Boris mengerutkan bibirnya dan tertawa pelan. Suara tawa pria itu bergema di telinga Zola, seolah-olah si pemilik suara berada tepat di sampingnya.“Aku kangen banget sama kamu. Jadi kamu kangen aku, nggak?”Zola benar-benar tersentak dengan keterusterangan pria itu. Dia hanya terdiam, tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Ada apa dengan Boris? Boris tidak pernah mengucapkan kata-kata seperti itu sebelumnya. Mengapa akhir-akhir ini Boris bisa mengucapkannya dengan santai? Zola merasa bingung, tidak tahu apa yang sedang Boris pikirkan.Boris merasa kesal karena Zola diam saja. “Kenapa nggak jawab?” tanya Boris.“Nggak mau jawab,” tukas Zola.“Kenapa?”“Nggak kenapa-napa. Aku hanya merasa kalau aku bilang kangen, kamu bisa apa? Sekarang kamu lagi di Kota Jantera. Kamu nggak mungkin langsung pulang hanya karena aku bilang kangen kamu. Jadi bilang atau nggak juga nggak ada gunanya.”“Zola, sekarang kamu jadi semakin keras kepala,” gumam Boris tak berdaya.Sampai akhir, Zola ti
Zola hanya mengedipkan matanya pelan. Boris berkata dengan suara pelan, “Aku berangkat kerja dulu, kamu diam saja di rumah dan tunggu aku pulang, oke?”“Oke.” Zola hanya menjawab dengan suara pelan, lalu tiba-tiba memanggil, “Boris.”“Hmm?”“Sepertinya aku sedikit kangen sama kamu.”Usai berkata, Zola langsung menutup teleponnya.Karena sendirian itu sangat membosankan. Tidak masalah kalau sudah terbiasa. Namun, Boris malah mendominasi kehidupan Zola. Dimanapun Zola berada, aroma tubuh Boris masih tercium dan suara Boris masih terngiang-ngiang di kepalanya. Oleh karena itu, Zola sungguh tidak terbiasa dengan hari-hari tanpa pria itu.Meskipun telepon sudah ditutup, senyum lebar masih merekah di bibir Boris. Jesse tercengang ketika melihat pemandangan itu. Dia bahkan merasa mungkin saja dia salah lihat. Boris sedang tersenyum?Namun, pada detik berikutnya Boris menatap Jesse dengan datar dan tatapannya yang dingin, lalu bertanya dengan acuh tak acuh, “Bukannya kita mau berangkat?”“Iya,
Selama menunggu Boris pulang ke rumah, Zola sama sekali tidak mengantuk. Boleh dibilang dia terus menatap jendela, menyaksikan matahari yang perlahan terbit.Pukul tujuh pagi, Boris pun sampai di apartemen. Begitu mendengar suara pintu dibuka, Zola segera menoleh. Suara langkah kaki yang perlahan mulai mendekat ke arah kamar. Boris membuka pintu dan masuk ke kamar dengan tergesa-gesa. Keduanya bersitatap sejenak. Kemudian, Boris berjalan mendekat dan langsung menarik Zola ke dalam pelukannya.Zola hanya mengerutkan bibirnya dan bersandar dengan tenang di dalam pelukan Boris yang hangat. Seketika dia merasakan adanya rasa aman. Seakan-akan, dunia mau runtuh sekarang juga tidak masalah lagi baginya.“Kamu nggak tidur-tidur?” tanya Boris dengan suara pelan.“Tidur sebentar.” Zola berbohong, sebenarnya dia merasa dirinya menjadi sangat manja. Akan tetapi, setiap kali teringat kalau mimpi buruk kerap mendatanginya di saat dia tidur, Zola sama sekali tidak ingin tidur.Boris menurunkan tatap
