Zola terdiam sejenak, lalu berkata, “Semua itu bohong, Bi. Sebelum pindah aku sudah cari tahu dulu soal apartemen ini. Belum pernah ada yang tinggal di sini.”“Tapi saya benar-benar dengar ada beberapa orang yang ngomong soal ini, Bu. Bukannya saya mau takut-takutin. Saya ini orang kampung. Di kampung kami yang begini tabu sekali, Bu. Terutama bagi ibu hamil. Katanya, badan ibu hamil memang beda dengan badan orang biasa. Apalagi yang bunuh diri ini juga ibu hamil. Ini ....”Si bibi tidak berani untuk meneruskan perkataannya. Zola hanya berkata, “Bi, hal-hal seperti ini jangan dipercaya, jangan takut-takutin diri sendiri. Kalau Bibi memang benar nggak mau kerja sama aku lagi, tunggu nanti ada yang gantikan baru Bibi pergi. Boleh kan, Bi?”Si bibi mengiyakan dan bersedia memberi waktu pada Zola untuk mencari pengganti dirinya.Setelah menyelesaikan pekerjaannya, si bibi langsung pergi meninggalkan apartemen. Zola yang meringkuk di sofa sendirian kerap melihat ruangan yang entah sejak ka
Zola tidak percaya masalah ini ada kaitannya dengan Selena maupun keluarga Leonarto. Walaupun hubungannya dengan keluarga Leonarto bisa dibilang tidak begitu baik, Zola beranggapan paling tidak mereka tidak akan melukainya. Zola mengerutkan keningnya dan memasang raut wajah muram.Zola terus menggelengkan kepala dan berkata, “Aku mau tenangkan diri dulu sebentar.”Boris menganggukkan kepalanya sambil melihat Zola berdiri. Zola bersiap untuk kembali ke kamar, tapi dia tiba-tiba teringat lagi dengan perkataan si bibi. Akhirnya dia memilih pergi ke balkon dan beristirahat di sana.Boris memberi pesan pada Jesse dengan tegas dan serius, “Awasi dia. Sewaktu-waktu aku mau bertemu dengannya.”“Baik, Pak Boris.” Boris langsung menutup telepon. Dia pun memberi ruang pada Zola untuk menenangkan dirinya sejenak. Setelah merasa sudah cukup lama, Boris berdiri lalu berjalan keluar. Sesampainya di balkon, Boris melihat Zola yang meringkuk di atas kursi santai dan terlihat tak bersemangat. Boris men
Namun, sebelum Zola mendapatkan jawaban atas pertanyaannya, Jesse datang. Jesse melaporkan semua temuannya tanpa berusaha menutupi apa pun.“Pak Boris, Bu Zola, saya menemukan kalau bibi ini ada kontak dengan Selena, karena selama ini Selena yang membiayai putranya kuliah S2,” lapor Jesse.“Maksud kamu, dari hasil penyelidikan, masalah ini nggak ada hubungannya dengan Selena dan keluarga Leonarto?” tanya Zola.“Boleh dibilang seperti itu. Saya juga menyelidiki hubungan bibi ini dengan keluarga Leonarto secara terpisah. Selain Selena, pada dan mama Bu Zola nggak pernah melakukan kontak dengan si bibi.”Beban yang menggantung di dalam hati Zola akhirnya perlahan-lahan jatuh. Sebenarnya, dia sangat takut masalah yang menimpanya ini ada hubungannya dengan keluarga Leonarto. Seandainya sungguh mereka yang melakukan hal ini padanya, hati Zola benar-benar sakit.“Kalau nggak ada hubungan dengan keluarga Leonarto, aku juga nggak ada dendam dengan bibi itu. Kenapa dia lakukan hal sejahat ini pa
