Zola menatap lelaki itu dan tanpa menunggu jawaban dari Zola, Jeni langsung menutup pintunya. Dia mengunci Boris di depan pintu begitu saja.“Pak Boris, sebaiknya kamu segera pergi. Kalau sampai masuk berita utama, Bu Tyara itu pasti akan diserang lagi.”Zola tidak bisa menahan tawanya. Jeni meliriknya dan menarik perempuan itu ke ruang tamu sambil berkata, “Semua orang sudah membicarakan kalau kalian berdua sudah cerai dan dia masih nggak mengerti untuk menjaga jarak.”“Di saat seperti ini masih mau tetap berhubungan dengan Tyara. Menurutmu, dia nggak mau cerai tetapi nggak mau melepaskan Tyara. Apakah dia sengaja ingin membuatmu marah?”“Apakah kamu nggak terbalik? Kamu nggak boleh memutar balikkan fakta karena kamu temanku. Jelas-jelas dia sengaja membuat Tyara marah dengan menggunakan aku.”Zola tersenyum masam dan tidak menyampaikan kepiluan hatinya. Jeni hanya menghela napas dan memeluk pundak teman baiknya itu dan bergumam, “Menangislah, setelah itu semuanya akan baik-baik saja.
Boris tidak mengeluarkan pendapat apa pun dan hanya berkata, “Kamu yakin ini hanya mau menagih bayarannya saja?”“Memangnya apa lagi?”“Cih! Asal kamu jangan terjebak dalam permainanmu sendiri.”“Boris, kamu boleh saja meremehkanku, tapi kamu nggak boleh meragukanku.”“Setelah menuntut keadilan? Mau menggunakan cara yang sama untuk meninggalkannya atau tetap menahannya di sisimu? Menurutmu, keluarga Jardi akan setuju?”“Tenang saja, aku tahu batasannya.”Boris hanya menatapnya penuh arti dan yakin suatu hari nanti Tedy akan terjebak. Topik tersebut tidak berlangsung lama. Tedy menuangkan setengah gelas lagi dan mengayunkan minumannya sambil bertanya,“Boris, ulang tahun sudah dekat, kamu berencana merayakannya seperti apa?”Lelaki itu melirik Tedy sekilas denagn sorot dingin dan datar. Pada akhirnya, dia tidak berkata apa-apa. Jika bukan Tedy yang mengingatkan ulang tahunnya, dia juga tidak akan tahu ulang tahunnya akan tiba.Tahun lalu ulang tahunnya disiapkan oleh Zola dan juga Tedy
Keesokan harinya, Zola dan Jeni bangun dan bersih-bersih. Setelah selesai sarapan, mereka berangkat ke kantor bersama.Jeni dan Zola memiliki penampilan yang sangat berbeda. Zola memiliki sikap lembut dan anggun serta bijak, tetapi di dalam dirinya tersembunyi sisi jahat yang hanya diketahui sedikit orang saja dan yang memiliki kekuatan batin besar.Kebalikannya dengan Jeni yang memberikan kesan pertama bahwa dia adalah wanita cantik yang lincah dan semangat. Namun, sebenarnya dia memiliki perasaan yang sensitif dan rapuh.Meski Jeni baru pertama kali ke kantor, dia sudah bisa langsung akrab dengan Caca dan yang lainnya. Hubungan mereka sangat harmonis dan semua orang sangat menyukainya. Satu-satunya kekurangan dia adalah terlalu banyak berbicara. Dia terus menarik orang untuk berbincang sehingga Zola hanya bisa menariknya ke dalam ruangan.“Kamu diamlah, orang-orang masih harus kerja. Karena kamu, mereka semua harus lembur.”“Bukannya aku mau buat mereka benar-benar setia denganmu.”“
