"Kenapa?"Satu pertanyaan itu terlontar ketika Jack menyadari tatapan berbeda dari wanita di sampingnya. Entah kenapa ia menangkap sinyal lain, hingga kini dua alisnya tertekuk sempurna."Ah, tidak apa-apa. Aku hanya ... Hanya sedang mengagumi ketampananmu saja," sahut Clarissa yang kian membuat Jack mengerenyit."Kau mau mencoba menggodaku, agar tindakan busukmu tidak terbongkar? Cih! Jangan pernah berharap seperti itu, Clarissa! Aku tidak akan terpengaruh!" balas Jack akhirnya seraya menyesap kopi hangat pesanannya.Mendengar hal itu, Clarissa pun tertawa kecil. Ia menggeleng karena maksudnya memang sama sekali tak seperti itu, akan tetapi dirinya juga menikmati sikap Jack yang terlalu percaya diri di hadapannya."Jangan salah paham, Jack. Aku hanya sedang berandai menjadi Kara. Aku benar-benar tak habis pikir dengannya, karena bisa-bisanya dia mengabaikan pria tampan dan mapan sepertimu," lanjut Clarissa seraya menatap penuh ke arah pria yang baru saja menghampirinya.Clarissa sedi
"Kau memintaku untuk menjabarkan semuanya?"Jack tersenyum miring, dengan menatap remeh ke arah Barra. Rasa sakit akibat pukulan di wajahnya benar-benar membuatnya tak tahan, sehingga kini dirinya tak lagi mau menahan semuanya demi menjaga perasaan sahabat kecilnya tersebut."Baiklah, kalau begitu aku akan jabarkan semua ketidakbecusanmu!" lanjut pria itu seraya kembali berdiri dengan tegak dan membenarkan sedikit kerah kemejanya.Barra masih menetap di posisi yang sedikit menjauh. Ia tak mau lagi kehilangan kendali, apalagi nanti Kara dan Arka bisa kapan saja menyaksikan perkelahiannya dengan Jack."Pertama sekali kau sudah lalai menjaga Kara, Barra! Bisa-bisanya kau tidak tahu apa saja yang telah dilakukan oleh ibumu ke Kara, padahal pada saat kejadiannya kau berada di sekitar mereka!"Barra terdiam, mengakui dalam hati kecerobohan yang paling bodoh yang pernah dilakukannya tersebut. Andai saja Jack tak memberi tahunya waktu itu, mungkin sampai saat ini Kara masih memendam segalanya
"Barra?"Avaline terkejut melihat kedatangan anaknya yang sangat tiba-tiba. Tak ada angin dan tak ada hujan, seketika saja Barra menginjakkan kaki kembali ke hadapannya setelah beberapa waktu yang lalu menuduh dirinya yang berbuat tidak-tidak pada Arka."Langsung to the point saja, Mom. Apa yang Mommy mau, agar Mommy tidak lagi mengusik hidup Arka dan Kara?" ucap Barra yang kian membuat Avaline tak mengerti.Tanpa sapaan dan tanpa di awali oleh percakapan ringan, tiba-tiba saja Barra seperti ini. Entah apa yang telah dipikirkan oleh anak lelakinya tersebut, tetapi yang jelas sepertinya saat ini sosok itu sedang sangat lelah."Kalau Mommy bilang padamu untuk jangan pernah dekati mereka berdua lagi, itu pasti tidak akan kau turuti juga 'kan? Lalu, untuk apa kau bertanya seperti itu?" sahut Avaline seraya duduk di sebuah kursi besar kesayangannya.Avaline akhirnya memilih mengikuti drama yang telah anaknya sore ini buat. Meski tak tahu apa yang melatarbelakangi kedatangan Barra ke sini,
