Zola menyipitkan matanya. Sorot matanya juga meredup ketika dia melihat ke arah Mahendra. Kata-kata yang Boris ucapkan seketika bergema kembali di dalam benaknya. Mendadak ada pertanyaan yang tak ada habisnya muncul di dalam hati Zola.Apakah Mahendra benar-benar sengaja membuat Audy melakukan kesalahan? Semakin memikirkannya, Zola merasa semakin sulit untuk membayangkan kalau Mahendra benar-benar orang seperti itu. Keraguan yang ada di hatinya membuat Zola merasa sangat tidak nyaman.Zola tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia hanya menghibur Mahendra dan memintanya untuk tidak memikirkan yang tidak-tidak.Tidak lama setelah Zola keluar dari ruangan Mahendra, dia menerima telepon dari Boris. “Nanti aku akan jemput kamu. Malam ini kita makan malam di rumah Kakek, oke?”“Oke.”“Lagi apa?”“Kerja.”Zola tidak tahu mengapa Boris tiba-tiba bertanya seperti itu. Boris hanya bergumam pelan. Kemudian, suasana jadi hening.Saat ini, di Morrison Group. Tyara ingin bertemu dengan Boris. Namun, bagia
Boris menambahkan, “Aku hanya bisa katakan satu hal padamu. Zola satu-satunya perempuan yang akan jadi mama dari anakku.”Mata Tyara tiba-tiba membelalak. Dia spontan bertanya dengan tidak percaya, “Apakah karena ini keinginan Kakek, Om dan Tante, makanya kamu berpikir seperti itu?”“Tyara, aku harap kamu nggak lakukan apa pun yang bisa mengikis rasa bersalahku padamu. Kamu tahu, begitu rasa bersalah terakhir itu hilang, kita berdua akan impas. Aku akui, aku memang pernah berpikir akan menikahi kamu. Setelah kamu sadar, aku memang sudah ingin lakukan hal itu. Tapi keinginan itu sudah hilang setelah kamu kikis pelan-pelan dengan semua perbuatanmu.”Boris mengucapkan setiap kata dengan sangat jelas sehingga membuat Tyara tercengang dan diam seribu bahasa. Boris menatap Tyara tanpa emosi apa pun. Hanya ada tatapan dingin di matanya.“Jadi, kamu pikirkan dengan hati-hati pilihan yang akan kamu ambil,” kata Boris.Tidak diragukan lagi, ucapan Boris merupakan peringatan bagi Tyara untuk tida
Ini pertama kalinya Zola kembali ke sana setelah kehamilannya terungkap. Rosita sudah menyuruh orang dapur untuk menyiapkan makanan. Semua makanan yang disiapkan merupakan makanan kesukaan Zola, juga baik untuk ibu hamil.Di meja makan, Hartono mengambil surat yang diantarkan pengacara tadi siang. Dia menyerahkan surat itu kepada Zola dan berkata, “Ini hadiah dari aku untuk kamu dan anakmu. Sejak awal aku mau kasih ke kamu saat kamu nikah dengan Boris. Kali ini nggak boleh tolak.”Hartono memberikan surat pemindahan saham. Dia memberikan dua persen saham pribadinya di Morrison Group kepada Zola dan anak dalam perut Zola. Dua persen saham sudah cukup untuk buat Zola jadi direktur di Morrison Group, lebih banyak dibandingkan saat Boris pertama kali masuk kerja di Morrison Group.Zola langsung tercengang. Dia tidak mengambil surat itu, dia malah menolak. “Kakek, aku nggak boleh ambil.”Hartono spontan memasang wajah cemberut. “Ambil saja. Zola, ini memang sudah seharusnya jadi milik kamu.
