"Tante, apa Tante tidak bisa mencegah semuanya? Aku mohon Tante, apa kata orang tuaku nanti jika aku sampai masuk penjara?"Clarissa memohon-mohon tepat di samping Avaline, tanpa peduli lagi dengan harga dirinya yang jatuh. Ia benar-benar tak ingin ulahnya sampai diketahui pihak kepolisian, karena itu sungguh dapat merusak namanya dan juga merusak nama baik keluarganya."Tante, aku mohon. Tolong aku untuk kali ini saja, aku benar-benar tidak ingin masalah kemarin semakin runyam," pinta Clarissa lagi dengan semakin lirih.Entah sudah berapa kali punggung tangan Avaline ia kecup. Clarissa benar-benar melakukan segala upaya agar sahabat orang tuanya itu mau membantu dirinya, agar jejak kejahatannya kemarin tak sampai diketahui orang lain."Sudahlah, Clarissa. Sekarang Tante belum bisa memikirkan rencana yang matang. Untuk sementara ini, kita pantau dulu saja apa yang dilakukan Jack dan Barra untuk Kara," sahut Avaline singkat seraya menarik tangannya dan menyuruh Clarissa agar segera men
"Kenapa?"Satu pertanyaan itu terlontar ketika Jack menyadari tatapan berbeda dari wanita di sampingnya. Entah kenapa ia menangkap sinyal lain, hingga kini dua alisnya tertekuk sempurna."Ah, tidak apa-apa. Aku hanya ... Hanya sedang mengagumi ketampananmu saja," sahut Clarissa yang kian membuat Jack mengerenyit."Kau mau mencoba menggodaku, agar tindakan busukmu tidak terbongkar? Cih! Jangan pernah berharap seperti itu, Clarissa! Aku tidak akan terpengaruh!" balas Jack akhirnya seraya menyesap kopi hangat pesanannya.Mendengar hal itu, Clarissa pun tertawa kecil. Ia menggeleng karena maksudnya memang sama sekali tak seperti itu, akan tetapi dirinya juga menikmati sikap Jack yang terlalu percaya diri di hadapannya."Jangan salah paham, Jack. Aku hanya sedang berandai menjadi Kara. Aku benar-benar tak habis pikir dengannya, karena bisa-bisanya dia mengabaikan pria tampan dan mapan sepertimu," lanjut Clarissa seraya menatap penuh ke arah pria yang baru saja menghampirinya.Clarissa sedi
"Kau memintaku untuk menjabarkan semuanya?"Jack tersenyum miring, dengan menatap remeh ke arah Barra. Rasa sakit akibat pukulan di wajahnya benar-benar membuatnya tak tahan, sehingga kini dirinya tak lagi mau menahan semuanya demi menjaga perasaan sahabat kecilnya tersebut."Baiklah, kalau begitu aku akan jabarkan semua ketidakbecusanmu!" lanjut pria itu seraya kembali berdiri dengan tegak dan membenarkan sedikit kerah kemejanya.Barra masih menetap di posisi yang sedikit menjauh. Ia tak mau lagi kehilangan kendali, apalagi nanti Kara dan Arka bisa kapan saja menyaksikan perkelahiannya dengan Jack."Pertama sekali kau sudah lalai menjaga Kara, Barra! Bisa-bisanya kau tidak tahu apa saja yang telah dilakukan oleh ibumu ke Kara, padahal pada saat kejadiannya kau berada di sekitar mereka!"Barra terdiam, mengakui dalam hati kecerobohan yang paling bodoh yang pernah dilakukannya tersebut. Andai saja Jack tak memberi tahunya waktu itu, mungkin sampai saat ini Kara masih memendam segalanya
"Barra?"Avaline terkejut melihat kedatangan anaknya yang sangat tiba-tiba. Tak ada angin dan tak ada hujan, seketika saja Barra menginjakkan kaki kembali ke hadapannya setelah beberapa waktu yang lalu menuduh dirinya yang berbuat tidak-tidak pada Arka."Langsung to the point saja, Mom. Apa yang Mommy mau, agar Mommy tidak lagi mengusik hidup Arka dan Kara?" ucap Barra yang kian membuat Avaline tak mengerti.Tanpa sapaan dan tanpa di awali oleh percakapan ringan, tiba-tiba saja Barra seperti ini. Entah apa yang telah dipikirkan oleh anak lelakinya tersebut, tetapi yang jelas sepertinya saat ini sosok itu sedang sangat lelah."Kalau Mommy bilang padamu untuk jangan pernah dekati mereka berdua lagi, itu pasti tidak akan kau turuti juga 'kan? Lalu, untuk apa kau bertanya seperti itu?" sahut Avaline seraya duduk di sebuah kursi besar kesayangannya.Avaline akhirnya memilih mengikuti drama yang telah anaknya sore ini buat. Meski tak tahu apa yang melatarbelakangi kedatangan Barra ke sini,
