“Jangan berpikir karena kau sudah tidur denganku, kau pantas berada di sampingku. Kau sama saja seperti jalang yang pernah tidur denganku.”Suara berat terdengar begitu dingin, dan menusuk ke indra pendengaran seorang wanita yang masih berada di ranjang, dengan tubuh polosnya yang hanya terbalut oleh selimut tebal. Tampak wanita itu menatap nanar sosok pria yang bertubuh kokoh dan gagah di hadapannya yang telah terbalut oleh bathrobe. Sorot mata sayu, dan melemah begitu terlihat jelas di wajah cantiknya.“S-Samuel—“ Selena memanggil nama Samuel dengan nada yang lirih. Wanita itu melihat tubuhnya sendiri tampak begitu kacau.Dadanya mencelos begitu Samuel mengatakan hal sejahat itu.Samuel menaikan sebelah alisnya, menatap Selena yang memanggilnya. Aura wajah dingin, dan terselimuti keangkuhan begitu terlihat di wajah Samuel. Kini Samuel melangkahkan kakinya mendekat pada Selena. Sejenak, Samuel masih terdiam dengan tatapan yang tak lepas mengamati keadaan Selena. Rambut wanita itu ber
Satu bulan kemudian…Selena memuntahkan semua isi perutnya. Sudah tak lagi terhitung berapa kali wanita itu bolak-balik kamar mandi. Tampak wajah Selena terlihat pucat. Peluh membanjiri pelipisnya. Kepala Selena memberat. Beberapa kali tubuh Selena terhuyung nyaris jatuh. Namun, wanita itu segera menyandarkan punggungnya ke dinding kamar mandi demi menjaga keseimbangan tubuhnya.Selena menatap nanar sebuah tespack dua garis. Sorot mata Selena terlihat melemah. Sudah lebih dari lima kali Selena melakukan test kehamilan, dan hasilnya tetap sama. Positif. Ada makhluk kecil di dalam rahimnya.Bulir air mata Selena mulai jatuh membasahi pipinya. Kejadian malam itu memang Samuel tak memakai pengaman. Akan tetapi Selena tidak pernah menyangka akan mengandung anak Samuel. Apa mungkin pria itu mau menerima anak ini? Atau malah Samuel memintanya menggugurkan kandungannya? Selena diambang kebingungan bercampur dengan kehancuran. Selena tak akan mungkin menggugurkan kandungan ini. Pun dia tak mun
*Sayang, Mama tidak bisa pulang sekarang. Tapi nanti Mama akan usahakan pulang secepatnya. Sekarang lebih baik kau bermain dulu, ya. Mama masih meeting.*Selena menutup panggilan telepon itu. Ya, Oliver Nicholas—putra kecilnya yang berusia empat tahun itu memang kerap meminta Selena pulang lebih awal. Akan tetapi, Selena tidak bisa menuruti keinginan putra kecilnya. Banyak pekerjaan yang Selena harus selesaikan. Seperti saat ini dirinya tengah meeting bersama dengan para karyawannya.“Maaf, terpotong. Kita lanjutkan meeting kita.” Selena berujar pada para karyawan yang ada di hadapannya.“Tidak apa-apa, Nona. Kami mengerti.” Salah satu manager yang ada di ruang meeting itu menjawab ucapan Selena dengan sopan.“Bulan depan kita memiliki project di mana salah satu client kita memercayakan gedung yang dibeli dari kita untuk dibangun dengan design yang bernuansa klasik. Aku ingin kalian mencarikan designer interior baru yang terbaik untuk bisa bekerja dengan kita. Pastikan designer interi
Selena melangkah meninggalkan ruang meeting dengan raut wajah yang jelas menunjukan menahan rasa kesalnya. Tampak Mika dan Ezra—kakak beradik pemilik tanah yang dia ingin beli berusaha berbicara pada Selena. Sayangnya, Selena mengabaikan kakak beradik itu. Selena tak mau banyak berbasa-basi. Emosi yang terbendung dalam dirinya seolah begitu membakar dan nyaris meledak.“Kau sepertinya terlihat sangat marah, Selena.”Suara berat dari arah belakang sontak membuat Selena segera mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu. Ya, kini Selena tengah berada di halaman parkir mobil gedung perkantoran milik sang pemilik tanah yang tadi dia temui. Dia ingin segera kembali ke kantornya. Namun, langkah Selena harus terhenti melihat sosok pria berwajah iblis ada di hadapannya. Tampak sepasang iris mata Selena menatap dingin dan lekat iblis itu.“Untuk apa aku marah hanya karena tidak bisa mendapakan tanah yang aku mau? Di London banyak lokasi yang sangat bagus. Aku bisa meminta asistenku mencarik
