Hujan turun begitu deras membasahi bumi. Langit yang seharusnya cerah itu telah tertutupi oleh awan gelap. Kilat petir membelah langit. Gelegarnya tak seberapa besar. Hanya saja kilat petir itu cukup membuat Selena yang tadi duduk di balkon langsung masuk ke dalam kamar. Cuaca di luar sangat dingin. Kondisi Selena masih belum sepenuhnya pulih. Itu yang membuat Selena tak bisa keluar rumah. Bahkan hingga detik ini pun Selena belum bisa mengunjungi Oliver—putranya. Alasannya karena Samuel ingin Selena menemui Oliver kala hatinya sudah benar-benar tenang. Sungguh, Selena sangat merindukan putra kecilnya. “Nona Selena?” Sang pelayan melangkah masuk ke dalam kamar seraya membawakan mushroom soup yang sebelumnya telah Selena pesan. “Ini soup Anda, Nona.” Pelayan itu menyajikan soup yang dia bawa ke atas meja. “Terima kasih,” jawab Selena hangat. “Hm, apa Samuel masih menelepon?” tanyanya. Sekitar lima belas menit lalu, Samuel mendapatkan telepon dari karyawannya. Namun, sampai sekarang Sa
Aroma madu dan susu melebur menjadi satu di air yang ada di dalam jacuzzi. Uap air hangat memenuhi kaca-kaca di kamar mandi yang megah itu. Selena yang tengah berendam bersama dengan Samuel tampak menikmati waktu mereka, seolah tak memiliki masalah. Padahal begitu banyak kerumitan. Akan tetapi, nyatanya Samuel mampu membuat Selena relaks dari segala masalah yang bertubi-tubi menghampiri mereka. “Samuel, tanganmu.” Selena memukul pelan jemari Samuel yang berada di atas dadanya. “Aku menyukai dadamu,” bisik Samuel vulgar di belakang telinga Selena. Selena menggigit bibir bawahnya menahan desahan kala tangan nakal Samuel tak henti menjelajah di atas dadanya. Sungguh, Selena tak bisa menahan diri. Sejak tadi Samuel mengajak berendam bersama malah pria itu mengerjainya dengan sentuhan-sentuhan maut yang tidak bisa dia tolak. “Samuel—” Selena hendak mengeluarkan suara, namun terhenti kala Samuel membawa tubuhnya menghadap pria itu. Posisi mereka sangat dekat dan sangat intim. Dada Sele
Keheningan menyelimuti di dalam mobil. Samuel fokus melajukan mobilnya sedangkan Selena—yang duduk di samping Samuel tengah sibuk melihat-lihat foto masa kecil Oliver yang ada di ponselnya. Ya, kini Samuel dan Selena di jalan menuju rumah sakit. Mereka ingin menjenguk Miracle. Sesuai dengan janji hari ini Samuel akan mengantarkan Selena menjenguk Miracle. “Kau sedang apa, hm?” tanya Samuel seraya melirik Selena yang sibuk dengan ponsel di tangannya. “Aku sedang melihat foto Oliver saat kecil dulu. Putra kita sangat tampan dan menggemaskan. Kau tahu? Dulu aku berharap putra kita memiliki mata biru sepertiku. Tapi ternyata Oliver malah mengikuti warna matamu,” jawab Selena sambil melihat Samuel. Samuel tersenyum. “Nanti kita akan memiliki banyak anak. Tenang saja aku yakin anak kita pasti akan ada yang bermata biru sepertimu.” Selena pun ikut tersenyum. “Samuel, sepulang dari menjenguk Miracle kita langsung pulang ke rumah keluargaku, ya? Aku rindu putra kita, Samuel. Aku tidak bisa
