Bagaimanapun juga, selembar kertas kosong cepat atau lambat tetap saja akan berubah warna jika terkena energi negatif dalam waktu lama. Belakangan, Zola tidak lagi iri pada Selena. Sebaliknya, dia berusaha melupakan Selena dan keluarga Leonarto.Namun, setelah Zola lupa, mereka datang membawanya kembali. Sikap mereka yang mengusir dan membawanya pulang dengan seenak jidat mereka membuat Zola merasa sangat konyol.Zola sering bertanya pada dirinya sendiri. Dia tidak pernah menyakiti keluarga Leonarto. Dia sungguh tidak mengerti mengapa Selena bertanya padanya apakah hatinya terbuat dari batu.Tatapan Selena menjadi tajam ketika melihat respons dan senyuman tipis di wajah Zola. Ada perasaan aneh di dalam hatinya. Namun bagaimanapun juga, Selena tetap harus menghadapi Zola. Dia harus menyelamatkan keluarga Leonarto. Tanpa keluarga Leonarto, tidak akan ada mereka.Selena mengerutkan kening dan berkata, “Kamu nggak senang dengan Papa dan Mama karena mereka usir kamu saat kamu masih kecil. T
“Berangkat malam ini juga?”“Hmm, malam ini.”“Oke. Pergi berapa lama?”“Dua atau tiga hari,” jawab Boris dengan suara berat.Zola bergumam lagi. Kemudian, suasana menjadi hening. Beberapa detik kemudian, Boris bertanya, “Nggak ada yang mau kamu katakan padaku lagi?”“Hati-hati di jalan?”“Haha ....” Suara tawa magnetis pria itu sampai ke telinga Zola melalui ponsel, membuat Zola tanpa sadar tertegun sejenak. Apa yang lucu?“Lucu sekali?”“Zola, hanya itu yang mau kamu katakan?”“Kamu akan melakukan perjalanan bisnis selama dua atau tiga hari. Apa salahnya aku ucapkan hati-hati di jalan?”“Hmm, nggak salah. Mungkin ada yang salah dengan diriku.” Nada bicara Boris seketika terdengar tidak senang. “Aku ke luar kota, bagaimana kalau kamu tinggal sama Papa dan Mama? Kebetulan Mama sudah kangen sama kamu. Kamu tinggal di sana, Kakek pasti sangat senang.”“Aku akan pergi kunjungi mereka. Tapi aku nggak ingin pindah ke sana. Terlalu merepotkan, juga nggak leluasa. Kalau tinggal di apartemen,
Zola yang terkejut spontan berteriak.“Ini aku.” Suara pria yang berat dan serak masuk ke telinga Zola. Zola baru menghela napas lega. “Kenapa kamu cepat banget pulang?”“Bukannya aku sudah bilang akan temani kamu makan malam?”“Lepaskan aku dulu.” Posisi Boris terlalu dekat, membuat Zola merasa tidak nyaman. Terutama kedua tangan yang langsung memeluk perut Zola. Kulitnya bisa merasakan dengan jelas kehangatan di telapak tangan pria itu. Zola sangat tidak terbiasa dengan kontak sedekat ini.Zola meronta, tapi Boris berkata dengan suara berat, “Jangan gerak. Aku hanya peluk sebentar, nggak akan lakukan apa pun. Tapi kalau kamu gerak terus, aku nggak yakin nggak akan lakukan apa pun.”Itu sebuah ancaman. Jelas-jelas sebuah ancaman. Zola benar-benar menyesal sekarang. Dia bahkan diam-diam bersumpah. Sekalipun harus mati karena kepanasan, dia juga tidak akan pernah sembarangan melepas bajunya.Tubuh Zola seketika menjadi kaku, tidak berani bergerak sedikit pun. Boris tiba-tiba berbisik, “