“Jeni,” ujar Zola sambil mengernyitkan keningnya.“Iya, aku nggak bicara lagi,” ujar Jeni.Zola menatap Mahendra dan berkata, “Jeni nggak bermaksud apa-apa.”“Aku mengerti maksud Jeni, aku yang terlalu melebihi batas. Aku hanya berpikir, kalau kita adalah mitra kerja, maka semua urusan perusahaan harus ditanggung bersama juga. Bahkan jika posisinya dibalik, aku yakin kamu juga nggak akan membiarkan aku yang menanggung semuanya sendiri,” jawab Mahendra.Setelah Mahendra mengatakannya, Zola juga ikut mengangguk setuju. Lelaki itu juga tidak tinggal lebih lama. Dia meninggalkan ruangan itu dengan raut keruh.Zola dan Jeni saling berpandangan sejenak. Ada banyak emosi di kedua mata mereka. Jeni berkata dengan perlahan, “Aku mengatakan sesuatu yang salah?”“Baguslah kalau kau tahu,” sahut Zola sambil meliriknya. Kemudian dia kembali ke meja kerjanya. Tentu saja dia tidak benar-benar marah pada Jeni. Ada baiknya juga, setidaknya Mahendra bisa mengerti hubungan mereka hanya sebatas teman dan
Suara dingin lelaki itu dipenuhi amarah dan emosi. Zola tidak berbicara lagi dan langsung membuka pintu mobil. Suasana di dalam mobil terasa sunyi dan dingin. Udara yang dipenuhi aroma maskulin serta sedikit tembakau justru memberikan kesan unik yang hanya dimiliki olehnya sendiri.Suasana tersebut berlalu beberapa detik dalam keheningan. Lelaki itu menatapnya dengan penuh arti dan berkata, “Zola, kalau aku nggak bicara seperti, apakah kamu berniat untuk terus menghindar dariku?”“Bagaimana mungkin? Urusan perceraian perlu kedua belah pihak untuk hadir. Jadi mana mungkin aku nggak mungkin bertemu denganmu?”“Cih! Sekarang kamu selalu bahas perceraian setiap kali berbicara, ya?” Kening lelaki itu berkerut dan nadanya menjadi lebih berat tanpa dia sadari.“Boris, aku hanya menjawab sesuai dengan pertanyaanmu,” jawab Zola.“Kamu yakin mau berbicara denganku dengan sikap seperti ini terus?”“Aku nggak tahu harus bersikap seperti apa. Boris, kalau kamu tahu, bagaimana kalau kamu mengajariku
Dia tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa menggigit bibir lelaki itu. Zola mendengar napas lelaki itu terdengar kasar, tetapi Boris tetap tidak menjauhkan pagutannya. Lelaki itu hanya berhenti sejenak kemudian melanjutkan kembali kecupannya. Zola membelalakkan matanya karena tidak pernah merasa jika Boris begitu tidak masuk akal. Ruang di dalam mobil yang sudah sempit menjadi semakin sempit karena lelaki itu menghimpitnya. Udara di sekeliling mereka naik secara perlahan dengan aroma lelaki itu yang memenuhi seluruh rongga penciumannya. Tidak tahu berapa lama terlewati, ponsel Boris berdering dan memaksanya untuk berhenti. Namun, posisi lelaki itu masih bersandar pada Zola dan tidak mau menjauh. Lelaki itu menerima teleponnya dan mendengarnya. Suara seorang perempuan terdengar dalam keheningan. “Boris, kamu sudah selesai? Orang tuaku mau mengajakmu makan. Apakah kamu bisa?” Mata Zola menegang dan emosi di hatinya seketika memuncak. Detik selanjutnya, dia mendorong Boris dengan k
Apakah Boris ada memberi tahu dia? Tidak ada. Zola menggigit bibirnya. Namun, tindakan lelaki bukankah sudah menunjukkan semuanya? Jeni seperti memahami apa yang ada dalam pikiran Zola. Dia berkata, “Zola, bukannya kamu selalu percaya dengan apa yang kamu lihat dan dengar secara langsung? Apakah karena itu Boris, kamu kehilangan kemampuan untuk menilai seseorang secara rasional?” Dia menatap Jeni sambil mengerjapkan matanya yang terlihat kosong. Namun, dalam hatinya sendiri sudah ada jawabannya. Bibirnya mengulas senyum tipis dan berkata, “Aku mengerti.” “Baguslah kalau kamu mengerti. Jadi, sekarang kita mau ke mana?” “Ayo, aku bawa kamu pergi makan.” Zola membuka aplikasi navigasi dan memasukkan nama tempat makan. Jeni bertugas untuk menyetir ke arah yang dituju. Hari ini Zola memesan Restoran Yirna yang merupakan restoran kelas atas di Kota Binru. Hidangannya juga sangat unik dan juga lezat. Bahkan Boris yang pemilih saja bisa merasa puas dengan makanan di sini. Zola meminta se
