Waktu menunjukan pukul sembilan malam. Marsha baru saja kembali dari kamar Oliver memeriksa cucunya itu telah tertidur lelap. Ya, Selena tengah sakit. Sedangkan Samuel menjaga Selena. Itu kenapa Marsha memeriksa cucunya. Beruntung tadi Oliver tidak rewel. Sungguh, Marsha beruntung memiliki cucu yang sangat cerdas. Hanya diberikan pengertian sedikit kalau Selena sedang sakit; maka Oliver langsung patuh. Saat Marsha membaringkan tubuhnya di ranjang. Tatapan Marsha teralih pada William yang baru saja keluar dari kamar mandi. Berapa detik Marsha menatap kesal suaminya itu. “Kenapa kau tidak menemaniku melihat Oliver? Kau ini bagaimana, William! Usiamu sudah tua kenapa kau masih tetap saja keras. Oliver itu cucu kita. Darahmu mengalir di tubuhnya. Kau selalu mendiamkannya. Bersikap acuh padanya. Apa kau tidak memikirkan bagaimana tumbuh kembangnya nanti? Kalau dia dewasa nanti dan mengerti kalau kau membeda-bedakannya dengan yang lain, kau sama saja meninggalkan luka di hati Oliver. Dia
Pelupuk mata Selena bergerak. Perlahan Selena mulai membuka kedua matanya. Pun Selena merasakan cahaya matahari menyentuh wajahnya. Wanita itu menyipitkan mata sebentar. Lalu mengendarkan pandangannya ke sekitar. Hingga kemudian, tatapan Selena menangkap Samuel yang tertidur pulas di sampingnya. Terdiam. Selena terdiam melihat Samuel yang tertidur di sampingnya. Seketika, ingatan Selena mulai mengingat kemarin dirinya pingsan. Bahkan sepanjang hari, Samuel yang menjaga dan merawatnya. Selena tak henti menatap Samuel yang terlelap. Dari dalam lubuk hatinya, dia tak tega karena Samuel menjaganya sepanjang malam. Jujur, sampai detik ini Selena tak menyangka akan ada di mana Samuel menemui keluarganya. Padahal dulu, benak Selena hanya memikirkan dirinya hidup berdua dengan Oliver tanpa ada yang menggangunya. Akan tetapi apa yang direncanakan terkadang tak sesuai dengan takdir yang diberikan. Selena membawa tangannya membelai pipi Samuel. Wanita itu menelusuri setiap inchi wajah Samuel.
Samuel turun dari mobil dan melangkah masuk ke dalam perusahaannya. Hari ini Samuel terpaksa harus meninggalkan Selena dan Oliver di kediaman Keluarga Geovan. Pasalnya ada pekerjaan yang tak bisa dia tunda. Sebenarnya bisa saja Samuel memaksa membawa Selena dan Oliver ikut dengannya tapi itu sangat tidak mungkin. Samuel tak ingin memperkeruh suasana. Bagaimanapun, prioritas utama Samuel adalah kebahagiaan Selena dan Oliver. Jika dia menuruti ego maka yang terjadi hanyalah pertikaian yang tak mengenal ujung. “Selamat pagi, Tuan Samuel.” Sang sekretaris menyapa kala Samuel baru saja keluar dari lift. “Di mana Vian?” tanya Samuel dingin. Biasanya yang menyambut dirinya adalah Vian tapi malah yang ada di hadapannya sekretaris pribadinya. “Tuan Vian sedang keluar sebentar, Tuan. Beliau seperti tergesa-gesar karena harus melakukan hal yang penting. Tapi beliau tadi berpesan pada saya akan segera menemui Anda, Tuan,” jawab sang sekretaris sopan. Samuel terdiam beberapa saat mendengar lap
