“Joice.” Jillian menerobos masuk ke dalam ruang rawat Joice, bersama dengan Kelton dan juga Marsha dan William. Jillian menangis keras sambil memeluk Joice di ranjang. Gadis kecil itu masih belum sadarkan diri. Alat bantu pernafasan masih terpasang di tubuh Joice. Ya, Jillian, Kelton serta Marsha dan William baru saja mendengar kabar Joice kecelakaan. Itu kenapa mereka semua bersamaan langsung ke rumah sakit menjenguk Joice. Tampak Samuel, Selena, dan Brianna menatap Jillian yang tak henti-hentinya menangis. Mereka belum bersuara sedikit pun. Mereka masih Jillian menangis pilu melihat keadaan Joice yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. “Sayang, cucu kita pasti baik-baik saja. Tenangkan dirimu.” Kelton mengusap-usap punggung Jillian, meminta istrinya untuk jauh lebih tenang. “Bagaimana aku bisa tenang! Lihatlah keadaan cucu kita seperti ini!” isak Jillian sesegukan. “Mom, Joice sudah melewati masa kritisnya. Kau tidak usah khawatir, Mom,” sambung Samuel meminta ibunya untuk
Sudah empat hari, Joice berada di rumah sakit namun hingga detik ini Joice belum juga membuka kedua matanya. Setiap hari semua orang dilanda kecemasan karena Joice tak kunjung membuka mata. Terutama Brianna yang hampir setiap malam menangis melihat Joice penuh dengan alat bantu pernapasan. Meski dokter mengatakan Joice baik tetap semua orang khawatir akan keadaan Joice. Setiap harinya, semua keluarga membantu Brianna menjaga Joice. Pun keluarga Selena juga ikut membantu menjaga Joice. Baik William dan Marsha sudah menganggap Joice sebagai cucu mereka sendiri. Bahkan Sean dan Stella menunda kepulangan mereka ke New York karena khawatir pada kondisi Joice. Begitupun dengan Mateo dan Miracle yang juga menunda kepulangan mereka ke Milan karena khawatir pada kondisi Joice. Dan saat ini ruang rawat Joice ada Brianna yang ditemani Samuel, Selena, Sean, Stella, Mateo, dan Miracle. Sedangkan Kelton, Jillian, William, dan Marsha sudah pulang sejak dua jam lalu. Samuel dan Sean sengaja Kelton,
“Dean?” Jantung Samuel seakan ingin berhenti melihat dari rekaman CCTV terlihat jelas Dean mendekati Brianna yang tengah dalam keadaan mabuk. Buru-buru, Samuel memperbesar layar ponsel Vian yang ada di tangannya. Samuel ingin melihat lebih jelas lagi agar dirinya yakin kalau dia tak salah melihat rekaman CCTV. Hingga ketika layar ponsel diperbesar—raut wajah Samuel berubah. Sorot matanya menajam dan menusuk. Ya, terlihat begitu jelas wajah Dean dan Brianna dari dekat. Mereka dalam keadaan mabuk. Enam tahun lalu rambut Brianna pendek tak seperti sekarang ini. Jika Samuel tak mengingat adiknya pernah memiliki rambut pendek, sudah pasti Samuel lupa kalau sosok wanita yang ada di klub malam itu adalah Brianna—adik kandungnya sendiri. Tatapan Samuel tak lepas dari rekaman CCTV yang diputar. Lalu … mata Samuel menyipit tajam kala melihat Dean dan Brianna menuju lantai dansa. Mereka tak hanya menari tapi mereka pun berciuman. Sialan! Samuel mengumpat kasar. Amarahnya mulai merambat dalam
