“Kamu nggak tidur?”“Aku duduk sebentar, takut Tedy menggila.”Boris menundukkan kepalanya dan menyalakan sebatang rokok. Zola tahu kalau pria itu sedang dalam suasana hati yang buruk. Boris tidak hanya merokok, juga minum alkohol. Sejak tahu Zola hamil, Boris hampir tidak pernah merokok di depan Zola.Zola berdiri diam di tempat sambil menatap Boris dengan lekat. Suasana ruang tamu sangat sunyi, saking sunyinya mereka seolah bisa mendengar jelas suara napas satu sama lain.Boris menatap Zola dari balik asap putih. “Kenapa kamu nggak masuk ke kamar dan tidur?”“Boris, kamu marah sama aku, ya?”“Mana mungkin.” jawab Boris dengan acuh tak acuh.Jawaban Boris bukanlah “tidak” yang tegas, melainkan “mana mungkin”. Kalau bukan marah, apa namanya?Zola mengerutkan bibirnya dan berkata, “Aku sudah katakan berkali-kali. Aku nggak punya perasaan lain terhadap Mahendra. Juga nggak akan pernah ada. Baik itu dulu, sekarang atau di masa depan, nggak akan pernah ada.”“Kamu begitu yakin dengan sesua
Jeni tidak langsung menjawab. Sikap diam dan tercengangnya terlihat di mata Boris. Boris pun bertanya, “Kenapa? Ada sesuatu yang nggak bisa dikatakan?”“Kamu mau jawaban apa? Tentang siapa?”“Menurutmu?”Ekspresi wajah Boris tidak berubah. Dia menatap Jeni dengan acuh tak acuh, seolah sedang berkata kepada Jeni bukankah sudah jelas.Jeni mengerutkan bibirnya dan berkata, “Kamu ingin tahu soal apa?”“Sebenarnya siapa mantan pacar yang nggak pernah bisa dia lupakan itu?”Suara Boris berat dan serak, terdengar sedikit dingin. Kata-katanya membuat Jeni langsung diam tercengang.Mantan pacar Zola? Zola mana punya mantan pacar? Meskipun banyak orang yang mendekati Zola, Zola tidak pernah pacaran dengan pria lain. Bukankah di hati Zola hanya ada Boris?Jeni menatap Boris dengan bingung. Raut wajah dan sorot matanya seperti sedang bertanya, “Apakah kamu yakin ingin tanya soal mantan pacar Zola?”Boris memperhatikan sorot mata Jeni. Dia mengira Jeni merasa serba salah, jadi tidak tahu harus ber
Zola mengirim pesan ke Jeni, “Masih tidur?”Jeni pasti tidur larut malam, jadi Zola tidak ingin mengganggunya. Jika Jeni tidak membalas pesannya, dia akan membiarkan Jeni istirahat di rumah. Hari ini tidak perlu pergi ke perusahaan. Siapa sangka, Jeni langsung membalas pesannya.“Nggak, baru saja selesai mandi. Kamu sudah bangun?” balas Jeni.“Iya, kalau begitu ayo ke sini sarapan.”Jeni pun membalas dengan satu kata oke. Beberapa menit kemudian, keduanya duduk berhadapan di meja makan.“La, aku pengen tanya sesuatu ke kamu,” kata Jeni.“Hmm?”“Kamu yang beritahu Boris soal mantan pacarmu?” tanya Jeni dengan hati-hati.Zola tertegun sejenak, lalu berkata, “Iya, aku yang beritahu.”“Jadi kamu sengaja bilang ke dia kalau alasan kamu menikah dengannya karena mantan pacarmu?”“Dia tanya sama kamu?”Jeni menganggukkan kepala. “Dia tanya sebenarnya siapa mantan pacarmu. Tapi kamu tenang saja, aku kasih jawaban ambigu. Jadi dia pasti nggak bisa tebak.”Jeni menceritakan percakapannya dengan B
Zola mengerutkan kening. Matanya spontan melebar. Dia bahkan tidak berani bernapas. Kata-kata Mahendra membuat hati Zola langsung mencelos.Setelah mendengar Mahendra menutup telepon, Zola segera berjalan ke pojokan, lalu berdiri di sana cukup lama. Namun, dia tak kuasa menenangkan jantungnya yang masih berdetak kencang.Zola mendengar langkah kaki Mahendra keluar dari ruang pantry. Kemudian, Zola baru pergi ke toilet. Beberapa menit kemudian, dia baru keluar dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi, pikirannya dipenuhi dengan kata-kata yang Mahendra ucapkan barusan.Mahendra sedang bertelepon dengan siapa? Apakah dengan orang yang terlibat dalam insiden gedung runtuh? Apakah dalang di baliknya atau komplotan Mahendra?Zola memikirkan banyak hal, hingga dia merasa kepalanya seperti mengembang. Setelah keluar dari toilet, dia kembali ke kantornya. Baru saja masuk, dia melihat Mahendra ada di dalam. Begitu melihat Zola datang, Mahendra langsung bertanya, “Zola, kamu habis d
