“Uang itu sudah dipakai untuk bayar bunga hutang lainnya. Itu pun hanya cukup untuk bayar bunganya. Jadi apa yang harus kita lakukan selanjutnya, Pak?”Jerico diam seribu bahasa. Saat ini, dia merasa seperti ada batu berton-ton menekan bahunya, membuatnya hampir tidak bisa bernapas.Begitu di sekeliling Jerico menjadi tenang, suara orang menagih hutang terus terngiang di telinganya. Suara itu membuat kepalanya terasa mengembang, seolah akan meledak pada detik berikutnya. Rasanya begitu sakit, sakit yang tak tertahankan.Karena tak kunjung mendapat jawaban dari Jerico, si sekretaris menoleh ke belakang dan bertanya, “Pak Jerico, bagaimana kalau saya antar Bapak pulang ke rumah Bapak dulu?”“Pak? Pak Jerico?”Jerico bersandar di kursi belakang mobil dengan mata tertutup dan tidak menunjukkan reaksi. Setelah sekretarisnya memanggilnya beberapa lagi, dia baru menyadari kalau Jerico mungkin pingsan.Di rumah sakit, Jerico sedang mendapat pertolongan dokter. Jerico koma karena tekanan mental
Kata-kata Zola membuat Lydia semakin marah. Dia menunjuk ke arah Zola dan membentak, “Kamu .... Zola, mulai sekarang kita putus hubungan. Aku nggak pernah punya anak seperti kamu.”Dua kalimat singkat itu membuat semua orang yang ada di sana langsung terdiam. Zola menatap ibunya dengan tenang. Sebenarnya, dia sama sekali tidak terkejut dengan apa yang ibunya katakan.Zola hanya memasang wajah tanpa ekspresi dan berkata, “Kalau Mama bersikeras dengan keputusan ini, aku juga nggak bisa apa-apa. Tapi aku rasa sekarang hal yang paling penting adalah biarkan Dokter Guntur Masuk dan lihat kondisi Papa. Kalau Mama nggak mau terima keuntungan yang aku bawakan, sekarang juga aku minta Dokter Guntur pergi.”Lydia langsung memelototi Zola. “Kamu benar-benar nggak tahu berterima kasih. Hatimu sangat kejam. Keluarga Leonarto sudah besarkan kamu sampai sebesar ini, kamu nggak berterima kasih pada kami? Seharusnya dulu aku langsung cekik kamu sampai mati saat kamu lahir.”“Mama sendiri yang bilang, i
Setelah hening selama beberapa detik, Selena mengambil inisiatif lagi dan bertanya, “Aku bisa bicara berdua dengan Zola sebentar?”Sejak masuk ke kamar rawat inap ayahnya, Zola sama sekali tidak bersuara. Setelah mendengar pertanyaan Selena, dia baru berkata kepada Boris, “Kamu pergi dengan Dokter Guntur saja dulu. Nanti kita bertemu di tempat parkir.”“Oke.” Boris mengangguk setuju. Kemudian, dia pergi bersama Guntur.Zola dan Selena bersitatap sejenak, lalu keduanya berjalan ke ujung koridor. Mereka berdiri di depan jendela. Zola yang berkata lebih dulu, “Apa yang mau kamu bicarakan?”Selena mengatupkan bibirnya, lalu berkata, “Kamu salahkan kami, ya?”“Aku nggak paham maksud kamu.”“Karena Papa dan Mama kirim kamu ke tempat Nenek, tinggal bersama Nenek. Jadi kamu benci banget sama kami, kan?”Zola hanya menatap Selena dengan tenang. “Penting banget ya aku benci atau nggak? Kamu sendiri juga dengar. Mama bilang mau putuskan hubungan denganku. Berarti nggak penting bagaimana sikapku t
