Pelupuk mata Selena bergerak. Mengerjap beberapa kali. Perlahan Selena mulai membuka matanya. Ringisan perih lolos di bibir Selena kala tubuhnya sedikit bergerak. Inti tubuh bagian bawah Selena begitu nyeri kesakitan. Tubuhnya terasa remuk. Bahkan rasanya Selena sulit untuk bergerak. Beberapa detik, Selena masih terdiam. Membiarkan rasa sakit itu membaik dengan sendirinya. Meski tak langsung tapi sudah sedikit membaik. Tatapan Selena mulai menoleh ke samping—tampak embusan napas Selena terdengar. Ternyata Samuel tidak ada di sampingnya. Kemudian, Selena mengendarkan pandangannya ke sekitar kamar. Waktu masih tengah malam. Harusnya Samuel ada di sampingnya. Tapi kenyataan yang didapat, Samuel tak ada di sampingnya. Hingga kemudian, tanpa disengaja tatapan Selena menangkap punggung kekar Samuel berdiri di balkon. Senyuman di wajah Selena terlukis. Rupanya Samuel tengah berdiri di balkon kamar. Pria itu hanya memakai celana panjang dan bertelanjang dada. Otot-otot Samuel membentuk di p
Aroma pasta carbonara yang baru saja matang menyeruak ke indra penciuman Selena. Perlahan Selena membuka matanya. Wanita itu menggeliat dan menguap. Ringisan perih terdengar di bibir Selena kala merasakan tubuh bagian bawahnya terasa perih. Dan ketika Selena sudah membuka mata—senyuman di wajahnya terlukis melihat Samuel duduk di hadapannya seraya memegang piring yang berisikan pasta carbonara. “Good moning.” Samuel mencium bibir Selena singkat. “Morning. Maaf aku terlambat bangun,” jawab Selena seraya mengulas senyuman di wajahnya. Tubuh wanita itu masih polos tanpa sehelai benang pun menempel. Hanya selimut tebal yang membantu menutupi tubuh wanita itu. “Jangan meminta maaf. Kau pasti lelah.” Samuel kembali mencium bibir Selena gemas. Selena mendengkus. “Jelas saja aku lelah. Siapa yang membuatku lelah, hm?” “Tubuhmu terlalu indah untuk disia-siakan,” bisik Samuel serak di depan bibir Selena. Selena mendecakan lidahnya sebal. Sungguh, dia tak habis pikir dengan Samuel. Tadi ma
“Papa … apa Papa dan Mama sudah selesai membuat adik untukku? Kenapa lama sekali? Sampai sekarang tidak muncul-muncul.” Oliver berucap tanpa dosa dan begitu polos sontak membuat semua orang terkejut. Tampak William menatap Samuel dan Selena bergantian. Tatapan yang tajam dan penuh peringatan. Sorot mata William bak laser yang siap menembak. Sedangkan Selena? Jelas Selena nyaris pingsan mendengar pertanyaan Oliver. Bahkan kaki Selena rasanya tak sanggup untuk berdiri. Tatapan sang ayah padanya membuat jantung Selena seakan ingin berhenti berdetak. Selena mengatur napasnya. Berusaha mengatasi rasa cemas dan takut yang melandanya dirinya. Buru-buru Selena memasang wajah yang seolah tak mengerti dengan apa yang diucapkan oleh Oliver. Namun kala Selena baru saja hendak berucap, Samuel menggendong Oliver. Pria itu nampaknya mengambil alih situasi tegang ini. “Boy, nanti kau akan memiliki adik. Tunggulah.” Samuel mengecupi pipi bulat Oliver. Jika Selena panik dan ketakutan mendapatkan tat
