucapan Boris tadi membuatnya merasa sedikit gugup. Apakah lelaki itu tengah memberikan isyarat tentang sesuatu?Namun, kemudian dia merasa itu tidak mungkin. Jika dia tahu sedikit saja, dia pasti akan menyelidikinya, dan tidak hanya memberi isyarat secara samar. Pemikiran tersebut membuat Zola merasa lega.Pagi itu, setelah tiba di kantor, Zola mulai sibuk bekerja. Dia memeriksa hasil sketsa kreatif dari Caca dan dua temannya. Ada dua ide desain yang cukup bagus dan bisa digunakan, jadi dia memberikan arahan pada mereka agar mengikuti pemikirannya.Setelah itu, dia mengajari mereka cara memanfaatkan inspirasi yang berguna dan membuang hal-hal yang tidak relevan. Kesibukan i
Zola mengangguk lalu berdiri dan meninggalkan kamar rumah sakit. Namun, tidak lama setelah dia pergi, Boris tiba. Keduanya sama sekali tidak berpapasan, terlewat begitu saja.Melihat Boris, neneknya tersenyum dan berkata, "Apakah kamu sengaja datang saat Zola baru saja pergi?""Dia sudah pergi?"Boris kebetulan sedang bertemu klien kerja sama di dekat situ. Dia tahu Zola berada di rumah sakit, jadi dia sengaja mampir. Mendengar dari Nenek bahwa Zola baru saja pergi, dia segera menghubungi ponsel perempuan itu. Tersambung tetapi tidak diangkat. Matanya menyipit, menunjukkan ekspresi yang samar.“Dia mungkin sedang mengemudi,” kata Nenek. “Di sini nggak ada masalah. Kamu mau mencarinya ke kantornya?”Boris tersenyum lembut dan berkata, “Nggak perlu, aku mau mengobrol dengan Nenek.”“Benaran nggak perlu?” Nenek juga ikut tersenyum.Dia mengangguk menegaskan, “Benar nggak perlu. Bagaimana kondisi Nenek beberapa hari ini?”Boris berbicara dengan Nenek tanpa menunjukkan perasaan yang tidak s
Mahendra tersenyum tipis dan berkata, “Zola, kamu sudah mengikuti sampai di sini, bagaimana mungkin kamu nggak mengerti maksud perkataanku?” Ucapannya penuh dengan makna tersembunyi, dan bagaimana mungkin Zola tidak memahaminya?Dia mengatupkan bibir tipisnya dan menatap mata Mahendra sambil bertanya, “Jadi, ada yang ingin kamu katakan padaku?”Lelaki itu tidak segera menjawab, dia hanya menatap Zola dan berkata, “Aku sudah menyiapkan semua ini, mau duduk dan makan sesuatu bersamaku?”Zola tidak menjawab.Mahendra kembali berkata, “Zola, kita sudah saling kenal selama bertahun-tahun. Apa pun yang ingin kamu tahu, selama kamu bertanya, aku pasti akan memberitahumu. Jadi, kita duduk dan bicara, oke?”Pada akhirnya dia menyetujui permintaan lelaki itu. Keduanya berjalan dan duduk di sebuah meja. Di atas meja terdapat kue ulang tahun yang kecil dan indah, serta buah-buahan dan beberapa hidangan favorit Zola.Mahendra berkata, “Semuanya aku yang buat sendiri, coba cicipi?”“Mahendra, kamu b
"Aku tahu, aku mengerti semuanya, tapi aku nggak menyesal. Zola, benaran, aku sama sekali nggak menyesal. Jadi jangan sedih untukku, oke?”Sikap Mahendra tetap sama. Sepanjang percakapan, dia selalu terlihat tenang, terutama saat dia mengakui segalanya kepada Zola. Dia tidak menunjukkan penyesalan atau rasa bersalah, sebaliknya, dia justru tampak merasa lega. Zola bisa melihat itu dan menyadari bahwa dia sudah lama menyadari bahwa dia mencurigainya dan mengikutinya, sehingga menciptakan momen seperti ini.Zola tidak menjawab pertanyaan lelaki itu, melainkan bertanya, "Sejak kapan kamu tahu kalau aku mulai mencurigaimu?""Beberapa hari yang lalu, mungkin sejak kamu mulai mencoba mengujiku," jawabnya dengan jujur.Zola mengerutkan kening tidak percaya dan berkata, "Kalau begitu, kenapa kamu sengaja membawaku ke lokasi proyek untuk melihatmu bertemu dengan Faiz meski kamu sudah tahu aku mencurigaimu?""Zola, aku sudah bilang, selama kamu ingin tahu sesuatu, aku nggak akan menyembunyikanny
