Oh. Dia bilang bertemu dengan klien. Mendengar dua kata dari Jian Chu yang penuh arti, Qi Baiyan tentu saja menyadarinya. Tangannya yang menggenggam tangan Jian Chu semakin erat, seolah-olah reaksi dan ekspresinya mencoba memberi tahu Jian Chu bahwa dia akan menjelaskan semuanya nanti.Boris tentu saja menyadari ucapan penuh arti yang diucapkan perempuan itu. Genggamannya di tangan Zola semakin erat. Seolah-olah dia mencoba mengatakan bahwa nanti Boris akan menjelaskan semuanya. Sandra juga tertawa pelan dan berkata, “Boris, ternyata sekarang kamu benar-benar sudah diatur oleh istrimu. Kalau begini, aku nggak akan berani mengajakmu keluar lagi.” Boris hanya tersenyum tipis dan tidak berbicara. Sandra berkata lagi, “Bu Zola, kamu jangan salah paham sama aku dan Boris. Sekarang kami hanya hubungan kerja sama saja. Karena baru-baru ini ada kompetisi desain arsitektur dan itu adalah proyek pertama yang aku kerjakan bersama Boris sejak aku mengambil alih Gordi Group. Mungkin kami akan l
“Kenapa bisa? Mama, bilang sama Kakek kalau beberapa hari ini aku akan pulang untuk menemani Kakek makan bersama.” Zola sengaja mengalihkan topik pembicaraan. Mertuanya segera mengangguk dan tidak melanjutkan pembicaraan mereka.Zola naik lift dan kembali ke kantornya. Saat keluar dari lift, dia sudah mendengar suara perempuan yang marah-marah dan bertanya, "Mahendra, jawab aku, siapa perempuan yang duduk di mobilmu itu? Apa hubungan kalian? Apa kamu sudah bersama dengan dia?"Saat Jian Chu berjalan menuju pintu kantor, dia melihat Audy sedang ditarik oleh Mahendra untuk pergi. Namun, Audy menahan pintu kantor dengan tangan lainnya dan enggan pergi.Wajah Mahendra tampak menggelap dan tidak berdaya ketika mendapat pertanyaan Audy. “Kamu boleh berhenti buat keributan? Aku sudah bilang kalau dia hanya teman biasa. Kalau kamu begini terus, kembali saja ke Jantera.” Audy makin kehilangan kendali. Matanya menatap tajam dan dengan dingin berkata, “Mahendra, kamu memintaku kembali ke Janter
Zola sebenarnya tidak begitu penasaran karena Mahendra sudah dewasa. Terutama dari sudut pandangnya, dia sangat berharap Mahendra bisa bertemu dengan seorang perempuan yang dia sukai dan cocok dengannya. Namun, melihat ekspresi Caca yang penuh rasa ingin tahu dan hati-hati seakan dia menemukan sesuatu yang luar biasa, membuatnya merasa sedikit penasaran. Dia menatap Caca dengan datar dan bertanya, "Coba ceritakan, siapa yang membuatmu jadi begitu penasaran?"Caca menjulurkan lidah dan dengan sedikit malu berkata dengan pelan, “Perempuan yang berkencan dengan Pak Mahendra adalah perempuan rekan kerja sama yang pernah kulihat di kafe.” “Kamu pernah lihat?” “Pernah, tapi nggak lihat wajahnya. Tapi seharusnya lumayan cantik. Dari penampilan dan tubuhnya terlihat sangat bagus. Selain itu, Pak Mahendra juga cukup tampan. Perempuan yang berkencan dengannya pasti juga nggak sembarangan, ‘kan?”Zola seketika kehilangan minatnya. Bagaimanapun, dia tidak tahu siapa wanita itu, jadi tidak ada g
Dia menyipitkan matanya dan berkata, "Sandra, kalian semua menganggap aku mencintai Tyara, ya?" Kalian di sini merujuk pada Sandra dan semua orang. Sandra tercenung dan kemudian menjawab, "Memangnya nggak?" Kening boris berkerut dalam dan sorot dingin terbit di matanya. Dengan datar dia berkata, "Sepertinya sebuah kesalahpahaman bisa sangat mendalam di hati." "Boris, aku nggak mengerti maksudmu. Jangan-jangan ...." Sandra terdiam seketika.Jangan-jangan Boris tidak mencintai Tyara? Sandra memang orang yang cerdas, tetapi kali ini dia merasa sedikit sulit mencerna karena dia tidak berani memercayainya. Jika lelaki itu tidak mencintai Tyara, lalu untuk apa? Sepertinya Tyara tengah mengembangkan karirnya di perusahan yang merupakan milik Boris. Bukankah ini artinya lelaki itu tengah mendukung karir Tyara? Namun, dari ekspresi dingin lelaki itu dan tatapan tidak acuhnya bisa terlihat sepertinya tebakan Sandra salah. Sandra terdiam dan tidak berkata apa pun. Keduanya kembali ke Morris