Selena menatap Oliver yang tertidur pulas dalam pelukannya. Putra kecilnya itu seharian ini sibuk dengan belajar dan bermain. Sekarang setelah banyak aktivitas, putra kecilnya itu langsung tertiur dalam pelukannya. Sungguh, setiap kali Selena melihat Oliver seperti dirinya melihat Samuel. Wajah Samuel dan Oliver memang bagaikan pinang di belah dua. “Kau mirip sekali seperti Papa, Nak,” bisik Selena seraya mengecupi pipi bulat Oliver. Mengusap rambut putranya. Beberapa kali Selena menciumi seluruh wajah Oliver. Hal yang paling Selena sukai adalah aroma napas Oliver. Harum seperti bayi yang baru lahir. “Hidungmu mancung seperti Papa. Rambutmu juga seperti Papa. Kenapa semuanya mirip Papa, hm? Harusnya kau lebih banyak mirip Mama.” Selena bergumam pelan seraya mengusap punggung Oliver. “Oliver memang wajib miripku.” Suara berat Samuel melangkah memasuki kamar Oliver. Tampak tatapan Samuel menatap hangat Selena yang memeluk Oliver. Entah tiap kali dirinya melihat Selena memeluk Oliver
Mobil Samuel meluncur dengan kecepatan di atas rata-rata membelah kota London. Tampak Oliver yang duduk di kursi belakang selalu berceloteh mengajak bicara Selena yang duduk di kursi depan. Ya, sepanjang perjalanan memang Oliver selalu menceritakan tentang aktivitasnya. Baik itu aktivias belajar ataupun bermain. Padahal Samuel dan Selena sering mengawasi putranya itu tapi tetap saja putranya itu akan selalu bercerita. “Papa,” panggil Oliver seraya menatap Samuel yang duduk di kursi pengemudi. “Ada apa, Boy?” tanya Samuel sambil melirik kaca spionnya sekilas. “Pa, apa Grandpa Kelton juga pengacara seperti Papa?” tanya Oliver polos ingin tahu. “Tidak, Boy. Grandpa Kelton sama seperti Grandpa William yang memiliki perusahaan sendiri,” jawab Samuel memberitahu. Oliver menganguk-anggukan kepalanya. “Tapi kalau aku ingin menjadi pengacara seperti Papa. Bolehkan, Pa?” “Of course, Boy. Aku akan mengajarimu cara menjadi pengacara yang hebat,” jawab Samuel dengan senyuman di wajahnya. Se
“Grandma … Grandma cantik sekali seperti Grandma Marsha.” Oliver berucap dengan nada polos seraya menerima suapan pudding cokelat dari Jillian. “Grandpa juga tampan seperti Grandpa William.” Oliver melanjutkan ucapannya. Ya, kini bocah laki-laki itu tengah berada di kamar masa kecil Samuel. Kamar nuansa navy dengan mainan yang super lengkap. Tentu Oliver berada di kamar itu bersama dengan Jillian dan Kelton. “Benarkah itu, Sayang? Grandma dan Grandpa sudah tua. Apa kami masih tampan dan cantik?” jawab Jillian hangat dan menatap Oliver penuh dengan tatapan kasih sayang. Oliver mengangguk yakin. “Iya, Grandma. Grandma sangat cantik. Grandpa juga sangat tampan.” Jillian dan Kelton tersenyum kala mendengar ucapan polos Oliver. “Malam ini Oliver menginap di sini saja ya, Sayang. Oliver mau kan?” tanya Jillian tersirat membujuk Oliver. “Aku mau Grandma tapi Papa dan Mama mengizinkanku menginap di sini atau tidak?” jawab Oliver sambil memiringkan kepalanya. Pipi Oliver bulat seperti tom
“Samuel, kau sudah menghubungi ayahku kalau malam ini kita tidak pulang?” Selena bertanya kala Samuel baru saja masuk ke dalam kamar. Sejak tadi Selena dilanda kecemasan. Pasalnya dia takut kalau ayahnya murka karena dirinya tidak pulang. Sungguh, di usia yang hampir 30 tahun ini, Selena kerap diperilakukan layaknya seorang anak kecil yang wajib pada aturan ketat keluarga. Tak memungkiri Selena pun jengah akan aturan-aturan itu. Ingin sekali Selena melawan tapi sekarang ini hubungan Selena dengan keluarganya baru saja membaik. Itu yang membuat Selena memilih untuk tak membantah keluarganya. “Sudah, aku sudah menghubungi ayahmu.” Samuel duduk di ranjang tepat di samping Selena. Lantas pria itu memberikan kecupan lembut di bibir Selena seraya membelai pipi putih nan mulus Selena. Sesaat, Samuel mengulas senyuman samar di wajahnya melihat wajah Selena yang begitu cemas dan panik. Terlihat sangat menggemaskan di mata Samuel. “Apa yang ayahku katakan padamu? Apa dia marah?” tanya Sele