“Kak? Bagaimana dua wanita sialan itu? Apa dia sudah mati?” Miracle berseru seraya menerima suapa makanan dari Selena. Wanita itu mengunyah makanan dengan raut wajah yang kesal kala membayangkan tentang Iris dan Maida. Selama ini Mateo tak mau banyak bicara membahas apa yang terjadi pada Iris dan Maida. Mateo selalu meminta Miracle untuk lebih banyak beristirahat. “Mereka sudah di penjara, Miracle. Kau tenanglah. Mereka sudah mendapatkan pelajaran atas apa yang telah mereka lakukan.” Selena memberikan air putih untuk Miracle; pun Miracle mengambil air putih itu dan meminumnya perlahan. “Penjara saja tidak cukup. Harusnya aku membunuhnya.” Miracle menyerahkan kembali gelas yang berisikan setengah gelas pada Selena. Nada bicaranya menunjukan jelas kemarahannya. Setiap kali membahas Iris dan Maida, ingin sekali Miracle membunuh kedua wanita itu. Karena bagi Miracle, penjara saja tidak cukup untuk dua wanita busuk itu. Selena meletakan gelas yang diberikan oleh Miracle ke atas meja. “
Selena dan Samuel menatap hangat Oliver dan Joice yang kini telah tertidur pulas. Satu harian ini Oliver dan Joice bermain dan belajar bersama. Awalnya Samuel ingin mengantar Joice pulang namun Joice tak mau diantar pulang. Gadis kecil itu ingin menginap. Akhirnya Samuel pun memutuskan untuk Joice bermalam di sini dan tidur bersama Oliver. “Samuel, mereka menggemaskan sekali. Aku senang setiap kali Joice ke sini. Joice sangat cantik. Semoga suatu saat nanti kita memiliki anak perempuan yang cantik dan menggemaskan seperti Joice,” ucap Selena pelan dan lembut. Samuel terdiam sejenak mendengar ucapan Selena. “Memiliki anak perempuan adalah hal yang tersulit untukku, Selena. Sejak dulu aku selalu berharap hanya memiliki anak laki-laki saja. Tapi aku tidak ingin memungkiri kalau aku juga ingin memiliki anak perempuan darimu.” Samuel membawa tangannya membelai pipi Selena. “Kenapa kau takut memiliki anak perempuan?” tanya Selena seraya menatap Samuel. “Kau sangat tahu betapa berengsekn
Waktu berjalan begitu cepat. Kondisi Miracle sudah jauh lebih baik bahkan Miracle sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Hanya saja meski sudah di rumah tetap dokter wajib memeriksa kondisi Miracle. Pun keadaan Selena sudah membaik. Selena tak lagi mengalami mimpi buruk paska penculikan tempo hari. Dan hari ini adalah hari yang telah ditunggu-tunggu oleh semua orang. Hari di mana persidangan Iris dan Maida. Tentu Selena dan Miracle diwajibkan datang ke persidangan. Awalnya Samuel hanya ingin Selena saja yang datang mengingat Miracle baru saja keluar dari rumah sakit, akan tetapi Miracle memaksa untuk turut hadir dalam persidangan tersebut. Hingga akhirnya pun Samuel memutuskan Miracle boleh hadir dalam pesidangan, tentu sebelumnya Samuel sudah berunding dengan William dan Mateo. Kini Selena tengah duduk di depan kursi meja rias. Wanita itu menatap cermin dengan tatapan kosong dan pikiran yang menerawang lurus ke depan. Beberapa kali Selena mengembuskan napas berat. Tak pernah Selena s
Suasana di persidangan begitu mencekam kala pengacara Iris dan Maida mulai melakukan pembelaan. Beberapa kali Samuel menyanggah ucapan pengacara Iris dan Maida, tapi sayangnya hakim meminta Samuel untuk tak bicara. Pun Samuel terpaksa harus mengikuti aturan yang berlaku karena dalam persidangan posisi tertinggi adalah hakim yang akan mengambil keputusan final. “Yang Mulia, apa yang telah dilakukan oleh Nona Iris Halburt adalah karena rasa cemburu dan marah. Nona Selena Geovan telah merebut Tuan Samuel Maxton bahkan sampai hamil. Nona Iris dan Tuan Samuel telah menjalin hubungan sangat lama. Mereka telah merencanakan pernikahan. Apa yang dilakukan oleh Nona Iris adalah bentuk dari seorang wanita yang patah hati. Bukankah di sini Nona Selena Geovan juga bersalah? Dia telah berselingkuh dengan pria yang sebentar lagi menikah. Kasus ini tidak bisa disebut sebagai kejahatan seksual. Saya mohon segera pertimbangkan lagi segala tuntutan yang dilayangkan untuk Nona Iris Halburt dan Nona Maid
