“Kalau begitu biarkan aku yang mendonorkan darahku. Kebetulan golongan darahku sama dengan Joice.” Semua orang di sana terkejut terutama Brianna kala mendengar ucapan Dean—yang memiliki golongan darah yang sama seperti Joice. Mereka semua terkejut sekaligus menatap penuh harapan. Kilat mata yang memancarkan rasa yang haru karena akhirnya ada golongan darah yang sama dengan Joice. “Dean, kau memiliki golongan darah yang sama dengan Joice?” tanya Selena seraya menatap Dean dengan tatapan begitu berharap. Dean mengangguk singkat. “Iya, golongan darahku sama dengan Joice.” “K-kau akan menyumbangkan darahmu untuk putriku?” lirih Brianna dengan air mata yang tak henti berlinang. Tak ada di dunia ini ibu yang tak cemas jika anaknya dalam bahaya. Itu kenapa hidup Brianna seakan runtuh ketika putri kecilnya yang periang tengah dalam keadaan kritis. Dean kembali menganggukan kepalanya. “Aku akan menyumbangkan darahku untuk putrimu.” “Tuan, kalau begitu mari ikut saya. Saya akan memerik
Selena dan Brianna menatap Joice dari balik kaca. Tubuh Joice penuh dengan alat bantu pernafasan. Baru saja dokter mengatakan kalau Joice sudah melewati masa kritisnya. Namun tetap saja Selena dan Brianna tidak bisa tenang. Terutama Brianna yang sejak tadi tak henti menangis. Selama ini Joice selalu menjadi gadis kecil periang. Tak heran jika banyak yang merasa kehilangan Joice. Bahkan sejak tadi pun Oliver tak henti menangis. Selena sampai meminta pengasuh membawa pulang Oliver. Yang membuat Oliver menangis adalah Ivan tega mendorong Joice sampai tertabrak mobil. Hal itu menjadikan trauma bagi Oliver yang sudah merekam kejadian di otak bocah laki-laki itu. “Selena.” Samuel melangkah mendekat pada Selena dan Brianna. Refleks, Selena dan Brianna mengalihkan pandangan mereka pada sumber suara. “Samuel? Kau dari mana?” tanya Selena menatap sang suami. “Aku bertemu dengan Vian sebentar.” Samuel mengecup kening Selena. “Bagaimana keadaan Joice?” “Dokter bilang Joice sudah melewati masa
“Joice.” Jillian menerobos masuk ke dalam ruang rawat Joice, bersama dengan Kelton dan juga Marsha dan William. Jillian menangis keras sambil memeluk Joice di ranjang. Gadis kecil itu masih belum sadarkan diri. Alat bantu pernafasan masih terpasang di tubuh Joice. Ya, Jillian, Kelton serta Marsha dan William baru saja mendengar kabar Joice kecelakaan. Itu kenapa mereka semua bersamaan langsung ke rumah sakit menjenguk Joice. Tampak Samuel, Selena, dan Brianna menatap Jillian yang tak henti-hentinya menangis. Mereka belum bersuara sedikit pun. Mereka masih Jillian menangis pilu melihat keadaan Joice yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. “Sayang, cucu kita pasti baik-baik saja. Tenangkan dirimu.” Kelton mengusap-usap punggung Jillian, meminta istrinya untuk jauh lebih tenang. “Bagaimana aku bisa tenang! Lihatlah keadaan cucu kita seperti ini!” isak Jillian sesegukan. “Mom, Joice sudah melewati masa kritisnya. Kau tidak usah khawatir, Mom,” sambung Samuel meminta ibunya untuk