Suara dering ponsel terdengar membuat Selena yang tengah tertidur pulas langsung terbangun. Perlahan Selena mengerjap beberapa kali. Lantas Selena mengambil ponselnya yang ada di atas nakas dan langsung menjawab panggilan itu tanpa melihat ke layar siapa yang menghubunginya. “Halo?” jawab Selena dengan suara serak khas baru bangun tdiur kala panggilan terhubung. “Selamat pagi, Nona Selena. Maaf mengganggu Anda,” ujar seorang wanita dari seberang sana yang suaranya begitu familiar. Selena mendesah panjang. Tanpa harus melihat ke layar, dia sudah tahu kalau yang menghubunginya itu adalah Jenia—asistennya. Sebelum menjawab panggilan itu, Selena melirik jam dinding—waktu menunjukan pukul tujuh pagi. Jika sepagi ini asistennya sudah menghubunginya artinya memang ada hal yang penting. “Ada apa, Jenia?” tanya Selena langsung tanpa basa-basi. “Begini, Nona. Ada salah satu perusahaan asal Los Angeles ingin membangun cabang perusahaan di London. Mereka menggunakan jasa Nicholas Design Inte
Samuel menatap Selena yang tertidur begitu pulas. Sekitar sepuluh menit lalu, Samuel meminta dokter untuk menyuntikan obat penenang pada Selena agar wanita itu tidur nyaman. Beruntung, Selena pun sejak tadi menuruti semua perkataannya. Lebih tepatnya tubuh Selena begitu lemah sampai membuat wanita itu tak banyak bicara.Saat ini Samuel membawa Selena ke apartemen pribadinya. Dia tak mungkin membawa Selena ke mansion keluarga Geovan. Pasalnya Samuel tak ingin membuat kedua orang tua Selena cemas. Pun di sana ada Oliver. Itu kenapa Samuel lebih memilih membawa Selena ke apartemen pribadinya. Sejenak, Samuel mengembuskan napas panjang. Dalam benaknya terus saja memikirkan bagaimana kalau dirinya sampai datang terlambat. Shit! Samuel mengumpat dalam hati, ingatannya tergali saat Almero hendak menyentuh Selena. Jika mengingat itu semua membuat emosi Samuel terasa begitu terbakar. Harusnya dia membunuh Almero dengan cara yang lebih kejam! Sungguh, membayangkan itu semua membuat Samuel bena
Brakkkk Suara dobrakan pintu yang begitu keras suskes membuat pintu itu terpental. Refleks, Almero mengalihkan pandangannya kala pintu berhasil terdobrak. Seketika mata Almero terkejut melihat dia sosok pria yang datang menatapnya dengan tatapan penuh amarah. “Berengsek!” Samuel menerjang Almero dengan emosi yang nyaris meledak. Tanpa belas kasihan, Samuel menarik kerah baju Almero, menghajarnya tanpa ampun. BUGH BUGH BUGH BUGH “Mati kau, Sialan!” Samuel menendang perut Almero hingga membuat Almero tersungkur di lantai. Namun, kala Samuel ingin kembali menyerang Almero tiba-tiba anak buah Almero berhamburan datang. Tampak Samuel dan Mateo melangkah mundur. Mateo sejak tadi ingin menolong Miracle tapi dia tak bisa melakukanya sekarang. Kondisinya dikepung seperti ini membuat Mateo harus melumpuhkan anak buah Almero lebih dulu. Napas Mateo memburu. Sorot matanya menajam dan memendung amarah. Darah Miracle memenuhi lantai membuat emosi Mateo tersulit. Fuck! Mateo mengumpat dalam