Di bawah bujukan Tedy, akhirnya Zola setuju. Mereka pernah menjadi suami istri, hanya ulang tahun saja sepertinya keterlaluan jika dia tidak mau merayakannya. Dia menatap Zola sambil mengangguk senang. “Kalau begitu, kita putuskan seperti itu. Nanti kita berangkat sehari sebelumnya. Kita tukaran kontak saja agar bisa saling berkabar jika ada apa-apa.” Setelah itu Zola pergi. Tedy tetap berdiri di tempatnya hingga sosok perempuan itu menghilang. Setelah itu dia baru menghubungi sebaris nomor dan terdengar suara seorang lelaki yang berkata, “Katakan.” “Boris, sikapmu padaku sepertinya terlalu dingin.” “Kalau nggak akan kumatikan.” “Jangan, coba kamu tebak aku barusan bertemu siapa?” Boris diam saja karena tidak tertarik dengan pertanyaan teka-teki seperti ini. Dengan dingin dia berkata, “Jangan basa-basi.” Tedy bisa mendengar nada tidak sabar lelaki itu. Dia tidak lanjut bercanda dan berkata, “Aku barusan ketemu Zola. Aku bilang sama dia tentang ulang tahunmu.” “Dia bilang apa?”
Zola mengerutkan bibirnya. Otaknya terus memikirkan apa yang baru saja Jeni katakan. Mahendra begitu hati-hati, bahkan polisi pun tidak berhasil menemukan petunjuk setelah melakukan penyelidikan selama berhari-hari. Lantas, mengapa Zola bisa tahu? Apakah ini hanya kebetulan? Ataukah karena Zola memang lebih beruntung?Semakin Zola memikirkannya, perasaannya semakin gelisah. Bagaimanapun juga, dia baru pertama kali mengikuti Mahendra, tapi sudah membuat kemajuan begitu besar. Rasanya sulit dipercaya.“Kita pulang saja,” kata Zola.Tidak ada gunanya terus mengikut. Sekarang Zola tidak yakin apakah Mahendra curiga kalau Zola mengikutinya. Jika Mahendra benar-benar curiga, tapi sengaja mengungkapkan semuanya kepada Zola, lalu apa maksud Mahendra? Apakah Mahendra ingin Zola memberitahu Boris?Zola tenggelam dalam rasa bingung dan tidak dapat menemukan jawaban. Setelah kembali ke perusahaan, Zola langsung pergi ke kantornya. Dia merasa lelah, pinggangnya juga sakit. Jadi, dia langsung baring
Setelah Jeni selesai bicara dengan sopir taksi, Zola juga melihat pintu belakang lokasi konstruksi terbuka. Setelah kejadian gedung runtuh, Zola dan Boris juga masuk ke tempat kejadian melalui pintu itu.Zola mengerutkan kening, bahkan tidak berani mengedipkan matanya. Seolah dia takut melewatkan petunjuk apa pun. Dia terus menatap ke arah pintu. Begitu dia melihat sosok pria yang keluar dari balik pintu, Zola langsung tercengang.Zola tidak berani percaya. Dia segera mengeluarkan ponselnya dan membuka kameranya. Kemudian, dia mengarahkan kamera ke arah orang itu dan menggunakan mode zoom sampai maksimal. Setelah memastikan kalau dia tidak salah lihat, dia pun bergumam, “Kenapa dia?”Wajah Zola terlihat sangat serius dan kaget. “Siapa?” tanya Jeni.Sebelum Zola dapat menjawab, si sopir taksi bertanya, “Dik, kenapa yang keluar pria? Kamu nggak salah?”Jeni sedikit bingung, tapi dia segera menjawab, “Dia sengaja. Dia takut ketahuan sama aku dan aku dapatkan bukti. Sebenarnya pria atau pe