“Aku percaya.” Boris berusaha menenangkan Zola. “Kalau kamu nggak mau mengingatnya lagi, jangan dipikir terus. Coba kamu lebih rileks sedikit. Jangan pikir apa-apa. Aku selalu ada di sini, oke?”Zola baru mengangguk pelan. Namun, perasaannya tetap saja tidak membaik. Tidak lama setelah itu, Zola tiba-tiba bertanya, “Boris, kamu dengar suara anak kecil lagi menangis, nggak?”Boris spontan mengerutkan alis. Kedua matanya menatap lekat perempuan yang sedang berada di dalam pelukannya dan bergumam. Dia pun bertanya, “Kamu bilang apa?”“Kamu nggak dengar? Ada anak kecil lagi menangis.”“Zola, itu cuma mimpi kamu. Sekarang kamu sudah bangun. Coba lihat aku. Katakan, siapa aku?”Boris memegang wajah Zola dengan tangannya yang lebar itu. Mata bertemu mata, tapi tatapan Zola penuh dengan keraguan dan keengganan. Wajahnya masih saja terlihat pucat dan kuyu.Pada detik itu juga, Boris menyadari kalau kekhawatirannya selama ini mungkin lebih serius daripada yang dia bayangkan.Boris menemani Zola
Zola terdiam sejenak, lalu berkata, “Semua itu bohong, Bi. Sebelum pindah aku sudah cari tahu dulu soal apartemen ini. Belum pernah ada yang tinggal di sini.”“Tapi saya benar-benar dengar ada beberapa orang yang ngomong soal ini, Bu. Bukannya saya mau takut-takutin. Saya ini orang kampung. Di kampung kami yang begini tabu sekali, Bu. Terutama bagi ibu hamil. Katanya, badan ibu hamil memang beda dengan badan orang biasa. Apalagi yang bunuh diri ini juga ibu hamil. Ini ....”Si bibi tidak berani untuk meneruskan perkataannya. Zola hanya berkata, “Bi, hal-hal seperti ini jangan dipercaya, jangan takut-takutin diri sendiri. Kalau Bibi memang benar nggak mau kerja sama aku lagi, tunggu nanti ada yang gantikan baru Bibi pergi. Boleh kan, Bi?”Si bibi mengiyakan dan bersedia memberi waktu pada Zola untuk mencari pengganti dirinya.Setelah menyelesaikan pekerjaannya, si bibi langsung pergi meninggalkan apartemen. Zola yang meringkuk di sofa sendirian kerap melihat ruangan yang entah sejak ka
Zola tidak percaya masalah ini ada kaitannya dengan Selena maupun keluarga Leonarto. Walaupun hubungannya dengan keluarga Leonarto bisa dibilang tidak begitu baik, Zola beranggapan paling tidak mereka tidak akan melukainya. Zola mengerutkan keningnya dan memasang raut wajah muram.Zola terus menggelengkan kepala dan berkata, “Aku mau tenangkan diri dulu sebentar.”Boris menganggukkan kepalanya sambil melihat Zola berdiri. Zola bersiap untuk kembali ke kamar, tapi dia tiba-tiba teringat lagi dengan perkataan si bibi. Akhirnya dia memilih pergi ke balkon dan beristirahat di sana.Boris memberi pesan pada Jesse dengan tegas dan serius, “Awasi dia. Sewaktu-waktu aku mau bertemu dengannya.”“Baik, Pak Boris.” Boris langsung menutup telepon. Dia pun memberi ruang pada Zola untuk menenangkan dirinya sejenak. Setelah merasa sudah cukup lama, Boris berdiri lalu berjalan keluar. Sesampainya di balkon, Boris melihat Zola yang meringkuk di atas kursi santai dan terlihat tak bersemangat. Boris men
Namun, sebelum Zola mendapatkan jawaban atas pertanyaannya, Jesse datang. Jesse melaporkan semua temuannya tanpa berusaha menutupi apa pun.“Pak Boris, Bu Zola, saya menemukan kalau bibi ini ada kontak dengan Selena, karena selama ini Selena yang membiayai putranya kuliah S2,” lapor Jesse.“Maksud kamu, dari hasil penyelidikan, masalah ini nggak ada hubungannya dengan Selena dan keluarga Leonarto?” tanya Zola.“Boleh dibilang seperti itu. Saya juga menyelidiki hubungan bibi ini dengan keluarga Leonarto secara terpisah. Selain Selena, pada dan mama Bu Zola nggak pernah melakukan kontak dengan si bibi.”Beban yang menggantung di dalam hati Zola akhirnya perlahan-lahan jatuh. Sebenarnya, dia sangat takut masalah yang menimpanya ini ada hubungannya dengan keluarga Leonarto. Seandainya sungguh mereka yang melakukan hal ini padanya, hati Zola benar-benar sakit.“Kalau nggak ada hubungan dengan keluarga Leonarto, aku juga nggak ada dendam dengan bibi itu. Kenapa dia lakukan hal sejahat ini pa
