Zola tidak bicara, maka Boris menganggapnya sebagai jawaban iya. Suasana di antara keduanya pun menjadi kian dingin. Boris bahkan memberi peringatan kepada Zola.“Zola, kamu dengar baik-baik. Kalau dia berani datang cari kamu lagi, dan kamu berani berduaan dengannya lagi, aku pasti akan tendang dia keluar dari Kota Binru!”Usai berkata, Boris sudah berbalik dan kembali ke kamar. Zola hanya berdiri tercengang di tempat. Dia benar-benar merasa frustrasi. Kenapa Boris tidak merasa ada yang salah ketika dia dekat dengan Tyara, sedangkan dia malah tidak boleh dekat dengan siapa pun. Pertama Mahendra, lalu Jeffry.Boris begitu mendominasi, tidak mengizinkan Zola terlalu banyak interaksi dengan mereka. Bahkan meminta Zola menjaga jarak dengan mereka. Apakah karena sudah menikah, Zola tidak boleh punya satu pun teman lawan jenis?Zola menarik napas dalam-dalam. Dia bersandar di sofa dan menatap ke luar jendela dengan tatapan kosong. Entah berapa lama waktu berlalu, ponsel di atas meja sofa tib
Zola mengerutkan alis. “Kamu terlalu banyak berpikir. Aku hanya mau keluar jalan-jalan santai sebentar. Aku sudah di rumah selama dua hari tanpa melakukan apa pun.”Zola boleh saja tidak berolahraga, tapi janin dalam perutnya perlu cari angin segar supaya suasana hati yang baik tetap terjaga. Tentu saja, Zola tidak akan memberitahu hal itu pada Boris.Boris memperhatikan ekspresi dan tatapan mata Zola. Pada detik berikutnya, dia baru menjawab, “Kalau begitu pergi saja.”Zola menarik kembali tatapannya. Kemudian, dia membuka pintu dan keluar. Di luar dugaannya, Boris ternyata ikut keluar dan menutup pintu lebih dulu darinya.Zola menatapnya dengan bingung. Belum sempat berkata apa-apa, dia mendengar suara berat pria itu. “Bukannya mau jalan-jalan? Ayo.”“....”Zola masih berdiri diam sambil mengerutkan kening. Boris sudah berjalan ke depan lift dan menekan tombol pintu lift.Zola berjalan pelan-pelan ke arah pria itu dan berdiri di sampingnya. “Kamu mau pergi juga?” tanya Zola dengan su
Boris mengerutkan kening, sorot matanya dipenuhi dengan rasa tidak senang. “Hanya itu yang ingin kamu katakan padaku?”“....”Zola menatap Boris sambil tercengang sejenak. Kemudian, dia mendengar pria itu berkata lagi, “Nggak ada yang ingin kamu katakan padaku lagi? Kamu nggak perhatikan apa yang baru saja terjadi?”Apa yang terjadi? Boris diincar seseorang? Wajah Zola begitu tenang, hampir tidak ada gejolak emosi apa pun. Nada bicaranya juga sangat tenang.“Lantas kenapa kalau aku perhatikan? Aku nggak bisa kendalikan pikiran orang lain. Bagaimanapun, setiap orang punya rasa suka.”Boris merasa sarafnya seperti busur yang direntangkan sampai batasnya dan bisa patah kapan saja. Raut wajahnya menjadi muram. Suaranya juga menjadi sangat dingin.“Jadi sebagai seorang istri, kamu sama sekali nggak bereaksi saat ada perempuan lain mau minta nomor telepon suamimu langsung di depanmu?”Zola tersenyum. “Boris, apa yang kamu ingin aku lakukan? Debat dengannya? Atau peringatkan dia supaya jangan