Sudah empat hari, Joice berada di rumah sakit namun hingga detik ini Joice belum juga membuka kedua matanya. Setiap hari semua orang dilanda kecemasan karena Joice tak kunjung membuka mata. Terutama Brianna yang hampir setiap malam menangis melihat Joice penuh dengan alat bantu pernapasan. Meski dokter mengatakan Joice baik tetap semua orang khawatir akan keadaan Joice. Setiap harinya, semua keluarga membantu Brianna menjaga Joice. Pun keluarga Selena juga ikut membantu menjaga Joice. Baik William dan Marsha sudah menganggap Joice sebagai cucu mereka sendiri. Bahkan Sean dan Stella menunda kepulangan mereka ke New York karena khawatir pada kondisi Joice. Begitupun dengan Mateo dan Miracle yang juga menunda kepulangan mereka ke Milan karena khawatir pada kondisi Joice. Dan saat ini ruang rawat Joice ada Brianna yang ditemani Samuel, Selena, Sean, Stella, Mateo, dan Miracle. Sedangkan Kelton, Jillian, William, dan Marsha sudah pulang sejak dua jam lalu. Samuel dan Sean sengaja Kelton,
“Dean?” Jantung Samuel seakan ingin berhenti melihat dari rekaman CCTV terlihat jelas Dean mendekati Brianna yang tengah dalam keadaan mabuk. Buru-buru, Samuel memperbesar layar ponsel Vian yang ada di tangannya. Samuel ingin melihat lebih jelas lagi agar dirinya yakin kalau dia tak salah melihat rekaman CCTV. Hingga ketika layar ponsel diperbesar—raut wajah Samuel berubah. Sorot matanya menajam dan menusuk. Ya, terlihat begitu jelas wajah Dean dan Brianna dari dekat. Mereka dalam keadaan mabuk. Enam tahun lalu rambut Brianna pendek tak seperti sekarang ini. Jika Samuel tak mengingat adiknya pernah memiliki rambut pendek, sudah pasti Samuel lupa kalau sosok wanita yang ada di klub malam itu adalah Brianna—adik kandungnya sendiri. Tatapan Samuel tak lepas dari rekaman CCTV yang diputar. Lalu … mata Samuel menyipit tajam kala melihat Dean dan Brianna menuju lantai dansa. Mereka tak hanya menari tapi mereka pun berciuman. Sialan! Samuel mengumpat kasar. Amarahnya mulai merambat dalam
“Papa! Mama! Bibi Brianna! Tangan Joice bergerak!” Suara seruan Oliver begitu keras sontak membuat Samuel, Selena, Brianna serta Dean yang ada di sana terkejut. Refleks, Samuel, Selena, Brianna, dan Dean berlari ke arah ranjang Joice. Tampak raut wajah semua orang di sana, berubah memancarkan penuh harapan. Kilat mata mereka bersamaan menunjukan kekhawatiran dan terselimuti pengharapan. “Joice?” Samuel menyentuh pipi Joice membangunkan keponakannya itu. “Sayang, buka matamu Mommy di sini.” Brianna meneteskan air mata melihat Joice tak kunjung membuka mata. “Joice sayang. Bangun, Nak,” sambung Selena dengan mata yang berkaca-kaca. “Joice, ayo bangun. Aku sudah menunggumu, Joice.” Oliver menepuk-nepuk bahu Joice, meminta Joice untuk membuka mata. Dean terdiam melihat seorang gadis kecil cantik terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Ingatan Dean detik itu juga langsung tergali akan seorang gadis kecil cantik yang menghampirinya di pesta pernikahan Samuel dan Selena. Ya, Dean ingat
“Paman Dean adalah calon Daddy baruku.” Semua orang yang ada di ruang rawat Joice terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Joice. Terutama Samuel langsung menghunuskan tatapan tajamnya. Tampak raut wajah Samuel menunjukan kobaran amarah. Rahang Samuel mengetat. Tangannya terkepal begitu kuat. Samuel berusaha mengendalikan diri. Samuel tak bisa main hakim sediri. Terlebih Samuel tahu kalau Dean tak mengetahui apa pun. Samuel pun memutuskan untuk diam walau wajahnya dilingkupi amarah yang tak tertahan. Jika Samuel menunjukan kemarahannya, lain halnya dengan Brianna yang sangat malu akan apa yang diucapkan oleh Joice. Bahkan wajah Brianna sampai memerah karena Joice yang berbicara sembarangan. Sungguh, Brianna menatap Joice dengan tatapan tak percaya. Bisa-bisanya putrinya itu bicara hal konyol. “Joice, jangan bicara sembarangan,” tegur Brianna pelan pada putri kecilnya. Selena mengulum senyumannya. “Joice, kau sudah mengenal Paman Dean?” tanyanya lembut dan hangat. Bibir Joice te