“Tuan Samuel.” Sang sekretaris menyapa Samuel dengan sopan seraya menundukan kepalanya kala Samuel baru saja keluar dari lift.“Apa laporan yang aku minta siapkan sudah kau kerjakan?” Suara Samuel dingin, dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Sudah, Tuan. Laporan yang Anda minta sudah saya kerjakan semuanya. Saya juga sudah meletakan laporan itu ke atas meja kerja Anda, Tuan,” ujar sang sekretaris memberitahu. “Hm … Tuan, di ruang kerja Anda ada Nona Iris sudah menunggu Anda sejak satu jam yang lalu. Sebelumnya saya meminta Nona Iris untuk pulang, tapi beliau tidak mau, Tuan. Nona Iris ingin menunggu hingga Anda datang.” Sang sekretaris melanjutkan ucapannya.Samuel mengembuskan napas kasar. Dia tak menyangka kalau Iris—tunangannya datang ke London. Padahal sebelumnya Samuel sudah meminta Iris untuk menunggu dirinya pulang.Tanpa berkata apa pun, Samuel langsung melangkahkan masuk menuju ruang kerjanya. Pun sekretarisnya itu membungkukan kepala, kala Samuel sudah meninggalkannya.“Sayang
Selena menatap pantulan cermin. Melihat dirinya sudah rapi dan segar. Dress dengan model tali spaghetti berwarna merah motif bunga-bunga begitu indah membalut tubuhnya. Harusnya dari penampilan wajah Selena pun tampak cerah tapi tidak dengan kenyataan. Raut wajah Selena terlihat sedikit muram. Ya, hari ini Selena harus mengunjungi gedung perusahaan milik Samuel. Hari ini pembangunan kantor Samuel sudah dimulai. Pun Selena sudah meminta team-nya memulai mengatur semuanya. Akan tetapi Selena tetap harus memberikan pengawasan. Karena memang Selena merintis semua usahannya dari bawah. Selena bukanlah atasan yang menyerahkan sepenuhnya pekerjaan pada bawahan. Tidak, Selena tidak seperti itu. Selama ini Selena selalu ingin memastikan client-nya merasa puas dengan perusahaannya. Apalagi perusahannya bergerak di bidang jasa. Di mana kepuasan pelanggan adalah nomor satu. Dan hal yang menjadi masalah adalah client-nya kali ini adalah Samuel Maxton—pria yang tak pernah ingin lagi Selena temui.
Selena menghempaskan tubuhnya ke sofa kamarnya. Wanita itu memijat pelan pelipisnya. Tampak beberapa kali Selena mengembuskan napas panjang. Emosinya tersulut dan terpancing setiap kali bertemu dengan Samuel. Dalam beberapa bulan ini Selena mau tidak mau harus bersabar. Project design interior tidak mungkin langsung jadi dalam beberapa hari. “Mama … Mama …” Oliver berlari masuk ke dalam kamar, menghampiri Selena yang tengah duduk di sofa. “Sayang?” Lelah Selena lenyap kala melihat Oliver menghampirinya. Senyuman hangat di wajah Selena pun terlukis begitu tulus. “Ada apa, Sayang? Tadi Mama sudah membelikan sushi untukmu, Nak.” Sebelum pulang, Selena membelikan sushi untuk putranya. Pun dia meminta pengasuh Oliver untuk menyuapi putra kecilnya itu. “Mama, apa Mama tidak mau makan sushi? Ayo kita makan bersama, Mama,” ajak Oliver dengan suara polosnya. “Oliver saja makan duluan, Sayang. Mama belum lapar,” jawab Selena seraya mengelus pipi bulat Oliver dan memberikan kecupan di sana.