Boris menatap Zola dan tampak sedikit terkejut. Karena setelah terjadi begitu banyak hal, Zola tidak pernah berinisiatif meminta bantuan Boris. Boris mengira Zola tidak akan mencarinya.“Bantu apa?” tanya Boris.Zola mengerutkan bibirnya, sedang berpikir bagaimana mengatakannya kepada Boris. Boleh dibilang, Boris memiliki prestise yang besar di Kota Binru. Semua orang harus memberinya muka dan menghormatinya. Saat ini, Zola hanya bisa meminta bantuanya.Zola terdiam selama tiga detik baru pelan-pelan berkata, “Aku ingin minta kamu bantu aku bicara dengan kreditur Leonarto Group, minta mereka beri sedikit kelonggaran pada keluarga Leonarto. Apalagi sekarang kabar Papa dirawat di rumah sakit sudah tersebar. Mereka pasti akan berusaha semaksimal mungkin untuk menagih hutang. Aku takut hal itu akan pengaruhi kondisi kesehatan Papa. Dokter Guntur juga sudah bilang. Kalau sampai terjadi pergolakan emosi lagi akan berakibat fatal.”Boris menatap Zola selama beberapa detik, lalu berkata, “Kamu
Karena Jerico sedang dirawat di rumah sakit, banyak karyawan yang berada di level paling bawah merasa Leonarto Group tidak akan bisa bertahan lagi. Perusahaan akan bangkrut. Jadi mereka bekerja secara berkelompok untuk mencuri barang dari gudang, lalu menjualnya untuk mendapatkan uang.Selena baru tahu setelah diberitahu sekretaris ayahnya. Karena ayahnya sedang sakit, mau tidak mau Selena harus menangani masalah sebagai putri pertama keluarga Leonarto.Dalam perjalanan ke gudang, si sekretaris bertanya, “Selena, bagaimana kalau kita beritahu masalah ini pada Pak Jerico? Kalau nggak, kita juga nggak bisa ambil keputusan dan tangani dengan baik.”“Om Budi, papaku saat ini nggak boleh mengalami pergolakan emosi, perlu istirahat. Jadi kita nggak boleh beritahu dia masalah ini.”Budi sudah bekerja bertahun-tahun dengan Jerico. Selena selalu memanggilnya dengan sebutan om. Biasanya, Selena juga sangat menghormati Budi.Selena bahkan sudah berkata seperti itu. Budi pun tidak bisa berkata apa
Zola sedang duduk di kantornya. Bulu matanya bergetar setiap kali dia mengedipkan matanya. Dia terlihat tenang selama beberapa detik, lalu berkata, “Karena sudah terjadi pencurian, nggak peduli dia bilang apa, mau dia undurkan diri atau nggak, tetap saja itu terjadi saat dia masih bekerja. Kalau begitu, dia tetap harus bertanggung jawab. Nggak bisa main lepas tangan saja. Di saat seperti ini, kamu harus belajar manfaatkan hati orang agar dia mau kerja untuk kamu.”Selena langsung bertanya, “Jadi aku harus tunjuk langsung?”“Memangnya kamu mau rendahkan dirimu dan mohon padanya?” Mulut Zola kasar, tapi pada detik berikutnya, nada bicara melembut sedikit. “Kamu harus ingat. Kamu bosnya, mereka karyawan. Karyawan curi barang bos, masa masih harus dibenarkan? Sekalipun perusahaan sedang mengalami krisis dan kesulitan, itu bukan kesempatan untuk karyawan bertindak seenaknya. Kalau kamu mengalah sekali, setelah ini mereka hanya akan semakin berani.”“Semua yang kamu katakan masuk akal, Zola.
