Zola mengerutkan kening. Matanya spontan melebar. Dia bahkan tidak berani bernapas. Kata-kata Mahendra membuat hati Zola langsung mencelos.Setelah mendengar Mahendra menutup telepon, Zola segera berjalan ke pojokan, lalu berdiri di sana cukup lama. Namun, dia tak kuasa menenangkan jantungnya yang masih berdetak kencang.Zola mendengar langkah kaki Mahendra keluar dari ruang pantry. Kemudian, Zola baru pergi ke toilet. Beberapa menit kemudian, dia baru keluar dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi, pikirannya dipenuhi dengan kata-kata yang Mahendra ucapkan barusan.Mahendra sedang bertelepon dengan siapa? Apakah dengan orang yang terlibat dalam insiden gedung runtuh? Apakah dalang di baliknya atau komplotan Mahendra?Zola memikirkan banyak hal, hingga dia merasa kepalanya seperti mengembang. Setelah keluar dari toilet, dia kembali ke kantornya. Baru saja masuk, dia melihat Mahendra ada di dalam. Begitu melihat Zola datang, Mahendra langsung bertanya, “Zola, kamu habis d
Bansan Mansion.Mansion ini adalah bangunan terindah di Kota Binru. Di kamar tidur utama, seorang pria turun dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi dengan wajah tanpa ekspresi. Sedetik yang lalu, pria itu masih memadu kasih dengannya. Pada detik berikutnya, raut wajah pria itu sudah berubah total. Namun, Zola sudah lama terbiasa dengan hal itu.Zola berdiri dan memakai kembali pakaiannya. Wajah di balik rambut panjangnya masih memerah. Dia memiliki wajah yang cantik, tubuh yang seksi dan menggoda. Terlebih lagi di saat seperti ini.Selesai mandi, pria itu keluar dari kamar mandi. Dia menatap Zola dengan raut wajah datar, lalu berkata dengan dingin, “Tanda tangani ini.”Usai berkata, pria itu mengeluarkan lembaran kertas dokumen dari dalam laci meja nakas, lalu melemparkannya ke tempat tidur.Zola menunduk dan melihat kertas itu. Di bagian paling atas kertas, tercetak jelas kata-kata “Surat Cerai” yang menusuk mata. Zola spontan menatap pria itu dan bertanya dengan tidak percaya,
Sorot mata Boris kian tajam dan gelap. Keduanya saling menatap dalam diam. Sesaat kemudian, dia baru berkata dengan suara berat, “Aku nggak suka candaan seperti ini.” Baginya, jatuh cinta pada Zola hanya akan menjadi sebuah candaan.“Maaf,” ucap Zola dengan raut wajah membeku.Pria itu menatap perempuan yang selalu penurut, lembut, bijaksana dan perhatian. Entah mengapa, tiba-tiba ada perasaan aneh di dalam hatinya. Tepat saat ini, ponsel Zola tiba-tiba berdering.Zola segera mengambil ponselnya. Namun, kepanikan muncul di matanya ketika melihat nama di layar ponselnya. Meski rasa panik itu menghilang dengan cepat, Boris tetap bisa menangkapnya.Melihat Zola yang tampak ragu-ragu, Boris pun bertanya, “Nggak angkat?”Zola mengangguk, lalu mengangkat telepon, “Halo.”“Zola, hasil tesnya sudah keluar. Kamu baik-baik saja.” Orang di ujung telepon lainnya terdiam sejenak, lalu berkata, “Tapi kamu hamil, sudah lebih dari dua bulan. Perkembangan janinnya sangat bagus. Kamu ... mau pertahankan
“Mahendra, kalau kamu benar-benar pahami aku, jangan bahas tentang masa lalu lagi, oke?”Setahun yang lalu, Zola meninggalkan masa kejayaan dan ketenarannya lalu kembali ke Kota Binru untuk menikah dengan Boris. Namun, yang Zola dapatkan hanyalah selembar surat cerai dari Boris. Mahendra merasa itu sangat tidak sepadan bagi Zola.Raut wajah Mahendra semakin suram, kebencian pun terpancar dari kedua matanya. Zola menyadari perubahan yang terjadi pada Mahendra.“Mahendra, nggak ada yang bisa menjamin pernikahan akan selalu berakhir dengan sempurna. Aku sudah puas bisa jadi istrinya selama setahun. Jadi jangan merasa semua itu nggak sepadan untukku. Bagaimanapun juga, yang namanya perasaan nggak bisa dipaksakan,” ujar Zola dengan suara pelan.“Kamu benar, bagus juga kalian cerai. Setelah kalian cerai, aku nggak perlu merasa serba salah. Aku juga nggak perlu khawatir kamu akan sedih dan jadi ragu-ragu.”Mahendra menanggapi ucapan Zola, tapi suaranya lama kelamaan menjadi semakin pelan, hin