“Kenapa? Kamu nggak percaya pada dirimu sendiri?”“Tentu saja bukan.”“Kalau bukan, daftar saja.” Boris jelas sedang menunggu Zola setuju untuk ikut lomba.“Boris, sebenarnya kamu terlambat satu langkah,” kata Zola dengan tenang.“Hmm?” Boris tampak bingung.“Beberapa hari yang lalu aku sudah putuskan untuk ikut lomba. Jadi undanganmu datang terlambat.”Zola melirik Boris. Dia sudah membaca dokumen yang sama persis seperti yang Boris berikan padanya barusan.“Kenapa nggak bilang sama aku?” tanya Boris.“Boris, ini urusan perusahaanku. Aku boleh saja nggak beritahu kamu. Lagi pula, ini juga bisa dianggap sebagai rahasia perusahaan, kan?” Zola memberikan pertanyaan retoris itu sambil tersenyum.Boris menatap Zola dengan lekat dan bertanya lagi, “Jadi kalau hari ini aku nggak kasih kamu dokumen ini, kamu nggak akan pernah beritahu aku?”“Nggak tahu. Mungkin setelah dapat juara aku bisa pamer ke kamu?”“Oke, kalau begitu aku tunggu.”Zola tidak menyangka Boris akan memberikan tanggapan sep
Jesse menunduk dan menjawab, “Dugaan Pak Boris benar. Masalah ini memang ada hubungannya dengan Bu Tyara.”Boris menyipitkan matanya yang dingin. Wajah tampannya memancarkan aura yang menakutkan. Dia terdiam tanpa mengucapkan sepatah kata pun.Seketika suasana di dalam ruangan tiba-tiba menjadi tegang. Udara di sekitar juga seakan membeku. Boris terus memasang wajah muram dan diam saja. Setelah mengumpulkan semua keberaniannya, Jesse baru berani coba-coba bertanya, “Pak Boris, apakah perlu diserahkan ke polisi saja?”“Nggak perlu.” Boris menyipitkan mata. Dia mengucapkan kedua kata itu dengan suara dingin, lalu mengibaskan tangannya sambil berkata, “Kamu keluar dulu. Jangan bicarakan masalah ini kepada siapa pun dulu. Tarik semua orang, nggak perlu ikuti dia lagi.”Jesse menganggukkan kepala. “Baik, Pak. Saya mengerti.”Jesse keluar dari kantor. Sementara itu, Boris menunduk dan melihat lagi foto di tangannya. Semakin banyak foto yang dia lihat, sorot matanya semakin dingin dan menakut
Saat menerima telepon dari Boris, Zola juga baru saja selesai membaca berita tentang keluarga Leonarto. Dia mengambil ponselnya dan berjalan ke depan jendela.“Masih satu jam sebelum pulang kerja. Kamu sudah bolos kerja?” tanya Zola dengan suara datar, tidak ada gejolak emosi apa pun.Boris mengerutkan keningnya dan berkata, “Aku bosnya, kamu juga bos. Memangnya kita nggak boleh pulang kerja lebih awal?”“Pak Boris, di perusahaanku yang kecil ini, aku nggak bisa berbuat seenaknya seperti kamu.”“Aku sudah berangkat. Sepuluh menit lagi kamu baru turun, oke?”Boris langsung berkata ke intinya, tanpa memberi Zola kesempatan untuk ragu-ragu. Zola hanya bergumam pelan, lalu bertanya, “Kamu takut aku akan khawatir karena masalah yang menimpa keluarga Leonarto?”“Kita bicarakan nanti setelah bertemu, ya.”“Oke.”Setelah menutup telepon, Zola memegang ponselnya erat-erat dan menghela napas panjang. Kemudian, dia kembali ke mejanya. Dia mematikan komputernya, lalu mengambil tasnya dan berjalan
“Memangnya kamu nggak tahu?”“Aku takut penilaianku salah.”Terutama setelah berbincang dengan Mahendra barusan. Zola pun jadi meragukan dirinya sendiri. Tidak berani meyakini penilaiannya seratus persen.Boris menatapnya lekat dan berkata dengan lembut, “Zola, sebenarnya kamu sudah tahu betul. Leonarto Group terlalu bergantung pada pihak luar. Karena model operasinya terlalu tua dan nggak ada inovasi baru, jadi mereka terus merugi. Tapi sistem gali lubang tutup lubang nggak bisa dipakai untuk jangka panjang. Jadi penilaianmu benar atau nggak?”Zola tercengang, tanpa sadar kelopak matanya pun bergetar. Semua yang Boris katakan barusan sama persis dengan isi hati Zola.Zola tidak bicara lagi, Boris pun bertanya, “Perlu aku temani kamu pergi ke rumah orang tuamu?”“Nggak perlu,” jawab Zola sambil menggelengkan kepala. Untuk saat ini, seharusnya Zola tidak dibutuhkan di sana. Dia pergi ke sana pun hanya akan membuat orang tuanya kesal.Masalah Leonarto Group menjadi bahan pembicaraan pana