“Tuan Samuel. Terjadi masalah cukup besar di perusahaan keluarga Anda. Pagi ini saham keluarga akan melonjak turun secara drastis. Kerugian yang didapat perusahaan keluarga Anda sangat besar, Tuan. Dalam waktu tiga puluh menit kita tidak bertindak, penurunan saham akan lebih parah.” Raut wajah Samuel berubah kala mendengar ucapan Vian. Tampak pancaran matanya menunjukan jelas keterkejutannya. Napas Samuel memburu. Pria itu mengepalkan tangan kuat-kuat seraya mengumpat dalam hati. Emosi dalan diri Samuel menyulut dirinya membuat dirinya nyaris tak mampu mengendalikan emosinya. Sejenak, Samuel memejamkan mata singkat. Benaknya langsung bekerja. Samuel sangat yakin ayahnya sangatlah berhati-hati dalam memimpin perusahaan. Tidak mungkin dengan mudahnya ayahnya itu tumbang. Beberapa saat Samuel masih tetap terdiam. Dia memikirkan bagaimana mungkin perusahaannya mengalami kerugiaan. Bulan lalu Samuel sudah memeriksa perusahaan keluarganya dalam kondisi sehat bahkan sangat sehat. Saat Sam
*Selena, apa kita bisa bicara sebentar? Aku tahu kau sudah ada di London. Aku mohon berikan waktu untukku bicara padamu—Dean Osbert.* Selena mengembuskan napas panjang membaca pesan dari Dean. Entah sudah tak lagi terhitung berapa puluh kali Dean mengirimkan pesan ingin bertemu dengannya. Namun, Selena memang belum bisa bertemu dengan Dean. Jujur, Selena bingung untuk berbicara dengan Dean. Selena yakin pasti Dean menanyakan tentang hubungannya dengan Samuel. Mengingat sejak kejadian di mana Dean dan Samuel bertengkar, Selena belum sama sekali berkomunikasi dengan Dean. “Maafkan aku, Dean. Maaf aku belum bisa bicara denganmu.” Selena bergumam pelan. Lantas wanita itu memilih untuk meletakan ponselnya ke tempat semula. Terpaksa Selena mengabaikan Dean untuk kesekian kalinya. “Selena?” Suara Samuel memasuki kamar Selena. Refleks, Selena mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu. Tampak raut wajah Selena terkejut melihat Samuel masih berada di rumah keluarganya. “Kau masih di s
“Berengsek!” Selena menghentakan kakinya dengan raut wajah penuh emosi. Amarah telah membakar diri Selena. Wanita itu tak henti-hentinya mengumpat. Sungguh, kalau tahu akan seperti ini lebih baik dia tak usah ikut. Sejenak, Selena berusaha mengatur napasnya meredakan emosi dalam diri. Detik selanjutnya, Selena segera mengambil ponselnya yang ada di dalam tas dan hendak menghubungi taksi untuk menjemputnya. Namun tiba-tiba ada tangan kokoh yang merampas ponselnya. Refleks, Selena mengalihkan pandangannya pada sang pemilik tangan kokoh yang merampas ponselnya. Seketika raut wajah Selena berubah. Sepasang iris mata biru Selena mulai menajam. “Samuel! Kembalikan ponselku!” seru Selena dengan nada tinggi. Dia hendak merampas kembali ponselnya yang ada di tangan Samuel. Tapi sayangnya, Samuel malah menyembunyikan ponsel Selena. Hingga membuat Selena kesulitan merampas ponsel itu. “Maxton! Kau mau apa lagi! Aku sudah memberikan waktu untukmu bersama wanita itu! Kenapa kau di sini? Pergi
Bibir Samuel menyatu dengan bibir Selena. Mereka saling melumat penuh kelembutan dan hasrat yang membara. Degup jantung keduanya begitu kencang begitu terasa kala tubuh mereka saling berdekatan. Tangan Samuel meremas pelan pinggang Selena. Tak hanya diam, Selena pun mengalungkan tangannya ke leher Samuel. Dia memperdalam lumatan itu. Percikan-percikan perasaan yang tak mampu tertahan. Membuat organ dalam tubuhnya bergejolak. Bahkan rasanya Selena tidak ingin melepas bibir Samuel yang tengah menjelajah di atas bibirnya. Hingga kemudian, tanpa sadar tubuh Selena sudah terdorong di atas ranjang. Lantas Samuel menindih tubuh Selena. Pria itu semakin melumat liar di atas bibir Selena. Mencecapi bibir manis itu. Suara desahan terdengar kala Samuel begitu hebat mencium bibir Selena. Tak hanya itu saja tapi tangan nakal Samuel pun memberikan remasan di dada Selena. Membuat Selena melenguh panjang. “S-Samuel … jangan sekarang,” desah Selena kala tangan Samuel tak henti memberikan remasan di