“Apa kau sudah puas dengan vonis yang dijatuhkan untuk dua wanita sialan itu, Dad?” Sean bertanya pada ayahnya seraya menyesap wine di tangannya. Tatapannya menatap William—yang duduk di hadapannya dengan raut wajah serius. Kini Sean bersama dengan Dominic berada di ruang kerja ayahnya. Mereka sama-sama membahas tentang persidangan tadi.“Aku lebih menyukai mereka dihukum mati daripada dua puluh tahun penjara. Penjara terlalu bagus untuknya.”William mengambil whisky yang ada di hadapannya, disesapnya perlahan dengan sorot pandang lurus ke depan. Kebencian menyelimuti pria paruh baya itu. Bagi William vonis hukuman dua puluh tahun penjara untuk Iris dan Maida tidaklah cukup. Tindak kejahatan Iris dan Maida tak bisa termaafkan. Terlebih ketika tadi di persidangan; rekaman suara kembali diputar. Membuat emosi dan amarah William begitu membakar. “Dalam hal ini Iris dan Maida tidak bisa dihukum mati. Jelas kau tahu kalau Selena dan Miracle selamat dari bahaya. Menurutku dua puluh tahun
Beberapa bulan kemudian … Zurich, Swiss. Langit begitu biru dan indah membaur dengan perkebunan buah anggur yang ada di Swiss. Cuaca pagi di musim semi sangatlah indah. Angin yang berembus ke kulit begitu menyejukan. Tampak tatapan Selena sedari tadi menatap Oliver yang tengah bersama dengan Javier memetik buah anggur di perkebunan. Meski ada empat pengawal yang menemani Oliver dan Javier tetap saja Selena tak bisa melepaskan tatapannya dari kedua anak laki-lakinya itu. “Sayang, Oliver bisa menjaga Javier dengan baik. Kau tenang saja.” Samuel membelai pipi Selena dengan lembut. Selena menghela napas dalam. Tatapan Selena mulai teralih ke dua bayi perempuan kembarnya yang tertidur lelap di stroller. Senyuman di wajah Selena pun terlukis hangat melihat Stacy dan Sierra tertidur pulas. Sekarang usia Stacy dan Sierra sudah 7 bulan. Tubuh kedua bayi perempuannya sangat gemuk dan sehat. Stacy yang lahir lebih dulu memiliki rambut berwarna cokelat tebal dan mata biru. Sedangkan Sierra—s
Miller International School, London. “Aw.” Seorang gadis kecil cantik terjatuh akibat bermain lari-larian dengan teman-temannya. Tampak lutut gadis kecil itu terluka dan mengeluarkan darah. Dengan pelan, gadis kecil itu berusaha untuk bangun tapi tubuhnya malah tak seimbang dan nyaris jatuh. Tepat dikala tubuh gadis kecil itu nyaris terjatuh, sosok bocah laki-laki yang memiliki postur tubuh tinggi menangkap gadis kecil itu. “Terima kasih,” ucap gadis kecil itu melangkah menjauh dari laki-laki yang membantunya. Namun, tiba-tiba manik mata gadis kecil itu melebar terkejut kala menatap sosok laki-laki yang telah membantunya itu. “Oliver? Kau di sini?” Mata Nicole mengerjap beberapa kali menatap Oliver. Oliver menarik tangan Nicole, mendudukan tubuh Nicole di kursi, lalu bocah laki-laki itu mengambil kotak obat yang letaknya berada di ruang kesehatan. Beruntung ruang kesehatan tidak terlalu jauh dari posisi di mana Oliver dan Nicole berada. Saat kotak obat sudah ada di tangan Oliver,