“Kenapa? Kamu nggak percaya pada dirimu sendiri?”“Tentu saja bukan.”“Kalau bukan, daftar saja.” Boris jelas sedang menunggu Zola setuju untuk ikut lomba.“Boris, sebenarnya kamu terlambat satu langkah,” kata Zola dengan tenang.“Hmm?” Boris tampak bingung.“Beberapa hari yang lalu aku sudah putuskan untuk ikut lomba. Jadi undanganmu datang terlambat.”Zola melirik Boris. Dia sudah membaca dokumen yang sama persis seperti yang Boris berikan padanya barusan.“Kenapa nggak bilang sama aku?” tanya Boris.“Boris, ini urusan perusahaanku. Aku boleh saja nggak beritahu kamu. Lagi pula, ini juga bisa dianggap sebagai rahasia perusahaan, kan?” Zola memberikan pertanyaan retoris itu sambil tersenyum.Boris menatap Zola dengan lekat dan bertanya lagi, “Jadi kalau hari ini aku nggak kasih kamu dokumen ini, kamu nggak akan pernah beritahu aku?”“Nggak tahu. Mungkin setelah dapat juara aku bisa pamer ke kamu?”“Oke, kalau begitu aku tunggu.”Zola tidak menyangka Boris akan memberikan tanggapan sep
Zola mengerutkan bibirnya. Otaknya terus memikirkan apa yang baru saja Jeni katakan. Mahendra begitu hati-hati, bahkan polisi pun tidak berhasil menemukan petunjuk setelah melakukan penyelidikan selama berhari-hari. Lantas, mengapa Zola bisa tahu? Apakah ini hanya kebetulan? Ataukah karena Zola memang lebih beruntung?Semakin Zola memikirkannya, perasaannya semakin gelisah. Bagaimanapun juga, dia baru pertama kali mengikuti Mahendra, tapi sudah membuat kemajuan begitu besar. Rasanya sulit dipercaya.“Kita pulang saja,” kata Zola.Tidak ada gunanya terus mengikut. Sekarang Zola tidak yakin apakah Mahendra curiga kalau Zola mengikutinya. Jika Mahendra benar-benar curiga, tapi sengaja mengungkapkan semuanya kepada Zola, lalu apa maksud Mahendra? Apakah Mahendra ingin Zola memberitahu Boris?Zola tenggelam dalam rasa bingung dan tidak dapat menemukan jawaban. Setelah kembali ke perusahaan, Zola langsung pergi ke kantornya. Dia merasa lelah, pinggangnya juga sakit. Jadi, dia langsung baring
Setelah Jeni selesai bicara dengan sopir taksi, Zola juga melihat pintu belakang lokasi konstruksi terbuka. Setelah kejadian gedung runtuh, Zola dan Boris juga masuk ke tempat kejadian melalui pintu itu.Zola mengerutkan kening, bahkan tidak berani mengedipkan matanya. Seolah dia takut melewatkan petunjuk apa pun. Dia terus menatap ke arah pintu. Begitu dia melihat sosok pria yang keluar dari balik pintu, Zola langsung tercengang.Zola tidak berani percaya. Dia segera mengeluarkan ponselnya dan membuka kameranya. Kemudian, dia mengarahkan kamera ke arah orang itu dan menggunakan mode zoom sampai maksimal. Setelah memastikan kalau dia tidak salah lihat, dia pun bergumam, “Kenapa dia?”Wajah Zola terlihat sangat serius dan kaget. “Siapa?” tanya Jeni.Sebelum Zola dapat menjawab, si sopir taksi bertanya, “Dik, kenapa yang keluar pria? Kamu nggak salah?”Jeni sedikit bingung, tapi dia segera menjawab, “Dia sengaja. Dia takut ketahuan sama aku dan aku dapatkan bukti. Sebenarnya pria atau pe