“Papa! Mama! Bibi Brianna! Tangan Joice bergerak!” Suara seruan Oliver begitu keras sontak membuat Samuel, Selena, Brianna serta Dean yang ada di sana terkejut. Refleks, Samuel, Selena, Brianna, dan Dean berlari ke arah ranjang Joice. Tampak raut wajah semua orang di sana, berubah memancarkan penuh harapan. Kilat mata mereka bersamaan menunjukan kekhawatiran dan terselimuti pengharapan. “Joice?” Samuel menyentuh pipi Joice membangunkan keponakannya itu. “Sayang, buka matamu Mommy di sini.” Brianna meneteskan air mata melihat Joice tak kunjung membuka mata. “Joice sayang. Bangun, Nak,” sambung Selena dengan mata yang berkaca-kaca. “Joice, ayo bangun. Aku sudah menunggumu, Joice.” Oliver menepuk-nepuk bahu Joice, meminta Joice untuk membuka mata. Dean terdiam melihat seorang gadis kecil cantik terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Ingatan Dean detik itu juga langsung tergali akan seorang gadis kecil cantik yang menghampirinya di pesta pernikahan Samuel dan Selena. Ya, Dean ingat
“Paman Dean adalah calon Daddy baruku.” Semua orang yang ada di ruang rawat Joice terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Joice. Terutama Samuel langsung menghunuskan tatapan tajamnya. Tampak raut wajah Samuel menunjukan kobaran amarah. Rahang Samuel mengetat. Tangannya terkepal begitu kuat. Samuel berusaha mengendalikan diri. Samuel tak bisa main hakim sediri. Terlebih Samuel tahu kalau Dean tak mengetahui apa pun. Samuel pun memutuskan untuk diam walau wajahnya dilingkupi amarah yang tak tertahan. Jika Samuel menunjukan kemarahannya, lain halnya dengan Brianna yang sangat malu akan apa yang diucapkan oleh Joice. Bahkan wajah Brianna sampai memerah karena Joice yang berbicara sembarangan. Sungguh, Brianna menatap Joice dengan tatapan tak percaya. Bisa-bisanya putrinya itu bicara hal konyol. “Joice, jangan bicara sembarangan,” tegur Brianna pelan pada putri kecilnya. Selena mengulum senyumannya. “Joice, kau sudah mengenal Paman Dean?” tanyanya lembut dan hangat. Bibir Joice te
“Selena, Brianna, aku harus pamit dulu. Aku harus segera kembali ke ruang rawat Juliet.” Dean berujar berpamitan pada Selena dan Brianna. Sudah hampir satu jam Dean berada di ruang rawat Joice. Dean tak bisa jika harus meninggalkan Juliet terlalu lama. Mengingat calon istrinya itu masih dalam keadaan lemah. “Iya, Dean. Salamkan aku untuk Juliet. Maaf aku belum ke sana. Tapi kemungkinan besok aku dan Samuel akan menjenguk Juliet,” jawab Selena hangat dan lembut. “Salamkan aku juga untuk Juliet, Dean. Nanti pasti aku akan menjenguk Juliet,” sambung Brianna tulus. “Aku akan sampaikan salam kalian untuk Juliet. Yasudah aku pergi dulu,” balas Dean dengan senyuman di wajahnya. Selena dan Brianna menganggukan kepalanya merespon ucapan Dean. Sebelum pergi, Dean melangkag mendekat pada Joice dan Oliver yang sejak tadi tengah makan. Lebih tepatnya, Oliver menemani Joice makan. Tentu tak mungkin Oliver mampu menghabiskan makanan seperti porsi Joice. “Little Girl, aku harus pergi dulu. Nanti
“Dean, kenapa kau di sini? Bukannya harusnya kau ada di ruang rawat Juliet?” ujar Brianna lembut dan pelan kala Dean baru saja selesai mengompres rahangnya dengan handuk hangat. Ya, kini Brianna tengah berada di ruangan yang sengaja Dean minta perawat untuk menyiapkan. Ruangan di mana Dean membantu Brianna mengompreskan handuk hangat ke rahang Brianna. Pun Dean meminta dokter untuk memeriksa kondisi rahang Brianna. Pasalnya warna merah di rahang Brianna sebagian sudah memar biru akibat cengkaraman kuat Ivan. Awalnya, Brianna tak mau diperiksa oleh dokter, tetapi Dean memaksa. Hingga akhirnya mau tak mau Brianna diperiksa oleh dokter. Terdengar berlebihan tetapi Brianna tak enak kalau menolak niat baik Dean. Terlebih tadi Dean sudah menyelamatkannya dari Ivan. Kalau saja Dean tak ada, entah apa yang akan terjadi pada Brianna. Dean duduk di samping Brianna, menatap hangat wanita itu. “Tadi aku ingin bertemu dengan dokter. Tapi aku tidak sengaja melihatmu bersama dengan seorang pria di