“Nggak keluar setiap hari. Cuma dua kali. Lagi pula, belum terlalu malam juga,” kata Zola.“Kamu tahu nggak keluar sendirian jam segini sangat berbahaya? Mulai sekarang kamu nggak boleh pergi lagi jam segini.”Zola tidak berkata apa-apa. Dia hanya sibuk mengeluarkan isi belanjaannya dari dalam kantong dan menaruhnya di kulkas. Boris tidak senang karena sikap Zola. Dia langsung pergi menutup pintu kulkas, lalu menekan tubuh Zola ke pintu kulkas. “Zola, aku sedang bicara denganmu. Dengar, nggak?”Jarak keduanya begitu dekat. Zola terkejut. Dia mendongakkan kepala untuk menatapnya, mendapati mata dan wajah tampan pria itu sedang memancarkan aura tidak ingin dibantah.“Zola, jawab aku!” Boris mengulangi perkataannya lagi.Zola baru menjawab, “Iya, tahu.”Usai menjawab, Zola mendorong Boris menjauh darinya. Apakah pria itu tidak tahu kalau berada sedekat itu rasanya gerah dan tidak nyaman? Terutama saat Zola bisa merasakan dengan jelas napas satu sama lain. Itu membuat tubuhnya menjadi tega
Ada makna kuat yang tersirat dalam kata-katanya. Setelah tertegun sejenak, pipi Zola seketika memanas. Tanpa sadar dia langsung menahan dada Boris, tapi sepertinya usahanya itu sama sekali tidak berpengaruh.Zola diam-diam mengatur pernapasan dan emosinya, lalu berkata dengan tenang, “Sebenarnya kamu mau apa?”“Aku nggak melakukan apa pun. Kamu nggak mau cium aku, memangnya kamu juga nggak izinkan aku berdiri di sini?”Boris tersenyum lembut. Zola juga sudah mengerti sepenuhnya. Boris memang tidak mengancamnya dengan kata-kata, melainkan dengan tindakan. Zola menarik napas dalam-dalam, lalu berjinjit dan langsung mencium bibirnya.Bibir Zola agak dingin. Dia hanya mengecup sebentar dan hendak pergi. Namun, mata Boris menyipit ketika melihat Zola yang akhirnya mengambil inisiatif. Wajahnya yang tampan dipenuhi dengan emosi yang hangat. Kemudian, dia langsung mengambil kendali dan menempelkan bibirnya ke bibir Zola lagi.Ciuman kali ini berlangsung sangat lama. Boris baru mengakhiri cium
Zola memasukkan gumpalan itu ke dalam sakunya dengan tenang. Kemudian, dia meninggalkan kamar dengan membawa buku catatannya, lalu memasukkan buku itu ke dalam tasnya.Setelah itu, Zola bersikap tenang dengan raut wajah datar, tapi sorot matanya jelas terlihat dingin. Dia menunggu hingga Boris bangun, lalu keduanya duduk berhadapan di meja makan untuk sarapan.Boris melirik Zola sekilas dan berkata, “Kamu bangun pagi sekali? Kenapa nggak tidur lebih lama?”“Nanti mau ke perusahaan.”“Bukannya semalam bilang capek? Istirahat beberapa hari dulu saja.”“Kamu nggak perlu ke perusahaan?” Zola tidak menjawab, malah bertanya balik.Boris mengerutkan kening. “Nanti Jesse datang jemput aku. Nanti sore ada acara makan bersama.”“Hmm, oke.” Zola menghabiskan seteguk susu terakhir. Kemudian, dia mengambil tisu dan menyeka mulutnya. Dia melihat ke arah Boris dan berkata, “Kalau begitu aku bantu kemas pakaianmu. Nanti kamu bawa pergi sekalian.”Raut wajah Boris seketika menjadi dingin. Dia meletakka
Akan tetapi, Zola justru sangat peduli dengan hal-hal detail. Jelas-jelas Boris tahu Zola akan khawatir dan bersalah, tapi Boris tetap melakukannya. Pria itu memilih tidak minum obat dan membiarkan dirinya terus demam demi membuat Zola merasa bersalah.Zola bersikukuh dan berkata lagi, “Boris, sebenarnya perceraian baik untuk kita berdua. Kamu bisa menikah dengan Tyara dan aku bisa bebas.”“Kamu buat pertimbangan seperti itu untukku, apakah aku harus berterima kasih padamu?” tukas Boris dengan sinis.“Bukan tentang berterima kasih, hanya saling memenuhi keinginan satu sama lain.”“Kamu pikir kalau sudah cerai aku bisa nikahi Tyara. Lantas bagaimana denganmu? Setelah cerai, kamu akan nikah dengan siapa? Mahendra atau Jeffry?”“Kenapa setelah cerai aku harus menikah lagi? Aku merasa sendiri lebih baik.”“Huh.” Boris menatapnya dengan wajah penuh amarah. “Jadi kamu bersikeras mau cerai?”“Iya.”“Kalau begitu tunjukkan ketulusanmu. Kalau nggak, kenapa aku harus ikuti permintaanmu?” Usai be