Orang yang dimaksud sangat jelas, keduanya tahu siapa yang dimaksudkan. Zola tidak langsung menjawab, melainkan balik bertanya, "Apakah kamu peduli kalau aku memberitahunya?"Mahendra tertegun sejenak.Kemudian dia tersenyum dan berkata, “Aku sudah memberitahumu semuanya, jadi aku nggak peduli. Aku bersedia menanggung risikonya.”“Benar, kamu nggak peduli dan kamu bersedia menanggung semua konsekuensinya,” ujar Zola mengulang kembali ucapan Mahendra dengan suara pelan.Dia tersenyum dingin dan berkata, "Mahendra, apa yang kamu lakukan ini sebenarnya bukan demi kebaikanku, juga bukan untuk membelaku. Kamu hanya bertindak berdasarkan pemikiran dan keinginan pribadimu. Kamu nggak pernah bertanya padaku apakah aku mau atau nggak.”“Kita sudah berteman selama bertahun-tahun, dan kamu menggunakan alasan membelaku untuk melakukan hal-hal yang membuatku berada dalam posisi sulit. Coba katakan, bagaimana seharusnya aku memilih?”Zola merasa sangat kecewa. Dia merasa sangat tidak berdaya.Dia ti
Zola tertawa dingin, merasa sangat tidak berdaya. “Aku juga nggak tahu. Tapi selain alasan-alasan yang dia bilang, aku nggak bisa memikirkan alasan lain mengapa dia melakukan ini.”“Zola, jangan menyalahkan dirimu sendiri dan jangan berpikir yang aneh-aneh. Ini bukan salahmu. Bahkan kalau itu dilakukan demi kamu, bukan kamu juga yang memaksanya melakukan itu. Apalagi menyuruhnya. Semua ini adalah tindakan Mahendra sendiri dan nggak ada hubungannya denganmu.”Jeni mengatakannya dengan wajah cemas. Dia mencoba menenangkan Zola agar perempuan itu tidak merasa bersalah.Namun, Zola tidak mendengarkan. Dia tertawa pahit dan berkata dengan datar, “Kalau semua ini benar karena aku, maka aku adalah penyebabnya. Aku nggak ada bedanya dengan penjahat yang bisa mencelakakan orang lain meski nggak melakukan apa pun.”“Zola!” seru Jeni dengan suara tegas. “Aku nggak mengizinkanmu untuk mengatakan itu. Sudah kubilang, ini bukan salahmu, ini nggak ada hubungannya denganmu. Ini semua masalah Mahendra
Namun, karya desain bagus saja tidak cukup. Harus memiliki nuansa desain dan gaya yang unik juga agar dapat meninggalkan kesan yang mendalam sekali dilihat orang. Zola membantu revisi dan memberi mereka arah inspirasi baru. Draf desain saat ini sepenuhnya dipoles berulang kali, buat lagi, dipoles lagi.Zola sibuk sampai jam pulang kerja. Dia memeriksa ponselnya, berencana makan di luar bersama Jeni sebelum pulang. Sejak pindah kembali ke apartemen, si bibi belum pernah datang untuk menyiapkan makanan. Zola tidak ingin bertanya dulu. Sedangkan dia sendiri malas mau masak. Jadi dia memilih makan di luar.Namun, baru saja Zola dan Jeni masuk ke mobil dan hendak berangkat ke restoran, ponsel Zola tiba-tiba berdering. Telepon dari Boris.Zola memegang erat ponselnya dan tertegun sejenak, tidak langsung mengangkat telepon, lalu Jeni berkata, “Angkat saja.”Jeni langsung menepikan mobilnya dan menunggu Zola mengangkat telepon. Zola menekan tombol jawab, lalu suara Boris datang dari ujung tele
“Memang medan perang, kan? Bahkan medan perang di dalam sana jauh lebih sulit untuk dihadapi daripada yang di luar,” goda Jeni.Zola tersenyum, lalu dia keluar dari mobil dan berjalan masuk ke dalam rumah. Akhir-akhir ini Jerico sedang memulihkan diri di rumah. Setelah mengetuk pintu, Zola membuka pintu dan masuk. Begitu melihat Zola, Jerico langsung bertanya, “Kenapa kamu datang ke sini?”Sikap dingin Jerico membuat Zola diam sejenak, tapi dia sudah terbiasa. Jadi, Zola merasa tidak apa-apa. Dia menatap ayahnya dan berkata, “Ada yang ingin aku tanyakan pada Papa.”Jerico melihatnya sekilas. “Mau tanya apa?”Zola mengerutkan bibirnya. Pada akhirnya, dia segera bertanya, “Aku ingin tanya soal Budi. Budi sudah jadi sekretaris Papa bertahun-tahun. Kenapa dia tiba-tiba berkhianat? Selama ini Papa selalu baik padanya. Apakah dia ada kesulitan atau rahasia yang nggak bisa dikatakan?”Begitu Zola selesai bicara, raut wajah Jerico langsung berubah. Dia memelototi Zola dengan tidak senang.“Zol