“Selena, Brianna, aku harus pamit dulu. Aku harus segera kembali ke ruang rawat Juliet.” Dean berujar berpamitan pada Selena dan Brianna. Sudah hampir satu jam Dean berada di ruang rawat Joice. Dean tak bisa jika harus meninggalkan Juliet terlalu lama. Mengingat calon istrinya itu masih dalam keadaan lemah. “Iya, Dean. Salamkan aku untuk Juliet. Maaf aku belum ke sana. Tapi kemungkinan besok aku dan Samuel akan menjenguk Juliet,” jawab Selena hangat dan lembut. “Salamkan aku juga untuk Juliet, Dean. Nanti pasti aku akan menjenguk Juliet,” sambung Brianna tulus. “Aku akan sampaikan salam kalian untuk Juliet. Yasudah aku pergi dulu,” balas Dean dengan senyuman di wajahnya. Selena dan Brianna menganggukan kepalanya merespon ucapan Dean. Sebelum pergi, Dean melangkag mendekat pada Joice dan Oliver yang sejak tadi tengah makan. Lebih tepatnya, Oliver menemani Joice makan. Tentu tak mungkin Oliver mampu menghabiskan makanan seperti porsi Joice. “Little Girl, aku harus pergi dulu. Nanti
“Shit!” Brianna mengumpat dalam hati seraya memukul setir mobilnya. Raut wajah Brianna berubah dingin dan memendung kekesalan mendalam. Yang membuat Brianna emosi adalah Dean membawa Joice tanpa bilang apa pun padanya. Andai saja Dean bukanlah pria yang menjadi teman kencan satu malamnya dulu, maka Brianna tak akan sekesal ini. Tidak bisa dipungkiri, Brianna takut kalau Dean merampas Joice dalam hidupnya. Selama ini Brianna nyaman akan orang-orang beranggapan Joice adalah anak kandung Ivan. Dan sekarang, Brianna harus menghadapi kenyataan serumit ini. Suara dering ponsel terdengar. Refleks, Brianna mengambil ponselnya—dan menatap ke layar terpampang nama Dwyne—asistennya. Ya, sekitar sepuluh menit lalu, Brianna meminta asistennya untuk mencari nama Dean. Tak mungkin Brianna bertanya pada Samuel ataupun Selena. Masalah akan semakin rumit jika sampai Samuel dan Selena tahu. “Kau sudah mendapatkan alamat Dean?” jawab Brianna kala panggilan terhubung. “Sudah, Nyonya. Saya sudah mendap
Suara bell sekolah berbunyi menandakan siswa dan siswi diperbolehkan untuk pulang. Pelajaran pun telah berakhir. Terlihat Joice dan Oliver begitu bersemangat untuk pulang. Terlebih Joice yang sejak tadi mengusap-usap perut buncitnya menandakan bahwa Joice sudah sangat lapar. Memang Joice terkenal dengan tak bisa menahan lapar sedikit. Ditambah di kelas siswa dan siswi dilarang untuk makan. Hanya diperbolehkan minum saja. Tapi minum mana bisa membuat Joice kenyang? “Oliver, ayo cepat sedikit. Aku sudah lapar, Oliver. Sopir pasti sudah menjemput kita di depan kan?” ujar Joice meminta Oliver untuk cepat. Pasalnya, Oliver sangat lama sekali memasukan kotak pensil ke dalam tas. Oliver mendengkus. “Sabar, Joice. Kalau aku diburu-buru nanti ada barangku yang tertinggal.” Bibir Joice mencebik. Gadis kecil itu langsung memiliki inisiatif membantu Oliver—memasukan barang-barang milik Oliver ke dalam tas Oliver. Pun Oliver tak mengomel kala Joice membantunya. “Sudah selesai.” Joice berucap
