“Kalau itu mudah bagiku, jadi aku harus setuju? Begitu? Sekarang kamu mau suruh-suruh aku?”“Aku nggak suruh-suruh kamu. Aku hanya minta kamu bantu aku.”“Kenapa aku harus bantu kamu?”Boris menyipitkan mata, wajah tampannya tampak dingin dan cuek. Zola tertegun dan terdiam. Benar, kenapa Boris harus membantunya? Pria itu bisa saja menolak.Pada detik berikutnya, Boris bertanya lagi, “Kita hanyalah pasangan suami istri yang akan segera bercerai. Malam-malam begini kamu masih datang ke sini cari aku. Zola, kalau kamu begini, sulit bagiku untuk nggak salah paham kalau kamu sengaja datang jam segini untuk tidur denganku. Atau kamu nggak tahu kalau pria dan perempuan bersamaan jam segini paling gampang terjadi sesuatu?”Boris berkata sambil mencondongkan tubuhnya sedikit ke arah Zola. Aroma khas pria itu sangat kuat. Zola spontan menghindar ke kiri. Bibir Boris seperti akan mendarat di wajah Zola, tapi pria itu tiba-tiba berhenti.Jarak keduanya begitu dekat, hampir hanya berjarak selembar
Zola mengerutkan bibir dan bertanya, “Apakah kamu akan setuju bantu aku kalau kita nggak bercerai?”Boris tertawa. Dia tertawa bukan karena apa yang Zola katakan persis dengan yang dia pikirkan. Lebih seperti sedang menertawakan Zola yang tidak tahu diri. Ada senyuman tipis di wajah tampannya, tapi tidak ada emosi apa pun di sorot matanya. Hanya ada aura dingin.“Zola, siapa aku bagimu?”Mata Zola kosong. Dia tidak bermaksud apa-apa, hanya syarat itu otomatis terbesit di dalam otaknya. Dia pun mengutarakan apa yang ada dalam pikirannya dengan begitu saja.Zola diam seribu bahasa, sikap diamnya justru terlihat sebagai pengakuan di mata Boris. Pria itu pun bertanya dengan dingin, “Zola, kamu sungguh mengira aku nggak mau cerai? Demi Jeni, kamu bisa mengambil tindakan seperti membatalkan perceraian. Kamu benar-benar hebat.”Zola menatap wajah Boris yang sedingin es, lalu berkata dengan ringan, “Maaf, aku salah paham. Aku hanya ingin kamu lihat ketulusan aku dan harap kamu bisa mengerti be
“Hmm.” Boris hanya bergumam pelan, lalu tidak berkata apa-apa lagi.Pak Didin pun keluar dari ruangan dan menutup pintu. Setelah Pak Didin pergi, Boris bersandar di kursinya. Dia tidak fokus membaca dokumen di tangannya lagi. Dia mengambil ponselnya dan menelepon seseorang. Orang yang diteleponnya segera mengangkat telepon. Boris pun bertanya dengan santai, “Lagi apa?”“Ada apa?” tanya orang itu.“Jeni perempuan yang kamu campakkan itu?” Boris langsung ke topik pembicaraan. Dia menyipitkan mata, membuat raut wajahnya terlihat dingin.Tedy terdiam sejenak, lalu bertanya, “Kamu sudah tahu?”“Di mana dia? Di tempatmu?”“Hmm.”“Sebaiknya kamu nggak melakukan apa pun padanya,” kata Boris.“Zola cari kamu?”“Nggak ada hubungannya dengan Zola. Aku hanya kasih saran ke kamu. Kalau Jeni kehilangan kontak terlalu lama, kamu kira keluarganya akan diam saja?”Boris memberikan peringatan kepada Tedy. Seandainya Boris tahu tentang hubungan Jeni dan Tedy, apakah dia akan memberitahu Tedy lebih awal?”