"Baiklah, kalau begitu besok aku akan datang kembali dengan membawa surat perjanjian. Dan setelah itu, Mommy dan Clarissa tidak boleh lagi mengganggu hidupku, dan juga Kara dan Arka!"Barra beranjak ingin segera pergi dari rumah yang sebenarnya tak pernah dianggapnya sebagai rumah tersebut. Namun sayang, langkahnya tiba-tiba saja terhenti ketika sang ibu yang kembali memanggil dirinya."Apalagi, Mom?" tanya pria itu tak mengerti.Avaline tersenyum seraya beranjak mendekat. Ia kembali melihat anaknya dari atas sampai bawah, hingga bergerak menciptakan sedikit jarak."Kenapa harus dengan Clarissa? Mommy tidak bisa menjamin orang lain," tuturnya dengan tatapan yang semakin sulit diartikan.Oh, astaga! Ada apa lagi ini? Kenapa Barra selalu tak bisa berbicara sesaat pada ibunya? Barra benar-benar lelah dengan sikap Avaline yang sangat tak bisa ditebak seperti ini. Entah apalagi yang akan dimau olehnya, sehingga kini terlihat mengulur-ulur wakt
"Langsung saja, aku tidak bisa meninggalkan Arka lama-lama," ucap Kara sambil sesekali melirik orang-orang yang ada di sekitarnya.Saat ini, ibu satu anak itu memang berada di keramaian pusat perbelanjaan. Ia terpaksa menitipkan Arka di tempat penitipan anak, karena Jack tak mau percakapannya nanti terganggu atau pun terputus.Entah apa yang akan dibicarakan pria itu padanya, Kara tak bisa menebak karena semalam Jack hanya bilang ingin bertemu saja tanpa menanggapi rasa penasarannya yang sudah sangat membuncah akan keberadaan Barra."Jack? Kenapa diam saja? Kau bilang semalam ingin berbicara denganku secara langsung 'kan? Jadi sekarang bicaralah," lanjut wanita itu kembali mendesak.Jack menghela napas sesaat, seraya mengambil segelas kopi yang ada di hadapannya. Sepertinya saat ini Kara benar-benar tak bisa bersabar, karena wanita itu sangat mengkhawatirkan kekasihnya yang sedang menghilang tanpa kabar selama beberapa hari ini.Ternyata
Kara berbicara dengan sudut mata yang tak mampu menahan tangisnya lagi. Meski saat ini dirinya sudah mencoba kuat agar tak terlihat lemah di hadapan Jack, akan tetapi entah kenapa ia tetap gagal.Kara gagal, berkat rasa sakit dan kecewa yang seketika sangat menyesakkan dirinya!Barra Piterson, apakah pria itu pada akhirnya memilih meninggalkan dirinya? Kara berusaha untuk tak mempercayai kata-kata Jack, tetapi sayang beberapa detik setelahnya mantan kakak tingkatnya tersebut malah menunjukkan sebuah bukti yang tak bisa dirinya tampil lagi."Kenapa harus menghindar sampai sejauh ini?" Kara bertanya dengan satu tetes air mata yang membasahi pipinya.Sebuah negeri yang terkenal dengan suasana romantisnya, menjadi tempat pelarian Barra. Entah kenapa harus tempat itu, yang jelas Kara tak dapat menyusulnya meski telah mengumpulkan semua uang yang ia punya."Awalnya aku menebak Barra akan menjenguk ayahnya, tetapi ternyata dugaanku salah! Aku sendiri juga sama sekali tidak menyangka kalau d
Dengan menatap sebuah cincin yang ada di hadapannya, Kara terdiam dengan perasaannya yang seperti tengah diobrak-abrik. Entah kenapa ia merasa semuanya berjalan begitu cepat hingga semuanya saling bertubrukan, dan membuatnya sulit percaya."Ya Tuhan, kenapa harus seperti ini?" Kara bergumam sambil menaruh kembali cincin yang baru saja diberikan oleh Jack padanya.Sekarang, Kara memang sudah kembali ke rumah kontrakannya. Saat ini sudah larut malam, tetapi sayang dirinya sama sekali tak kunjung merasakan kantuk meski tadi telah berusaha tertidur mengikuti Arka.Apa ini karena dirinya yang masih sangat kepikiran dengan Barra? Ya, Kara memang mengakui penyebab itu. Namun kali ini dirinya juga memikirkan masalah lain yang menambah beban pikirannya, karena kini dirinya bingung harus bersikap seperti apa pada Jack jika bertemu nanti.Jackson Xavier, kakak tingkat yang dulu sebenarnya sempat dikaguminya dalam diam baru saja melamar dirinya? Sempat Kara tak percaya, tetapi memang kenyataanny