“Nona … Anda cantik sekali.” Jenia—asisten pribadi Selena berseru memuji penampilan Selena yang begitu memukau. Gaun berwarna gold yang tampak sederhana itu begitu mewah ketika dipakai oleh Selena. Rambut pirang Selena terjuntai ke belakang punggung. Riasan make up flawless membuat Selena benar-benar sempurna. Meski sudah pernah melahirkan tapi Selena memiliki lekuk tubuh yang indah. Beberapa bentuk tubuh Selena berukuran menantang menggoda para kaum adam. Jenia yang melihat penampilan Selena pun tak berkedip sedikit pun. Cantik. Bahkan sangat cantik. “Apa benar gaun ini sudah cocok untukku, Jenia? Setelah melahirkan bentuk tubuhku tidak selangsing saat dulu.” Selena berucap memastikan penampilannya malam ini. Selena sampai meminta Jenia datang ke penthouse-nya hanya karena Selena meminta pendapat Jenia gaun apa yang paling tepat dia pakai malam ini. Sudah lama Selena tak menghadiri jamuan makan malam seperti ini membuat Selena gugup dan sedikit takut. Senyuman hangat di wajah Jen
Samuel menatap Selena yang tertidur begitu pulas. Sekitar sepuluh menit lalu, Samuel meminta dokter untuk menyuntikan obat penenang pada Selena agar wanita itu tidur nyaman. Beruntung, Selena pun sejak tadi menuruti semua perkataannya. Lebih tepatnya tubuh Selena begitu lemah sampai membuat wanita itu tak banyak bicara.Saat ini Samuel membawa Selena ke apartemen pribadinya. Dia tak mungkin membawa Selena ke mansion keluarga Geovan. Pasalnya Samuel tak ingin membuat kedua orang tua Selena cemas. Pun di sana ada Oliver. Itu kenapa Samuel lebih memilih membawa Selena ke apartemen pribadinya. Sejenak, Samuel mengembuskan napas panjang. Dalam benaknya terus saja memikirkan bagaimana kalau dirinya sampai datang terlambat. Shit! Samuel mengumpat dalam hati, ingatannya tergali saat Almero hendak menyentuh Selena. Jika mengingat itu semua membuat emosi Samuel terasa begitu terbakar. Harusnya dia membunuh Almero dengan cara yang lebih kejam! Sungguh, membayangkan itu semua membuat Samuel bena
Brakkkk Suara dobrakan pintu yang begitu keras suskes membuat pintu itu terpental. Refleks, Almero mengalihkan pandangannya kala pintu berhasil terdobrak. Seketika mata Almero terkejut melihat dia sosok pria yang datang menatapnya dengan tatapan penuh amarah. “Berengsek!” Samuel menerjang Almero dengan emosi yang nyaris meledak. Tanpa belas kasihan, Samuel menarik kerah baju Almero, menghajarnya tanpa ampun. BUGH BUGH BUGH BUGH “Mati kau, Sialan!” Samuel menendang perut Almero hingga membuat Almero tersungkur di lantai. Namun, kala Samuel ingin kembali menyerang Almero tiba-tiba anak buah Almero berhamburan datang. Tampak Samuel dan Mateo melangkah mundur. Mateo sejak tadi ingin menolong Miracle tapi dia tak bisa melakukanya sekarang. Kondisinya dikepung seperti ini membuat Mateo harus melumpuhkan anak buah Almero lebih dulu. Napas Mateo memburu. Sorot matanya menajam dan memendung amarah. Darah Miracle memenuhi lantai membuat emosi Mateo tersulit. Fuck! Mateo mengumpat dalam
