“Masih lumayan.” “Sekarang karir dan hubunganmu semuanya berjalan lancar, ya?” “Iya, kamu bagaimana? Baik-baik saja?” “Aku lumayan, sendirian hidup sampai tua, nggak perlu khawatir denganku. Tapi kalau kamu benaran peduli denganku, setelah anakmu lahir bisa berikan padaku. Atau mungkin kamu boleh lahirkan seorang anak buatku.” Perempuan itu menghela napas dan memasang raut kasihan agar Zola mengasihaninya. Namun Zola tetap berkata dengan dingin, “Aku nggak khawatir denganmu, jadi jalani hidupmu sendiri dengan baik.” Jeni tampak tersinggung dan bangkit sambil mengambil tasnya dan berkata, “Jangan menahanku, aku mau balik ke Jantera malam ini juga.” “Oke, hati-hati di jalan,” ujar Zola. Jeni menghela napas putus asa dan berjalan mendekati Zola sambil meletakkan tangannya di bahu perempuan itu dan berkata, “Perempuan kejam! Setelah punya suami, kamu bersikap begitu tega denganku?” “Cepat lepaskan aku, di sini ada kamera pengawas. Aku bisa membiarkanmu pergi, tapi belum tentu denga
Zola mengerutkan alisnya. Ini adalah pertama kalinya dia menerima panggilan tidak dikenal seperti ini. Dia tidak bereaksi terlalu besar karena tidak ingin Caca dan yang lainnya mendengar dan menjadi cemas. Dia hanya menjawab dengan tenang,"Kamu bahkan ngga berani membiarkanku mendengar suara aslimu, lalu dengan hak apa kamu memintaku mundur dari kompetisi?"“Aku hanya berbaik hati menasihatimu. Kalau kamu nggak mau, aku juga nggak bisa apa-apa. Tapi aku bisa kasih tahu kalau kompetisi hari ini kamu nggak akan bisa lolos. Kalau nggak percaya, lihat saja nanti.” Setelah mengatakan itu, penelepon tersebut langsung menutup telepon. Ucapannya terdengar sombong dan penuh keyakinan hingga membuat lipatan di kening Zola berkerut semakin dalam. Zola menggenggam ponselnya dengan erat, wajahnya berubah muram dan dingin. Dia merapatkan bibirnya, mengingatkan dirinya sendiri untuk berhati-hati dalam segala hal, tapi dia juga tidak menutup kemungkinan bahwa panggilan ini hanyalah seseorang yang s
Zola mengangguk setuju dengan ucapan Zola dan berkata, “Pasti. Tenang saja, nanti pasti lancar.” “Semoga,” sahut Zola. Beberapa menit kemudian, mereka berdua keluar dari kamar mandi. Jeni yang penasaran dengan seluruh dekorasi di tempat itu ingin mengajak Zola berjalan-jalan. Namun, baru saja mereka sampai di area istirahat para desainer yang ikut kompetisi, mereka melihat staf membawa sekelompok besar orang. Ada sekitar tujuh hingga delapan orang, berjalan dengan penuh gaya.Di depan rombongan itu ada seorang perempuan yang mengenakan gaun panjang seksi dan riasan tebal. Dia mengenakan kacamata hitam, sehingga wajahnya tidak terlihat jelas. Jelas sekali, perempuan itu tidak berniat memberikan jalan. Zola secara otomatis menarik Jeni ke samping. Saat perempuan itu lewat, dia tersenyum tipis, menunjukkan sikap meremehkan.Setelah pergi, Jeni langsung berkomentar, “Siapa dia? Sombong sekali.” Zola tersenyum, "Sabar. Demi rasa ingin tahumu, kita lanjutkan saja melihat dekorasinya."Jen
Zola meminta Caca untuk tidak memberi tahu dua rekan lainnya. Bukan karena curiga dengan mereka, tetapi makin sedikit orang yang tahu maka makin baik. Setelah menjelaskan situasinya kepada Jesse, lelaki itu segera menghubungi penanggung jawab di tempat kompetisi, yang dalam beberapa menit kemudian membuka rekaman kamera pengawas. Hingga akhirnya mereka mengidentifikasi pelaku yaitu karyawan yang mengantarkan buah. Namun, setelah diselidiki lebih lanjut, staf tersebut ternyata bukan petugas resmi di lokasi kompetisi, melainkan orang yang hanya menyamar saja. Karena pelaku mengenakan topi dan dengan sengaja membelakangi kamera agar tidak ketahuan. Zola mengerti dan hanya bisa menganggap dirinya sial. Penanggung jawab memberikan ruang istirahat baru, tetapi Zola lebih memilih untuk tetap di ruang itu sendirian.“Zola, aku temani, ya?” tawar Jeni. “Kamu pergi ke ruang sebelah dengan mereka saja, aku baik-baik saja. Aku hanya ingin menyendiri sebentar."Setelah Zola menolak, Jeni hanya b