Begitu mengungkit masalah ini, Rosita merasa bersalah dan tidak enak hati. Awalnya dia ingin langsung menelepon Zola saat itu juga. Namun setelah dipikir-pikir, toh nanti malam Zola akan datang. Jadi dia menunggu sampai sekarang baru berani bicara.Rosita merasa bersalah. “Memang mulutku ini mulut ember. Langsung bilang tanpa tanya kamu dulu. Mama benar-benar minta maaf, La.”“Mama ngomong apa, sih? Kenapa jadi salah Mama?” Zola tersenyum, sama sekali tidak mengambil hati masalah itu. “Nggak apa-apa. Masalah kecil. Mama nggak salah, kok.”“Kamu benar-benar nggak salahkan Mama?”“Tentu saja.”Zola bergelayut manja di tangan Rosita dan meyakinkannya, “Nggak usah masukkan dalam hati, Ma. Mama juga nggak perlu khawatir, oke?”“Zola benar-benar anak yang baik. Seperti bidadari kecil yang baik dan perhatian.”Kali ini giliran Zola yang malu, merasa tidak enak hati dipuji seperti itu oleh ibu mertuanya. Sedangkan tiga pria lainnya hanya diam melihat interaksi antara ibu mertua dan menantu itu
Selama ini, Zola tahu kalau dia ada atau tiada tidak masalah bagi Lydia atau keluarga Leonarto. Setelah menikah dengan Boris, orang lain di keluarga Leonarto sedikit lebih baik terhadapnya, kecuali Lydia. Itu pun mereka baik ketika di depan Zola. Tidak ada yang tahu bagaimana sikap mereka di belakang.Namun, Lydia selalu bersikap sangat dingin pada Zola. Kalau kasarnya, sikap Lydia terhadap Zola jauh lebih buruk dari orang asing.Setelah mendengar jawaban Zola, Lydia terdiam sesaat. Kemudian, dia mengulangi pertanyaannya lagi, “Kamu benar-benar hamil?”Zola mengerutkan kening. “Kalau nggak percaya, untuk apa repot-repot telepon dan tanya aku?”“Zola, kenapa kamu nggak beritahu Mama kalau kamu benar-benar hamil? Sekarang kamu lagi di rumah atau di kantor? Aku dan papamu pergi ke tempatmu.”Sikap Lydia berubah drastis. Hal itu membuat Zola terkejut. Tanpa menunggu Zola menjawab, Lydia bertanya lagi, “Lagi di rumah, ya? Kalau begitu aku dan papamu pergi ke sana sekarang juga. Sekarang kam
Namun, karena itu bukan karena Zola, Zola pun tidak ingin mengungkitnya lagi. Apalagi menggunakan anaknya untuk memaksa Boris.Sikap tegas Zola membuat Jerico dan Lydia sangat marah. Pada akhirnya, terjadi pertengkaran hebat. Sepanjang pertengkaran, Jerico dan Lydia terus menyalahkan Zola. Bahkan, nenek Zola yang berada di unit seberang juga mendengar suara pertengkaran mereka.Setelah melihat Jerico dan Lydia, sang nenek bertanya dengan wajah cemberut tidak senang, “Begini cara kalian jadi orang tua?”Jerico dan Lydia baru berhenti berteriak. Tak lama kemudian, mereka pun pergi. Mereka sama sekali tidak menyapa nenek Zola. Hal itu membuat Zola marah dan kecewa.Zola membantu neneknya duduk, lalu menghibur dengan suara pelan. “Nenek, jangan masukkan ke dalam hati. Mereka ....”“Kamu takut aku sedih?” Nenek menyela perkataan Zola. “Hatiku nggak serapuh itu. Aku sudah tua begini, mana bisa berpikir begitu banyak? Sekarang aku hanya harap kamu baik-baik saja. Kalau soal yang lain, aku sam
Zola tidak menangkap maksud pertanyaan Boris. Dia terdiam sesaat, tapi Boris terlanjur mengartikan sikap diam Zola sebagai jawaban iya.Keduanya bersitatap, lalu Boris berkata dengan pelan-pelan, “Tyara ke perusahaan cari aku untuk bahas soal kontrak.”Setelah mendengar ucapan Boris, Zola baru mengerti. Ternyata yang Boris maksud adalah soal hari itu, di mana Jesse bilang Tyara datang cari Boris ketika Boris sedang bicara dengannya di telepon. Setelah itu, karena pulang ke rumah kakeknya, lalu masalah cari bibi ART, Boris pun tidak pernah mengungkit soal itu sampai sekarang baru diungkit. Sebenarnya, Zola sudah melupakan masalah itu.Zola menatap Boris dan tersenyum tipis, “Boris, kamu lagi kasih aku penjelasan?”Boris juga tersentak. Saat ini, dia baru menyadari apa yang telah dia lakukan. Dia membalas tatapan Zola dan bertanya, “Kala iya, apa yang akan kamu lakukan?”Zola tidak menyangka kalau Boris akan mengakuinya secara terus terang begini. Kalau dulu, Boris pasti sudah menyangkal