"Baiklah, kalau begitu besok aku akan datang kembali dengan membawa surat perjanjian. Dan setelah itu, Mommy dan Clarissa tidak boleh lagi mengganggu hidupku, dan juga Kara dan Arka!"Barra beranjak ingin segera pergi dari rumah yang sebenarnya tak pernah dianggapnya sebagai rumah tersebut. Namun sayang, langkahnya tiba-tiba saja terhenti ketika sang ibu yang kembali memanggil dirinya."Apalagi, Mom?" tanya pria itu tak mengerti.Avaline tersenyum seraya beranjak mendekat. Ia kembali melihat anaknya dari atas sampai bawah, hingga bergerak menciptakan sedikit jarak."Kenapa harus dengan Clarissa? Mommy tidak bisa menjamin orang lain," tuturnya dengan tatapan yang semakin sulit diartikan.Oh, astaga! Ada apa lagi ini? Kenapa Barra selalu tak bisa berbicara sesaat pada ibunya? Barra benar-benar lelah dengan sikap Avaline yang sangat tak bisa ditebak seperti ini. Entah apalagi yang akan dimau olehnya, sehingga kini terlihat mengulur-ulur wakt
"Langsung saja, aku tidak bisa meninggalkan Arka lama-lama," ucap Kara sambil sesekali melirik orang-orang yang ada di sekitarnya.Saat ini, ibu satu anak itu memang berada di keramaian pusat perbelanjaan. Ia terpaksa menitipkan Arka di tempat penitipan anak, karena Jack tak mau percakapannya nanti terganggu atau pun terputus.Entah apa yang akan dibicarakan pria itu padanya, Kara tak bisa menebak karena semalam Jack hanya bilang ingin bertemu saja tanpa menanggapi rasa penasarannya yang sudah sangat membuncah akan keberadaan Barra."Jack? Kenapa diam saja? Kau bilang semalam ingin berbicara denganku secara langsung 'kan? Jadi sekarang bicaralah," lanjut wanita itu kembali mendesak.Jack menghela napas sesaat, seraya mengambil segelas kopi yang ada di hadapannya. Sepertinya saat ini Kara benar-benar tak bisa bersabar, karena wanita itu sangat mengkhawatirkan kekasihnya yang sedang menghilang tanpa kabar selama beberapa hari ini.Ternyata
Kara berbicara dengan sudut mata yang tak mampu menahan tangisnya lagi. Meski saat ini dirinya sudah mencoba kuat agar tak terlihat lemah di hadapan Jack, akan tetapi entah kenapa ia tetap gagal.Kara gagal, berkat rasa sakit dan kecewa yang seketika sangat menyesakkan dirinya!Barra Piterson, apakah pria itu pada akhirnya memilih meninggalkan dirinya? Kara berusaha untuk tak mempercayai kata-kata Jack, tetapi sayang beberapa detik setelahnya mantan kakak tingkatnya tersebut malah menunjukkan sebuah bukti yang tak bisa dirinya tampil lagi."Kenapa harus menghindar sampai sejauh ini?" Kara bertanya dengan satu tetes air mata yang membasahi pipinya.Sebuah negeri yang terkenal dengan suasana romantisnya, menjadi tempat pelarian Barra. Entah kenapa harus tempat itu, yang jelas Kara tak dapat menyusulnya meski telah mengumpulkan semua uang yang ia punya."Awalnya aku menebak Barra akan menjenguk ayahnya, tetapi ternyata dugaanku salah! Aku sendiri juga sama sekali tidak menyangka kalau d
Dengan menatap sebuah cincin yang ada di hadapannya, Kara terdiam dengan perasaannya yang seperti tengah diobrak-abrik. Entah kenapa ia merasa semuanya berjalan begitu cepat hingga semuanya saling bertubrukan, dan membuatnya sulit percaya."Ya Tuhan, kenapa harus seperti ini?" Kara bergumam sambil menaruh kembali cincin yang baru saja diberikan oleh Jack padanya.Sekarang, Kara memang sudah kembali ke rumah kontrakannya. Saat ini sudah larut malam, tetapi sayang dirinya sama sekali tak kunjung merasakan kantuk meski tadi telah berusaha tertidur mengikuti Arka.Apa ini karena dirinya yang masih sangat kepikiran dengan Barra? Ya, Kara memang mengakui penyebab itu. Namun kali ini dirinya juga memikirkan masalah lain yang menambah beban pikirannya, karena kini dirinya bingung harus bersikap seperti apa pada Jack jika bertemu nanti.Jackson Xavier, kakak tingkat yang dulu sebenarnya sempat dikaguminya dalam diam baru saja melamar dirinya? Sempat Kara tak percaya, tetapi memang kenyataanny