Boris menatap Zola dengan lekat. Tanpa menunggu Boris bicara, Tyara langsung berkata, “Boris, masalah yang ingin aku bicarakan ada hubungannya dengan kejadian setahun yang lalu.”Boris spontan mengerutkan keningnya. Matanya yang seperti lubang tak berdasar itu menjadi kian gelap.“Kamu makan dulu.”Tentu saja, kalimat itu ditujukan kepada Zola. Kemudian, Boris berjalan ke ruang tamu. Tyara pun menatap Zola dengan tatapan provokatif. Ekspresinya itu seolah berkata, “Zola, kamu lihat sendiri, kan? Tetap saja aku yang menang. Kamu hanya akan selalu kalah.”Usai berkata, Tyara segera mengikuti Boris ke ruang tamu. Sedangkan Zola hanya berdiri diam di tempat. Dia melihat dua orang yang telah pergi ke ruang tamu. Zola sama sekali tidak penasaran dengan apa yang mereka bicarakan. Hanya saja ada perasaan yang tak terlukiskan di dalam hatinya. Seolah-olah ada suara yang memberitahunya. Lihat baik-baik, Zola. Kapan pun itu, Boris akan tetap memilih Tyara.Di ruang tamu, Boris berdiri tegak di de
“Kalau begitu aku minta maaf. Aku nggak bisa penuhi permintaanmu itu.”“Kenapa?”“Nggak ada alasan. Aku hanya merasa itu nggak perlu.” Kata-kata yang terlontar dari mulut Boris begitu dingin, juga tidak ada kehangatan lagi pada sorot kedua matanya.Sikap dingin dan cuek Boris membuat Tyara seketika terdiam. Satu kalimat tidak ada alasan, dia hanya merasa itu tidak perlu, cukup untuk membuat Tyara kehilangan kendali.Dia mengatupkan bibirnya. Air matanya berlinang membasahi wajahnya. “Boris, apakah kamu terus menunggu aku mengambil inisiatif untuk beritahu kamu kalau aku nggak akan ganggu kamu lagi? Apakah selama aku katakan kita nggak ada hubungan apa pun lagi, kamu pasti akan setuju tanpa ragu-ragu?”Boris tidak mengucapkan sepatah kata pun, hanya melihat Tyara yang sedang mengalami pergolakan emosi.“Boris, kenapa kamu nggak bisa kabulkan permintaanku? Kalau kamu nggak mencintai Zola, kenapa kamu nggak bisa ceraikan dia dan menikah denganku? Jelas-jelas kita sudah saling kenal lebih
“Boris, kalau nggak ada kejadian setahun yang lalu, sejak awal kamu sudah ingin putuskan hubungan denganku sepenuhnya, bukan?”Boris tidak menjawab, juga tidak memberikan tanggapan apa pun. Dia hanya menatap Tyara dengan tatapan dingin.Tyara menganggukkan kepala dan hati yang terluka. “Aku mengerti. Aku sudah tahu jawabanmu.”Tyara mengangkat tangan untuk menutup mulutnya, lalu berlari keluar sambil menangis. Boris tidak menghentikannya, apalagi mengejarnya. Wajahnya terlihat dingin. Setelah beberapa saat, dia baru berhasil menahan emosinya.Boris kembali ke ruang makan. Zola sudah duduk di meja makan. Begitu melihat Boris datang, Zola menatapnya sebentar. Pada detik berikutnya, dia berkata dengan santai, “Ayo makan, makanannya hampir dingin.”Tanpa menunggu Boris bicara, Zola sudah menundukkan kepala dan mulai makan. Boris duduk di hadapannya. Tak satu pun dari mereka yang mau mulai bicara lebih dulu. Keduanya tetap diam dalam suasana yang sunyi senyap ini. Hanya sesekali terdengar s
“Jadi, sekarang kamu ingin aku bagaimana? Nggak jadi cerai denganmu? Atau kamu mau aku pertahankan pernikahan ini untuk tutupi hubunganmu dengan Tyara? Atau mungkin kamu ingin aku kasih kamu anak, lalu kamu akan jadikan dia anakmu dan Tyara?” tukas Zola.Emosi Zola juga sedikit di luar kendali. Dia menatap lurus ke arah Boris, ada sikap impulsif yang tidak terkendali terpancar di matanya.Namun, Boris tiba-tiba tertawa. Bibir tipisnya melengkung, lalu dia berkata dengan sinis, “Zola, kamu berani sekali provokasi aku, ya?”Jika bukan karena tatapan Boris yang dingin, tidak ada yang tahu kalau amarahnya sudah mencapai titik puncak saat ini. Seluruh tubuhnya juga memancarkan aura dingin.Zola menyipitkan mata dan berkata dengan tenang, “Aku hanya katakan yang sebenarnya.”“Huh! Sudah selesai bicaranya?”Zola terdiam, hanya menatap Boris. Pada detik berikutnya, pria itu berkata lagi, “Kalau kamu sudah selesai bicara, cepat menghilang dari pandanganku, oke?”Suara Boris yang berat dan ser