“Uang itu sudah dipakai untuk bayar bunga hutang lainnya. Itu pun hanya cukup untuk bayar bunganya. Jadi apa yang harus kita lakukan selanjutnya, Pak?”Jerico diam seribu bahasa. Saat ini, dia merasa seperti ada batu berton-ton menekan bahunya, membuatnya hampir tidak bisa bernapas.Begitu di sekeliling Jerico menjadi tenang, suara orang menagih hutang terus terngiang di telinganya. Suara itu membuat kepalanya terasa mengembang, seolah akan meledak pada detik berikutnya. Rasanya begitu sakit, sakit yang tak tertahankan.Karena tak kunjung mendapat jawaban dari Jerico, si sekretaris menoleh ke belakang dan bertanya, “Pak Jerico, bagaimana kalau saya antar Bapak pulang ke rumah Bapak dulu?”“Pak? Pak Jerico?”Jerico bersandar di kursi belakang mobil dengan mata tertutup dan tidak menunjukkan reaksi. Setelah sekretarisnya memanggilnya beberapa lagi, dia baru menyadari kalau Jerico mungkin pingsan.Di rumah sakit, Jerico sedang mendapat pertolongan dokter. Jerico koma karena tekanan mental
Namun, karya desain bagus saja tidak cukup. Harus memiliki nuansa desain dan gaya yang unik juga agar dapat meninggalkan kesan yang mendalam sekali dilihat orang. Zola membantu revisi dan memberi mereka arah inspirasi baru. Draf desain saat ini sepenuhnya dipoles berulang kali, buat lagi, dipoles lagi.Zola sibuk sampai jam pulang kerja. Dia memeriksa ponselnya, berencana makan di luar bersama Jeni sebelum pulang. Sejak pindah kembali ke apartemen, si bibi belum pernah datang untuk menyiapkan makanan. Zola tidak ingin bertanya dulu. Sedangkan dia sendiri malas mau masak. Jadi dia memilih makan di luar.Namun, baru saja Zola dan Jeni masuk ke mobil dan hendak berangkat ke restoran, ponsel Zola tiba-tiba berdering. Telepon dari Boris.Zola memegang erat ponselnya dan tertegun sejenak, tidak langsung mengangkat telepon, lalu Jeni berkata, “Angkat saja.”Jeni langsung menepikan mobilnya dan menunggu Zola mengangkat telepon. Zola menekan tombol jawab, lalu suara Boris datang dari ujung tele
“Memang medan perang, kan? Bahkan medan perang di dalam sana jauh lebih sulit untuk dihadapi daripada yang di luar,” goda Jeni.Zola tersenyum, lalu dia keluar dari mobil dan berjalan masuk ke dalam rumah. Akhir-akhir ini Jerico sedang memulihkan diri di rumah. Setelah mengetuk pintu, Zola membuka pintu dan masuk. Begitu melihat Zola, Jerico langsung bertanya, “Kenapa kamu datang ke sini?”Sikap dingin Jerico membuat Zola diam sejenak, tapi dia sudah terbiasa. Jadi, Zola merasa tidak apa-apa. Dia menatap ayahnya dan berkata, “Ada yang ingin aku tanyakan pada Papa.”Jerico melihatnya sekilas. “Mau tanya apa?”Zola mengerutkan bibirnya. Pada akhirnya, dia segera bertanya, “Aku ingin tanya soal Budi. Budi sudah jadi sekretaris Papa bertahun-tahun. Kenapa dia tiba-tiba berkhianat? Selama ini Papa selalu baik padanya. Apakah dia ada kesulitan atau rahasia yang nggak bisa dikatakan?”Begitu Zola selesai bicara, raut wajah Jerico langsung berubah. Dia memelototi Zola dengan tidak senang.“Zol