“Dean? Kau dari mana saja? Kenapa bertemu dokter lama sekali?” ujar Juliet bertanya seraya menatap Dean yang baru saja masuk ke dalam ruang rawatnya. Hampir satu jam Juliet menunggu Dean. Padahal sebelumnya, Dean hanya berpamitan padanya pergi keluar hanya sebentar saja. “Maaf, tadi aku sempat bertemu dengan temanku sebentar.” Dean duduk di tepi ranjang Juliet, menatap lekat Juliet. Dean memilih untuk beralasan bertemu dengan temannya di luar. Pasalnya, Dean tak mungkin menceritakan tentang Brianna pada Juliet. “Oh, begitu. Yasudah tidak apa-apa,” jawab Juliet yang mengerti. “Juliet, apa kau sudah makan?” “Belum, Dean. Aku belum makan. Aku menunggumu.”“Harusnya kau jangan menungguku, Juliet. Kau sedang sakit. Kalau kau terlambat makan, kapan kondisimu bisa cepat pulih?” “Maaf, Dean. Lain kali aku tidak akan terlambat makan.” “Yasudah, makanlah sekarang.” Dean mengalihkan pandangannya ke atas nakas, pria itu melihat ada makanan yang sudah tersedia di sana—lalu Dean mengambil ma
“Bagaimana keadaannya? Tidak ada luka yang serius kan?” Dean bertanya cepat kala dokter baru saja selesai memeriksa keadaan Brianna. Di balik wajah tenang dan diam, raut wajah Dean menunjukan jelas rasa cemasnya akan kondisi Brianna. “Tuan, Anda tidak perlu khawatir. Keadaan Nyonya Brianna baik-baik saja,” jawab sang dokter sopan pada Dean. Dean mengangguk singkat. Sekarang dirinya bisa tenang karena kondisi Brianna baik-baik saja. “Thanks,” jawabnya datar. “Sama-sama, Tuan. Kalau begitu saya permisi.” Sang dokter segera pamit undur diri dari hadapan Dean. Saat dokter sudah pergi, Dean melangkah mendekat pada Brianna. Lantas, pria itu duduk tepat di tepi ranjang. Menatap Brianna hangat. “Dokter bilang kau baik-baik saja, Brianna. Aku senang kau tidak memiliki luka serius.” Perlahan, Brianna bangun dari ranjang dan segera mengambil posisi duduk agar berhadapan dengan Dean. Refleks, Dean pun membantu Brianna untuk duduk. Pria itu mengambil bantal dan meletakannya ke punggung Briann
“Kau—” Mata Ivan melebar terkejut melihat sosok pria memakai jaket kulit hitam berdiri di ambang pintu. Tampak sepasang iris mata Ivan menatap tajam sosok pria yang baru saja datang itu. “Siapa kau!” bentak Ivan keras seraya melepaskan Brianna dari cengkraman tangannya.Pria itu tersenyum samar kala Ivan tak mengenali dirinya. Lantas, pria itu melangkah masuk mendekat pada Ivan. “Kau benar-benar tidak mengenaliku?” tanyanya dingin dan menusuk seakan menimbulkan atmosfer menyeramkan. Sayup-sayup mata Selena mulai terbuka seraya memeluk perutnya erat. Suara berat begitu familiar di telinga Selena terdengar. Detik selanjutnya, Selena mengalihkan pandangannya menatap ke sumber suara itu. Seketika mata Selena menyipit terkejut melihat sosok yang dia kenal berdiri di ambang pintu. “D-Dominic?” Tenggorokan Selena nyaris tercekat melihat adik laki-laki bungsunya. Ivan terkejut akan respon Selena yang mengenal sosok pria di hadapannya. Raut wajah Ivan sedikit memucat. Nama ‘Dominic’ mulai