“Bicara soal apa? Katakan saja,” ujar pria itu.“Jeni ada di tempatmu?” Zola tidak berbasa-basi lagi. Sekarang dia telah menelepon pria itu, maka dia harus cari tahu sampai jelas.Tedy tertawa pelan. “Aku nggak mengerti apa yang kamu bicarakan.”“Nggak masalah kamu benar-benar nggak mengerti atau hanya pura-pura nggak mengerti.” Zola mengerutkan kening dan menarik napas dalam-dalam. “Kalau kamu terus halangi dia hubungi orang lain, aku rasa orang lain akan segera tahu hal ini. Kalau kamu hanya ingin balas dendam padanya, maka kamu sudah capai tujuanmu. Tapi kalau kamu lakukan hal ini karena kamu mencintainya, maka kamu akan berhasil menghancurkannya.”Setelah Zola selesai bicara, Tedy diam seribu bahasa. Namun, reaksinya sudah cukup untuk memastikan kalau dia yang membawa pergi Jeni. hanya dengan cara inilah Zola baru bisa merasa sedikit lega.Tanpa menunggu jawaban Tedy, Zola berkata lagi dengan tenang, “Nggak peduli apa yang terjadi di antara kalian, aku harap kamu bisa bicara baik-b
Zola mengerutkan bibirnya. Otaknya terus memikirkan apa yang baru saja Jeni katakan. Mahendra begitu hati-hati, bahkan polisi pun tidak berhasil menemukan petunjuk setelah melakukan penyelidikan selama berhari-hari. Lantas, mengapa Zola bisa tahu? Apakah ini hanya kebetulan? Ataukah karena Zola memang lebih beruntung?Semakin Zola memikirkannya, perasaannya semakin gelisah. Bagaimanapun juga, dia baru pertama kali mengikuti Mahendra, tapi sudah membuat kemajuan begitu besar. Rasanya sulit dipercaya.“Kita pulang saja,” kata Zola.Tidak ada gunanya terus mengikut. Sekarang Zola tidak yakin apakah Mahendra curiga kalau Zola mengikutinya. Jika Mahendra benar-benar curiga, tapi sengaja mengungkapkan semuanya kepada Zola, lalu apa maksud Mahendra? Apakah Mahendra ingin Zola memberitahu Boris?Zola tenggelam dalam rasa bingung dan tidak dapat menemukan jawaban. Setelah kembali ke perusahaan, Zola langsung pergi ke kantornya. Dia merasa lelah, pinggangnya juga sakit. Jadi, dia langsung baring
Setelah Jeni selesai bicara dengan sopir taksi, Zola juga melihat pintu belakang lokasi konstruksi terbuka. Setelah kejadian gedung runtuh, Zola dan Boris juga masuk ke tempat kejadian melalui pintu itu.Zola mengerutkan kening, bahkan tidak berani mengedipkan matanya. Seolah dia takut melewatkan petunjuk apa pun. Dia terus menatap ke arah pintu. Begitu dia melihat sosok pria yang keluar dari balik pintu, Zola langsung tercengang.Zola tidak berani percaya. Dia segera mengeluarkan ponselnya dan membuka kameranya. Kemudian, dia mengarahkan kamera ke arah orang itu dan menggunakan mode zoom sampai maksimal. Setelah memastikan kalau dia tidak salah lihat, dia pun bergumam, “Kenapa dia?”Wajah Zola terlihat sangat serius dan kaget. “Siapa?” tanya Jeni.Sebelum Zola dapat menjawab, si sopir taksi bertanya, “Dik, kenapa yang keluar pria? Kamu nggak salah?”Jeni sedikit bingung, tapi dia segera menjawab, “Dia sengaja. Dia takut ketahuan sama aku dan aku dapatkan bukti. Sebenarnya pria atau pe