Zola mengerutkan kening. Matanya spontan melebar. Dia bahkan tidak berani bernapas. Kata-kata Mahendra membuat hati Zola langsung mencelos.Setelah mendengar Mahendra menutup telepon, Zola segera berjalan ke pojokan, lalu berdiri di sana cukup lama. Namun, dia tak kuasa menenangkan jantungnya yang masih berdetak kencang.Zola mendengar langkah kaki Mahendra keluar dari ruang pantry. Kemudian, Zola baru pergi ke toilet. Beberapa menit kemudian, dia baru keluar dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi, pikirannya dipenuhi dengan kata-kata yang Mahendra ucapkan barusan.Mahendra sedang bertelepon dengan siapa? Apakah dengan orang yang terlibat dalam insiden gedung runtuh? Apakah dalang di baliknya atau komplotan Mahendra?Zola memikirkan banyak hal, hingga dia merasa kepalanya seperti mengembang. Setelah keluar dari toilet, dia kembali ke kantornya. Baru saja masuk, dia melihat Mahendra ada di dalam. Begitu melihat Zola datang, Mahendra langsung bertanya, “Zola, kamu habis d
Zola mengirim pesan ke Jeni, “Masih tidur?”Jeni pasti tidur larut malam, jadi Zola tidak ingin mengganggunya. Jika Jeni tidak membalas pesannya, dia akan membiarkan Jeni istirahat di rumah. Hari ini tidak perlu pergi ke perusahaan. Siapa sangka, Jeni langsung membalas pesannya.“Nggak, baru saja selesai mandi. Kamu sudah bangun?” balas Jeni.“Iya, kalau begitu ayo ke sini sarapan.”Jeni pun membalas dengan satu kata oke. Beberapa menit kemudian, keduanya duduk berhadapan di meja makan.“La, aku pengen tanya sesuatu ke kamu,” kata Jeni.“Hmm?”“Kamu yang beritahu Boris soal mantan pacarmu?” tanya Jeni dengan hati-hati.Zola tertegun sejenak, lalu berkata, “Iya, aku yang beritahu.”“Jadi kamu sengaja bilang ke dia kalau alasan kamu menikah dengannya karena mantan pacarmu?”“Dia tanya sama kamu?”Jeni menganggukkan kepala. “Dia tanya sebenarnya siapa mantan pacarmu. Tapi kamu tenang saja, aku kasih jawaban ambigu. Jadi dia pasti nggak bisa tebak.”Jeni menceritakan percakapannya dengan B
Jeni tidak langsung menjawab. Sikap diam dan tercengangnya terlihat di mata Boris. Boris pun bertanya, “Kenapa? Ada sesuatu yang nggak bisa dikatakan?”“Kamu mau jawaban apa? Tentang siapa?”“Menurutmu?”Ekspresi wajah Boris tidak berubah. Dia menatap Jeni dengan acuh tak acuh, seolah sedang berkata kepada Jeni bukankah sudah jelas.Jeni mengerutkan bibirnya dan berkata, “Kamu ingin tahu soal apa?”“Sebenarnya siapa mantan pacar yang nggak pernah bisa dia lupakan itu?”Suara Boris berat dan serak, terdengar sedikit dingin. Kata-katanya membuat Jeni langsung diam tercengang.Mantan pacar Zola? Zola mana punya mantan pacar? Meskipun banyak orang yang mendekati Zola, Zola tidak pernah pacaran dengan pria lain. Bukankah di hati Zola hanya ada Boris?Jeni menatap Boris dengan bingung. Raut wajah dan sorot matanya seperti sedang bertanya, “Apakah kamu yakin ingin tanya soal mantan pacar Zola?”Boris memperhatikan sorot mata Jeni. Dia mengira Jeni merasa serba salah, jadi tidak tahu harus ber
“Kamu nggak tidur?”“Aku duduk sebentar, takut Tedy menggila.”Boris menundukkan kepalanya dan menyalakan sebatang rokok. Zola tahu kalau pria itu sedang dalam suasana hati yang buruk. Boris tidak hanya merokok, juga minum alkohol. Sejak tahu Zola hamil, Boris hampir tidak pernah merokok di depan Zola.Zola berdiri diam di tempat sambil menatap Boris dengan lekat. Suasana ruang tamu sangat sunyi, saking sunyinya mereka seolah bisa mendengar jelas suara napas satu sama lain.Boris menatap Zola dari balik asap putih. “Kenapa kamu nggak masuk ke kamar dan tidur?”“Boris, kamu marah sama aku, ya?”“Mana mungkin.” jawab Boris dengan acuh tak acuh.Jawaban Boris bukanlah “tidak” yang tegas, melainkan “mana mungkin”. Kalau bukan marah, apa namanya?Zola mengerutkan bibirnya dan berkata, “Aku sudah katakan berkali-kali. Aku nggak punya perasaan lain terhadap Mahendra. Juga nggak akan pernah ada. Baik itu dulu, sekarang atau di masa depan, nggak akan pernah ada.”“Kamu begitu yakin dengan sesua