Yang jelas Jerico tidak mungkin mengambil pilihan kedua. Bagaimanapun juga, usia Jerico sudah tidak memungkinkan untuk membangun usaha dari nol lagi.Itu juga alasan utama mengapa dia berada dalam kesulitan seperti ini. Jika ada sedikit kesempatan saja, dia juga tidak akan putus asa begini.Saat Selena menemui Zola, Zola baru saja selesai rapat. Dia telah memutuskan untuk berpartisi dalam lomba desainer arsitektur. Meskipun dia yang ikut lomba, dia ingin memilih tiga asisten terbaik di perusahaan. Jika Zola bisa masuk tiga besar, maka orang yang akan jadi asistennya juga akan ikut menjadi tenar.Apa yang ada di pikiran Zola sangat sederhana. “Masih ada sedikit waktu sebelum lomba dimulai. Kalau kalian ingin bersaing untuk jadi asistenku, kumpulkan karya desain arsitektur lengkap dalam waktu sepuluh hari aku. Aku dan Pak Mahendra akan menggunakan profesionalisme kami untuk pilih tiga orang. Tentu saja, agar persaingan ini tetap adil, aku akan undang desainer terkenal Mona untuk bantu me
Zola mengerutkan bibirnya. Otaknya terus memikirkan apa yang baru saja Jeni katakan. Mahendra begitu hati-hati, bahkan polisi pun tidak berhasil menemukan petunjuk setelah melakukan penyelidikan selama berhari-hari. Lantas, mengapa Zola bisa tahu? Apakah ini hanya kebetulan? Ataukah karena Zola memang lebih beruntung?Semakin Zola memikirkannya, perasaannya semakin gelisah. Bagaimanapun juga, dia baru pertama kali mengikuti Mahendra, tapi sudah membuat kemajuan begitu besar. Rasanya sulit dipercaya.“Kita pulang saja,” kata Zola.Tidak ada gunanya terus mengikut. Sekarang Zola tidak yakin apakah Mahendra curiga kalau Zola mengikutinya. Jika Mahendra benar-benar curiga, tapi sengaja mengungkapkan semuanya kepada Zola, lalu apa maksud Mahendra? Apakah Mahendra ingin Zola memberitahu Boris?Zola tenggelam dalam rasa bingung dan tidak dapat menemukan jawaban. Setelah kembali ke perusahaan, Zola langsung pergi ke kantornya. Dia merasa lelah, pinggangnya juga sakit. Jadi, dia langsung baring
Setelah Jeni selesai bicara dengan sopir taksi, Zola juga melihat pintu belakang lokasi konstruksi terbuka. Setelah kejadian gedung runtuh, Zola dan Boris juga masuk ke tempat kejadian melalui pintu itu.Zola mengerutkan kening, bahkan tidak berani mengedipkan matanya. Seolah dia takut melewatkan petunjuk apa pun. Dia terus menatap ke arah pintu. Begitu dia melihat sosok pria yang keluar dari balik pintu, Zola langsung tercengang.Zola tidak berani percaya. Dia segera mengeluarkan ponselnya dan membuka kameranya. Kemudian, dia mengarahkan kamera ke arah orang itu dan menggunakan mode zoom sampai maksimal. Setelah memastikan kalau dia tidak salah lihat, dia pun bergumam, “Kenapa dia?”Wajah Zola terlihat sangat serius dan kaget. “Siapa?” tanya Jeni.Sebelum Zola dapat menjawab, si sopir taksi bertanya, “Dik, kenapa yang keluar pria? Kamu nggak salah?”Jeni sedikit bingung, tapi dia segera menjawab, “Dia sengaja. Dia takut ketahuan sama aku dan aku dapatkan bukti. Sebenarnya pria atau pe