Bansan Mansion.Mansion ini adalah bangunan terindah di Kota Binru. Di kamar tidur utama, seorang pria turun dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi dengan wajah tanpa ekspresi. Sedetik yang lalu, pria itu masih memadu kasih dengannya. Pada detik berikutnya, raut wajah pria itu sudah berubah total. Namun, Zola sudah lama terbiasa dengan hal itu.Zola berdiri dan memakai kembali pakaiannya. Wajah di balik rambut panjangnya masih memerah. Dia memiliki wajah yang cantik, tubuh yang seksi dan menggoda. Terlebih lagi di saat seperti ini.Selesai mandi, pria itu keluar dari kamar mandi. Dia menatap Zola dengan raut wajah datar, lalu berkata dengan dingin, “Tanda tangani ini.”Usai berkata, pria itu mengeluarkan lembaran kertas dokumen dari dalam laci meja nakas, lalu melemparkannya ke tempat tidur.Zola menunduk dan melihat kertas itu. Di bagian paling atas kertas, tercetak jelas kata-kata “Surat Cerai” yang menusuk mata. Zola spontan menatap pria itu dan bertanya dengan tidak percaya,
Sorot mata Boris kian tajam dan gelap. Keduanya saling menatap dalam diam. Sesaat kemudian, dia baru berkata dengan suara berat, “Aku nggak suka candaan seperti ini.” Baginya, jatuh cinta pada Zola hanya akan menjadi sebuah candaan.“Maaf,” ucap Zola dengan raut wajah membeku.Pria itu menatap perempuan yang selalu penurut, lembut, bijaksana dan perhatian. Entah mengapa, tiba-tiba ada perasaan aneh di dalam hatinya. Tepat saat ini, ponsel Zola tiba-tiba berdering.Zola segera mengambil ponselnya. Namun, kepanikan muncul di matanya ketika melihat nama di layar ponselnya. Meski rasa panik itu menghilang dengan cepat, Boris tetap bisa menangkapnya.Melihat Zola yang tampak ragu-ragu, Boris pun bertanya, “Nggak angkat?”Zola mengangguk, lalu mengangkat telepon, “Halo.”“Zola, hasil tesnya sudah keluar. Kamu baik-baik saja.” Orang di ujung telepon lainnya terdiam sejenak, lalu berkata, “Tapi kamu hamil, sudah lebih dari dua bulan. Perkembangan janinnya sangat bagus. Kamu ... mau pertahankan
“Mahendra, kalau kamu benar-benar pahami aku, jangan bahas tentang masa lalu lagi, oke?”Setahun yang lalu, Zola meninggalkan masa kejayaan dan ketenarannya lalu kembali ke Kota Binru untuk menikah dengan Boris. Namun, yang Zola dapatkan hanyalah selembar surat cerai dari Boris. Mahendra merasa itu sangat tidak sepadan bagi Zola.Raut wajah Mahendra semakin suram, kebencian pun terpancar dari kedua matanya. Zola menyadari perubahan yang terjadi pada Mahendra.“Mahendra, nggak ada yang bisa menjamin pernikahan akan selalu berakhir dengan sempurna. Aku sudah puas bisa jadi istrinya selama setahun. Jadi jangan merasa semua itu nggak sepadan untukku. Bagaimanapun juga, yang namanya perasaan nggak bisa dipaksakan,” ujar Zola dengan suara pelan.“Kamu benar, bagus juga kalian cerai. Setelah kalian cerai, aku nggak perlu merasa serba salah. Aku juga nggak perlu khawatir kamu akan sedih dan jadi ragu-ragu.”Mahendra menanggapi ucapan Zola, tapi suaranya lama kelamaan menjadi semakin pelan, hin
Jawaban Zola membuat Boris seketika bungkam. Namun, mata pria yang dalam dan diselimuti rasa tidak senang itu terus menatapnya. Zola tidak ingin menghadapi Boris lagi. Oleh karena itu, dia melangkahkan kakinya naik ke lantai atas. Akan tetapi, saat dia melewati Boris, tangan Zola dicekal dengan erat.“Zola, kamu lagi atur-atur aku?” tanya pria itu dengan suara serak.“Aku hanya berharap kamu bisa bersikap adil.”“Demi dia, kamu jadi berlidah tajam begini? Biasanya kamu selalu bersikap lembut, penurut dan pengertian terhadap aku. Jadi semua itu hanya dibuat-buat?”Zola mengerahkan tenaga untuk menarik tangannya. Namun, Boris begitu kuat, Zola sama sekali tidak berdaya untuk melawannya.Melihat Zola yang terus meronta, Boris pun langsung menarik perempuan itu dengan kuat ke dalam pelukannya. Napas pria yang menyejukkan menerpa wajah Zola, membuat Zola spontan tidak berani bergerak lagi.“Zola, jawab pertanyaanku, oke? Demi dia?” tanya Boris lagi.Zola mengerutkan bibirnya. Mereka terlalu