Brianna menatap hangat Joice yang tengah memakan ice cream. Tatapan mata Brianna tak lepas menatap Joice begitu dalam. Tatapan menatap Joice penuh kasih sayang seorang ibu. Mata Brianna hendak mengeluarkan air mata, namun dengan cepat Brianna menahan diri agar tak meneteskan air mata. Brianna tidak mau sampai Joice melihatnya bersedih. Ivan—mantan suami Brianna sekarang telah masuk penjara. Keluarga Maxton dan keluarga Geovan sudah tahu kalau tentang penculikan Brianna dan Selena. Tentu saja William—ayah Selena mengamuk dan sampai datang ke penjara karena ingin memukul Ivan. Pun Kelton juga sampai datang ke penjara karena ingin menghajar Ivan. Namun, Samuel segera mencegah karena Samuel tak ingin masalah semakin rumit. Semua telah berlalu. Masalah tentang Ivan pun telah selesai. Pada akhirnya yang jahat akan mendapatkan balasan dari apa yang telah mereka perbuat. Akan tetapi ada suatu hal yang mengganggu pikiran dan Brianna saat ini. Sesuatu yang selalu membuat Brianna merasakan kek
“Bagaimana keadaannya? Tidak ada luka yang serius kan?” Dean bertanya cepat kala dokter baru saja selesai memeriksa keadaan Brianna. Di balik wajah tenang dan diam, raut wajah Dean menunjukan jelas rasa cemasnya akan kondisi Brianna. “Tuan, Anda tidak perlu khawatir. Keadaan Nyonya Brianna baik-baik saja,” jawab sang dokter sopan pada Dean. Dean mengangguk singkat. Sekarang dirinya bisa tenang karena kondisi Brianna baik-baik saja. “Thanks,” jawabnya datar. “Sama-sama, Tuan. Kalau begitu saya permisi.” Sang dokter segera pamit undur diri dari hadapan Dean. Saat dokter sudah pergi, Dean melangkah mendekat pada Brianna. Lantas, pria itu duduk tepat di tepi ranjang. Menatap Brianna hangat. “Dokter bilang kau baik-baik saja, Brianna. Aku senang kau tidak memiliki luka serius.” Perlahan, Brianna bangun dari ranjang dan segera mengambil posisi duduk agar berhadapan dengan Dean. Refleks, Dean pun membantu Brianna untuk duduk. Pria itu mengambil bantal dan meletakannya ke punggung Briann
“Kau—” Mata Ivan melebar terkejut melihat sosok pria memakai jaket kulit hitam berdiri di ambang pintu. Tampak sepasang iris mata Ivan menatap tajam sosok pria yang baru saja datang itu. “Siapa kau!” bentak Ivan keras seraya melepaskan Brianna dari cengkraman tangannya.Pria itu tersenyum samar kala Ivan tak mengenali dirinya. Lantas, pria itu melangkah masuk mendekat pada Ivan. “Kau benar-benar tidak mengenaliku?” tanyanya dingin dan menusuk seakan menimbulkan atmosfer menyeramkan. Sayup-sayup mata Selena mulai terbuka seraya memeluk perutnya erat. Suara berat begitu familiar di telinga Selena terdengar. Detik selanjutnya, Selena mengalihkan pandangannya menatap ke sumber suara itu. Seketika mata Selena menyipit terkejut melihat sosok yang dia kenal berdiri di ambang pintu. “D-Dominic?” Tenggorokan Selena nyaris tercekat melihat adik laki-laki bungsunya. Ivan terkejut akan respon Selena yang mengenal sosok pria di hadapannya. Raut wajah Ivan sedikit memucat. Nama ‘Dominic’ mulai
*Help me!* Tubuh Samuel menegang dengan sorot mata tajam menatap pesan singat dari Selena. Tampak raut wajah Samuel menunjukan jelas kepanikan dan kecemasan. Dengan gerak yang sangat cepat, Samuel segera menghubungi nomor Selena. Namun, sayangnya nomor Selena sudah tidak lagi aktif. Jantung Samuel berpacu dengan cepat. Pancaran mata Samuel menunjukan rasa khawatir. Terlebih pesan singkat Selena seakan memberikannya sebuah tanda. Samuel tetap berusaha tenang walau rasa cemas dan takut tak kunjung hilang. Tiba-tiba, ingatan Samuel mengingat hari ini Selena akan pergi dengan Brianna ke supermarket. Tanpa menunggu lama, Samuel segera menghubungi nomor Brianna. “Berengsek!” Samuel meremas kuat ponselnya kala yang dia dengar hanyalah suara operator yang memberikannya informasi nomor Brianna tak aktif. Kilat mata Samuel kian begitu tajam. Insting kuatnya sudah menduga terjadi sesuatu dengan Selena dan Brianna. “Samuel, ada apa?” Rava sejak tadi bingung akan wajah Samuel yang menunjukan