Usai berkata, Boris berjalan keluar sambil berkata, “Aku panggil dokter dulu untuk periksa kamu. Nanti sudah boleh keluar dari rumah sakit.”Mata Zola mengikuti sosok Boris. Kata-kata Boris terulang-ulang terus di dalam otaknya. Dibandingkan Sandra yang cerdas, Zola lebih cocok menjadi istri Boris? Maksud Boris, Zola kurang cerdas?Zola yang sedang hamil sama sekali tidak menyadari kalau dirinya sedang melalui proses otak tidak bisa berpikir dengan cepat selama kehamilan. Setelah berpikir lama, dia masih tidak mengerti maksud Boris. Apakah Boris sedang memujinya? Namun, sepertinya itu tidak sepenuhnya memuji.Setelah melalui pemeriksaan, dokter memastikan Zola tidak apa-apa. Semuanya stabil. Dia pun dipulangkan. Boris yang mengantarnya kembali ke apartemen. Sepanjang perjalanan pulang, Zola dan Boris tidak bicara. Karena Boris menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengangkat telepon.Boris tampak sangat sibuk, tapi Boris tetap menemani Zola. Zola memperhatikan wajah Boris dari sam
Zola juga tercengang. Sandra ingin memberi Boris saham? Dia semakin fokus memperhatikan Boris, tidak ingin melewatkan ekspresi apa pun di wajah pria itu. Apakah Boris akan terharu?“Kamu jangan salah paham. Aku nggak ingin lakukan apa pun. Ini bentuk ketulusanku. Kamu tahu, kelak aku akan ambil alih Gordi Group. Tapi aku tahu seberapa besar persaingan dalam dunia bisnis. Aku butuh penopang. Aku tahu kamu nggak ada perasaan apa pun padaku, juga nggak mungkin menikah denganku. Tapi aku butuh kerja sama jangka panjang dengan Morrison Group.”“Ini bukan masalah kecil. Aku belum bisa kasih jawaban.”“Kalau begitu, kamu pertimbangkan dulu.”Boris menutup telepon. Wajahnya tampak dingin. Zola tidak mendengar semua percakapan antara Boris dan Sandra, tapi Zola mendengar jelas setiap kata yang Boris ucapkan. Setelah panggilan telepon berakhir, Boris meletakkan ponselnya. Dia spontan melihat ke arah Zola. Tidak disangka, Zola sedang memperhatikannya. Saat mata keduanya bertemu, Zola sama sekali
Zola menyadari kalau dirinya semakin tidak memahami Mahendra, bahkan boleh dibilang dia merasa seperti tidak pernah memahami pria itu sebelumnya. Apa tujuan Mahendra melakukan hal ini?Zola tidak bisa menemukan jawaban yang masuk akal. Jadi dia tidak menanggapi pertanyaan Boris. Suasana pun menjadi sunyi senyap. Sesaat kemudian, ponsel Boris berdering. Sandra yang meneleponnya.“Kamu nggak di kantor?”“Ada urusan?”“Iya, ada sedikit urusan. Soal proyek kerja sama. Aku baru saja dapat kabar, ada perusahaan real estate asing yang berencana datang ke Kota Binru untuk berinvestasi. Kalau kita bisa dapatkan kerja sama ini, itu akan sangat membantu untuk go public nanti. Jadi kamu mau pertimbangkan, nggak?”Meskipun Morrison Group merupakan sebuah perusahaan besar, sampai saat ini Morrison Group belum mendaftarkan diri ke bursa efek. Baik Boris maupun keluarganya tidak peduli dengan hal itu. Jika Morrison Group mau go public, pasti sudah go public sejak kepemimpinan Hartono. Namun nyatanya t
