Mobil Samuel meluncur dengan kecepatan di atas rata-rata membelah kota London. Tampak Oliver yang duduk di kursi belakang selalu berceloteh mengajak bicara Selena yang duduk di kursi depan. Ya, sepanjang perjalanan memang Oliver selalu menceritakan tentang aktivitasnya. Baik itu aktivias belajar ataupun bermain. Padahal Samuel dan Selena sering mengawasi putranya itu tapi tetap saja putranya itu akan selalu bercerita. “Papa,” panggil Oliver seraya menatap Samuel yang duduk di kursi pengemudi. “Ada apa, Boy?” tanya Samuel sambil melirik kaca spionnya sekilas. “Pa, apa Grandpa Kelton juga pengacara seperti Papa?” tanya Oliver polos ingin tahu. “Tidak, Boy. Grandpa Kelton sama seperti Grandpa William yang memiliki perusahaan sendiri,” jawab Samuel memberitahu. Oliver menganguk-anggukan kepalanya. “Tapi kalau aku ingin menjadi pengacara seperti Papa. Bolehkan, Pa?” “Of course, Boy. Aku akan mengajarimu cara menjadi pengacara yang hebat,” jawab Samuel dengan senyuman di wajahnya. Se
“Grandma … Grandma cantik sekali seperti Grandma Marsha.” Oliver berucap dengan nada polos seraya menerima suapan pudding cokelat dari Jillian. “Grandpa juga tampan seperti Grandpa William.” Oliver melanjutkan ucapannya. Ya, kini bocah laki-laki itu tengah berada di kamar masa kecil Samuel. Kamar nuansa navy dengan mainan yang super lengkap. Tentu Oliver berada di kamar itu bersama dengan Jillian dan Kelton. “Benarkah itu, Sayang? Grandma dan Grandpa sudah tua. Apa kami masih tampan dan cantik?” jawab Jillian hangat dan menatap Oliver penuh dengan tatapan kasih sayang. Oliver mengangguk yakin. “Iya, Grandma. Grandma sangat cantik. Grandpa juga sangat tampan.” Jillian dan Kelton tersenyum kala mendengar ucapan polos Oliver. “Malam ini Oliver menginap di sini saja ya, Sayang. Oliver mau kan?” tanya Jillian tersirat membujuk Oliver. “Aku mau Grandma tapi Papa dan Mama mengizinkanku menginap di sini atau tidak?” jawab Oliver sambil memiringkan kepalanya. Pipi Oliver bulat seperti tom
“Samuel, kau sudah menghubungi ayahku kalau malam ini kita tidak pulang?” Selena bertanya kala Samuel baru saja masuk ke dalam kamar. Sejak tadi Selena dilanda kecemasan. Pasalnya dia takut kalau ayahnya murka karena dirinya tidak pulang. Sungguh, di usia yang hampir 30 tahun ini, Selena kerap diperilakukan layaknya seorang anak kecil yang wajib pada aturan ketat keluarga. Tak memungkiri Selena pun jengah akan aturan-aturan itu. Ingin sekali Selena melawan tapi sekarang ini hubungan Selena dengan keluarganya baru saja membaik. Itu yang membuat Selena memilih untuk tak membantah keluarganya. “Sudah, aku sudah menghubungi ayahmu.” Samuel duduk di ranjang tepat di samping Selena. Lantas pria itu memberikan kecupan lembut di bibir Selena seraya membelai pipi putih nan mulus Selena. Sesaat, Samuel mengulas senyuman samar di wajahnya melihat wajah Selena yang begitu cemas dan panik. Terlihat sangat menggemaskan di mata Samuel. “Apa yang ayahku katakan padamu? Apa dia marah?” tanya Sele