Zola mengetik isinya sesuai dengan Surat Pernyataan Cerai yang diberikan Boris yang masih ada dalam ingatannya. Kemudian, dia mencetak surat itu dan membubuhkan tanda tangan serta namanya.Saat nama Zola Leonarto tertulis rapi di bawah tanda tangan orang yang menandatangi surat, Zola tahu itu artinya pernikahannya juga akan segera berakhir. Namun, semua sudah mencapai titik ini. Dia harus terus melihat ke depan, tidak boleh ragu-ragu juga tidak boleh goyah.Zola memasukkan surat itu ke dalam amplop dan mengirimkannya menggunakan kurir ke kantor CEO Morrison Group dan harus diterima oleh Boris sendiri. Usai melakukan semua itu, Zola merasa lemas tak bertenaga. Kedua matanya tampak kosong. Wajah cantiknya juga tidak memiliki ekspresi apa pun.Zola pikir dirinya sudah siap mental dan tidak akan merasakan apa pun lagi, tapi saat ini hatinya masih sangat sakit. Dia memberitahu secara langsung kepada pria yang paling dia cintai kalau dia mau cerai. Hanya Langit yang tahu betapa tersiksanya Z
Zola mengerutkan bibirnya. Otaknya terus memikirkan apa yang baru saja Jeni katakan. Mahendra begitu hati-hati, bahkan polisi pun tidak berhasil menemukan petunjuk setelah melakukan penyelidikan selama berhari-hari. Lantas, mengapa Zola bisa tahu? Apakah ini hanya kebetulan? Ataukah karena Zola memang lebih beruntung?Semakin Zola memikirkannya, perasaannya semakin gelisah. Bagaimanapun juga, dia baru pertama kali mengikuti Mahendra, tapi sudah membuat kemajuan begitu besar. Rasanya sulit dipercaya.“Kita pulang saja,” kata Zola.Tidak ada gunanya terus mengikut. Sekarang Zola tidak yakin apakah Mahendra curiga kalau Zola mengikutinya. Jika Mahendra benar-benar curiga, tapi sengaja mengungkapkan semuanya kepada Zola, lalu apa maksud Mahendra? Apakah Mahendra ingin Zola memberitahu Boris?Zola tenggelam dalam rasa bingung dan tidak dapat menemukan jawaban. Setelah kembali ke perusahaan, Zola langsung pergi ke kantornya. Dia merasa lelah, pinggangnya juga sakit. Jadi, dia langsung baring
Setelah Jeni selesai bicara dengan sopir taksi, Zola juga melihat pintu belakang lokasi konstruksi terbuka. Setelah kejadian gedung runtuh, Zola dan Boris juga masuk ke tempat kejadian melalui pintu itu.Zola mengerutkan kening, bahkan tidak berani mengedipkan matanya. Seolah dia takut melewatkan petunjuk apa pun. Dia terus menatap ke arah pintu. Begitu dia melihat sosok pria yang keluar dari balik pintu, Zola langsung tercengang.Zola tidak berani percaya. Dia segera mengeluarkan ponselnya dan membuka kameranya. Kemudian, dia mengarahkan kamera ke arah orang itu dan menggunakan mode zoom sampai maksimal. Setelah memastikan kalau dia tidak salah lihat, dia pun bergumam, “Kenapa dia?”Wajah Zola terlihat sangat serius dan kaget. “Siapa?” tanya Jeni.Sebelum Zola dapat menjawab, si sopir taksi bertanya, “Dik, kenapa yang keluar pria? Kamu nggak salah?”Jeni sedikit bingung, tapi dia segera menjawab, “Dia sengaja. Dia takut ketahuan sama aku dan aku dapatkan bukti. Sebenarnya pria atau pe