Zola mengerutkan kening. Matanya spontan melebar. Dia bahkan tidak berani bernapas. Kata-kata Mahendra membuat hati Zola langsung mencelos.Setelah mendengar Mahendra menutup telepon, Zola segera berjalan ke pojokan, lalu berdiri di sana cukup lama. Namun, dia tak kuasa menenangkan jantungnya yang masih berdetak kencang.Zola mendengar langkah kaki Mahendra keluar dari ruang pantry. Kemudian, Zola baru pergi ke toilet. Beberapa menit kemudian, dia baru keluar dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi, pikirannya dipenuhi dengan kata-kata yang Mahendra ucapkan barusan.Mahendra sedang bertelepon dengan siapa? Apakah dengan orang yang terlibat dalam insiden gedung runtuh? Apakah dalang di baliknya atau komplotan Mahendra?Zola memikirkan banyak hal, hingga dia merasa kepalanya seperti mengembang. Setelah keluar dari toilet, dia kembali ke kantornya. Baru saja masuk, dia melihat Mahendra ada di dalam. Begitu melihat Zola datang, Mahendra langsung bertanya, “Zola, kamu habis d
Zola mengirim pesan ke Jeni, “Masih tidur?”Jeni pasti tidur larut malam, jadi Zola tidak ingin mengganggunya. Jika Jeni tidak membalas pesannya, dia akan membiarkan Jeni istirahat di rumah. Hari ini tidak perlu pergi ke perusahaan. Siapa sangka, Jeni langsung membalas pesannya.“Nggak, baru saja selesai mandi. Kamu sudah bangun?” balas Jeni.“Iya, kalau begitu ayo ke sini sarapan.”Jeni pun membalas dengan satu kata oke. Beberapa menit kemudian, keduanya duduk berhadapan di meja makan.“La, aku pengen tanya sesuatu ke kamu,” kata Jeni.“Hmm?”“Kamu yang beritahu Boris soal mantan pacarmu?” tanya Jeni dengan hati-hati.Zola tertegun sejenak, lalu berkata, “Iya, aku yang beritahu.”“Jadi kamu sengaja bilang ke dia kalau alasan kamu menikah dengannya karena mantan pacarmu?”“Dia tanya sama kamu?”Jeni menganggukkan kepala. “Dia tanya sebenarnya siapa mantan pacarmu. Tapi kamu tenang saja, aku kasih jawaban ambigu. Jadi dia pasti nggak bisa tebak.”Jeni menceritakan percakapannya dengan B
Jeni tidak langsung menjawab. Sikap diam dan tercengangnya terlihat di mata Boris. Boris pun bertanya, “Kenapa? Ada sesuatu yang nggak bisa dikatakan?”“Kamu mau jawaban apa? Tentang siapa?”“Menurutmu?”Ekspresi wajah Boris tidak berubah. Dia menatap Jeni dengan acuh tak acuh, seolah sedang berkata kepada Jeni bukankah sudah jelas.Jeni mengerutkan bibirnya dan berkata, “Kamu ingin tahu soal apa?”“Sebenarnya siapa mantan pacar yang nggak pernah bisa dia lupakan itu?”Suara Boris berat dan serak, terdengar sedikit dingin. Kata-katanya membuat Jeni langsung diam tercengang.Mantan pacar Zola? Zola mana punya mantan pacar? Meskipun banyak orang yang mendekati Zola, Zola tidak pernah pacaran dengan pria lain. Bukankah di hati Zola hanya ada Boris?Jeni menatap Boris dengan bingung. Raut wajah dan sorot matanya seperti sedang bertanya, “Apakah kamu yakin ingin tanya soal mantan pacar Zola?”Boris memperhatikan sorot mata Jeni. Dia mengira Jeni merasa serba salah, jadi tidak tahu harus ber
“Kamu nggak tidur?”“Aku duduk sebentar, takut Tedy menggila.”Boris menundukkan kepalanya dan menyalakan sebatang rokok. Zola tahu kalau pria itu sedang dalam suasana hati yang buruk. Boris tidak hanya merokok, juga minum alkohol. Sejak tahu Zola hamil, Boris hampir tidak pernah merokok di depan Zola.Zola berdiri diam di tempat sambil menatap Boris dengan lekat. Suasana ruang tamu sangat sunyi, saking sunyinya mereka seolah bisa mendengar jelas suara napas satu sama lain.Boris menatap Zola dari balik asap putih. “Kenapa kamu nggak masuk ke kamar dan tidur?”“Boris, kamu marah sama aku, ya?”“Mana mungkin.” jawab Boris dengan acuh tak acuh.Jawaban Boris bukanlah “tidak” yang tegas, melainkan “mana mungkin”. Kalau bukan marah, apa namanya?Zola mengerutkan bibirnya dan berkata, “Aku sudah katakan berkali-kali. Aku nggak punya perasaan lain terhadap Mahendra. Juga nggak akan pernah ada. Baik itu dulu, sekarang atau di masa depan, nggak akan pernah ada.”“Kamu begitu yakin dengan sesua