“Bye, Sayang. Jaga diri kalian. Jangan membuat Grandpa William dan Grandma Marsha kerepotan. Ingat kalian harus patuh pada Grandpa dan Grandma.” Selena berseru pada Oliver dan Javier yang masuk ke dalam mobil. Terlihat Oliver dan Javier kompak mengangguk patuh merespon ucapan ibu mereka. Ya, hari ini Oliver dan Javier harus pergi ke rumah William dan Marsha. Menjelang Selena melahirkan, William dan Marsha memang berada di London. Sedangkan kakak dan adik Selena lain akan tiba di London dalam waktu beberapa hari lagi. Mengingat kakak dan adik Selena tak tinggal di negara yang sama, membuat Selena tak terlalu sering bertemu dengan kakak dan adiknya. Meski demikian, komunikasi selalu terjalin dengan sangat erat. “Bye, Papa, Mama.” Oliver dan Javier melambaikan tangan mereka kompak pada Selena dan Samuel. Pun Selena dan Samuel membalas lambaian tangan anak-anak mereka. Dan ketika mobil yang membawa Oliver dan Javier sudah pergi, Selena segera masuk ke dalam rumah tanpa mengatakan pada S
“Oh, My God! Raven, Rosalie, kenapa kalian merusak make up Mommy? Astaga! Ini make up kesayangan Mommy, Sayang.” Juliet rasanya ingin menjerit melihat semua perlengkapan make up miliknya hancur berantakan. Mulai dari koleksi lipstick, eyeshadow, foundation, dan masih banyak lainnya. Semua sudah berantakan di lantai kamar. Baru beberapa detik Juliet ke kamar mandi karena mengambil ponselnya yang tertinggal di wastafel, tapi dalam hitungan detik juga kamar sudah seperti kapal pecah. Memang kedua anaknya itu sudah sangat aktif. Sore ini, Juliet sengaja tak meminta pengasuh untuk masuk ke dalam kamarnya, pasalnya Juliet ingin mengajak kedua anaknya itu bermain sambil menunggu sang suami pulang dari kantor. Tapi alih-alih niatnya terealisasi malah kekacauan sudah lebih dulu tiba menghampiri dirinya. Sungguh, Juliet bisa-bisanya lupa kalau kedua anaknya sangatlah aktif. Alhasil koleksi make up miliknya hancur lebur. Bedak saja sudah berceceran di lantai. Terutama lipstick yang tak lagi ber
“Mommy, aku pulang.” Joice melangkah masuk ke dalam rumah dengan raut wajah yang muram. Gadis kecil cantik itu nampak lesu seperti tengah memikirkan hal yang mengusik pikirannya. Joice meletakan tas sekolah ke sofa, dan duduk di sofa itu. Jika biasanya Joice selalu riang gembira, kali ini gadis kecil itu tak seceria biasanya. “Sayang? Kau kenapa?” Brianna yang baru saja selesai menyiram tanaman, dikejutkan dengan putri kecilnya yang pulang dari sekolah dalam keadaan wajah yang muram. Padahal setiap hari, Joice selalu pulang sekolah dalam keadaan wajah yang riang gembira. “Tidak apa-apa, Mom. Aku hanya lelah saja,” jawab Joice pelan. Brianna menghela napas dalam. Brianna yakin pasti ada yang tidak beres dengan putri kecinya itu. “Katakan pada Mommy ada apa, Nak?” tanyanya seraya duduk di samping Joice. “Mommy aku ingin bertanya padamu.” “Kau ingin tanya apa, Sayang?” “Hm, apa aku ini tidak cantik, Mom?” Joice menyandarkan kepalanya di lengan Brianna. Bibir Joice mengerut, menunj
Tiga tahun berlalu … Miller International School, London. “Oliver Maxton! Pulang sekarang! Tidak ada main basket!” Selena berkacak pinggang mengomel pada putra sulungnya yang berusia 8 tahun. Tampak mata Selena menatap dingin dan tegas putranya itu. Aura kemarahan begitu terlihat jelas di paras cantik wanita itu. Dengan keadaan perut yang membuncit, Selena mengomeli putranya di tengah jalan. Ya, saat ini Selena tengah mengandung untuk ketiga kalinya. Ulah Samuel membuat Selena hamil lagi. Hanya saja kali ini berbeda. Kehamilan ketiga ini, Selena hamil bayi kembar. Sungguh, Selena berjanji setelah ini dia akan steril tak ingin lagi memiliki anak. Tubuhnya baru saja langsing tapi sudah harus bengkak lagi. Padahal niat Selena adalah memiliki dua anak. Tapi ternyata malah kecolongan. “Ck! Ma, guru sudah menghukumku time out. Mama kenapa menghukumku juga? Nanti aku akan menghubungi Grandpa William. Aku akan meminta Grandpa William memecat guru yang sudah berani menghukumku,” tukas Oli