Zola mengerutkan kening. Matanya spontan melebar. Dia bahkan tidak berani bernapas. Kata-kata Mahendra membuat hati Zola langsung mencelos.Setelah mendengar Mahendra menutup telepon, Zola segera berjalan ke pojokan, lalu berdiri di sana cukup lama. Namun, dia tak kuasa menenangkan jantungnya yang masih berdetak kencang.Zola mendengar langkah kaki Mahendra keluar dari ruang pantry. Kemudian, Zola baru pergi ke toilet. Beberapa menit kemudian, dia baru keluar dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi, pikirannya dipenuhi dengan kata-kata yang Mahendra ucapkan barusan.Mahendra sedang bertelepon dengan siapa? Apakah dengan orang yang terlibat dalam insiden gedung runtuh? Apakah dalang di baliknya atau komplotan Mahendra?Zola memikirkan banyak hal, hingga dia merasa kepalanya seperti mengembang. Setelah keluar dari toilet, dia kembali ke kantornya. Baru saja masuk, dia melihat Mahendra ada di dalam. Begitu melihat Zola datang, Mahendra langsung bertanya, “Zola, kamu habis d
Zola mengirim pesan ke Jeni, “Masih tidur?”Jeni pasti tidur larut malam, jadi Zola tidak ingin mengganggunya. Jika Jeni tidak membalas pesannya, dia akan membiarkan Jeni istirahat di rumah. Hari ini tidak perlu pergi ke perusahaan. Siapa sangka, Jeni langsung membalas pesannya.“Nggak, baru saja selesai mandi. Kamu sudah bangun?” balas Jeni.“Iya, kalau begitu ayo ke sini sarapan.”Jeni pun membalas dengan satu kata oke. Beberapa menit kemudian, keduanya duduk berhadapan di meja makan.“La, aku pengen tanya sesuatu ke kamu,” kata Jeni.“Hmm?”“Kamu yang beritahu Boris soal mantan pacarmu?” tanya Jeni dengan hati-hati.Zola tertegun sejenak, lalu berkata, “Iya, aku yang beritahu.”“Jadi kamu sengaja bilang ke dia kalau alasan kamu menikah dengannya karena mantan pacarmu?”“Dia tanya sama kamu?”Jeni menganggukkan kepala. “Dia tanya sebenarnya siapa mantan pacarmu. Tapi kamu tenang saja, aku kasih jawaban ambigu. Jadi dia pasti nggak bisa tebak.”Jeni menceritakan percakapannya dengan B
Jeni tidak langsung menjawab. Sikap diam dan tercengangnya terlihat di mata Boris. Boris pun bertanya, “Kenapa? Ada sesuatu yang nggak bisa dikatakan?”“Kamu mau jawaban apa? Tentang siapa?”“Menurutmu?”Ekspresi wajah Boris tidak berubah. Dia menatap Jeni dengan acuh tak acuh, seolah sedang berkata kepada Jeni bukankah sudah jelas.Jeni mengerutkan bibirnya dan berkata, “Kamu ingin tahu soal apa?”“Sebenarnya siapa mantan pacar yang nggak pernah bisa dia lupakan itu?”Suara Boris berat dan serak, terdengar sedikit dingin. Kata-katanya membuat Jeni langsung diam tercengang.Mantan pacar Zola? Zola mana punya mantan pacar? Meskipun banyak orang yang mendekati Zola, Zola tidak pernah pacaran dengan pria lain. Bukankah di hati Zola hanya ada Boris?Jeni menatap Boris dengan bingung. Raut wajah dan sorot matanya seperti sedang bertanya, “Apakah kamu yakin ingin tanya soal mantan pacar Zola?”Boris memperhatikan sorot mata Jeni. Dia mengira Jeni merasa serba salah, jadi tidak tahu harus ber
“Kamu nggak tidur?”“Aku duduk sebentar, takut Tedy menggila.”Boris menundukkan kepalanya dan menyalakan sebatang rokok. Zola tahu kalau pria itu sedang dalam suasana hati yang buruk. Boris tidak hanya merokok, juga minum alkohol. Sejak tahu Zola hamil, Boris hampir tidak pernah merokok di depan Zola.Zola berdiri diam di tempat sambil menatap Boris dengan lekat. Suasana ruang tamu sangat sunyi, saking sunyinya mereka seolah bisa mendengar jelas suara napas satu sama lain.Boris menatap Zola dari balik asap putih. “Kenapa kamu nggak masuk ke kamar dan tidur?”“Boris, kamu marah sama aku, ya?”“Mana mungkin.” jawab Boris dengan acuh tak acuh.Jawaban Boris bukanlah “tidak” yang tegas, melainkan “mana mungkin”. Kalau bukan marah, apa namanya?Zola mengerutkan bibirnya dan berkata, “Aku sudah katakan berkali-kali. Aku nggak punya perasaan lain terhadap Mahendra. Juga nggak akan pernah ada. Baik itu dulu, sekarang atau di masa depan, nggak akan pernah ada.”“Kamu begitu yakin dengan sesua