“Tubuhmu. Kesepakatanku dengan Iris adalah aku bisa mencicipi tubuh indahmu, Nona Geovan.” Raut wajah Selena berubah menjadi pucat mendengar apa yang diucapkan oleh Almero. Sepasang iris mata biru Selena melebar tersirat rasa takut yang telah menelusup ke dalam dirinya. Wanita itu menegang dengan rasa cemas yang melanda hebat dirinya. Seketika itu juga jantung Selena berpacu begitu keras akibat ketakutannya. Peluh mulai muncul di pelipisnya. Dalam hati, Selena berharap Samuel atau keluarganya bisa datang tepat waktu menyelamatkan dirinya dan Miracle. “Berengsek! Jaga bicaramu!” maki Miracle emosi. Wanita itu tak bisa lagi menahan amarah kala mendengar ucapan kurang ajar yang diucapkan oleh pria yang bernama Almero Abner. Ini sudah waktunya untuk bertindak. Meski Miracle tahu dirinya akan sulit melawan dalam posisi tangan di borgol tapi tetap saja Miracle akan berjuang sekuat tenaga. Dia tak akan membiarkan terjadi sesuatu hal yang buruk pada saudara kembarnya itu. Almero melirik Mi
“Kau—” Mata Selena menatap dua wanita di hadapannya dengan tatapan yang begitu tajam dan tersirat memendung amarahnya. Rahang Selena mengetat. Tangannya terkepal begitu kuat. Mati-matian Selena berusaha menahan amarah dalam dirinya. Sudah sejak tadi Selena menduga dalang dibalik ini semua. Tapi Selena tak menyangka ternyata apa yang ada di dalam benaknya adalah sungguhan. “Hi, Selena. Long time no see. Senang sekali aku bertemu denganmu di tempat ini.” Wanita di hadapan Selena itu menyapa sekaligus melukiskan senyuman anggun seraya mengibaskan rambutnya. “Fuck! Jalang sialan! Beraninya kau menjebak saudara kembarku! Apa kau bosan hidup!” Miracle hendak menyerang sosok wanita di hadapannya. Meski tangannya terborgol bisa saja Miracle melompat agar tetap bisa bangun. Bodohnya orang-orang yang menculiknya itu tak mengikat kakinya. Itu yang mempermudah Miracle. “No, Miracle. Please.” Selena langsung mencegah Miracle. Meminta saudara kembarnya itu untuk tenang dan tak terpancing oleh em
Pelupuk mata Selena bergerak-gerak. Perlahan Selena mulai membuka matanya. Wanita itu sedikit meringis merasakan tubuhnya terasa sakit. Sayup-sayup, Selena mengendarkan pandangannya di sekitar—melihat dirinya berada di sebuah gudang gelap dan berukuran besar. Selena memijat pelipisnya kala rasa sakit di kepalanya muncul menyerang. Tubuhnya pun nyeridan pegal.“Akh—” Selena meringis merasakan sakit di tengkuk lehernya. Beberapa detik, Selena tampak terdiam berusaha mengingat kenapa dirinya bisa berada di gudang beruangan gelap seperti ini. Lalu … tiba-tiba ketika ingatan di kepala Selena muncul, wanita itu terkejut sekaligus ketakutan mengingat semua yang terjadi. Napas Selena cemas. Namun mati-matian Selena menyingkirkan rasa takut yang telah menelusup ke dalam dirinya. Ya, setakut apa pun dirinya, Selena yakin Samuel ataupun keluarganya pasti akan datang mencarinya. Dalam keadaan seperti ini takut hanyalah sia-sia. Yang Selena bisa lakukan hanya tetap tenang dan mencoba untuk berpiki
Tubuh Selena bergetar ketakutan melihat Miracle jatuh pingsan. Raut wajahnya pucat pasi begitu terlihat jelas. Mata Selena menatap nanar Miracle yang tergeletak tak berdaya di lantai. Jantung wanita itu berdetak tak karuan. Sejenak, Selena berusaha berpikir siapa dalang dibalik semua itu. Pasalnya Selena tak pernah memiliki musuh. Hingga kemudian, tiba-tiba sesuatu muncul dalam benaknya. Sesuatu hal di mana dia mulai tahu siapa dalang dibalik semua ini. Hanya saja Selena masih memiliki keraguan. Beberapa detik, Selena masih diam melihat pria yang bernama ‘Almero Abner’ tertawa melihat Miracle berhasil dilumpuhkan. Napas Selena memburu. Ingin sekali dia melawan tapi Selena tahu kemampuannya. Selena tetap berusaha tenang dan anggun di tempatnya. Dia yakin keluarganya ataupun Samuel pasti akan menemukannya. “Oh, astaga … ini benar-benar lucu. Ternyata istri Mateo De Luca tidak sekuat yang aku bayangkan.” Almero tertawa mengudara. Tawanya begitu puas meledek Miracle yang berhasil dilum