“Baik.” Si bibi tersenyum dan menyajikan buah untuk Zola. “Kamu lagi hamil, harus makan lebih banyak buah. Biar kulit bayimu bagus, matanya juga cantik.”“Yang benar?”“Tentu saja.”“Oke. Kalau begitu aku serahkan pada Bibi saja.”Si bibi orang yang mudah diajak bicara. Zola juga sopan padanya. Selesai sarapan, Zola pergi ke perusahaan. Boris ke luar kota. Zola kembali ke masa ketika dia baru saja pindah ke sini untuk tinggal sendirian.Selama dua terakhir, perusahaan menjadi sangat sibuk karena instruksi yang Zola berikan. Semua orang berpacu dengan waktu untuk bekerja keras. Mereka bahkan menggunakan waktu istirahat mereka untuk bekerja. Perjuangan seperti ini membuat Zola merasa senang dari lubuk hatinya.Saat melewati ruangan Mahendra, Zola melihat pria itu sedang memijat pelipisnya. Setelah ragu sejenak, dia pun memutuskan masuk ke ruangan Mahendra.“Ada apa, Dra? Nggak enak badan?”“Nggak apa-apa. Semalam kurang tidur, kepala agak sakit.”“Kalau begitu gimana kalau kamu pulang da
Boris mengerutkan bibirnya dan tertawa pelan. Suara tawa pria itu bergema di telinga Zola, seolah-olah si pemilik suara berada tepat di sampingnya.“Aku kangen banget sama kamu. Jadi kamu kangen aku, nggak?”Zola benar-benar tersentak dengan keterusterangan pria itu. Dia hanya terdiam, tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Ada apa dengan Boris? Boris tidak pernah mengucapkan kata-kata seperti itu sebelumnya. Mengapa akhir-akhir ini Boris bisa mengucapkannya dengan santai? Zola merasa bingung, tidak tahu apa yang sedang Boris pikirkan.Boris merasa kesal karena Zola diam saja. “Kenapa nggak jawab?” tanya Boris.“Nggak mau jawab,” tukas Zola.“Kenapa?”“Nggak kenapa-napa. Aku hanya merasa kalau aku bilang kangen, kamu bisa apa? Sekarang kamu lagi di Kota Jantera. Kamu nggak mungkin langsung pulang hanya karena aku bilang kangen kamu. Jadi bilang atau nggak juga nggak ada gunanya.”“Zola, sekarang kamu jadi semakin keras kepala,” gumam Boris tak berdaya.Sampai akhir, Zola ti
Zola hanya mengedipkan matanya pelan. Boris berkata dengan suara pelan, “Aku berangkat kerja dulu, kamu diam saja di rumah dan tunggu aku pulang, oke?”“Oke.” Zola hanya menjawab dengan suara pelan, lalu tiba-tiba memanggil, “Boris.”“Hmm?”“Sepertinya aku sedikit kangen sama kamu.”Usai berkata, Zola langsung menutup teleponnya.Karena sendirian itu sangat membosankan. Tidak masalah kalau sudah terbiasa. Namun, Boris malah mendominasi kehidupan Zola. Dimanapun Zola berada, aroma tubuh Boris masih tercium dan suara Boris masih terngiang-ngiang di kepalanya. Oleh karena itu, Zola sungguh tidak terbiasa dengan hari-hari tanpa pria itu.Meskipun telepon sudah ditutup, senyum lebar masih merekah di bibir Boris. Jesse tercengang ketika melihat pemandangan itu. Dia bahkan merasa mungkin saja dia salah lihat. Boris sedang tersenyum?Namun, pada detik berikutnya Boris menatap Jesse dengan datar dan tatapannya yang dingin, lalu bertanya dengan acuh tak acuh, “Bukannya kita mau berangkat?”“Iya,
Selama menunggu Boris pulang ke rumah, Zola sama sekali tidak mengantuk. Boleh dibilang dia terus menatap jendela, menyaksikan matahari yang perlahan terbit.Pukul tujuh pagi, Boris pun sampai di apartemen. Begitu mendengar suara pintu dibuka, Zola segera menoleh. Suara langkah kaki yang perlahan mulai mendekat ke arah kamar. Boris membuka pintu dan masuk ke kamar dengan tergesa-gesa. Keduanya bersitatap sejenak. Kemudian, Boris berjalan mendekat dan langsung menarik Zola ke dalam pelukannya.Zola hanya mengerutkan bibirnya dan bersandar dengan tenang di dalam pelukan Boris yang hangat. Seketika dia merasakan adanya rasa aman. Seakan-akan, dunia mau runtuh sekarang juga tidak masalah lagi baginya.“Kamu nggak tidur-tidur?” tanya Boris dengan suara pelan.“Tidur sebentar.” Zola berbohong, sebenarnya dia merasa dirinya menjadi sangat manja. Akan tetapi, setiap kali teringat kalau mimpi buruk kerap mendatanginya di saat dia tidur, Zola sama sekali tidak ingin tidur.Boris menurunkan tatap