Suara dering ponsel terdengar membuat Selena yang tengah tertidur pulas langsung terbangun. Perlahan Selena mengerjap beberapa kali. Lantas Selena mengambil ponselnya yang ada di atas nakas dan langsung menjawab panggilan itu tanpa melihat ke layar siapa yang menghubunginya. “Halo?” jawab Selena dengan suara serak khas baru bangun tdiur kala panggilan terhubung. “Selamat pagi, Nona Selena. Maaf mengganggu Anda,” ujar seorang wanita dari seberang sana yang suaranya begitu familiar. Selena mendesah panjang. Tanpa harus melihat ke layar, dia sudah tahu kalau yang menghubunginya itu adalah Jenia—asistennya. Sebelum menjawab panggilan itu, Selena melirik jam dinding—waktu menunjukan pukul tujuh pagi. Jika sepagi ini asistennya sudah menghubunginya artinya memang ada hal yang penting. “Ada apa, Jenia?” tanya Selena langsung tanpa basa-basi. “Begini, Nona. Ada salah satu perusahaan asal Los Angeles ingin membangun cabang perusahaan di London. Mereka menggunakan jasa Nicholas Design Inte
“Grandpa … Grandma … Papa dan Mama di mana? Kenapa mereka tidak turun dari kamar? Tadi pagi aku sudah sarapan sendiri tanpa mereka.” Oliver berucap dengan nada yang kesal seraya melipat tangan di depan dada. Bibirnya mengerut, cemberut memprotes. Pagi ini Oliver hanya sarapan bersama dengan Kelton dan Jillian. Itu yang membuat Oliver sebal. “Sabar, Boy. Tadi Grandpa lihat Papa-mu sedang sibuk di ruang kerjanya. Nanti pasti dia akan turun.” Kelton membelai pipi bulat Oliver sambil mengecupi cucunya itu. Pun Jillian melakukan hal yang sama. Jillian memeluk erat Oliver. Tampak Kelton dan Jillian begitu menyayangi Oliver. Tak tanggung-tanggung hanya dalam satu malam, Kelton membelanjakan mainan untuk Oliver dengan nominal yang fantastis. Hal itu yang membuat Oliver bermain sepanjang hari. Bocah laki-laki itu sangat dimanjakan oleh Kelton dan Jillian. Wajar saja karena sejak dulu Kelton dan Jillian sudah lama menunggu cucu dari Samuel. Bahkan mereka tak pernah mengira memiliki cucu dari
“Kapan kau dan Selena akan menikah?” Sebuah pertanyaan yang lolos dari mulut Kelton kala Samuel melangkah masuk ke dalam ruang kerjanya. Tatapan mata Kelton menatap putranya itu dengan tatapan dingin dan tegas. Tersirat menuntut agar Samuel menjawabnya. Ya, kini Kelton berada di ruang kerjanya. Pria paruh baya itu tak sedang menemani Oliver bermain. Karena tadi Oliver tengah bermain dengan Joice serta sudah ditemani oleh Jillian.“Aku masih belum mendapatkan restu dari Kelurga Selena. Aku harus menunggu sebentar.” Samuel menarik kursi, lalu duduk di hadapan ayahnya. Nada bicaranya pelan namun tersirat menegaskan. Kelton menuangkan wine ke gelas sloki di hadapannya, lalu menyesap perlahan wine itu sambil berkata santai, “William Geovan … aku belum pernah terlibat kerja sama dengannya. Tapi beberapa kali aku pernah bertemu dengannya saat jamuan makan malam. Apa kerugian perusahan kita karean ulahnya?” Samuel mengangguk singkat. “Kau benar. Dia yang menyebabkan. Tapi di sini dia tidak
“Selena, malam ini Samuel datang kan?” Suara Marsha bertanya seraya menatap putrinya yang tengah membersihkan sayur. Ya, setelah tadi pagi ke supermarket, sekarang Marsha dan Selena berada di dapur menyiapkan makan malam. Khusus kali ini Marsha dan Selena memang ingin masak bersama. Bahkan mereka tak ingin pelayan membantu mereka. “Iya, Mom. Samuel pasti datang. Kalau dia tidak datang nanti Oliver akan merajuk. Belakangan ini Oliver sering manja dengan ayahnya, Mom. Jadi aku juga sedikit kerepotan. Oliver tidak suka jika permintaannya ditolak. Samuel terlalu memanjakan Oliver.” Selena menjawab seraya meniriskan sayuran yang telah dibersihkan itu. Lantas Selena mulai mengolah bahan-bahan yang dibutuhkan untuk masakannya. Senyuman di wajah Marsha terlukis mendengar apa yang dikatakan oleh Selena. “Wajar saja kalau Oliver manja. Selama ini dia begitu merindukan ayahnya, Selena. Kau harus mengerti. Hampir lima tahun Oliver tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah. Meski kau telah berjuang