Usai berkata, Boris berjalan keluar sambil berkata, “Aku panggil dokter dulu untuk periksa kamu. Nanti sudah boleh keluar dari rumah sakit.”Mata Zola mengikuti sosok Boris. Kata-kata Boris terulang-ulang terus di dalam otaknya. Dibandingkan Sandra yang cerdas, Zola lebih cocok menjadi istri Boris? Maksud Boris, Zola kurang cerdas?Zola yang sedang hamil sama sekali tidak menyadari kalau dirinya sedang melalui proses otak tidak bisa berpikir dengan cepat selama kehamilan. Setelah berpikir lama, dia masih tidak mengerti maksud Boris. Apakah Boris sedang memujinya? Namun, sepertinya itu tidak sepenuhnya memuji.Setelah melalui pemeriksaan, dokter memastikan Zola tidak apa-apa. Semuanya stabil. Dia pun dipulangkan. Boris yang mengantarnya kembali ke apartemen. Sepanjang perjalanan pulang, Zola dan Boris tidak bicara. Karena Boris menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengangkat telepon.Boris tampak sangat sibuk, tapi Boris tetap menemani Zola. Zola memperhatikan wajah Boris dari sam
Zola juga tercengang. Sandra ingin memberi Boris saham? Dia semakin fokus memperhatikan Boris, tidak ingin melewatkan ekspresi apa pun di wajah pria itu. Apakah Boris akan terharu?“Kamu jangan salah paham. Aku nggak ingin lakukan apa pun. Ini bentuk ketulusanku. Kamu tahu, kelak aku akan ambil alih Gordi Group. Tapi aku tahu seberapa besar persaingan dalam dunia bisnis. Aku butuh penopang. Aku tahu kamu nggak ada perasaan apa pun padaku, juga nggak mungkin menikah denganku. Tapi aku butuh kerja sama jangka panjang dengan Morrison Group.”“Ini bukan masalah kecil. Aku belum bisa kasih jawaban.”“Kalau begitu, kamu pertimbangkan dulu.”Boris menutup telepon. Wajahnya tampak dingin. Zola tidak mendengar semua percakapan antara Boris dan Sandra, tapi Zola mendengar jelas setiap kata yang Boris ucapkan. Setelah panggilan telepon berakhir, Boris meletakkan ponselnya. Dia spontan melihat ke arah Zola. Tidak disangka, Zola sedang memperhatikannya. Saat mata keduanya bertemu, Zola sama sekali
Zola menyadari kalau dirinya semakin tidak memahami Mahendra, bahkan boleh dibilang dia merasa seperti tidak pernah memahami pria itu sebelumnya. Apa tujuan Mahendra melakukan hal ini?Zola tidak bisa menemukan jawaban yang masuk akal. Jadi dia tidak menanggapi pertanyaan Boris. Suasana pun menjadi sunyi senyap. Sesaat kemudian, ponsel Boris berdering. Sandra yang meneleponnya.“Kamu nggak di kantor?”“Ada urusan?”“Iya, ada sedikit urusan. Soal proyek kerja sama. Aku baru saja dapat kabar, ada perusahaan real estate asing yang berencana datang ke Kota Binru untuk berinvestasi. Kalau kita bisa dapatkan kerja sama ini, itu akan sangat membantu untuk go public nanti. Jadi kamu mau pertimbangkan, nggak?”Meskipun Morrison Group merupakan sebuah perusahaan besar, sampai saat ini Morrison Group belum mendaftarkan diri ke bursa efek. Baik Boris maupun keluarganya tidak peduli dengan hal itu. Jika Morrison Group mau go public, pasti sudah go public sejak kepemimpinan Hartono. Namun nyatanya t
Setiap kali memikirkan hal itu, Boris pasti berpikir kalau Zola ingin berpisah dengannya demi Mahendra. Akan tetapi, pesan Guntur terngiang kembali di benaknya. Sekarang Zola tidak boleh emosi, harus tetap dalam suasana hati yang baik. Sehingga kata-kata yang sudah sampai di ujung bibirnya akhirnya ditelan kembali.Zola menatap Boris, mengira pria itu ingin mengatakan sesuatu lagi. Jadi dia menatap Boris dalam diam. Kata-kata Boris barusan membuat Zola merasa hatinya seperti dicengkeram dengan erat hingga membuatnya sulit bernapas.Namun, beberapa saat berlalu. Boris tak kunjung bicara. Zola menatapnya dengan bingung dan berkata, “Mau ngomong apa ngomong saja.”Sikap Boris melembut, tidak sekeras tadi. Dia menatap Zola sambil berpikir keras. Kemudian, dia menanyakan keraguan yang selalu Boris sembunyikan di dalam hatinya.“Aku hanya mau tanya satu hal. Katakan padaku, apakah kamu pernah pacaran dengan Mahendra?”Zola mengerutkan kening, tampak semakin bingung. “Boris, sebenarnya apa ya