Zola mengerutkan kening. Matanya spontan melebar. Dia bahkan tidak berani bernapas. Kata-kata Mahendra membuat hati Zola langsung mencelos.Setelah mendengar Mahendra menutup telepon, Zola segera berjalan ke pojokan, lalu berdiri di sana cukup lama. Namun, dia tak kuasa menenangkan jantungnya yang masih berdetak kencang.Zola mendengar langkah kaki Mahendra keluar dari ruang pantry. Kemudian, Zola baru pergi ke toilet. Beberapa menit kemudian, dia baru keluar dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi, pikirannya dipenuhi dengan kata-kata yang Mahendra ucapkan barusan.Mahendra sedang bertelepon dengan siapa? Apakah dengan orang yang terlibat dalam insiden gedung runtuh? Apakah dalang di baliknya atau komplotan Mahendra?Zola memikirkan banyak hal, hingga dia merasa kepalanya seperti mengembang. Setelah keluar dari toilet, dia kembali ke kantornya. Baru saja masuk, dia melihat Mahendra ada di dalam. Begitu melihat Zola datang, Mahendra langsung bertanya, “Zola, kamu habis d
Zola mengirim pesan ke Jeni, “Masih tidur?”Jeni pasti tidur larut malam, jadi Zola tidak ingin mengganggunya. Jika Jeni tidak membalas pesannya, dia akan membiarkan Jeni istirahat di rumah. Hari ini tidak perlu pergi ke perusahaan. Siapa sangka, Jeni langsung membalas pesannya.“Nggak, baru saja selesai mandi. Kamu sudah bangun?” balas Jeni.“Iya, kalau begitu ayo ke sini sarapan.”Jeni pun membalas dengan satu kata oke. Beberapa menit kemudian, keduanya duduk berhadapan di meja makan.“La, aku pengen tanya sesuatu ke kamu,” kata Jeni.“Hmm?”“Kamu yang beritahu Boris soal mantan pacarmu?” tanya Jeni dengan hati-hati.Zola tertegun sejenak, lalu berkata, “Iya, aku yang beritahu.”“Jadi kamu sengaja bilang ke dia kalau alasan kamu menikah dengannya karena mantan pacarmu?”“Dia tanya sama kamu?”Jeni menganggukkan kepala. “Dia tanya sebenarnya siapa mantan pacarmu. Tapi kamu tenang saja, aku kasih jawaban ambigu. Jadi dia pasti nggak bisa tebak.”Jeni menceritakan percakapannya dengan B
Jeni tidak langsung menjawab. Sikap diam dan tercengangnya terlihat di mata Boris. Boris pun bertanya, “Kenapa? Ada sesuatu yang nggak bisa dikatakan?”“Kamu mau jawaban apa? Tentang siapa?”“Menurutmu?”Ekspresi wajah Boris tidak berubah. Dia menatap Jeni dengan acuh tak acuh, seolah sedang berkata kepada Jeni bukankah sudah jelas.Jeni mengerutkan bibirnya dan berkata, “Kamu ingin tahu soal apa?”“Sebenarnya siapa mantan pacar yang nggak pernah bisa dia lupakan itu?”Suara Boris berat dan serak, terdengar sedikit dingin. Kata-katanya membuat Jeni langsung diam tercengang.Mantan pacar Zola? Zola mana punya mantan pacar? Meskipun banyak orang yang mendekati Zola, Zola tidak pernah pacaran dengan pria lain. Bukankah di hati Zola hanya ada Boris?Jeni menatap Boris dengan bingung. Raut wajah dan sorot matanya seperti sedang bertanya, “Apakah kamu yakin ingin tanya soal mantan pacar Zola?”Boris memperhatikan sorot mata Jeni. Dia mengira Jeni merasa serba salah, jadi tidak tahu harus ber
“Kamu nggak tidur?”“Aku duduk sebentar, takut Tedy menggila.”Boris menundukkan kepalanya dan menyalakan sebatang rokok. Zola tahu kalau pria itu sedang dalam suasana hati yang buruk. Boris tidak hanya merokok, juga minum alkohol. Sejak tahu Zola hamil, Boris hampir tidak pernah merokok di depan Zola.Zola berdiri diam di tempat sambil menatap Boris dengan lekat. Suasana ruang tamu sangat sunyi, saking sunyinya mereka seolah bisa mendengar jelas suara napas satu sama lain.Boris menatap Zola dari balik asap putih. “Kenapa kamu nggak masuk ke kamar dan tidur?”“Boris, kamu marah sama aku, ya?”“Mana mungkin.” jawab Boris dengan acuh tak acuh.Jawaban Boris bukanlah “tidak” yang tegas, melainkan “mana mungkin”. Kalau bukan marah, apa namanya?Zola mengerutkan bibirnya dan berkata, “Aku sudah katakan berkali-kali. Aku nggak punya perasaan lain terhadap Mahendra. Juga nggak akan pernah ada. Baik itu dulu, sekarang atau di masa depan, nggak akan pernah ada.”“Kamu begitu yakin dengan sesua