*Help me!* Tubuh Samuel menegang dengan sorot mata tajam menatap pesan singat dari Selena. Tampak raut wajah Samuel menunjukan jelas kepanikan dan kecemasan. Dengan gerak yang sangat cepat, Samuel segera menghubungi nomor Selena. Namun, sayangnya nomor Selena sudah tidak lagi aktif. Jantung Samuel berpacu dengan cepat. Pancaran mata Samuel menunjukan rasa khawatir. Terlebih pesan singkat Selena seakan memberikannya sebuah tanda. Samuel tetap berusaha tenang walau rasa cemas dan takut tak kunjung hilang. Tiba-tiba, ingatan Samuel mengingat hari ini Selena akan pergi dengan Brianna ke supermarket. Tanpa menunggu lama, Samuel segera menghubungi nomor Brianna. “Berengsek!” Samuel meremas kuat ponselnya kala yang dia dengar hanyalah suara operator yang memberikannya informasi nomor Brianna tak aktif. Kilat mata Samuel kian begitu tajam. Insting kuatnya sudah menduga terjadi sesuatu dengan Selena dan Brianna. “Samuel, ada apa?” Rava sejak tadi bingung akan wajah Samuel yang menunjukan
“Selena, hari ini aku tidak ke kantor. Rencananya siang ini aku ingin menyiapkan makan siang untuk Joice dan Oliver pulang sekolah nanti. Apa kau mau menemaniku ke supermarket? Ada beberpa bahan makanan yang tidak ada.” Brianna melangkah menghampiri Selena yang berada di ruang tengah—sedang melihat pelayan yang tengah menata lukisan dan pajangan yang baru saja Selena beli. “Kau hari ini tidak ke kantor, Brianna?” tanya Selena memastikan dengan senyuman di wajahnya. Ya, sudah beberapa hari ini, Selena tinggal di rumah mertuanya. Semua atas permintaan Samuel. Tentu Selena hanya menuruti keinginan sang suami. Lagi pula, Oliver pun bisa dekat dengan Joice. Jadi Selena tak bisa menolak. Brianna mengangguk. “Iya, Selena. Hari ini aku tidak ke kantor. Aku ingin memasak untuk Joice dan Oliver. Kau mau tidak menemaniku ke supermarket? Ada beberapa bahan makanan yang kosong. Aku sedang tidak ingin menyuruh pelayan.” Selena kembali tersenyum. “Tentu aku akan menemanimu, Brianna. Aku juga jenu
Samuel duduk di kursi kebesarannya dengan pikiran menerawang lurus ke depan. Sepasang iris mata cokelat gelap Samuel terhunus tajam dan tersirat memendung amarah. Rahang Samuel mengetat. Tangannya terkepal begitu kuat. Benak Samuel sejak tadi memikirkan perkataan Dominic. Perkataan di mana, Dominic memperingati dirinya kalau Brianna tengah berada dalam bahaya. Tentu Samuel akan langsung memercayai perkataan Dominic. Selama ini, Dominic bukanlah pria yang suka bermain-main. Hanya saja yang ada dalam pikiran Samuel adalah siapa yang berani memiliki niat mencelakai adiknya. Selama ini, Brianna tidak memiliki musuh. Pun Samuel yakin, Brianna tak memiliki teman yang menaruh dendam padanya. Sifat Brianna nyaris sama dengan Selena. Brianna bukan orang yang suka membuat masalah. Saat Samuel tengah berpikir tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Refleks, Samuel mengalihkan pandangannya ke arah pintu dan segera menginterupsi untuk masuk. Tampak Vian—asisten Samuel melangkah masuk ke dalam
Hari yang ditunggu-tunggu Joice telah tiba, hari di mana Joice diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Sejak tadi para pelayan sudah sibuk membawakan barang-barang milik Joice menuju mobil. Meski hanya beberapa hari saja tapi nyatanya barang-barang Joice cukup banyak. Tidak hanya pakaian tapi juga banyak mainan. Tak heran jika banyak sekali koper yang dibawa oleh para pelayan. “Mom, ayo kita pulang. Aku ingin segera pulang, Mom,” ucap Joice tak sabar. Gadis kecil itu tengah duduk di kursi roda, menunggu untuk dibawa pulang. “Tunggu Paman Samuel ya, Nak,” jawab Brianna sambil mengelus pipi Joice. Joice menganggukan kepalanya. “Iya, Mom.” “Sabar ya, Sayang. Nanti pasti Paman Samuel datang. Tadi Paman Samuel sedang bicara sebentar dengan dokter,” jawab Selena seraya membelai rambut Joice. “Iya, Bibi cantik,” balas Joice riang. Di ruang rawat Joice hanya ada Selena, Brianna, dan Oliver. Sedangkan seluruh keluarga menunggu di rumah. Baik keluarga Selena ataupun keluarga Samuel menunggu