Jawaban Zola membuat Boris seketika bungkam. Namun, mata pria yang dalam dan diselimuti rasa tidak senang itu terus menatapnya. Zola tidak ingin menghadapi Boris lagi. Oleh karena itu, dia melangkahkan kakinya naik ke lantai atas. Akan tetapi, saat dia melewati Boris, tangan Zola dicekal dengan erat.“Zola, kamu lagi atur-atur aku?” tanya pria itu dengan suara serak.“Aku hanya berharap kamu bisa bersikap adil.”“Demi dia, kamu jadi berlidah tajam begini? Biasanya kamu selalu bersikap lembut, penurut dan pengertian terhadap aku. Jadi semua itu hanya dibuat-buat?”Zola mengerahkan tenaga untuk menarik tangannya. Namun, Boris begitu kuat, Zola sama sekali tidak berdaya untuk melawannya.Melihat Zola yang terus meronta, Boris pun langsung menarik perempuan itu dengan kuat ke dalam pelukannya. Napas pria yang menyejukkan menerpa wajah Zola, membuat Zola spontan tidak berani bergerak lagi.“Zola, jawab pertanyaanku, oke? Demi dia?” tanya Boris lagi.Zola mengerutkan bibirnya. Mereka terlalu
“Aku ke sana sekarang juga. Kamu minta perawat temani kamu dulu, oke?” Rahang Boris menegang, tapi suaranya tetap terdengar lembut. Hanya saja, setelah mendengar kata-kata Tyara, sorot matanya menjadi kian dalam seperti lubang tak berdasar.Jawabannya membuat Tyara sangat senang. Perempuan itu langsung berkata, “Oke, aku tunggu kamu.”Setelah panggilan berakhir, Boris kembali melihat ke arah tangga. Setelah menyuruh pelayan untuk mengingatkan Zola untuk makan malam, dia pun berjalan dengan cepat keluar meninggalkan rumah.Sesaat kemudian, terdengar suara mesin mobil. Zola berdiri di depan jendela kamar tidur utama sambil melihat mobil hitam itu pergi. Wajah cantiknya dipenuhi dengan sikap acuh yang dingin. Bibirnya melengkung tipis menertawakan dirinya sendiri. Pikirannya hanya dipenuhi sosok Boris yang pergi dengan cepat karena mengkhawatirkan Tyara. Boris benar-benar mencintai Tyara. Jadi apa yang masih dia harapkan dari pria itu?***Malam itu, Boris tidak kembali ke Bansan Mansion
“Bagaimana mungkin jadi jelek? Sekarang kamu masih dalam masa pemulihan, jangan berkecil hati, oke?” hibur Boris dengan suara lembut.“Benaran? Kamu nggak akan risih denganku?” Suara perempuan yang lembut itu penuh dengan harapan.“Tentu saja nggak akan. Setelah kamu sembuh, kita akan menikah,” kata pria itu tanpa ragu-ragu.“Benaran? Kamu nggak bohong, kan?”“Nggak bohong. Sudah, makan dulu, ya.”“Aku mencintaimu, Boris.” Suara lembut perempuan itu seperti suara alunan piano yang memabukkan.Zola yang berada di balik pintu juga mendengar setiap kata dalam percakapan mereka dengan jelas. Dia spontan melengkungkan bibirnya, menertawakan dirinya sendiri. Ada kesedihan yang tak ada habisnya di matanya. Zola tidak ingin menguping pembicaraan orang lain. Namun, dibandingkan dengan mengetuk pintu sekarang dan membuat orang merasa kesal, lebih baik dia menunggu dengan tenang. Setelah memastikan percakapan kedua orang itu telah berakhir, dia baru mengetuk pintu. Suara pria yang acuh tak acuh
Zola mengerutkan bibirnya dan tersenyum tipis, “Memangnya ekspresiku sangat penting? Kalau Tyara merasa nggak enak hati, kenapa dia telepon di jam segitu? Tapi karena dia sudah telepon, nggak perlu merasa bersalah. Apalagi kita sudah tandatangan surat cerai. Boleh dibilang kita sudah bercerai.”Nada bicara Zola begitu tenang, sama sekali tidak ada penyesalan. Namun, sikap Zola yang seperti itu membuat wajah Boris menjadi muram. Padahal ini jelas-jelas hasil yang dia inginkan. Namun entah mengapa, ada perasaan yang tidak bisa dijelaskan di dalam hatinya. Meskipun hanya sedikit, tetap saja dia tidak bisa mengabaikan perasaan itu.Boris menyipitkan mata dan berkata dengan nada tidak senang, “Zola, kalau kamu nggak senang karena aku suruh kamu antar baju ke sini, kamu marah saja padaku. Tapi Tyara belum sembuh, dia nggak boleh merasa sedih.”Boris begitu menyayangi Tyara, tidak ingin Tyara menderita sedikit pun. Oleh karena, dia boleh membuat Zola sedih.Mendapati suasana semakin mencekam,