"Bunda! Arka tadi dikasih ini sama Bibi yang jualan di pasar!" adu Arka seraya memamerkan permen lolipop yang ada di genggaman jari mungilnya.Pagi ini, Kara dan Arka memang kembali rutin menjalani hari-harinya seperti awal berbelanja ke pasar. Setelah sempat berhenti beberapa hari karena merasa sangat terpuruk dan sulit sekali membagi konsentrasinya, akhirnya kini ia bisa memulai lagi dengan Arka yang tentunya selalu menemani dirinya di setiap langkah.Ya, untuk saat ini Kara memang hanya mempunyai anak lelaki itu saja. Ia tak lagi mempunyai penguat lain seperti yang lalu, karena sampai saat ini Barra masih benar-benar menghilang tanpa kabar. Sementara Jack, entah kenapa pria itu tak lagi memunculkan diri semenjak menyatakan perasaan dan memberikannya sebuah cincin. Sebenarnya Kara tak terlalu mempermasalahkannya juga karena dengan begitu dirinya tak harus bingung berinteraksi seperti apa, akan tetapi tetap saja pada akhirnya dirinya merasa semakin kesepian berkat semua orang yang d
"Maaf kalau kehadiranku di sini mengejutkanmu, Kara. Akan tetapi Barra memintaku untuk menjagamu di sini sesaat, dia sedang menemui Arka yang kebetulan baru saja sadar," tutur Avaline pelan hingga membuat Kara mengerjap sesaat.Yang di hadapannya ini, benar Avaline ibu kandungnya Barra bukan? Kenapa wanita itu bisa tiba-tiba berubah selembut ini padanya? Apakah ini sebuah keajaiban? Atau malah hanya sebuah mimpi? "Bu ...."Kara tak sempat menyelesaikan kata-katanya, berkat pelukan Avaline yang sangat tiba-tiba. Jujur, ia sungguh tidak tahu telah melewati hal penting apa selama pingsan tadi. Dirinya masih tak menyangka, terlebih ibu kandungnya Barra tersebut bisa memeluknya dengan sangat erat seperti ini."Barra sudah menceritakan semuanya padaku, Kara! Tolong maafkan semua sikap tidak pantasku padamu! Aku benar-benar sudah sangat menyesal, karena telah menganggapmu yang tidak-tidak dan membuatmu serta cucuku sendiri menderita!" ucap Avaline langsung dengan kian memeluk erat wanita mu
"Apa? Ayah kandungnya?"Orang tuanya Clarissa berikut para tamu yang lain langsung kompak bergumam, dengan dua netra yang membulat. Suara riuh desas-desus pun kian terdengar di telinga Avaline. Wanita itu seketika merasa malu, hingga kembali berusaha mendorong tubuh Kara."Tunggu, Mom! Jadi Arka kecelakaan, Kara?" Barra segera mencegah, dengan menatap ke arah bundanya Arka tersebut dengan penuh serius dan khawatir."Iya, Barra. Dia sudah ditemukan oleh salah satu anak buah Jack, tetapi...." Kara tak sanggup melanjutkan bercerita, karena kini perasaannya kembali hancur ketika mengingat Jack yang telah berupaya mencelakai anaknya.Sementara Avaline, ia kian panik tak karuan ketika mendapati tatapan tajam dari kedua calon besannya. Ia seolah bingung ingin beralasan apa, hingga akhirnya hanya bisa berusaha menarik Kara dan membuat wanita itu menjauh dari anaknya."Sudah cukup semua karanganmu hari ini, Kara! Barra dan Clarissa akan menikah! Jadi—""Aku ikut bersama Kara!" potong Barra mem