“Grandma, Papa dan Mama ada di mana? Kenapa belum pulang?” Suara Oliver bertanya pada Marsha dengan nada polos. Bocah laki-laki itu mengerjapkan mata beberapa kali menatap Marsha. Di samping Oliver ada Joice yang tengah memeluk barbie. “Papa dan Mamamu pasti sebentar lagi pulang, Sayang. Kau tunggu ya, Nak.” Marsha sedikit menundukan kepalanya, menangkup kedua pipi Oliver dan memberikan kecupan bertubi-tubi di pipi bulat Oliver. “Oke, Grandma,” jawab Oliver dengan senyuman di pipi bulatnya. “Oliver, kau tidak berbohong kan? Kau tadi bilang Paman Samuel adalah Papamu. Paman Samuel tidak pernah bercerita padaku kalau dia adalah Papamu,” ucap Joice polos. Bocah perempuan itu tampil cantik dengan dress berwarna ungu. Dress yang sangat pas hingga membuat perut buncitnya sangat terlihat jelas. “Aku tidak mungkin berbohong, Joice. Nanti aku akan tunjukan kalau Paman Samuel-mu memang Papaku.” Oliver melipat tangan di depan dada. Bibirnya tertekuk sebal karena Joice tidak percaya padanya
Samuel menatap Selena yang tertidur begitu pulas. Sekitar sepuluh menit lalu, Samuel meminta dokter untuk menyuntikan obat penenang pada Selena agar wanita itu tidur nyaman. Beruntung, Selena pun sejak tadi menuruti semua perkataannya. Lebih tepatnya tubuh Selena begitu lemah sampai membuat wanita itu tak banyak bicara.Saat ini Samuel membawa Selena ke apartemen pribadinya. Dia tak mungkin membawa Selena ke mansion keluarga Geovan. Pasalnya Samuel tak ingin membuat kedua orang tua Selena cemas. Pun di sana ada Oliver. Itu kenapa Samuel lebih memilih membawa Selena ke apartemen pribadinya. Sejenak, Samuel mengembuskan napas panjang. Dalam benaknya terus saja memikirkan bagaimana kalau dirinya sampai datang terlambat. Shit! Samuel mengumpat dalam hati, ingatannya tergali saat Almero hendak menyentuh Selena. Jika mengingat itu semua membuat emosi Samuel terasa begitu terbakar. Harusnya dia membunuh Almero dengan cara yang lebih kejam! Sungguh, membayangkan itu semua membuat Samuel bena
Brakkkk Suara dobrakan pintu yang begitu keras suskes membuat pintu itu terpental. Refleks, Almero mengalihkan pandangannya kala pintu berhasil terdobrak. Seketika mata Almero terkejut melihat dia sosok pria yang datang menatapnya dengan tatapan penuh amarah. “Berengsek!” Samuel menerjang Almero dengan emosi yang nyaris meledak. Tanpa belas kasihan, Samuel menarik kerah baju Almero, menghajarnya tanpa ampun. BUGH BUGH BUGH BUGH “Mati kau, Sialan!” Samuel menendang perut Almero hingga membuat Almero tersungkur di lantai. Namun, kala Samuel ingin kembali menyerang Almero tiba-tiba anak buah Almero berhamburan datang. Tampak Samuel dan Mateo melangkah mundur. Mateo sejak tadi ingin menolong Miracle tapi dia tak bisa melakukanya sekarang. Kondisinya dikepung seperti ini membuat Mateo harus melumpuhkan anak buah Almero lebih dulu. Napas Mateo memburu. Sorot matanya menajam dan memendung amarah. Darah Miracle memenuhi lantai membuat emosi Mateo tersulit. Fuck! Mateo mengumpat dalam