Matahari begitu terik. Selena yang tengah ada di dalam mobil sesekali melihat pemandangan di luar. Cuaca cerah seperti ini harusnya Selena mengajak Oliver berjalan-jalan namun rasanya itu tak mungkin karena siang ini Selena memiliki pertemuan penting dengan rekan bisnisnya. Hanya saja, yang membuat Selena bingung adalah kenapa bisa rekan bisnisnya memilih jalanan yang kecil untuk pertemuan mereka. Selena mengembuskan napas panjang dan menepis hal-hal yang muncul dalam benaknya. Mungkin saja memang rekan bisnisnya sedang berada di wilayah tersebut, itu yang sekarang ada di dalam pikiran Selena. Lagi pula, Selena pun tak akan lama. Sepulang dari bertemu dengan rekan bisnisnya, Selena akan segera mengajak Oliver jalan-jalan sore. Tentu yang Selena fokuskan saat ini adalah Oliver. Pekerjaan akan tetap dia pikirkan tapi tidak sepenting dulu. Oliver adalah segalanya. Selena menyadari kalau selama ini waktunya untuk Oliver sangat kurang. Hal itu yang membuat Selena sekarang ingin fokus memb
Beberapa bulan kemudian … Zurich, Swiss. Langit begitu biru dan indah membaur dengan perkebunan buah anggur yang ada di Swiss. Cuaca pagi di musim semi sangatlah indah. Angin yang berembus ke kulit begitu menyejukan. Tampak tatapan Selena sedari tadi menatap Oliver yang tengah bersama dengan Javier memetik buah anggur di perkebunan. Meski ada empat pengawal yang menemani Oliver dan Javier tetap saja Selena tak bisa melepaskan tatapannya dari kedua anak laki-lakinya itu. “Sayang, Oliver bisa menjaga Javier dengan baik. Kau tenang saja.” Samuel membelai pipi Selena dengan lembut. Selena menghela napas dalam. Tatapan Selena mulai teralih ke dua bayi perempuan kembarnya yang tertidur lelap di stroller. Senyuman di wajah Selena pun terlukis hangat melihat Stacy dan Sierra tertidur pulas. Sekarang usia Stacy dan Sierra sudah 7 bulan. Tubuh kedua bayi perempuannya sangat gemuk dan sehat. Stacy yang lahir lebih dulu memiliki rambut berwarna cokelat tebal dan mata biru. Sedangkan Sierra—s
Miller International School, London. “Aw.” Seorang gadis kecil cantik terjatuh akibat bermain lari-larian dengan teman-temannya. Tampak lutut gadis kecil itu terluka dan mengeluarkan darah. Dengan pelan, gadis kecil itu berusaha untuk bangun tapi tubuhnya malah tak seimbang dan nyaris jatuh. Tepat dikala tubuh gadis kecil itu nyaris terjatuh, sosok bocah laki-laki yang memiliki postur tubuh tinggi menangkap gadis kecil itu. “Terima kasih,” ucap gadis kecil itu melangkah menjauh dari laki-laki yang membantunya. Namun, tiba-tiba manik mata gadis kecil itu melebar terkejut kala menatap sosok laki-laki yang telah membantunya itu. “Oliver? Kau di sini?” Mata Nicole mengerjap beberapa kali menatap Oliver. Oliver menarik tangan Nicole, mendudukan tubuh Nicole di kursi, lalu bocah laki-laki itu mengambil kotak obat yang letaknya berada di ruang kesehatan. Beruntung ruang kesehatan tidak terlalu jauh dari posisi di mana Oliver dan Nicole berada. Saat kotak obat sudah ada di tangan Oliver,