“Aku percaya.” Boris berusaha menenangkan Zola. “Kalau kamu nggak mau mengingatnya lagi, jangan dipikir terus. Coba kamu lebih rileks sedikit. Jangan pikir apa-apa. Aku selalu ada di sini, oke?”Zola baru mengangguk pelan. Namun, perasaannya tetap saja tidak membaik. Tidak lama setelah itu, Zola tiba-tiba bertanya, “Boris, kamu dengar suara anak kecil lagi menangis, nggak?”Boris spontan mengerutkan alis. Kedua matanya menatap lekat perempuan yang sedang berada di dalam pelukannya dan bergumam. Dia pun bertanya, “Kamu bilang apa?”“Kamu nggak dengar? Ada anak kecil lagi menangis.”“Zola, itu cuma mimpi kamu. Sekarang kamu sudah bangun. Coba lihat aku. Katakan, siapa aku?”Boris memegang wajah Zola dengan tangannya yang lebar itu. Mata bertemu mata, tapi tatapan Zola penuh dengan keraguan dan keengganan. Wajahnya masih saja terlihat pucat dan kuyu.Pada detik itu juga, Boris menyadari kalau kekhawatirannya selama ini mungkin lebih serius daripada yang dia bayangkan.Boris menemani Zola
Namun, karya desain bagus saja tidak cukup. Harus memiliki nuansa desain dan gaya yang unik juga agar dapat meninggalkan kesan yang mendalam sekali dilihat orang. Zola membantu revisi dan memberi mereka arah inspirasi baru. Draf desain saat ini sepenuhnya dipoles berulang kali, buat lagi, dipoles lagi.Zola sibuk sampai jam pulang kerja. Dia memeriksa ponselnya, berencana makan di luar bersama Jeni sebelum pulang. Sejak pindah kembali ke apartemen, si bibi belum pernah datang untuk menyiapkan makanan. Zola tidak ingin bertanya dulu. Sedangkan dia sendiri malas mau masak. Jadi dia memilih makan di luar.Namun, baru saja Zola dan Jeni masuk ke mobil dan hendak berangkat ke restoran, ponsel Zola tiba-tiba berdering. Telepon dari Boris.Zola memegang erat ponselnya dan tertegun sejenak, tidak langsung mengangkat telepon, lalu Jeni berkata, “Angkat saja.”Jeni langsung menepikan mobilnya dan menunggu Zola mengangkat telepon. Zola menekan tombol jawab, lalu suara Boris datang dari ujung tele
“Memang medan perang, kan? Bahkan medan perang di dalam sana jauh lebih sulit untuk dihadapi daripada yang di luar,” goda Jeni.Zola tersenyum, lalu dia keluar dari mobil dan berjalan masuk ke dalam rumah. Akhir-akhir ini Jerico sedang memulihkan diri di rumah. Setelah mengetuk pintu, Zola membuka pintu dan masuk. Begitu melihat Zola, Jerico langsung bertanya, “Kenapa kamu datang ke sini?”Sikap dingin Jerico membuat Zola diam sejenak, tapi dia sudah terbiasa. Jadi, Zola merasa tidak apa-apa. Dia menatap ayahnya dan berkata, “Ada yang ingin aku tanyakan pada Papa.”Jerico melihatnya sekilas. “Mau tanya apa?”Zola mengerutkan bibirnya. Pada akhirnya, dia segera bertanya, “Aku ingin tanya soal Budi. Budi sudah jadi sekretaris Papa bertahun-tahun. Kenapa dia tiba-tiba berkhianat? Selama ini Papa selalu baik padanya. Apakah dia ada kesulitan atau rahasia yang nggak bisa dikatakan?”Begitu Zola selesai bicara, raut wajah Jerico langsung berubah. Dia memelototi Zola dengan tidak senang.“Zol