“Tubuhmu. Kesepakatanku dengan Iris adalah aku bisa mencicipi tubuh indahmu, Nona Geovan.” Raut wajah Selena berubah menjadi pucat mendengar apa yang diucapkan oleh Almero. Sepasang iris mata biru Selena melebar tersirat rasa takut yang telah menelusup ke dalam dirinya. Wanita itu menegang dengan rasa cemas yang melanda hebat dirinya. Seketika itu juga jantung Selena berpacu begitu keras akibat ketakutannya. Peluh mulai muncul di pelipisnya. Dalam hati, Selena berharap Samuel atau keluarganya bisa datang tepat waktu menyelamatkan dirinya dan Miracle. “Berengsek! Jaga bicaramu!” maki Miracle emosi. Wanita itu tak bisa lagi menahan amarah kala mendengar ucapan kurang ajar yang diucapkan oleh pria yang bernama Almero Abner. Ini sudah waktunya untuk bertindak. Meski Miracle tahu dirinya akan sulit melawan dalam posisi tangan di borgol tapi tetap saja Miracle akan berjuang sekuat tenaga. Dia tak akan membiarkan terjadi sesuatu hal yang buruk pada saudara kembarnya itu. Almero melirik Mi
“Kau—” Mata Selena menatap dua wanita di hadapannya dengan tatapan yang begitu tajam dan tersirat memendung amarahnya. Rahang Selena mengetat. Tangannya terkepal begitu kuat. Mati-matian Selena berusaha menahan amarah dalam dirinya. Sudah sejak tadi Selena menduga dalang dibalik ini semua. Tapi Selena tak menyangka ternyata apa yang ada di dalam benaknya adalah sungguhan. “Hi, Selena. Long time no see. Senang sekali aku bertemu denganmu di tempat ini.” Wanita di hadapan Selena itu menyapa sekaligus melukiskan senyuman anggun seraya mengibaskan rambutnya. “Fuck! Jalang sialan! Beraninya kau menjebak saudara kembarku! Apa kau bosan hidup!” Miracle hendak menyerang sosok wanita di hadapannya. Meski tangannya terborgol bisa saja Miracle melompat agar tetap bisa bangun. Bodohnya orang-orang yang menculiknya itu tak mengikat kakinya. Itu yang mempermudah Miracle. “No, Miracle. Please.” Selena langsung mencegah Miracle. Meminta saudara kembarnya itu untuk tenang dan tak terpancing oleh em
Pelupuk mata Selena bergerak-gerak. Perlahan Selena mulai membuka matanya. Wanita itu sedikit meringis merasakan tubuhnya terasa sakit. Sayup-sayup, Selena mengendarkan pandangannya di sekitar—melihat dirinya berada di sebuah gudang gelap dan berukuran besar. Selena memijat pelipisnya kala rasa sakit di kepalanya muncul menyerang. Tubuhnya pun nyeridan pegal.“Akh—” Selena meringis merasakan sakit di tengkuk lehernya. Beberapa detik, Selena tampak terdiam berusaha mengingat kenapa dirinya bisa berada di gudang beruangan gelap seperti ini. Lalu … tiba-tiba ketika ingatan di kepala Selena muncul, wanita itu terkejut sekaligus ketakutan mengingat semua yang terjadi. Napas Selena cemas. Namun mati-matian Selena menyingkirkan rasa takut yang telah menelusup ke dalam dirinya. Ya, setakut apa pun dirinya, Selena yakin Samuel ataupun keluarganya pasti akan datang mencarinya. Dalam keadaan seperti ini takut hanyalah sia-sia. Yang Selena bisa lakukan hanya tetap tenang dan mencoba untuk berpiki
Tubuh Selena bergetar ketakutan melihat Miracle jatuh pingsan. Raut wajahnya pucat pasi begitu terlihat jelas. Mata Selena menatap nanar Miracle yang tergeletak tak berdaya di lantai. Jantung wanita itu berdetak tak karuan. Sejenak, Selena berusaha berpikir siapa dalang dibalik semua itu. Pasalnya Selena tak pernah memiliki musuh. Hingga kemudian, tiba-tiba sesuatu muncul dalam benaknya. Sesuatu hal di mana dia mulai tahu siapa dalang dibalik semua ini. Hanya saja Selena masih memiliki keraguan. Beberapa detik, Selena masih diam melihat pria yang bernama ‘Almero Abner’ tertawa melihat Miracle berhasil dilumpuhkan. Napas Selena memburu. Ingin sekali dia melawan tapi Selena tahu kemampuannya. Selena tetap berusaha tenang dan anggun di tempatnya. Dia yakin keluarganya ataupun Samuel pasti akan menemukannya. “Oh, astaga … ini benar-benar lucu. Ternyata istri Mateo De Luca tidak sekuat yang aku bayangkan.” Almero tertawa mengudara. Tawanya begitu puas meledek Miracle yang berhasil dilum