“Bu Selena, bukan saya yang suru mereka curi barang. Kalau dihitung-hitung, aku juga korban,” kata Faiz dengan panik.“Aku tahu bukan kamu yang suruh. Tapi kamu kan penanggung jawab di sini. Kalau kamu nggak mau polisi cari kamu, tetap lakukan pekerjaanmu dengan baik. Setelah kesulitan Leonarto Group teratasi, aku pasti akan beritahu papaku tentang kontribusimu. Jadi, kamu mau mengundurkan diri atau tetap lanjut bekerja?”Faiz terus melirik ke arah Budi. Dia ragu-ragu, tak kunjung membuat keputusan hingga Budi berkata, “Faiz, ini kesempatan terakhirmu. Itu juga karena Selena pandang kamu sebagai seorang karyawan lama. Ayo cepat bilang ke Selena kalau kamu setuju.”Pada akhirnya, Faiz setuju dan berjanji kalau hal seperti ini tidak akan terjadi lagi. adapun karyawan yang mencuri, Selena langsung melapor polisi dan menyerahkannya ke polisi. Setelah kejadian kali ini, Selena merasa semakin yakin kalau Zola pasti tahu segalanya. Kalau tidak, mengapa cara ini bisa begitu efektif?Setelah Se
“Zola nggak beritahu kamu?” Santo menatap Jeni. Kedua manik matanya yang bagai lubang tak berdasar seperti sedang merencanakan sesuatu.Tanpa menunggu Jeni, Santo langsung berkata, “Kalau kamu ingin tahu, katakan yang sebenarnya. Kali ini ke Kota Binru, kamu ada bertemu dengannya?”Raut wajah Jeni seketika menjadi dingin. “Kamu sudah tanya padaku berkali-kali. Kalau kamu ingin tahu, kamu selidiki saja sendiri.”Usai berkata, Jeni langsung pergi tanpa memandang Santo lagi. Sedangkan Santo hanya memasang wajah muram sambil menatap Jeni yang pergi. Seandainya Santo bisa menyelidiki masalah itu, dia tidak perlu tanya berulang kali pada Jeni. Justru karena dia tidak bisa menemukan apa pun, makanya dia terus bertanya pada Jeni.Sepertinya ada beberapa hal yang sudah berada di luar kendali Santo. Hal itu yang membuat Santo merasa sangat kesal. Dia terdiam sejenak, lalu dia mengambil telepon dan menelepon sekretarisnya.“Minta Direktur Humas datang sebentar ke kantor.”Setelah Santo memberikan
Zola mengerutkan bibirnya. Otaknya terus memikirkan apa yang baru saja Jeni katakan. Mahendra begitu hati-hati, bahkan polisi pun tidak berhasil menemukan petunjuk setelah melakukan penyelidikan selama berhari-hari. Lantas, mengapa Zola bisa tahu? Apakah ini hanya kebetulan? Ataukah karena Zola memang lebih beruntung?Semakin Zola memikirkannya, perasaannya semakin gelisah. Bagaimanapun juga, dia baru pertama kali mengikuti Mahendra, tapi sudah membuat kemajuan begitu besar. Rasanya sulit dipercaya.“Kita pulang saja,” kata Zola.Tidak ada gunanya terus mengikut. Sekarang Zola tidak yakin apakah Mahendra curiga kalau Zola mengikutinya. Jika Mahendra benar-benar curiga, tapi sengaja mengungkapkan semuanya kepada Zola, lalu apa maksud Mahendra? Apakah Mahendra ingin Zola memberitahu Boris?Zola tenggelam dalam rasa bingung dan tidak dapat menemukan jawaban. Setelah kembali ke perusahaan, Zola langsung pergi ke kantornya. Dia merasa lelah, pinggangnya juga sakit. Jadi, dia langsung baring
Setelah Jeni selesai bicara dengan sopir taksi, Zola juga melihat pintu belakang lokasi konstruksi terbuka. Setelah kejadian gedung runtuh, Zola dan Boris juga masuk ke tempat kejadian melalui pintu itu.Zola mengerutkan kening, bahkan tidak berani mengedipkan matanya. Seolah dia takut melewatkan petunjuk apa pun. Dia terus menatap ke arah pintu. Begitu dia melihat sosok pria yang keluar dari balik pintu, Zola langsung tercengang.Zola tidak berani percaya. Dia segera mengeluarkan ponselnya dan membuka kameranya. Kemudian, dia mengarahkan kamera ke arah orang itu dan menggunakan mode zoom sampai maksimal. Setelah memastikan kalau dia tidak salah lihat, dia pun bergumam, “Kenapa dia?”Wajah Zola terlihat sangat serius dan kaget. “Siapa?” tanya Jeni.Sebelum Zola dapat menjawab, si sopir taksi bertanya, “Dik, kenapa yang keluar pria? Kamu nggak salah?”Jeni sedikit bingung, tapi dia segera menjawab, “Dia sengaja. Dia takut ketahuan sama aku dan aku dapatkan bukti. Sebenarnya pria atau pe