“Selena, hari ini aku tidak ke kantor. Rencananya siang ini aku ingin menyiapkan makan siang untuk Joice dan Oliver pulang sekolah nanti. Apa kau mau menemaniku ke supermarket? Ada beberpa bahan makanan yang tidak ada.” Brianna melangkah menghampiri Selena yang berada di ruang tengah—sedang melihat pelayan yang tengah menata lukisan dan pajangan yang baru saja Selena beli. “Kau hari ini tidak ke kantor, Brianna?” tanya Selena memastikan dengan senyuman di wajahnya. Ya, sudah beberapa hari ini, Selena tinggal di rumah mertuanya. Semua atas permintaan Samuel. Tentu Selena hanya menuruti keinginan sang suami. Lagi pula, Oliver pun bisa dekat dengan Joice. Jadi Selena tak bisa menolak. Brianna mengangguk. “Iya, Selena. Hari ini aku tidak ke kantor. Aku ingin memasak untuk Joice dan Oliver. Kau mau tidak menemaniku ke supermarket? Ada beberapa bahan makanan yang kosong. Aku sedang tidak ingin menyuruh pelayan.” Selena kembali tersenyum. “Tentu aku akan menemanimu, Brianna. Aku juga jenu
Samuel duduk di kursi kebesarannya dengan pikiran menerawang lurus ke depan. Sepasang iris mata cokelat gelap Samuel terhunus tajam dan tersirat memendung amarah. Rahang Samuel mengetat. Tangannya terkepal begitu kuat. Benak Samuel sejak tadi memikirkan perkataan Dominic. Perkataan di mana, Dominic memperingati dirinya kalau Brianna tengah berada dalam bahaya. Tentu Samuel akan langsung memercayai perkataan Dominic. Selama ini, Dominic bukanlah pria yang suka bermain-main. Hanya saja yang ada dalam pikiran Samuel adalah siapa yang berani memiliki niat mencelakai adiknya. Selama ini, Brianna tidak memiliki musuh. Pun Samuel yakin, Brianna tak memiliki teman yang menaruh dendam padanya. Sifat Brianna nyaris sama dengan Selena. Brianna bukan orang yang suka membuat masalah. Saat Samuel tengah berpikir tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Refleks, Samuel mengalihkan pandangannya ke arah pintu dan segera menginterupsi untuk masuk. Tampak Vian—asisten Samuel melangkah masuk ke dalam
Hari yang ditunggu-tunggu Joice telah tiba, hari di mana Joice diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Sejak tadi para pelayan sudah sibuk membawakan barang-barang milik Joice menuju mobil. Meski hanya beberapa hari saja tapi nyatanya barang-barang Joice cukup banyak. Tidak hanya pakaian tapi juga banyak mainan. Tak heran jika banyak sekali koper yang dibawa oleh para pelayan. “Mom, ayo kita pulang. Aku ingin segera pulang, Mom,” ucap Joice tak sabar. Gadis kecil itu tengah duduk di kursi roda, menunggu untuk dibawa pulang. “Tunggu Paman Samuel ya, Nak,” jawab Brianna sambil mengelus pipi Joice. Joice menganggukan kepalanya. “Iya, Mom.” “Sabar ya, Sayang. Nanti pasti Paman Samuel datang. Tadi Paman Samuel sedang bicara sebentar dengan dokter,” jawab Selena seraya membelai rambut Joice. “Iya, Bibi cantik,” balas Joice riang. Di ruang rawat Joice hanya ada Selena, Brianna, dan Oliver. Sedangkan seluruh keluarga menunggu di rumah. Baik keluarga Selena ataupun keluarga Samuel menunggu