Ini sudah terjadi, meski aku cemas juga nggak ada gunanya lagi. Aku hanya merasa nggak enak hati karena ketiga rekanku yang lain juga bekerja keras bersama denganku. Kalau pada akhirnya sia-sia, rasanya sangat nggak rela sekali. Apalagi sekarang kompetisinya belum dimulai dan sudah terjadi kendala. Makanya aku menyayangkannya.” Ketegaran perempuan itu membuat Boris merasa terkejut. Begitu mendengar masalah ini, lelaki itu langsung membatalkan semua pekerjaannya dan segera datang karena khawatir dengan Zola yang akan merasa kesal sedih dan marah. Ternyata perempuan itu cukup bisa menerima masalah ini. Boris mengulurkan tangan dan mencubit wajah perempuan itu sambil berkata, “Aku sudah minta Jesse untuk menjadwal ulang urutanmu. Kamu akan maju di urutan belakang, jadi jangan khawatir karena masih ada waktu untuk mempersiapkan diri dengan baik.” Keduanya tengah berbincang dan seorang teknisi komputer yang dicari oleh Jesse sudah datang. Setelah sekitar setengah jam, data yang terhapus
Zola terdiam sejenak sambil menunduk. Dia tersenyum tipis ketika Boris tidak bisa melihatnya. Di bagian hatinya terdalam, ada sebersit rasa hangat yang mengalir seolah tengah menghangatkan hatinya yang dingin. Waktu untuk Zola tampil dalam kompetisi semakin dekat. Setelah melihat waktu, Boris mengangkat tangannya untuk mengelus wajah perempuan itu dengan lembut dan berkata dengan suara yang hangat, “Semangat, jangan gugup.”“Iya,” jawab Zola sambil mengangguk. Setelah itu keduanya keluarBoris dan Jesse menuju kursi penonton, sementara Zola ke ruang istirahat yang ada di sebelahnya. Dia memberi tahu kabar baik tersebut pada semua orang dan mereka saling menyemangati untuk siap tampil. Ketika Zola dan timnya tiba di belakang panggung, ada seorang perempuan yang tengah mempresentasikan hasil desainnya. Zola tahu perempuan itu adalah perempuan berkacamata hitam yang dia dan Jeni temui ketika keluar dari toilet. Dari para petugas, dia tahu jika perempuan itu bernama Lucia. Dia adalah se
Dia bukan pencurinya, kenapa harus merasa bersalah? Sebaliknya, sebagai seorang pencuri dari mana Lucia bisa begitu berani menantangnya? Zola menyipitkan matanya dan berkata, “Aku ada ide.” Setelah itu, pembawa acara juga memanggil namanya. Seorang petugas meminta Zola memberikan salinan cadangan desain untuk ditampilkan di layar, tetapi Zola hanya berkata, "Tolong tampilkan poster sampul kompetisi desain, nanti setelah aku beri tanda, Kamu hanya perlu bantu aku ganti menjadi latar belakang putih."Petugas itu terlihat sedikit terkejut, tetapi dia mengikuti permintaan Zola. Setelah dia naik ke panggung, Zola langsung mengutarakan maksudnya. Dia menunjuk layar besar di belakangnya untuk menyapa para juri dan penonton, lalu mulai dengan cara mengajak mereka membayangkan dan mendiskusikan harapan mereka terhadap sebuah peternakan. Lucia duduk di ruangan istirahatnya sambil menonton siaran langsung di tempat kompetisi. Asisten perempuan itu bertanya, “Kak Lucia, apa yang sedang dilakuka
Tatapan mata tajam dan dalam dari Boris bertemu dengan mata Sandra. Tatapan itu sulit ditebak dan dijelaskan. Sedangkan ekspresinya memancarkan sorot ketidaksenangannya. “Boris, kamu jangan melihatku seperti itu. Aku hanya takut kalau kamu kesulitan. Dan aku takut hal ini juga akan buat para desainer lainnya nggak terima. Nggak baik juga buat Zola. Bagaimana menurutmu?” ujar Sandra dengan cepat. Suara berat Boris yang tenang tetapi menyiratkan emosi mendalam berkata, “Bukankah hasilnya belum keluar? Bukankah kamu terlalu khawatir tentang sesuatu yang belum terjadi? Bahkan kalau hasilnya menunjukkan dia nggak lolos, selama dia ingin melanjutkan, aku punya cara untuk mewujudkannya.”Maksud lelaki itu sudah sangat jelas. Dia dengan terang-terangan memihak pada Zola. Hal itu membuat Zola merasa sulit dipercaya. Karena selama Boris memimpin Morrison Group, lelaki itu selalu adil dan profesional. Dia tidak pernah membiarkan perasaan pribadi memengaruhi keputusannya. Bahkan sejak kuliah, l