“Tubuhmu. Kesepakatanku dengan Iris adalah aku bisa mencicipi tubuh indahmu, Nona Geovan.” Raut wajah Selena berubah menjadi pucat mendengar apa yang diucapkan oleh Almero. Sepasang iris mata biru Selena melebar tersirat rasa takut yang telah menelusup ke dalam dirinya. Wanita itu menegang dengan rasa cemas yang melanda hebat dirinya. Seketika itu juga jantung Selena berpacu begitu keras akibat ketakutannya. Peluh mulai muncul di pelipisnya. Dalam hati, Selena berharap Samuel atau keluarganya bisa datang tepat waktu menyelamatkan dirinya dan Miracle. “Berengsek! Jaga bicaramu!” maki Miracle emosi. Wanita itu tak bisa lagi menahan amarah kala mendengar ucapan kurang ajar yang diucapkan oleh pria yang bernama Almero Abner. Ini sudah waktunya untuk bertindak. Meski Miracle tahu dirinya akan sulit melawan dalam posisi tangan di borgol tapi tetap saja Miracle akan berjuang sekuat tenaga. Dia tak akan membiarkan terjadi sesuatu hal yang buruk pada saudara kembarnya itu. Almero melirik Mi
“Kau—” Mata Selena menatap dua wanita di hadapannya dengan tatapan yang begitu tajam dan tersirat memendung amarahnya. Rahang Selena mengetat. Tangannya terkepal begitu kuat. Mati-matian Selena berusaha menahan amarah dalam dirinya. Sudah sejak tadi Selena menduga dalang dibalik ini semua. Tapi Selena tak menyangka ternyata apa yang ada di dalam benaknya adalah sungguhan. “Hi, Selena. Long time no see. Senang sekali aku bertemu denganmu di tempat ini.” Wanita di hadapan Selena itu menyapa sekaligus melukiskan senyuman anggun seraya mengibaskan rambutnya. “Fuck! Jalang sialan! Beraninya kau menjebak saudara kembarku! Apa kau bosan hidup!” Miracle hendak menyerang sosok wanita di hadapannya. Meski tangannya terborgol bisa saja Miracle melompat agar tetap bisa bangun. Bodohnya orang-orang yang menculiknya itu tak mengikat kakinya. Itu yang mempermudah Miracle. “No, Miracle. Please.” Selena langsung mencegah Miracle. Meminta saudara kembarnya itu untuk tenang dan tak terpancing oleh em
Pelupuk mata Selena bergerak-gerak. Perlahan Selena mulai membuka matanya. Wanita itu sedikit meringis merasakan tubuhnya terasa sakit. Sayup-sayup, Selena mengendarkan pandangannya di sekitar—melihat dirinya berada di sebuah gudang gelap dan berukuran besar. Selena memijat pelipisnya kala rasa sakit di kepalanya muncul menyerang. Tubuhnya pun nyeridan pegal.“Akh—” Selena meringis merasakan sakit di tengkuk lehernya. Beberapa detik, Selena tampak terdiam berusaha mengingat kenapa dirinya bisa berada di gudang beruangan gelap seperti ini. Lalu … tiba-tiba ketika ingatan di kepala Selena muncul, wanita itu terkejut sekaligus ketakutan mengingat semua yang terjadi. Napas Selena cemas. Namun mati-matian Selena menyingkirkan rasa takut yang telah menelusup ke dalam dirinya. Ya, setakut apa pun dirinya, Selena yakin Samuel ataupun keluarganya pasti akan datang mencarinya. Dalam keadaan seperti ini takut hanyalah sia-sia. Yang Selena bisa lakukan hanya tetap tenang dan mencoba untuk berpiki
Tubuh Selena bergetar ketakutan melihat Miracle jatuh pingsan. Raut wajahnya pucat pasi begitu terlihat jelas. Mata Selena menatap nanar Miracle yang tergeletak tak berdaya di lantai. Jantung wanita itu berdetak tak karuan. Sejenak, Selena berusaha berpikir siapa dalang dibalik semua itu. Pasalnya Selena tak pernah memiliki musuh. Hingga kemudian, tiba-tiba sesuatu muncul dalam benaknya. Sesuatu hal di mana dia mulai tahu siapa dalang dibalik semua ini. Hanya saja Selena masih memiliki keraguan. Beberapa detik, Selena masih diam melihat pria yang bernama ‘Almero Abner’ tertawa melihat Miracle berhasil dilumpuhkan. Napas Selena memburu. Ingin sekali dia melawan tapi Selena tahu kemampuannya. Selena tetap berusaha tenang dan anggun di tempatnya. Dia yakin keluarganya ataupun Samuel pasti akan menemukannya. “Oh, astaga … ini benar-benar lucu. Ternyata istri Mateo De Luca tidak sekuat yang aku bayangkan.” Almero tertawa mengudara. Tawanya begitu puas meledek Miracle yang berhasil dilum