Boris menyipitkan mata, seperti kebingungan. Raut wajahnya tidak selembut biasanya. Boleh dibilang, sorot matanya agak dingin.Boris bersandar pada sofa dan membuka dua kancing kemejanya, memperlihatkan dadanya yang putih.“Mungkin dia ikut aku naik. Tapi aku rasa masalah ini harus diserahkan ke Jeni, biar dia tangani sendiri. Tedy mabuk. Kalau kita usir dia dan terjadi sesuatu padanya, siapa yang akan tanggung jawab? Selain itu, sudah jam segini. Sopir dan sekretarisnya pasti sudah tidur. Suruh mereka datang juga akan makan waktu lama. Jadi kamu mending suruh Jeni bawa dia masuk saja.”Semakin lama Zola mendengarkan Boris bicara, dia semakin mengerutkan kening. “Kamu bisa bawa dia ke hotel terdekat, nggak? Dengar dari suara Jeni, dia cukup frustrasi. Bagaimanapun juga, Tedy orang yang punya tunangan. Nggak baik kalau sampai tersebar ....”“Kamu perhatian sekali sama Jeni. Kamu perhatikan sampai detail setiap masalahnya.” Boris berkata dengan acuh tak acuh. Usai berkata, dia berdiri da
Keduanya langsung terdiam. Kemudian, mereka membawa Tedy ke dalam lift tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Keempat orang itu berdiri di dalam lift, suasananya terasa agak aneh. Untung saja, saat ini sudah larut malam bahkan menjelang subuh. Jadi tidak ada siapa-siapa. Kalau tidak, mereka mungkin akan dikira penjahat atau apa pun itu.Setelah sampai di lantai tujuan, Boris menunjuk ke pintu di seberang unitnya. “Jeni tinggal di sana. Bilang padanya, kalau dia mau cari Jeni, ketuk pintu saja.”Usai berkata, Boris berbalik dan membuka pintu di depannya lalu langsung masuk. Sandy hanya bisa menghela napas tak berdaya.“Siapa yang suruh kamu provokasi dia,” kata Sandy kepada TedySetelah itu, Sandy menunjuk ke pintu di seberang dan mulai mencuci otak Tedy dengan gila-gilaan. Dia terus berkata kalau Tedy ingin bertemu Jeni, langsung ketuk pintu saja.Tedy yang minum terlalu banyak benar-benar sudah mabuk hingga menjadi linglung. Begitu mendengar nama Jeni, dia pun semakin menggila. Setelah m
Usai berkata, Boris mengalihkan pandangannya ke dua orang lainnya. Keduanya tidak berdaya, pada akhirnya hanya bisa mengangguk dan menyetujui kata-kata Boris.Tedy mengambil gelas dan menghabiskan minumannya dalam satu tegukan. Alkohol yang panas menyengat mengalir ke dalam tenggorokannya, tapi tidak bisa membuat hatinya mati rasa.Sementara itu, Sandy dan Rendi langsung pura-pura tidak tahu apa-apa dan segera membuang muka. Karena mereka takut Boris juga akan mengatai mereka.Kata-kata yang Boris ucapkan membuat suasana di dalam ruangan menjadi hening mencekam. Awalnya hanya dia sendiri yang minum, tapi sekarang ada dua orang. Sepertinya yang kedua lebih banyak minum.Mereka berada di klub hingga menjelang subuh. Boris minum beberapa gelas, tapi dia tidak mabuk. Yang mabuk justru Tedy. Mulutnya terus komat-kamit, terus berteriak ingin pergi mencari Jeni.Akan tetapi, tidak ada yang menanggapi kata-kata Tedy. Sandy dan Rendi memapahnya. Sopir membawa mobil ke depan pintu masuk, lalu me