"Apa? Jadi stok darah di rumah sakit ini habis?"Tubuh Kara kian bergetar lemas, mendengar kenyataan yang lagi-lagi sangat menyiksa dirinya. Dengan sekuat tenaga, ia mencoba untuk tetap terlihat tegar. Namun sayang nyatanya tak bisa, apalagi kondisi anaknya saat ini semakin memburuk dengan membutuhkan donor darah yang sangat sulit untuk dicari."Maaf, Bu. Kami pihak rumah sakit juga sudah berusaha mencari, tetapi memang benar-benar sedang habis. Apalagi darah yang dibutuhkan oleh anak ibu cukup langka. Kami di sini jarang menemuinya, sehingga mungkin ibu bisa menghubungi kebarat terdekat yang mempunyai golongan darah yang sama."Kara terdiam mendengar penuturan tersebut. Ia tentu tak mempunyai kerabat lain, terkecuali Barra yang memang sudah jelas memiliki darah yang sama dengan anaknya. Yang jadi pertanyaannya, apakah ia bisa meminta tolong pada pria tersebut? Bukankah pada hari ini pria itu akan menikah dengan Clarissa?"Bagaimana, Bu? Apakah ada?" Sang dokter kembali bertanya, hin
Degghh!Tubuh Kara seketika semakin lemas mendengarnya. Jadi, penderitaannya selama ini disebabkan dari orang terdekatnya sendiri? Bahkan dulu saja Kara tak berani mencurigai siapa pun dari salah satu teman-temannya, ia hanya menganggap malam itu dirinya sedang mengalami kesialan. Namun, siapa sangka jika pada kenyataannya yang terjadi malah sebaliknya? Semuanya ternyata sudah direncanakan dengan rapi. Bahkan dirinya selama ini tidak pernah menyadari kejanggalan tersebut, karena saking terlarutnya dalam keterpurukan."Aku benar-benar tidak menyangka kau bisa melakukan hal seburuk itu padaku, Jack!" ucap Kara akhirnya dengan berkali-kali mencoba menarik pasokan oksigen yang ada di sekitar.Jujur, napas wanita itu benar-benar sesak saat ini! Kara kembali tak kuasa dengan kenyataan yang baru saja diketahuinya, hingga dirinya kembali menatap sang anak yang sedang terbaring tak berdaya dengan beberapa bercak darah di tubuhnya."Aku tidak ingin melihat keberadaanmu di sini lagi, Jack! Mula
"Bagaimana? Apa semuanya sudah bersih?"Sayup-sayup suara itu terdengar, hingga membuat Kara berusaha membuka dua netranya yang sedari tadi tertutup rapat.Dengan pandangan yang masih buram, wanita tersebut mencoba menatap sekeliling mencari siapa yang telah berbicara. Namun sayang pada kenyataannya tak ada siapa pun di sekitarnya saat ini, hingga membuat dirinya menghela napas kemudian."Bagus! Kalau begitu nanti hubungi aku lagi!"Setelahnya, Kara tak mendengar suara apa-apa kembali. Sekelilingnya menjadi sunyi, hingga kini ia beralih menatap setiap dinding rumah sakit dan sebuah bangku kosong yang ada di sampingnya."Apa tadi aku sudah pingsan?" Wanita itu bergumam pelan, sambil berupaya bangkit dari tempat tidurnya.Dengan kepala yang masih sangat pening, Kara mencoba mengingat lagi bagaimana cara dirinya bisa berada di rumah sakit. Ia benar-benar bingung karena tetiba terbangun di tempat ini. Hingga beberapa saat kemudian napasnya terasa sesak, seiring dengan munculnya beberapa k
Klikk!Sambungan telepon itu tiba-tiba langsung diputuskan sepihak begitu saja oleh Clarissa. Padahal masih ada banyak kata-kata yang Kara ingin sampaikan. Setidaknya ia ingin menitipkan pesan pada Barra melalui wanita itu, meski sebenarnya dirinya juga tak terlalu yakin akan langsung disampaikan nanti atau tidak.Tingg![Lihatlah, Kara. Bukankah Barra benar-benar menyayangiku?]Degghh!Hati Kara seketika terasa perih, melihat sebuah foto yang tiba-tiba dikirimkan oleh Clarissa. Di gambar itu terlihat dengan jelas bahwa wanita tersebut sedang memamerkan sebuah liontin baru. Dan tak hanya itu saja, Clarissa juga terlihat dengan senangnya bersandar pada Barra tepat di atas ranjang dengan gaun malamnya yang sangat tipis hingga tak benar-benar mampu menutupi setiap lekuk tubuhnya.Jadi, seperti inikah Barra yang sebenarnya? Pria itu ternyata hanya gemar mengumbar janji manis, tanpa pernah berniat untuk sungguh-sungguh?Ah, lagi-lagi Kara menyesal karena telah mengubah anggapannya pada Bar