Usai berkata, Boris berjalan keluar sambil berkata, “Aku panggil dokter dulu untuk periksa kamu. Nanti sudah boleh keluar dari rumah sakit.”Mata Zola mengikuti sosok Boris. Kata-kata Boris terulang-ulang terus di dalam otaknya. Dibandingkan Sandra yang cerdas, Zola lebih cocok menjadi istri Boris? Maksud Boris, Zola kurang cerdas?Zola yang sedang hamil sama sekali tidak menyadari kalau dirinya sedang melalui proses otak tidak bisa berpikir dengan cepat selama kehamilan. Setelah berpikir lama, dia masih tidak mengerti maksud Boris. Apakah Boris sedang memujinya? Namun, sepertinya itu tidak sepenuhnya memuji.Setelah melalui pemeriksaan, dokter memastikan Zola tidak apa-apa. Semuanya stabil. Dia pun dipulangkan. Boris yang mengantarnya kembali ke apartemen. Sepanjang perjalanan pulang, Zola dan Boris tidak bicara. Karena Boris menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengangkat telepon.Boris tampak sangat sibuk, tapi Boris tetap menemani Zola. Zola memperhatikan wajah Boris dari sam
Zola juga tercengang. Sandra ingin memberi Boris saham? Dia semakin fokus memperhatikan Boris, tidak ingin melewatkan ekspresi apa pun di wajah pria itu. Apakah Boris akan terharu?“Kamu jangan salah paham. Aku nggak ingin lakukan apa pun. Ini bentuk ketulusanku. Kamu tahu, kelak aku akan ambil alih Gordi Group. Tapi aku tahu seberapa besar persaingan dalam dunia bisnis. Aku butuh penopang. Aku tahu kamu nggak ada perasaan apa pun padaku, juga nggak mungkin menikah denganku. Tapi aku butuh kerja sama jangka panjang dengan Morrison Group.”“Ini bukan masalah kecil. Aku belum bisa kasih jawaban.”“Kalau begitu, kamu pertimbangkan dulu.”Boris menutup telepon. Wajahnya tampak dingin. Zola tidak mendengar semua percakapan antara Boris dan Sandra, tapi Zola mendengar jelas setiap kata yang Boris ucapkan. Setelah panggilan telepon berakhir, Boris meletakkan ponselnya. Dia spontan melihat ke arah Zola. Tidak disangka, Zola sedang memperhatikannya. Saat mata keduanya bertemu, Zola sama sekali
Zola menyadari kalau dirinya semakin tidak memahami Mahendra, bahkan boleh dibilang dia merasa seperti tidak pernah memahami pria itu sebelumnya. Apa tujuan Mahendra melakukan hal ini?Zola tidak bisa menemukan jawaban yang masuk akal. Jadi dia tidak menanggapi pertanyaan Boris. Suasana pun menjadi sunyi senyap. Sesaat kemudian, ponsel Boris berdering. Sandra yang meneleponnya.“Kamu nggak di kantor?”“Ada urusan?”“Iya, ada sedikit urusan. Soal proyek kerja sama. Aku baru saja dapat kabar, ada perusahaan real estate asing yang berencana datang ke Kota Binru untuk berinvestasi. Kalau kita bisa dapatkan kerja sama ini, itu akan sangat membantu untuk go public nanti. Jadi kamu mau pertimbangkan, nggak?”Meskipun Morrison Group merupakan sebuah perusahaan besar, sampai saat ini Morrison Group belum mendaftarkan diri ke bursa efek. Baik Boris maupun keluarganya tidak peduli dengan hal itu. Jika Morrison Group mau go public, pasti sudah go public sejak kepemimpinan Hartono. Namun nyatanya t
Setiap kali memikirkan hal itu, Boris pasti berpikir kalau Zola ingin berpisah dengannya demi Mahendra. Akan tetapi, pesan Guntur terngiang kembali di benaknya. Sekarang Zola tidak boleh emosi, harus tetap dalam suasana hati yang baik. Sehingga kata-kata yang sudah sampai di ujung bibirnya akhirnya ditelan kembali.Zola menatap Boris, mengira pria itu ingin mengatakan sesuatu lagi. Jadi dia menatap Boris dalam diam. Kata-kata Boris barusan membuat Zola merasa hatinya seperti dicengkeram dengan erat hingga membuatnya sulit bernapas.Namun, beberapa saat berlalu. Boris tak kunjung bicara. Zola menatapnya dengan bingung dan berkata, “Mau ngomong apa ngomong saja.”Sikap Boris melembut, tidak sekeras tadi. Dia menatap Zola sambil berpikir keras. Kemudian, dia menanyakan keraguan yang selalu Boris sembunyikan di dalam hatinya.“Aku hanya mau tanya satu hal. Katakan padaku, apakah kamu pernah pacaran dengan Mahendra?”Zola mengerutkan kening, tampak semakin bingung. “Boris, sebenarnya apa ya