Setiap kali memikirkan hal itu, Boris pasti berpikir kalau Zola ingin berpisah dengannya demi Mahendra. Akan tetapi, pesan Guntur terngiang kembali di benaknya. Sekarang Zola tidak boleh emosi, harus tetap dalam suasana hati yang baik. Sehingga kata-kata yang sudah sampai di ujung bibirnya akhirnya ditelan kembali.Zola menatap Boris, mengira pria itu ingin mengatakan sesuatu lagi. Jadi dia menatap Boris dalam diam. Kata-kata Boris barusan membuat Zola merasa hatinya seperti dicengkeram dengan erat hingga membuatnya sulit bernapas.Namun, beberapa saat berlalu. Boris tak kunjung bicara. Zola menatapnya dengan bingung dan berkata, “Mau ngomong apa ngomong saja.”Sikap Boris melembut, tidak sekeras tadi. Dia menatap Zola sambil berpikir keras. Kemudian, dia menanyakan keraguan yang selalu Boris sembunyikan di dalam hatinya.“Aku hanya mau tanya satu hal. Katakan padaku, apakah kamu pernah pacaran dengan Mahendra?”Zola mengerutkan kening, tampak semakin bingung. “Boris, sebenarnya apa ya
“Oke, aku mengerti.” Boris menjawab dengan serius, seperti seorang murid yang penurut.Guntur jarang melihat reaksi seperti itu dari Boris. Dia spontan tertawa dan berkata, “Baguslah kalau kamu bisa bekerja sama seperti ini. Kakek dan orang tuamu belum tahu. Perlu beritahu mereka?”Boris menatap Guntur dan bertanya balik, “Menurutmu?”Guntur terus tertawa. “Oke, oke, aku mengerti. Kalau begitu aku kerja dulu. Kamu temani Zola. Kalau dia bangun, dia boleh sarapan.”Boris menganggukkan kepala. Guntur pun pergi. Beberapa menit kemudian, Zola membuka matanya dan mendapati dirinya sedang berada di rumah sakit. Dia spontan mengangkat tangannya dan memegang perutnya. Setelah merasakan perutnya yang buncit, dia baru merasa lega.Zola ingat Jeni mengantarnya ke rumah sakit dan dia diperiksa oleh dokter. Namun saat itu, dia benar-benar sudah terlalu lelah. Dokter juga memberinya obat yang boleh diminum ibu hamil. Jadi dia tidur sampai sekarang baru bangun.Zola bangun dan duduk. Begitu duduk, di
Boris punya kebiasaan marah ketika dibangunkan dari tidurnya, apalagi kalau dibangunkan secara tiba-tiba. Akan tetapi, sebelum dia bisa melampiaskan kekesalannya, suara yang masuk telinganya langsung membuat matanya terbelalak lebar.“Zola lagi di UGD rumah sakit?” tanya Boris dengan suara serak.“Kamu nggak tahu?”“Kenapa dia ke rumah sakit jam segini?”Boris mengangkat selimutnya dan turun dari tempat tidur. Sambil mengganti pakaian, dia bertanya kepada Guntur dengan wajah serius. Guntur bilang kalau muridnya yang melihat Zola. Zola baring di ranjang pemeriksaan, sepertinya baru selesai diperiksa. Dia masih belum tahu bagaimana situasi jelasnya.Boris tidak banyak bicara. Setelah menjawab singkat, dia langsung menutup telepon. Wajah tampannya tampak tegang. Rahangnya mengeras sampai seolah-olah bisa hancur kapan saja. Dia bahkan tidak sempat memakai sepatu lagi. Dia langsung mengambil kunci dan keluar.Boris mengebut sepanjang jalan. Dia mencoba menghubungi ponsel Zola, tapi Zola tid
Manusia sangat mudah membiasakan diri. Begitu sudah terbiasa, manusia bisa saja melupakan semua hal negatif yang pernah dialaminya sebelumnya.“Apakah aku sudah kehilangan diriku sendiri?” tanya Zola kepada Jeni.Jeni memikirkannya dengan serius. “Sayang, kalau kamu sudah mempertanyakan apakah kamu sudah kehilangan dirimu sendiri, menurutku kamu benar-benar perlu merenungkan diri dulu.”Karena kata-kata Jeni barusan, Zola pun jadi berpikir keras. Benar, dia bahkan sudah mempertanyakan dirinya sendiri. Apa yang akan dipikirkan orang lain?Zola bangun dan duduk di sofa, lalu berkata dengan yakin, “Aku percaya aku masih diriku yang dulu. Aku nggak akan kehilangan diri sendiri demi siapa pun.”“Ini baru betul.”Keduanya saling menatap dan tersenyum. Di malam hari, Zola rela mengeluarkan uang mentraktir Jeni makan mie, sebagai penghargaan kepada Jeni karena telah memberinya pencerahan dan semangat. Saat itu, Jeni merasa sangat kesal. Ingin rasanya memarahi Zola.Zola justru berkata, “Maklum