Zola juga terkejut, merasa cukup tidak berdaya. Pandangan Boris masih tertuju padanya dan dengan suara lembut berkata, “Masuklah ke mobil, kita nggak bisa parkir di sini terlalu lama."Apakah dia bisa mengkhawatirkan hal itu? Tentu saja hanya alasan saja. Pada akhirnya Zola tetap masuk ke mobil. Dia menunduk untuk memasang sabuk pengaman dan mobil segera melaju. Suasana di dalam mobil sangat tenang, mereka tetap dalam kondisi diam sepanjang perjalanan kembali ke apartemen. Tidak ada yang membahas tentang Sandra sama sekali. Zola memberi tahu dirinya sendiri bahwa ini adalah masalah kecil dan jangan sampai memengaruhi hubungan mereka dan membuat suasana menjadi tidak menyenangkan. Yang paling penting adalah karena dia akan segera mengikuti kompetisi, sehingga tidak ada energi lebih untuk memikirkan hal-hal lainnya. Pada malam sebelum kompetisi dimulai, Boris memintanya untuk mengakhiri pekerjaan lebih awal. Boris berkata, "Malam ini jangan lembur lagi, ya? Kita keluar makan, kamu sud
“Masih lumayan.” “Sekarang karir dan hubunganmu semuanya berjalan lancar, ya?” “Iya, kamu bagaimana? Baik-baik saja?” “Aku lumayan, sendirian hidup sampai tua, nggak perlu khawatir denganku. Tapi kalau kamu benaran peduli denganku, setelah anakmu lahir bisa berikan padaku. Atau mungkin kamu boleh lahirkan seorang anak buatku.” Perempuan itu menghela napas dan memasang raut kasihan agar Zola mengasihaninya. Namun Zola tetap berkata dengan dingin, “Aku nggak khawatir denganmu, jadi jalani hidupmu sendiri dengan baik.” Jeni tampak tersinggung dan bangkit sambil mengambil tasnya dan berkata, “Jangan menahanku, aku mau balik ke Jantera malam ini juga.” “Oke, hati-hati di jalan,” ujar Zola. Jeni menghela napas putus asa dan berjalan mendekati Zola sambil meletakkan tangannya di bahu perempuan itu dan berkata, “Perempuan kejam! Setelah punya suami, kamu bersikap begitu tega denganku?” “Cepat lepaskan aku, di sini ada kamera pengawas. Aku bisa membiarkanmu pergi, tapi belum tentu denga
Zola mengerutkan alisnya. Ini adalah pertama kalinya dia menerima panggilan tidak dikenal seperti ini. Dia tidak bereaksi terlalu besar karena tidak ingin Caca dan yang lainnya mendengar dan menjadi cemas. Dia hanya menjawab dengan tenang,"Kamu bahkan ngga berani membiarkanku mendengar suara aslimu, lalu dengan hak apa kamu memintaku mundur dari kompetisi?"“Aku hanya berbaik hati menasihatimu. Kalau kamu nggak mau, aku juga nggak bisa apa-apa. Tapi aku bisa kasih tahu kalau kompetisi hari ini kamu nggak akan bisa lolos. Kalau nggak percaya, lihat saja nanti.” Setelah mengatakan itu, penelepon tersebut langsung menutup telepon. Ucapannya terdengar sombong dan penuh keyakinan hingga membuat lipatan di kening Zola berkerut semakin dalam. Zola menggenggam ponselnya dengan erat, wajahnya berubah muram dan dingin. Dia merapatkan bibirnya, mengingatkan dirinya sendiri untuk berhati-hati dalam segala hal, tapi dia juga tidak menutup kemungkinan bahwa panggilan ini hanyalah seseorang yang s
Zola mengangguk setuju dengan ucapan Zola dan berkata, “Pasti. Tenang saja, nanti pasti lancar.” “Semoga,” sahut Zola. Beberapa menit kemudian, mereka berdua keluar dari kamar mandi. Jeni yang penasaran dengan seluruh dekorasi di tempat itu ingin mengajak Zola berjalan-jalan. Namun, baru saja mereka sampai di area istirahat para desainer yang ikut kompetisi, mereka melihat staf membawa sekelompok besar orang. Ada sekitar tujuh hingga delapan orang, berjalan dengan penuh gaya.Di depan rombongan itu ada seorang perempuan yang mengenakan gaun panjang seksi dan riasan tebal. Dia mengenakan kacamata hitam, sehingga wajahnya tidak terlihat jelas. Jelas sekali, perempuan itu tidak berniat memberikan jalan. Zola secara otomatis menarik Jeni ke samping. Saat perempuan itu lewat, dia tersenyum tipis, menunjukkan sikap meremehkan.Setelah pergi, Jeni langsung berkomentar, “Siapa dia? Sombong sekali.” Zola tersenyum, "Sabar. Demi rasa ingin tahumu, kita lanjutkan saja melihat dekorasinya."Jen