“Bye, Sayang. Jaga diri kalian. Jangan membuat Grandpa William dan Grandma Marsha kerepotan. Ingat kalian harus patuh pada Grandpa dan Grandma.” Selena berseru pada Oliver dan Javier yang masuk ke dalam mobil. Terlihat Oliver dan Javier kompak mengangguk patuh merespon ucapan ibu mereka. Ya, hari ini Oliver dan Javier harus pergi ke rumah William dan Marsha. Menjelang Selena melahirkan, William dan Marsha memang berada di London. Sedangkan kakak dan adik Selena lain akan tiba di London dalam waktu beberapa hari lagi. Mengingat kakak dan adik Selena tak tinggal di negara yang sama, membuat Selena tak terlalu sering bertemu dengan kakak dan adiknya. Meski demikian, komunikasi selalu terjalin dengan sangat erat. “Bye, Papa, Mama.” Oliver dan Javier melambaikan tangan mereka kompak pada Selena dan Samuel. Pun Selena dan Samuel membalas lambaian tangan anak-anak mereka. Dan ketika mobil yang membawa Oliver dan Javier sudah pergi, Selena segera masuk ke dalam rumah tanpa mengatakan pada S
“Oh, My God! Raven, Rosalie, kenapa kalian merusak make up Mommy? Astaga! Ini make up kesayangan Mommy, Sayang.” Juliet rasanya ingin menjerit melihat semua perlengkapan make up miliknya hancur berantakan. Mulai dari koleksi lipstick, eyeshadow, foundation, dan masih banyak lainnya. Semua sudah berantakan di lantai kamar. Baru beberapa detik Juliet ke kamar mandi karena mengambil ponselnya yang tertinggal di wastafel, tapi dalam hitungan detik juga kamar sudah seperti kapal pecah. Memang kedua anaknya itu sudah sangat aktif. Sore ini, Juliet sengaja tak meminta pengasuh untuk masuk ke dalam kamarnya, pasalnya Juliet ingin mengajak kedua anaknya itu bermain sambil menunggu sang suami pulang dari kantor. Tapi alih-alih niatnya terealisasi malah kekacauan sudah lebih dulu tiba menghampiri dirinya. Sungguh, Juliet bisa-bisanya lupa kalau kedua anaknya sangatlah aktif. Alhasil koleksi make up miliknya hancur lebur. Bedak saja sudah berceceran di lantai. Terutama lipstick yang tak lagi ber
“Mommy, aku pulang.” Joice melangkah masuk ke dalam rumah dengan raut wajah yang muram. Gadis kecil cantik itu nampak lesu seperti tengah memikirkan hal yang mengusik pikirannya. Joice meletakan tas sekolah ke sofa, dan duduk di sofa itu. Jika biasanya Joice selalu riang gembira, kali ini gadis kecil itu tak seceria biasanya. “Sayang? Kau kenapa?” Brianna yang baru saja selesai menyiram tanaman, dikejutkan dengan putri kecilnya yang pulang dari sekolah dalam keadaan wajah yang muram. Padahal setiap hari, Joice selalu pulang sekolah dalam keadaan wajah yang riang gembira. “Tidak apa-apa, Mom. Aku hanya lelah saja,” jawab Joice pelan. Brianna menghela napas dalam. Brianna yakin pasti ada yang tidak beres dengan putri kecinya itu. “Katakan pada Mommy ada apa, Nak?” tanyanya seraya duduk di samping Joice. “Mommy aku ingin bertanya padamu.” “Kau ingin tanya apa, Sayang?” “Hm, apa aku ini tidak cantik, Mom?” Joice menyandarkan kepalanya di lengan Brianna. Bibir Joice mengerut, menunj
Tiga tahun berlalu … Miller International School, London. “Oliver Maxton! Pulang sekarang! Tidak ada main basket!” Selena berkacak pinggang mengomel pada putra sulungnya yang berusia 8 tahun. Tampak mata Selena menatap dingin dan tegas putranya itu. Aura kemarahan begitu terlihat jelas di paras cantik wanita itu. Dengan keadaan perut yang membuncit, Selena mengomeli putranya di tengah jalan. Ya, saat ini Selena tengah mengandung untuk ketiga kalinya. Ulah Samuel membuat Selena hamil lagi. Hanya saja kali ini berbeda. Kehamilan ketiga ini, Selena hamil bayi kembar. Sungguh, Selena berjanji setelah ini dia akan steril tak ingin lagi memiliki anak. Tubuhnya baru saja langsing tapi sudah harus bengkak lagi. Padahal niat Selena adalah memiliki dua anak. Tapi ternyata malah kecolongan. “Ck! Ma, guru sudah menghukumku time out. Mama kenapa menghukumku juga? Nanti aku akan menghubungi Grandpa William. Aku akan meminta Grandpa William memecat guru yang sudah berani menghukumku,” tukas Oli