Beberapa bulan kemudian … Fistral Beach, Newquay, UK. Deburan ombak menyapu kaki telanjang Juliet. Angin berembus menerpa kulit Juliet membuatnya Juliet memejamkan matanya sebentar, menikmati keindahan musim panas. Tampak Rava begitu setia mengikuti langkah kaki Juliet. Sesekali Juliet menatap banyak anak muda yang siap-siap untuk berselancar. Fistral Beach memang salah satu pantai di Inggris yang menjadi tempat favorite untuk berselancar. Kandungan Juliet kini telah memasuki minggu ke dua puluh tiga. Perut Juliet sudah membuncit. Tubuhnya pun mulai mengalami kenaikan berat badan, namun tak terlalu parah. Pasalnya selama hamil, Juliet tak terlalu nafsu makan. Meski sudah dipaksa oleh Rava, tapi tetap saja Juliet menolak. Trimester pertama, Juliet mengalami mual hebat sampai tak bisa makan apa pun. Rava sampai harus meminta dokter mengontrol Juliet setiap hari karena Juliet tak bisa makan. Dan beruntung sekarang kondisi Juliet sudah jauh lebih baik. Ngomong-ngomong, anak yang ad
Seoul, South Korea. Angin berembus di kota Seoul begitu menyejukan. Musim semi adalah salah satu musim terbaik di Seoul. Bunga Sakura banyak tumbuh dengan indah. Salah satu kota di Benua Asia yang menyajikan keindahan dan budaya setempat yang kental. Kota ini adalah kota yang dipilih oleh Dean dan Brianna menikmati bulan madu indah mereka. Selama di Seoul, Dean dan Brianna selalu mengabadikan moment-moment indah mereka. Moment di mana tak akan pernah mereka lupakan. Dua insan itu akhirnya telah menjadi satu setelah banyaknya rintangan. Meski tak mudah, tapi Dean dan Brianna membuktikan mereka mampu bersatu. “Sayang, ayo bangun. Kenapa jam segini kau belum bangun juga?” Brianna menggoyangkan bahu Dean, meminta suaminya itu untuk bangun. Waktu menunjukan pukul 10 pagi. Brianna ingin segera jalan-jalan menikmati indahnya kota Seoul. Meski lelah karena selalu olahraga malam, tapi Brianna tak mau menyia-nyiakan moment bulan madunya dengan sang suami tercinta. Dean menggeliat mendengar
Sebuah hotel mewah di London telah dipadati oleh wartawan yang lebih dulu hadir. Dekorasi ballroom hotel itu tampak memukau. Hiasan mawar dipadukan bunga lily dan batu Swarovski begitu indah menawan. Red carpet yang terpasang di lantai seakan memberikan sentuhan mewah. Ballroom hotel megah ini telah disulap layaknya tempat di mana pangeran dan putri akan menikah. Nuansa tema kental kerajaan melekat di ballroom hotel megah itu. Ya, hari ini adalah hari yang telah dinanti-nantikan oleh Dean dan Brianna. Hari di mana mereka akan segera melangsungkan pernikahan. Setelah banyaknya rintangan yang mereka hadapi akhirnya Dean dan Brianna dapat melewati badai masalah yang hadir. Takdir memang memiliki caranya sendiri menunjukan siapa belahan jiwa kita yang sebenarnya. Harusnya Dean menikah dengan Juliet, tapi ternyata takdir Dean adalah Brianna. Sedangkan Juliet menikah dengan Rava. Pun dulu Samuel tak menyetujui hubungan Dean dan Brianna. Samuel adalah satu-satunya orang yang menentang hubu