Zola mengerutkan kening. Matanya spontan melebar. Dia bahkan tidak berani bernapas. Kata-kata Mahendra membuat hati Zola langsung mencelos.Setelah mendengar Mahendra menutup telepon, Zola segera berjalan ke pojokan, lalu berdiri di sana cukup lama. Namun, dia tak kuasa menenangkan jantungnya yang masih berdetak kencang.Zola mendengar langkah kaki Mahendra keluar dari ruang pantry. Kemudian, Zola baru pergi ke toilet. Beberapa menit kemudian, dia baru keluar dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi, pikirannya dipenuhi dengan kata-kata yang Mahendra ucapkan barusan.Mahendra sedang bertelepon dengan siapa? Apakah dengan orang yang terlibat dalam insiden gedung runtuh? Apakah dalang di baliknya atau komplotan Mahendra?Zola memikirkan banyak hal, hingga dia merasa kepalanya seperti mengembang. Setelah keluar dari toilet, dia kembali ke kantornya. Baru saja masuk, dia melihat Mahendra ada di dalam. Begitu melihat Zola datang, Mahendra langsung bertanya, “Zola, kamu habis d
Zola mengirim pesan ke Jeni, “Masih tidur?”Jeni pasti tidur larut malam, jadi Zola tidak ingin mengganggunya. Jika Jeni tidak membalas pesannya, dia akan membiarkan Jeni istirahat di rumah. Hari ini tidak perlu pergi ke perusahaan. Siapa sangka, Jeni langsung membalas pesannya.“Nggak, baru saja selesai mandi. Kamu sudah bangun?” balas Jeni.“Iya, kalau begitu ayo ke sini sarapan.”Jeni pun membalas dengan satu kata oke. Beberapa menit kemudian, keduanya duduk berhadapan di meja makan.“La, aku pengen tanya sesuatu ke kamu,” kata Jeni.“Hmm?”“Kamu yang beritahu Boris soal mantan pacarmu?” tanya Jeni dengan hati-hati.Zola tertegun sejenak, lalu berkata, “Iya, aku yang beritahu.”“Jadi kamu sengaja bilang ke dia kalau alasan kamu menikah dengannya karena mantan pacarmu?”“Dia tanya sama kamu?”Jeni menganggukkan kepala. “Dia tanya sebenarnya siapa mantan pacarmu. Tapi kamu tenang saja, aku kasih jawaban ambigu. Jadi dia pasti nggak bisa tebak.”Jeni menceritakan percakapannya dengan B
Jeni tidak langsung menjawab. Sikap diam dan tercengangnya terlihat di mata Boris. Boris pun bertanya, “Kenapa? Ada sesuatu yang nggak bisa dikatakan?”“Kamu mau jawaban apa? Tentang siapa?”“Menurutmu?”Ekspresi wajah Boris tidak berubah. Dia menatap Jeni dengan acuh tak acuh, seolah sedang berkata kepada Jeni bukankah sudah jelas.Jeni mengerutkan bibirnya dan berkata, “Kamu ingin tahu soal apa?”“Sebenarnya siapa mantan pacar yang nggak pernah bisa dia lupakan itu?”Suara Boris berat dan serak, terdengar sedikit dingin. Kata-katanya membuat Jeni langsung diam tercengang.Mantan pacar Zola? Zola mana punya mantan pacar? Meskipun banyak orang yang mendekati Zola, Zola tidak pernah pacaran dengan pria lain. Bukankah di hati Zola hanya ada Boris?Jeni menatap Boris dengan bingung. Raut wajah dan sorot matanya seperti sedang bertanya, “Apakah kamu yakin ingin tanya soal mantan pacar Zola?”Boris memperhatikan sorot mata Jeni. Dia mengira Jeni merasa serba salah, jadi tidak tahu harus ber