Boris menyipitkan mata, seperti kebingungan. Raut wajahnya tidak selembut biasanya. Boleh dibilang, sorot matanya agak dingin.Boris bersandar pada sofa dan membuka dua kancing kemejanya, memperlihatkan dadanya yang putih.“Mungkin dia ikut aku naik. Tapi aku rasa masalah ini harus diserahkan ke Jeni, biar dia tangani sendiri. Tedy mabuk. Kalau kita usir dia dan terjadi sesuatu padanya, siapa yang akan tanggung jawab? Selain itu, sudah jam segini. Sopir dan sekretarisnya pasti sudah tidur. Suruh mereka datang juga akan makan waktu lama. Jadi kamu mending suruh Jeni bawa dia masuk saja.”Semakin lama Zola mendengarkan Boris bicara, dia semakin mengerutkan kening. “Kamu bisa bawa dia ke hotel terdekat, nggak? Dengar dari suara Jeni, dia cukup frustrasi. Bagaimanapun juga, Tedy orang yang punya tunangan. Nggak baik kalau sampai tersebar ....”“Kamu perhatian sekali sama Jeni. Kamu perhatikan sampai detail setiap masalahnya.” Boris berkata dengan acuh tak acuh. Usai berkata, dia berdiri da
Keduanya langsung terdiam. Kemudian, mereka membawa Tedy ke dalam lift tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Keempat orang itu berdiri di dalam lift, suasananya terasa agak aneh. Untung saja, saat ini sudah larut malam bahkan menjelang subuh. Jadi tidak ada siapa-siapa. Kalau tidak, mereka mungkin akan dikira penjahat atau apa pun itu.Setelah sampai di lantai tujuan, Boris menunjuk ke pintu di seberang unitnya. “Jeni tinggal di sana. Bilang padanya, kalau dia mau cari Jeni, ketuk pintu saja.”Usai berkata, Boris berbalik dan membuka pintu di depannya lalu langsung masuk. Sandy hanya bisa menghela napas tak berdaya.“Siapa yang suruh kamu provokasi dia,” kata Sandy kepada TedySetelah itu, Sandy menunjuk ke pintu di seberang dan mulai mencuci otak Tedy dengan gila-gilaan. Dia terus berkata kalau Tedy ingin bertemu Jeni, langsung ketuk pintu saja.Tedy yang minum terlalu banyak benar-benar sudah mabuk hingga menjadi linglung. Begitu mendengar nama Jeni, dia pun semakin menggila. Setelah m
Usai berkata, Boris mengalihkan pandangannya ke dua orang lainnya. Keduanya tidak berdaya, pada akhirnya hanya bisa mengangguk dan menyetujui kata-kata Boris.Tedy mengambil gelas dan menghabiskan minumannya dalam satu tegukan. Alkohol yang panas menyengat mengalir ke dalam tenggorokannya, tapi tidak bisa membuat hatinya mati rasa.Sementara itu, Sandy dan Rendi langsung pura-pura tidak tahu apa-apa dan segera membuang muka. Karena mereka takut Boris juga akan mengatai mereka.Kata-kata yang Boris ucapkan membuat suasana di dalam ruangan menjadi hening mencekam. Awalnya hanya dia sendiri yang minum, tapi sekarang ada dua orang. Sepertinya yang kedua lebih banyak minum.Mereka berada di klub hingga menjelang subuh. Boris minum beberapa gelas, tapi dia tidak mabuk. Yang mabuk justru Tedy. Mulutnya terus komat-kamit, terus berteriak ingin pergi mencari Jeni.Akan tetapi, tidak ada yang menanggapi kata-kata Tedy. Sandy dan Rendi memapahnya. Sopir membawa mobil ke depan pintu masuk, lalu me