Ada dua berita yang Kara terima hari ini. Yang pertama adalah kabar baik, karena keinginannya untuk segera keluar dari rumah sakit ini bisa terkabulkan. Sementara untuk yang keduanya, entah termasuk kabar baik atau buruk.Kabar baik atau buruk? Kenapa seperti itu?Ya, Kara sendiri pun sebenarnya tak tahu mengapa dirinya bisa berpikiran seperti itu. Namun yang jelas, ia sungguh tak menyangka dengan berita tersebut.Kalau dibilang senang, dirinya sebenarnya cukup senang karena ternyata Barra bisa menjalani komitmen yang serius dengan wanita lain. Namun jika dibilang tidak senang, Kara juga merasa seperti itu. Ia sangat kecewa, karena ternyata pria tersebut lebih memilih untuk mengurus pernikahannya terlebih dahulu dengan Clarissa, dibandingkan dengan mencari keberadaan anaknya yang masih menghilang.Ke mana janji pria itu yang katanya ingin segera mencari Arka sampai berhasil ditemukan? Kenapa pula janji tersebut dengan mudahnya menguap tanpa kabar,
Berhari-hari berlalu, Kara merasa semakin tak betah karena hanya membaringkan tubuhnya di atas sebuah ranjang rumah sakit. Semua kebutuhannya, bahkan sudah tersedia di sekitarnya. Kurang lebih selama seminggu ini semua uang diinginkannya pasti selalu akan dilayani dengan baik, akan tetapi sayang nyatanya semua itu belum bisa membuat hatinya merasa tenang dan damai begitu saja."Apa belum ada kabar baik tentang keberadaan Arka?" Wanita itu langsung bertanya, tepat ketika melihat sesosok orang yang baru saja masuk ke dalam ruang inapnya. Jack yang mendengarnya pun langsung mendesah pasrah. Ia longgarkan kerah pakaiannya yang tiba-tiba terasa sesak, sebelum akhirnya kembali mendekat dan duduk di hadapan wanita yang akhir-akhir ini sering melamun dengan tatapannya yang terlihat sedikit kosong."Maaf, Kara. Aku dan para anak buahku belum bisa melacaknya. Para penculik itu memakai plat nomor mobil palsu, sehingga kita sempat sangat kebingungan untuk m
Waktu telah berganti malam, hingga tak sadar Kara tertidur di dalam dekapan pria yang ada di sampingnya. Sayup-sayup suara bunyi hewan malam telah terdengar. Wanita itu sedikit menggeliat menggerakkan badannya yang pegal-pegal, hingga beralih menatap ke sebuah jendela besar yang hanya menampilkan gelap gulitanya malam."Bagaimana kabarmu sekarang, Nak? Apa kamu bisa tertidur tanpa bunda di sisimu? Apa sebelumnya kamu sudah makan dan membersihkan diri?"Kara membatin, dengan perasaannya yang kembali sesak. Dalam kesunyian malam, ia terisak kecil. Kara tak berani banyak mengeluarkan suara, karena tak mau membangunkan tidur pria yang sedari tadi sudah memeluk dan menjaga tidurnya.Barra, pria itu ternyata benar-benar hanya memeluk tubuhnya sampai malam. Putra tunggal Avaline tersebut sama sekali tak mengingkari janji, atau pun nekat berbuat hal lebih yang mungkin saja bisa dilakukannya di tempat ini.Sebenarnya, ada sedikit rasa beruntung b