Boris menyipitkan mata, seperti kebingungan. Raut wajahnya tidak selembut biasanya. Boleh dibilang, sorot matanya agak dingin.Boris bersandar pada sofa dan membuka dua kancing kemejanya, memperlihatkan dadanya yang putih.“Mungkin dia ikut aku naik. Tapi aku rasa masalah ini harus diserahkan ke Jeni, biar dia tangani sendiri. Tedy mabuk. Kalau kita usir dia dan terjadi sesuatu padanya, siapa yang akan tanggung jawab? Selain itu, sudah jam segini. Sopir dan sekretarisnya pasti sudah tidur. Suruh mereka datang juga akan makan waktu lama. Jadi kamu mending suruh Jeni bawa dia masuk saja.”Semakin lama Zola mendengarkan Boris bicara, dia semakin mengerutkan kening. “Kamu bisa bawa dia ke hotel terdekat, nggak? Dengar dari suara Jeni, dia cukup frustrasi. Bagaimanapun juga, Tedy orang yang punya tunangan. Nggak baik kalau sampai tersebar ....”“Kamu perhatian sekali sama Jeni. Kamu perhatikan sampai detail setiap masalahnya.” Boris berkata dengan acuh tak acuh. Usai berkata, dia berdiri da
Keduanya langsung terdiam. Kemudian, mereka membawa Tedy ke dalam lift tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Keempat orang itu berdiri di dalam lift, suasananya terasa agak aneh. Untung saja, saat ini sudah larut malam bahkan menjelang subuh. Jadi tidak ada siapa-siapa. Kalau tidak, mereka mungkin akan dikira penjahat atau apa pun itu.Setelah sampai di lantai tujuan, Boris menunjuk ke pintu di seberang unitnya. “Jeni tinggal di sana. Bilang padanya, kalau dia mau cari Jeni, ketuk pintu saja.”Usai berkata, Boris berbalik dan membuka pintu di depannya lalu langsung masuk. Sandy hanya bisa menghela napas tak berdaya.“Siapa yang suruh kamu provokasi dia,” kata Sandy kepada TedySetelah itu, Sandy menunjuk ke pintu di seberang dan mulai mencuci otak Tedy dengan gila-gilaan. Dia terus berkata kalau Tedy ingin bertemu Jeni, langsung ketuk pintu saja.Tedy yang minum terlalu banyak benar-benar sudah mabuk hingga menjadi linglung. Begitu mendengar nama Jeni, dia pun semakin menggila. Setelah m
Usai berkata, Boris mengalihkan pandangannya ke dua orang lainnya. Keduanya tidak berdaya, pada akhirnya hanya bisa mengangguk dan menyetujui kata-kata Boris.Tedy mengambil gelas dan menghabiskan minumannya dalam satu tegukan. Alkohol yang panas menyengat mengalir ke dalam tenggorokannya, tapi tidak bisa membuat hatinya mati rasa.Sementara itu, Sandy dan Rendi langsung pura-pura tidak tahu apa-apa dan segera membuang muka. Karena mereka takut Boris juga akan mengatai mereka.Kata-kata yang Boris ucapkan membuat suasana di dalam ruangan menjadi hening mencekam. Awalnya hanya dia sendiri yang minum, tapi sekarang ada dua orang. Sepertinya yang kedua lebih banyak minum.Mereka berada di klub hingga menjelang subuh. Boris minum beberapa gelas, tapi dia tidak mabuk. Yang mabuk justru Tedy. Mulutnya terus komat-kamit, terus berteriak ingin pergi mencari Jeni.Akan tetapi, tidak ada yang menanggapi kata-kata Tedy. Sandy dan Rendi memapahnya. Sopir membawa mobil ke depan pintu masuk, lalu me