“Selena, Brianna, aku dan Juliet pamit dulu. Kabari aku kalau Joice sudah diperbolehkan pulang.” Dean berujar berpamitan pada Selena dan Brianna. Sudah hampir satu jam, Dean dan Juliet berada di ruang rawat Joice. Sekarang sudah waktunya Dean membawa Juliet pergi. Pasalnya, keadaan Juliet pun belum sepenuhnya pulih. “Besok Joice sudah boleh pulang, Dean,” balas Brianna dengan senyuman di wajahnya. “Besok Joice sudah diperbolehkan pulang?” ulang Dean memastikan. Raut wajahnya sedikit terkejut mendengar Joice sudah diperbolehkan pulang. “Benar, Dean. Besok Joice sudah diperbolehkan pulang,” sambung Selena hangat. “Ah, aku senang sekali mendengarnya. Akhirnya Joice boleh pulang,” ujar Juliet tulus dan tatapan begitu bahagia. Paling tidak, Juliet tahu kalau keadaan Joice sudah membaik. Terbukti Joice sudah diperbolehkan pulang oleh sang dokter. Dean tersenyum. “Aku dan Juliet senang mendengarnya. Kalau begitu kami permisi. Besok kami akan datang lagi ke sini.” “Terima kasih sudah me
*Tuan Samuel, maaf mengganggu Anda. Saya hanya ingin memberitahu Anda kalau test DNA antara Nona Joice dan Tuan Dean sudah ada di tangan saya, Tuan. Saat ini saya ada di ruangan dekat dengan ruang rawat Nona Joice, Tuan.*Raut wajah Samuel berubah membaca pesan masuk dari Vian. Samuel meremas kuat ponsel di tangannya. Manik mata cokelat gelap Samuel berkilat menujukan geraman kemarahan tertahan yang tak bisa meluap. Samuel mengatur napasnya, meredakan emosi dalam diri. Samuel menyadari dirinya masih berada di ruang rawat Joice. Sesaat, Samuel mengalihkan pandangannya pada Dean yang tengah mengajak Joice berbicara. Beberapa detik Samuel menatap dalam interaksi antara Dean dan Joice. Manik mata Joice mirip dengan Dean—yang memiliki manik berwarna abu-abu. ‘Shit! Tidak mungkin!” Samuel menepis apa yang ada dipikirannya. Samuel yakin kalau Dean bukanlah ayah kandung Joice. Samuel mengembuskan napas panjang, membuang pandangannya tak lagi menatap Dean. Saat ini Samuel berpura-pura di ha
“Jadi benar kalau putriku besok sudah diperbolehkan pulang, Dok?” Brianna bertanya pada sang dokter yang berdiri di hadapannya. Raut wajah Brianna sumiringah bahagia kala mendengar dari sang dokter kalau Joice sudah diperbolehkan pulang. Sang dokter menganggukan kepalanya. “Benar, Nyonya. Putri Anda sudah diperbolehkan untuk pulang.” “Terima kasih, Dokter,” jawab Brianna dengan senyuman di wajahnya. Mata Brianna memancarkan kilat tasa bahagia yang tak terhingga. Pun Selena yang sejak tadi ada di sisi Brianna turut berbahagia mendengar Joice diperbolehkan untuk pulang. “Baiklah, kalau begitu saya permisi.” Dokter segera pamit undur diri dari hadapan Brianna dan Selena. “Mommy, lihat kan? Dokter sudah memperbolehkanku pulang. Aku pintar dan kuat, Mommy. Aku sudah banyak makan. Jadi aku cepat sehat,” ucap Joice kala sang dokter sudah pergi meninggalkan ruang rawatnya. Selena dan Brianna mengalihkan pandangan mereka pada Joice yang duduk di ranjang sambil meminum susu cokelat. Di sam