Zola mengerutkan kening. Matanya spontan melebar. Dia bahkan tidak berani bernapas. Kata-kata Mahendra membuat hati Zola langsung mencelos.Setelah mendengar Mahendra menutup telepon, Zola segera berjalan ke pojokan, lalu berdiri di sana cukup lama. Namun, dia tak kuasa menenangkan jantungnya yang masih berdetak kencang.Zola mendengar langkah kaki Mahendra keluar dari ruang pantry. Kemudian, Zola baru pergi ke toilet. Beberapa menit kemudian, dia baru keluar dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi, pikirannya dipenuhi dengan kata-kata yang Mahendra ucapkan barusan.Mahendra sedang bertelepon dengan siapa? Apakah dengan orang yang terlibat dalam insiden gedung runtuh? Apakah dalang di baliknya atau komplotan Mahendra?Zola memikirkan banyak hal, hingga dia merasa kepalanya seperti mengembang. Setelah keluar dari toilet, dia kembali ke kantornya. Baru saja masuk, dia melihat Mahendra ada di dalam. Begitu melihat Zola datang, Mahendra langsung bertanya, “Zola, kamu habis d
Zola mengirim pesan ke Jeni, “Masih tidur?”Jeni pasti tidur larut malam, jadi Zola tidak ingin mengganggunya. Jika Jeni tidak membalas pesannya, dia akan membiarkan Jeni istirahat di rumah. Hari ini tidak perlu pergi ke perusahaan. Siapa sangka, Jeni langsung membalas pesannya.“Nggak, baru saja selesai mandi. Kamu sudah bangun?” balas Jeni.“Iya, kalau begitu ayo ke sini sarapan.”Jeni pun membalas dengan satu kata oke. Beberapa menit kemudian, keduanya duduk berhadapan di meja makan.“La, aku pengen tanya sesuatu ke kamu,” kata Jeni.“Hmm?”“Kamu yang beritahu Boris soal mantan pacarmu?” tanya Jeni dengan hati-hati.Zola tertegun sejenak, lalu berkata, “Iya, aku yang beritahu.”“Jadi kamu sengaja bilang ke dia kalau alasan kamu menikah dengannya karena mantan pacarmu?”“Dia tanya sama kamu?”Jeni menganggukkan kepala. “Dia tanya sebenarnya siapa mantan pacarmu. Tapi kamu tenang saja, aku kasih jawaban ambigu. Jadi dia pasti nggak bisa tebak.”Jeni menceritakan percakapannya dengan B
Jeni tidak langsung menjawab. Sikap diam dan tercengangnya terlihat di mata Boris. Boris pun bertanya, “Kenapa? Ada sesuatu yang nggak bisa dikatakan?”“Kamu mau jawaban apa? Tentang siapa?”“Menurutmu?”Ekspresi wajah Boris tidak berubah. Dia menatap Jeni dengan acuh tak acuh, seolah sedang berkata kepada Jeni bukankah sudah jelas.Jeni mengerutkan bibirnya dan berkata, “Kamu ingin tahu soal apa?”“Sebenarnya siapa mantan pacar yang nggak pernah bisa dia lupakan itu?”Suara Boris berat dan serak, terdengar sedikit dingin. Kata-katanya membuat Jeni langsung diam tercengang.Mantan pacar Zola? Zola mana punya mantan pacar? Meskipun banyak orang yang mendekati Zola, Zola tidak pernah pacaran dengan pria lain. Bukankah di hati Zola hanya ada Boris?Jeni menatap Boris dengan bingung. Raut wajah dan sorot matanya seperti sedang bertanya, “Apakah kamu yakin ingin tanya soal mantan pacar Zola?”Boris memperhatikan sorot mata Jeni. Dia mengira Jeni merasa serba salah, jadi tidak tahu harus ber
“Kamu nggak tidur?”“Aku duduk sebentar, takut Tedy menggila.”Boris menundukkan kepalanya dan menyalakan sebatang rokok. Zola tahu kalau pria itu sedang dalam suasana hati yang buruk. Boris tidak hanya merokok, juga minum alkohol. Sejak tahu Zola hamil, Boris hampir tidak pernah merokok di depan Zola.Zola berdiri diam di tempat sambil menatap Boris dengan lekat. Suasana ruang tamu sangat sunyi, saking sunyinya mereka seolah bisa mendengar jelas suara napas satu sama lain.Boris menatap Zola dari balik asap putih. “Kenapa kamu nggak masuk ke kamar dan tidur?”“Boris, kamu marah sama aku, ya?”“Mana mungkin.” jawab Boris dengan acuh tak acuh.Jawaban Boris bukanlah “tidak” yang tegas, melainkan “mana mungkin”. Kalau bukan marah, apa namanya?Zola mengerutkan bibirnya dan berkata, “Aku sudah katakan berkali-kali. Aku nggak punya perasaan lain terhadap Mahendra. Juga nggak akan pernah ada. Baik itu dulu, sekarang atau di masa depan, nggak akan pernah ada.”“Kamu begitu yakin dengan sesua