“Nyonya Miracle De Luca, apa yang Anda cari?” Suara berat Almero sontak membuat Miracle terkejut. Refleks, Miracle mengalihkan pandangannya pada Almero. Mengulas senyuman paksaan di wajahnya. Walau hati dan benak Miracle sedang mencurigai sesuatu tapi Miracle tetap menunjukan wajah elegan, anggun, dan berkelas seperti biasanya. “Ah, tidak. Aku hanya sedikit bingung ada restoran baru di sini. Jadi aku mengendarkan pandaganku melihat design restoran kecil ini. Apa kau mengenal pemilik restoran ini, Tuan Almero?” tanya Miracle dengan senyuman penuh arti di wajahnya. Sepasang manik mata biru Miracle tak lepas menatap Almero yang duduk di hadapannya. “Well, saya mengenal pemilik restoran ini. Bahkan sangat mengenal. Dan, ya … restoran ini baru di buka, Nyonya. Itu kenapa restoran ini masih sepi. Tapi khusus hari ini, saya sudah memesan restoran ini. Saya kurang suka keramaian. Terlebih kali ini pembahasan saya dengan Nona Selena sangat penting. Saya ingin fokus dengan project yang saya
Matahari begitu terik. Selena yang tengah ada di dalam mobil sesekali melihat pemandangan di luar. Cuaca cerah seperti ini harusnya Selena mengajak Oliver berjalan-jalan namun rasanya itu tak mungkin karena siang ini Selena memiliki pertemuan penting dengan rekan bisnisnya. Hanya saja, yang membuat Selena bingung adalah kenapa bisa rekan bisnisnya memilih jalanan yang kecil untuk pertemuan mereka. Selena mengembuskan napas panjang dan menepis hal-hal yang muncul dalam benaknya. Mungkin saja memang rekan bisnisnya sedang berada di wilayah tersebut, itu yang sekarang ada di dalam pikiran Selena. Lagi pula, Selena pun tak akan lama. Sepulang dari bertemu dengan rekan bisnisnya, Selena akan segera mengajak Oliver jalan-jalan sore. Tentu yang Selena fokuskan saat ini adalah Oliver. Pekerjaan akan tetap dia pikirkan tapi tidak sepenting dulu. Oliver adalah segalanya. Selena menyadari kalau selama ini waktunya untuk Oliver sangat kurang. Hal itu yang membuat Selena sekarang ingin fokus memb
“Selena, malam ini Samuel datang kan?” Suara Marsha bertanya seraya menatap putrinya yang tengah membersihkan sayur. Ya, setelah tadi pagi ke supermarket, sekarang Marsha dan Selena berada di dapur menyiapkan makan malam. Khusus kali ini Marsha dan Selena memang ingin masak bersama. Bahkan mereka tak ingin pelayan membantu mereka. “Iya, Mom. Samuel pasti datang. Kalau dia tidak datang nanti Oliver akan merajuk. Belakangan ini Oliver sering manja dengan ayahnya, Mom. Jadi aku juga sedikit kerepotan. Oliver tidak suka jika permintaannya ditolak. Samuel terlalu memanjakan Oliver.” Selena menjawab seraya meniriskan sayuran yang telah dibersihkan itu. Lantas Selena mulai mengolah bahan-bahan yang dibutuhkan untuk masakannya. Senyuman di wajah Marsha terlukis mendengar apa yang dikatakan oleh Selena. “Wajar saja kalau Oliver manja. Selama ini dia begitu merindukan ayahnya, Selena. Kau harus mengerti. Hampir lima tahun Oliver tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah. Meski kau telah berjuang