“Oke, aku mengerti.” Boris menjawab dengan serius, seperti seorang murid yang penurut.Guntur jarang melihat reaksi seperti itu dari Boris. Dia spontan tertawa dan berkata, “Baguslah kalau kamu bisa bekerja sama seperti ini. Kakek dan orang tuamu belum tahu. Perlu beritahu mereka?”Boris menatap Guntur dan bertanya balik, “Menurutmu?”Guntur terus tertawa. “Oke, oke, aku mengerti. Kalau begitu aku kerja dulu. Kamu temani Zola. Kalau dia bangun, dia boleh sarapan.”Boris menganggukkan kepala. Guntur pun pergi. Beberapa menit kemudian, Zola membuka matanya dan mendapati dirinya sedang berada di rumah sakit. Dia spontan mengangkat tangannya dan memegang perutnya. Setelah merasakan perutnya yang buncit, dia baru merasa lega.Zola ingat Jeni mengantarnya ke rumah sakit dan dia diperiksa oleh dokter. Namun saat itu, dia benar-benar sudah terlalu lelah. Dokter juga memberinya obat yang boleh diminum ibu hamil. Jadi dia tidur sampai sekarang baru bangun.Zola bangun dan duduk. Begitu duduk, di
Boris punya kebiasaan marah ketika dibangunkan dari tidurnya, apalagi kalau dibangunkan secara tiba-tiba. Akan tetapi, sebelum dia bisa melampiaskan kekesalannya, suara yang masuk telinganya langsung membuat matanya terbelalak lebar.“Zola lagi di UGD rumah sakit?” tanya Boris dengan suara serak.“Kamu nggak tahu?”“Kenapa dia ke rumah sakit jam segini?”Boris mengangkat selimutnya dan turun dari tempat tidur. Sambil mengganti pakaian, dia bertanya kepada Guntur dengan wajah serius. Guntur bilang kalau muridnya yang melihat Zola. Zola baring di ranjang pemeriksaan, sepertinya baru selesai diperiksa. Dia masih belum tahu bagaimana situasi jelasnya.Boris tidak banyak bicara. Setelah menjawab singkat, dia langsung menutup telepon. Wajah tampannya tampak tegang. Rahangnya mengeras sampai seolah-olah bisa hancur kapan saja. Dia bahkan tidak sempat memakai sepatu lagi. Dia langsung mengambil kunci dan keluar.Boris mengebut sepanjang jalan. Dia mencoba menghubungi ponsel Zola, tapi Zola tid
Manusia sangat mudah membiasakan diri. Begitu sudah terbiasa, manusia bisa saja melupakan semua hal negatif yang pernah dialaminya sebelumnya.“Apakah aku sudah kehilangan diriku sendiri?” tanya Zola kepada Jeni.Jeni memikirkannya dengan serius. “Sayang, kalau kamu sudah mempertanyakan apakah kamu sudah kehilangan dirimu sendiri, menurutku kamu benar-benar perlu merenungkan diri dulu.”Karena kata-kata Jeni barusan, Zola pun jadi berpikir keras. Benar, dia bahkan sudah mempertanyakan dirinya sendiri. Apa yang akan dipikirkan orang lain?Zola bangun dan duduk di sofa, lalu berkata dengan yakin, “Aku percaya aku masih diriku yang dulu. Aku nggak akan kehilangan diri sendiri demi siapa pun.”“Ini baru betul.”Keduanya saling menatap dan tersenyum. Di malam hari, Zola rela mengeluarkan uang mentraktir Jeni makan mie, sebagai penghargaan kepada Jeni karena telah memberinya pencerahan dan semangat. Saat itu, Jeni merasa sangat kesal. Ingin rasanya memarahi Zola.Zola justru berkata, “Maklum