Beberapa bulan kemudian … Fistral Beach, Newquay, UK. Deburan ombak menyapu kaki telanjang Juliet. Angin berembus menerpa kulit Juliet membuatnya Juliet memejamkan matanya sebentar, menikmati keindahan musim panas. Tampak Rava begitu setia mengikuti langkah kaki Juliet. Sesekali Juliet menatap banyak anak muda yang siap-siap untuk berselancar. Fistral Beach memang salah satu pantai di Inggris yang menjadi tempat favorite untuk berselancar. Kandungan Juliet kini telah memasuki minggu ke dua puluh tiga. Perut Juliet sudah membuncit. Tubuhnya pun mulai mengalami kenaikan berat badan, namun tak terlalu parah. Pasalnya selama hamil, Juliet tak terlalu nafsu makan. Meski sudah dipaksa oleh Rava, tapi tetap saja Juliet menolak. Trimester pertama, Juliet mengalami mual hebat sampai tak bisa makan apa pun. Rava sampai harus meminta dokter mengontrol Juliet setiap hari karena Juliet tak bisa makan. Dan beruntung sekarang kondisi Juliet sudah jauh lebih baik. Ngomong-ngomong, anak yang ad
Seoul, South Korea. Angin berembus di kota Seoul begitu menyejukan. Musim semi adalah salah satu musim terbaik di Seoul. Bunga Sakura banyak tumbuh dengan indah. Salah satu kota di Benua Asia yang menyajikan keindahan dan budaya setempat yang kental. Kota ini adalah kota yang dipilih oleh Dean dan Brianna menikmati bulan madu indah mereka. Selama di Seoul, Dean dan Brianna selalu mengabadikan moment-moment indah mereka. Moment di mana tak akan pernah mereka lupakan. Dua insan itu akhirnya telah menjadi satu setelah banyaknya rintangan. Meski tak mudah, tapi Dean dan Brianna membuktikan mereka mampu bersatu. “Sayang, ayo bangun. Kenapa jam segini kau belum bangun juga?” Brianna menggoyangkan bahu Dean, meminta suaminya itu untuk bangun. Waktu menunjukan pukul 10 pagi. Brianna ingin segera jalan-jalan menikmati indahnya kota Seoul. Meski lelah karena selalu olahraga malam, tapi Brianna tak mau menyia-nyiakan moment bulan madunya dengan sang suami tercinta. Dean menggeliat mendengar
Sebuah hotel mewah di London telah dipadati oleh wartawan yang lebih dulu hadir. Dekorasi ballroom hotel itu tampak memukau. Hiasan mawar dipadukan bunga lily dan batu Swarovski begitu indah menawan. Red carpet yang terpasang di lantai seakan memberikan sentuhan mewah. Ballroom hotel megah ini telah disulap layaknya tempat di mana pangeran dan putri akan menikah. Nuansa tema kental kerajaan melekat di ballroom hotel megah itu. Ya, hari ini adalah hari yang telah dinanti-nantikan oleh Dean dan Brianna. Hari di mana mereka akan segera melangsungkan pernikahan. Setelah banyaknya rintangan yang mereka hadapi akhirnya Dean dan Brianna dapat melewati badai masalah yang hadir. Takdir memang memiliki caranya sendiri menunjukan siapa belahan jiwa kita yang sebenarnya. Harusnya Dean menikah dengan Juliet, tapi ternyata takdir Dean adalah Brianna. Sedangkan Juliet menikah dengan Rava. Pun dulu Samuel tak menyetujui hubungan Dean dan Brianna. Samuel adalah satu-satunya orang yang menentang hubu