“Nyonya Miracle De Luca, apa yang Anda cari?” Suara berat Almero sontak membuat Miracle terkejut. Refleks, Miracle mengalihkan pandangannya pada Almero. Mengulas senyuman paksaan di wajahnya. Walau hati dan benak Miracle sedang mencurigai sesuatu tapi Miracle tetap menunjukan wajah elegan, anggun, dan berkelas seperti biasanya. “Ah, tidak. Aku hanya sedikit bingung ada restoran baru di sini. Jadi aku mengendarkan pandaganku melihat design restoran kecil ini. Apa kau mengenal pemilik restoran ini, Tuan Almero?” tanya Miracle dengan senyuman penuh arti di wajahnya. Sepasang manik mata biru Miracle tak lepas menatap Almero yang duduk di hadapannya. “Well, saya mengenal pemilik restoran ini. Bahkan sangat mengenal. Dan, ya … restoran ini baru di buka, Nyonya. Itu kenapa restoran ini masih sepi. Tapi khusus hari ini, saya sudah memesan restoran ini. Saya kurang suka keramaian. Terlebih kali ini pembahasan saya dengan Nona Selena sangat penting. Saya ingin fokus dengan project yang saya
Matahari begitu terik. Selena yang tengah ada di dalam mobil sesekali melihat pemandangan di luar. Cuaca cerah seperti ini harusnya Selena mengajak Oliver berjalan-jalan namun rasanya itu tak mungkin karena siang ini Selena memiliki pertemuan penting dengan rekan bisnisnya. Hanya saja, yang membuat Selena bingung adalah kenapa bisa rekan bisnisnya memilih jalanan yang kecil untuk pertemuan mereka. Selena mengembuskan napas panjang dan menepis hal-hal yang muncul dalam benaknya. Mungkin saja memang rekan bisnisnya sedang berada di wilayah tersebut, itu yang sekarang ada di dalam pikiran Selena. Lagi pula, Selena pun tak akan lama. Sepulang dari bertemu dengan rekan bisnisnya, Selena akan segera mengajak Oliver jalan-jalan sore. Tentu yang Selena fokuskan saat ini adalah Oliver. Pekerjaan akan tetap dia pikirkan tapi tidak sepenting dulu. Oliver adalah segalanya. Selena menyadari kalau selama ini waktunya untuk Oliver sangat kurang. Hal itu yang membuat Selena sekarang ingin fokus memb
“Selena, malam ini Samuel datang kan?” Suara Marsha bertanya seraya menatap putrinya yang tengah membersihkan sayur. Ya, setelah tadi pagi ke supermarket, sekarang Marsha dan Selena berada di dapur menyiapkan makan malam. Khusus kali ini Marsha dan Selena memang ingin masak bersama. Bahkan mereka tak ingin pelayan membantu mereka. “Iya, Mom. Samuel pasti datang. Kalau dia tidak datang nanti Oliver akan merajuk. Belakangan ini Oliver sering manja dengan ayahnya, Mom. Jadi aku juga sedikit kerepotan. Oliver tidak suka jika permintaannya ditolak. Samuel terlalu memanjakan Oliver.” Selena menjawab seraya meniriskan sayuran yang telah dibersihkan itu. Lantas Selena mulai mengolah bahan-bahan yang dibutuhkan untuk masakannya. Senyuman di wajah Marsha terlukis mendengar apa yang dikatakan oleh Selena. “Wajar saja kalau Oliver manja. Selama ini dia begitu merindukan ayahnya, Selena. Kau harus mengerti. Hampir lima tahun Oliver tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah. Meski kau telah berjuang