Boris menyipitkan mata, seperti kebingungan. Raut wajahnya tidak selembut biasanya. Boleh dibilang, sorot matanya agak dingin.Boris bersandar pada sofa dan membuka dua kancing kemejanya, memperlihatkan dadanya yang putih.“Mungkin dia ikut aku naik. Tapi aku rasa masalah ini harus diserahkan ke Jeni, biar dia tangani sendiri. Tedy mabuk. Kalau kita usir dia dan terjadi sesuatu padanya, siapa yang akan tanggung jawab? Selain itu, sudah jam segini. Sopir dan sekretarisnya pasti sudah tidur. Suruh mereka datang juga akan makan waktu lama. Jadi kamu mending suruh Jeni bawa dia masuk saja.”Semakin lama Zola mendengarkan Boris bicara, dia semakin mengerutkan kening. “Kamu bisa bawa dia ke hotel terdekat, nggak? Dengar dari suara Jeni, dia cukup frustrasi. Bagaimanapun juga, Tedy orang yang punya tunangan. Nggak baik kalau sampai tersebar ....”“Kamu perhatian sekali sama Jeni. Kamu perhatikan sampai detail setiap masalahnya.” Boris berkata dengan acuh tak acuh. Usai berkata, dia berdiri da
Keduanya langsung terdiam. Kemudian, mereka membawa Tedy ke dalam lift tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Keempat orang itu berdiri di dalam lift, suasananya terasa agak aneh. Untung saja, saat ini sudah larut malam bahkan menjelang subuh. Jadi tidak ada siapa-siapa. Kalau tidak, mereka mungkin akan dikira penjahat atau apa pun itu.Setelah sampai di lantai tujuan, Boris menunjuk ke pintu di seberang unitnya. “Jeni tinggal di sana. Bilang padanya, kalau dia mau cari Jeni, ketuk pintu saja.”Usai berkata, Boris berbalik dan membuka pintu di depannya lalu langsung masuk. Sandy hanya bisa menghela napas tak berdaya.“Siapa yang suruh kamu provokasi dia,” kata Sandy kepada TedySetelah itu, Sandy menunjuk ke pintu di seberang dan mulai mencuci otak Tedy dengan gila-gilaan. Dia terus berkata kalau Tedy ingin bertemu Jeni, langsung ketuk pintu saja.Tedy yang minum terlalu banyak benar-benar sudah mabuk hingga menjadi linglung. Begitu mendengar nama Jeni, dia pun semakin menggila. Setelah m
Usai berkata, Boris mengalihkan pandangannya ke dua orang lainnya. Keduanya tidak berdaya, pada akhirnya hanya bisa mengangguk dan menyetujui kata-kata Boris.Tedy mengambil gelas dan menghabiskan minumannya dalam satu tegukan. Alkohol yang panas menyengat mengalir ke dalam tenggorokannya, tapi tidak bisa membuat hatinya mati rasa.Sementara itu, Sandy dan Rendi langsung pura-pura tidak tahu apa-apa dan segera membuang muka. Karena mereka takut Boris juga akan mengatai mereka.Kata-kata yang Boris ucapkan membuat suasana di dalam ruangan menjadi hening mencekam. Awalnya hanya dia sendiri yang minum, tapi sekarang ada dua orang. Sepertinya yang kedua lebih banyak minum.Mereka berada di klub hingga menjelang subuh. Boris minum beberapa gelas, tapi dia tidak mabuk. Yang mabuk justru Tedy. Mulutnya terus komat-kamit, terus berteriak ingin pergi mencari Jeni.Akan tetapi, tidak ada yang menanggapi kata-kata Tedy. Sandy dan Rendi memapahnya. Sopir membawa mobil ke depan pintu masuk, lalu me