Boris menyipitkan mata, seperti kebingungan. Raut wajahnya tidak selembut biasanya. Boleh dibilang, sorot matanya agak dingin.Boris bersandar pada sofa dan membuka dua kancing kemejanya, memperlihatkan dadanya yang putih.“Mungkin dia ikut aku naik. Tapi aku rasa masalah ini harus diserahkan ke Jeni, biar dia tangani sendiri. Tedy mabuk. Kalau kita usir dia dan terjadi sesuatu padanya, siapa yang akan tanggung jawab? Selain itu, sudah jam segini. Sopir dan sekretarisnya pasti sudah tidur. Suruh mereka datang juga akan makan waktu lama. Jadi kamu mending suruh Jeni bawa dia masuk saja.”Semakin lama Zola mendengarkan Boris bicara, dia semakin mengerutkan kening. “Kamu bisa bawa dia ke hotel terdekat, nggak? Dengar dari suara Jeni, dia cukup frustrasi. Bagaimanapun juga, Tedy orang yang punya tunangan. Nggak baik kalau sampai tersebar ....”“Kamu perhatian sekali sama Jeni. Kamu perhatikan sampai detail setiap masalahnya.” Boris berkata dengan acuh tak acuh. Usai berkata, dia berdiri da
Keduanya langsung terdiam. Kemudian, mereka membawa Tedy ke dalam lift tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Keempat orang itu berdiri di dalam lift, suasananya terasa agak aneh. Untung saja, saat ini sudah larut malam bahkan menjelang subuh. Jadi tidak ada siapa-siapa. Kalau tidak, mereka mungkin akan dikira penjahat atau apa pun itu.Setelah sampai di lantai tujuan, Boris menunjuk ke pintu di seberang unitnya. “Jeni tinggal di sana. Bilang padanya, kalau dia mau cari Jeni, ketuk pintu saja.”Usai berkata, Boris berbalik dan membuka pintu di depannya lalu langsung masuk. Sandy hanya bisa menghela napas tak berdaya.“Siapa yang suruh kamu provokasi dia,” kata Sandy kepada TedySetelah itu, Sandy menunjuk ke pintu di seberang dan mulai mencuci otak Tedy dengan gila-gilaan. Dia terus berkata kalau Tedy ingin bertemu Jeni, langsung ketuk pintu saja.Tedy yang minum terlalu banyak benar-benar sudah mabuk hingga menjadi linglung. Begitu mendengar nama Jeni, dia pun semakin menggila. Setelah m
Usai berkata, Boris mengalihkan pandangannya ke dua orang lainnya. Keduanya tidak berdaya, pada akhirnya hanya bisa mengangguk dan menyetujui kata-kata Boris.Tedy mengambil gelas dan menghabiskan minumannya dalam satu tegukan. Alkohol yang panas menyengat mengalir ke dalam tenggorokannya, tapi tidak bisa membuat hatinya mati rasa.Sementara itu, Sandy dan Rendi langsung pura-pura tidak tahu apa-apa dan segera membuang muka. Karena mereka takut Boris juga akan mengatai mereka.Kata-kata yang Boris ucapkan membuat suasana di dalam ruangan menjadi hening mencekam. Awalnya hanya dia sendiri yang minum, tapi sekarang ada dua orang. Sepertinya yang kedua lebih banyak minum.Mereka berada di klub hingga menjelang subuh. Boris minum beberapa gelas, tapi dia tidak mabuk. Yang mabuk justru Tedy. Mulutnya terus komat-kamit, terus berteriak ingin pergi mencari Jeni.Akan tetapi, tidak ada yang menanggapi kata-kata Tedy. Sandy dan Rendi memapahnya. Sopir membawa mobil ke depan pintu masuk, lalu me