“Oke, aku mengerti.” Boris menjawab dengan serius, seperti seorang murid yang penurut.Guntur jarang melihat reaksi seperti itu dari Boris. Dia spontan tertawa dan berkata, “Baguslah kalau kamu bisa bekerja sama seperti ini. Kakek dan orang tuamu belum tahu. Perlu beritahu mereka?”Boris menatap Guntur dan bertanya balik, “Menurutmu?”Guntur terus tertawa. “Oke, oke, aku mengerti. Kalau begitu aku kerja dulu. Kamu temani Zola. Kalau dia bangun, dia boleh sarapan.”Boris menganggukkan kepala. Guntur pun pergi. Beberapa menit kemudian, Zola membuka matanya dan mendapati dirinya sedang berada di rumah sakit. Dia spontan mengangkat tangannya dan memegang perutnya. Setelah merasakan perutnya yang buncit, dia baru merasa lega.Zola ingat Jeni mengantarnya ke rumah sakit dan dia diperiksa oleh dokter. Namun saat itu, dia benar-benar sudah terlalu lelah. Dokter juga memberinya obat yang boleh diminum ibu hamil. Jadi dia tidur sampai sekarang baru bangun.Zola bangun dan duduk. Begitu duduk, di
Boris punya kebiasaan marah ketika dibangunkan dari tidurnya, apalagi kalau dibangunkan secara tiba-tiba. Akan tetapi, sebelum dia bisa melampiaskan kekesalannya, suara yang masuk telinganya langsung membuat matanya terbelalak lebar.“Zola lagi di UGD rumah sakit?” tanya Boris dengan suara serak.“Kamu nggak tahu?”“Kenapa dia ke rumah sakit jam segini?”Boris mengangkat selimutnya dan turun dari tempat tidur. Sambil mengganti pakaian, dia bertanya kepada Guntur dengan wajah serius. Guntur bilang kalau muridnya yang melihat Zola. Zola baring di ranjang pemeriksaan, sepertinya baru selesai diperiksa. Dia masih belum tahu bagaimana situasi jelasnya.Boris tidak banyak bicara. Setelah menjawab singkat, dia langsung menutup telepon. Wajah tampannya tampak tegang. Rahangnya mengeras sampai seolah-olah bisa hancur kapan saja. Dia bahkan tidak sempat memakai sepatu lagi. Dia langsung mengambil kunci dan keluar.Boris mengebut sepanjang jalan. Dia mencoba menghubungi ponsel Zola, tapi Zola tid
Manusia sangat mudah membiasakan diri. Begitu sudah terbiasa, manusia bisa saja melupakan semua hal negatif yang pernah dialaminya sebelumnya.“Apakah aku sudah kehilangan diriku sendiri?” tanya Zola kepada Jeni.Jeni memikirkannya dengan serius. “Sayang, kalau kamu sudah mempertanyakan apakah kamu sudah kehilangan dirimu sendiri, menurutku kamu benar-benar perlu merenungkan diri dulu.”Karena kata-kata Jeni barusan, Zola pun jadi berpikir keras. Benar, dia bahkan sudah mempertanyakan dirinya sendiri. Apa yang akan dipikirkan orang lain?Zola bangun dan duduk di sofa, lalu berkata dengan yakin, “Aku percaya aku masih diriku yang dulu. Aku nggak akan kehilangan diri sendiri demi siapa pun.”“Ini baru betul.”Keduanya saling menatap dan tersenyum. Di malam hari, Zola rela mengeluarkan uang mentraktir Jeni makan mie, sebagai penghargaan kepada Jeni karena telah memberinya pencerahan dan semangat. Saat itu, Jeni merasa sangat kesal. Ingin rasanya memarahi Zola.Zola justru berkata, “Maklum