“Nyonya Miracle De Luca, apa yang Anda cari?” Suara berat Almero sontak membuat Miracle terkejut. Refleks, Miracle mengalihkan pandangannya pada Almero. Mengulas senyuman paksaan di wajahnya. Walau hati dan benak Miracle sedang mencurigai sesuatu tapi Miracle tetap menunjukan wajah elegan, anggun, dan berkelas seperti biasanya. “Ah, tidak. Aku hanya sedikit bingung ada restoran baru di sini. Jadi aku mengendarkan pandaganku melihat design restoran kecil ini. Apa kau mengenal pemilik restoran ini, Tuan Almero?” tanya Miracle dengan senyuman penuh arti di wajahnya. Sepasang manik mata biru Miracle tak lepas menatap Almero yang duduk di hadapannya. “Well, saya mengenal pemilik restoran ini. Bahkan sangat mengenal. Dan, ya … restoran ini baru di buka, Nyonya. Itu kenapa restoran ini masih sepi. Tapi khusus hari ini, saya sudah memesan restoran ini. Saya kurang suka keramaian. Terlebih kali ini pembahasan saya dengan Nona Selena sangat penting. Saya ingin fokus dengan project yang saya
Matahari begitu terik. Selena yang tengah ada di dalam mobil sesekali melihat pemandangan di luar. Cuaca cerah seperti ini harusnya Selena mengajak Oliver berjalan-jalan namun rasanya itu tak mungkin karena siang ini Selena memiliki pertemuan penting dengan rekan bisnisnya. Hanya saja, yang membuat Selena bingung adalah kenapa bisa rekan bisnisnya memilih jalanan yang kecil untuk pertemuan mereka. Selena mengembuskan napas panjang dan menepis hal-hal yang muncul dalam benaknya. Mungkin saja memang rekan bisnisnya sedang berada di wilayah tersebut, itu yang sekarang ada di dalam pikiran Selena. Lagi pula, Selena pun tak akan lama. Sepulang dari bertemu dengan rekan bisnisnya, Selena akan segera mengajak Oliver jalan-jalan sore. Tentu yang Selena fokuskan saat ini adalah Oliver. Pekerjaan akan tetap dia pikirkan tapi tidak sepenting dulu. Oliver adalah segalanya. Selena menyadari kalau selama ini waktunya untuk Oliver sangat kurang. Hal itu yang membuat Selena sekarang ingin fokus memb
“Selena, malam ini Samuel datang kan?” Suara Marsha bertanya seraya menatap putrinya yang tengah membersihkan sayur. Ya, setelah tadi pagi ke supermarket, sekarang Marsha dan Selena berada di dapur menyiapkan makan malam. Khusus kali ini Marsha dan Selena memang ingin masak bersama. Bahkan mereka tak ingin pelayan membantu mereka. “Iya, Mom. Samuel pasti datang. Kalau dia tidak datang nanti Oliver akan merajuk. Belakangan ini Oliver sering manja dengan ayahnya, Mom. Jadi aku juga sedikit kerepotan. Oliver tidak suka jika permintaannya ditolak. Samuel terlalu memanjakan Oliver.” Selena menjawab seraya meniriskan sayuran yang telah dibersihkan itu. Lantas Selena mulai mengolah bahan-bahan yang dibutuhkan untuk masakannya. Senyuman di wajah Marsha terlukis mendengar apa yang dikatakan oleh Selena. “Wajar saja kalau Oliver manja. Selama ini dia begitu merindukan ayahnya, Selena. Kau harus mengerti. Hampir lima tahun Oliver tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah. Meski kau telah berjuang