“Kamu nggak tidur?”“Aku duduk sebentar, takut Tedy menggila.”Boris menundukkan kepalanya dan menyalakan sebatang rokok. Zola tahu kalau pria itu sedang dalam suasana hati yang buruk. Boris tidak hanya merokok, juga minum alkohol. Sejak tahu Zola hamil, Boris hampir tidak pernah merokok di depan Zola.Zola berdiri diam di tempat sambil menatap Boris dengan lekat. Suasana ruang tamu sangat sunyi, saking sunyinya mereka seolah bisa mendengar jelas suara napas satu sama lain.Boris menatap Zola dari balik asap putih. “Kenapa kamu nggak masuk ke kamar dan tidur?”“Boris, kamu marah sama aku, ya?”“Mana mungkin.” jawab Boris dengan acuh tak acuh.Jawaban Boris bukanlah “tidak” yang tegas, melainkan “mana mungkin”. Kalau bukan marah, apa namanya?Zola mengerutkan bibirnya dan berkata, “Aku sudah katakan berkali-kali. Aku nggak punya perasaan lain terhadap Mahendra. Juga nggak akan pernah ada. Baik itu dulu, sekarang atau di masa depan, nggak akan pernah ada.”“Kamu begitu yakin dengan sesua
Boris menyipitkan mata, seperti kebingungan. Raut wajahnya tidak selembut biasanya. Boleh dibilang, sorot matanya agak dingin.Boris bersandar pada sofa dan membuka dua kancing kemejanya, memperlihatkan dadanya yang putih.“Mungkin dia ikut aku naik. Tapi aku rasa masalah ini harus diserahkan ke Jeni, biar dia tangani sendiri. Tedy mabuk. Kalau kita usir dia dan terjadi sesuatu padanya, siapa yang akan tanggung jawab? Selain itu, sudah jam segini. Sopir dan sekretarisnya pasti sudah tidur. Suruh mereka datang juga akan makan waktu lama. Jadi kamu mending suruh Jeni bawa dia masuk saja.”Semakin lama Zola mendengarkan Boris bicara, dia semakin mengerutkan kening. “Kamu bisa bawa dia ke hotel terdekat, nggak? Dengar dari suara Jeni, dia cukup frustrasi. Bagaimanapun juga, Tedy orang yang punya tunangan. Nggak baik kalau sampai tersebar ....”“Kamu perhatian sekali sama Jeni. Kamu perhatikan sampai detail setiap masalahnya.” Boris berkata dengan acuh tak acuh. Usai berkata, dia berdiri da
Keduanya langsung terdiam. Kemudian, mereka membawa Tedy ke dalam lift tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Keempat orang itu berdiri di dalam lift, suasananya terasa agak aneh. Untung saja, saat ini sudah larut malam bahkan menjelang subuh. Jadi tidak ada siapa-siapa. Kalau tidak, mereka mungkin akan dikira penjahat atau apa pun itu.Setelah sampai di lantai tujuan, Boris menunjuk ke pintu di seberang unitnya. “Jeni tinggal di sana. Bilang padanya, kalau dia mau cari Jeni, ketuk pintu saja.”Usai berkata, Boris berbalik dan membuka pintu di depannya lalu langsung masuk. Sandy hanya bisa menghela napas tak berdaya.“Siapa yang suruh kamu provokasi dia,” kata Sandy kepada TedySetelah itu, Sandy menunjuk ke pintu di seberang dan mulai mencuci otak Tedy dengan gila-gilaan. Dia terus berkata kalau Tedy ingin bertemu Jeni, langsung ketuk pintu saja.Tedy yang minum terlalu banyak benar-benar sudah mabuk hingga menjadi linglung. Begitu mendengar nama Jeni, dia pun semakin menggila. Setelah m
Usai berkata, Boris mengalihkan pandangannya ke dua orang lainnya. Keduanya tidak berdaya, pada akhirnya hanya bisa mengangguk dan menyetujui kata-kata Boris.Tedy mengambil gelas dan menghabiskan minumannya dalam satu tegukan. Alkohol yang panas menyengat mengalir ke dalam tenggorokannya, tapi tidak bisa membuat hatinya mati rasa.Sementara itu, Sandy dan Rendi langsung pura-pura tidak tahu apa-apa dan segera membuang muka. Karena mereka takut Boris juga akan mengatai mereka.Kata-kata yang Boris ucapkan membuat suasana di dalam ruangan menjadi hening mencekam. Awalnya hanya dia sendiri yang minum, tapi sekarang ada dua orang. Sepertinya yang kedua lebih banyak minum.Mereka berada di klub hingga menjelang subuh. Boris minum beberapa gelas, tapi dia tidak mabuk. Yang mabuk justru Tedy. Mulutnya terus komat-kamit, terus berteriak ingin pergi mencari Jeni.Akan tetapi, tidak ada yang menanggapi kata-kata Tedy. Sandy dan Rendi memapahnya. Sopir membawa mobil ke depan pintu masuk, lalu me