Berhari-hari. Berminggu-minggu. Kejadian tempo lalu memberi efek positif pada Riga. Ia menyingkirkan barang-barang mahal darinya. Seminimal mungkin tampil alakadarnya. Sederhana.
Tanpa semua itu pun Riga sudah keren dari lahir. Ia masih bersinar dan memukau meski dalam balutan barang-barang sederhana. Ia tak lagi membawa-bawa uang dalam jumlah banyak. Sekedarnya saja.
Dan satu yang signifikan, Riga berani bilang ‘tidak.’ Apa yang dia miliki, apa yang ia kenakan, tidak semudah itu ia lepas.
Hari-hari pertama memang terasa sulit keluar dari kebiasaan. Satu dua kali ia dapat pukulan di tubuhnya. Tapi hanya begitu saja. Pukulan-pukulan itu tak membuatnya gentar.
Riga dianugerahi pikiran yang cerdas, juga mulut yang lihai berargumen. Perihal preman sekolah ia cukup melaporkan ke guru BP. Dan yah ... itu berhasil menghentikan aksi palak dan perundungan yang ia terima di sekolah.
Ia tidak akan semudah itu menyerah dan terus-terusan jadi korban
Riga ikut ke rumah sakit tempat Nara dilarikan ke UGD. Jangan ditanya keadaannya, Riga linglung. Ia tidak bisa mengatakan kalimatnya dengan baik saat polisi menanyai kronologi kejadian di minimarket.Benaknya masih memutar adegan Nara yang tertusuk pisau di depan matanya. Kalau Nara tidak di sana, bisa-bisa dialah yang tertusuk dan berada di ruang UGD sekarang.Lagi dan lagi, ia ditolong Nara. Laki-laki itu seolah ditakdirkan kesusahan bila dekat dengan Riga. Karena kepengecutan Riga, Nara harus menanggung antara hidup dan mati. Semuanya, karena Riga.Keluarga Riga mendengar kabar buruk itu. Bunda yang datang ke rumah sakit, menemui anak bungsunya yang traumatik dan hanya menggeleng-geleng saat ditanyai.Bunda memeluknya, menenangkan sebisa-bisa. Selepas itu, barulah Riga menangis. Takut disalahkan, takut Nara tak bisa diselamatkan.“Apa orang itu temannmu?” tanya Bunda saat Riga mulai bisa ditanyai.Riga menggeleng. Matanya meme
“Siapa dia? Pacarmu?” tanya Riga begitu Nara menyadari keberadaannya.“Kuharap sih, begitu.”“Kuharap? Apa kamu gak berani menyatakan perasaanmu. Kamu terlalu malu, atau—““Dia pacar kakakku.”Riga sudah mendengar dari Nara perihal Bima, kakaknya. Laki-laki yang beda tujuh tahun darinya itu satu-satunya keluarga Nara setelah orang tuanya meninggal.Nara kecil sempat diurus neneknya di Bandung. Sayang, neneknya meninggal saat Nara SMP. Nara datang ke ibukota berharap tinggal bersama Bima yang baru masuk kuliah. Tapi Bima dulu, beda dengan Bima sekarang.Ia menolak kehadiran Nara. Menganggapnya benalu. Tak jarang Bima menganggap Nara penyebab kematian ayah ibunya. Karena Nara kecil ingin dibelikan sepeda, ayah dan ibunya membeli ke pasar. Tidak tahu di sana sedang ada tawuran aparat dengan penduduk sekitar.Anarki, siapa pun yang ditemui kena tebas parang. Ayah mereka malah dikira sa
Riga selesai bercerita dan hening tiba-tiba merayap. Ia pasrah dengan duduk di hadapanku sambil menundukkan kepala. Aku tidak berani berkomentar, hanya napas naik turun bagaikan roller coaster.Sepertinya aku paham kenapa Riga memilih merahasiakan ini dariku. Karena setelah aku tahu, bukan perasaan lega yang kudapat, tapi sesak yang semakin menjadi-jadi.Cinta Nara pada Lhasa bukan hal yang main-main. Nara sampai mengejarnya ke kampus yang sama. Nara rela berseteru dengan kakaknya demi dapatkan cinta Lhasa. Sebesar itu.Setelah kini mereka dipertemukan kembali, setelah penghalang mereka telah pergi, bagaimana dengan Nara? Apa dia akan kembali pada Lhasa? Lalu bagaimana denganku? Bayiku?Aku memang sudah berhenti menangis dari tadi. Gantinya hatiku yang berlubang. Minta ditambal dengan kalimat-kalimat kepastian dari Nara. Aku ... ingin bertemu Nara.Refleks kakiku berdiri. Riga mendongak dan menunjukkan kerut di dahinya.“Kamu
Lhasa masih berseru, “katanya kamu sudah menikah. Siapa istrimu, apa aku mengenalnya?”“Tuh!” Riga menunjukku dengan mulutnya. “Viana istriku.”Riga bodoh atau apa. Jelas-jelas aku dan Nara saling menggenggam tangan sedari tadi. Mendeklarasikan diri kalau kami pasangan, saling memiliki. Lalu apa maksud ucapannya. Dia mau membuka rahasia pada Lhasa. Bagaimana kalau Lhasa bocor. Hubungan yang susah payah kami simpan rapat-rapat, malah ia beberkan dengan lancar pada Lhasa.“Bukannya Viana itu istri Nara?” Lhasa keheranan.“Ya, pernikahannya denganku hanya pura-pura. Suami Viana sebenarnya adalah Nara. Mereka melakukannya karena aku yang minta. Tapi tetap saja kalau kamu tanya siapa istriku, maka akan kujawab kalau istriku itu Viana.”Nah, kan. Seperti yang kuduga. Riga punya pikiran apa memilih jujur pada Lhasa. Raut wajahnya pun sulit ditebak. Tapi Nara santai saja sahabatnya itu mengatakan
Semalam kami sepakat Nara akan ikut Lhasa ke Singapore, tempat Bima disemayamkan. Hanya Nara yang pergi, tanpa aku. Ada sederet alasan kenapa aku tidak ikut. Alasan yang utama karena kandunganku masih tergolong hamil muda.Bunda bilang janinku belum kuat, plasenta belum menempel erat ke rahim, jadi tidak memungkinkan dibawa terbang menggunakan pesawat. Aku beralasan ingin jalan-jalan ke Singapore. Niat membuat alibi tapi tak jadi, malah setuju dengan nasihat Bunda.Nara tidak keberatan aku tidak ikut. Ia lebih ingin aku di rumah saja, daripada melakukan perjalanan jauh yang akan melelahkan. Tapi kuyakin alasan sebenarnya Nara tidak mau kelihatan wajah berdukanya. Padahal aku ini istrinya, masih saja dia malu untuk memperlihatkan air mata. Nara selalu ingin terlihat kuat.Aku dan Nara saling menempelkan kening. Dua tangan kami bertautan. Kami diam cukup lama dengan posisi ini, seolah sedang menyalurkan energi satu sama lain. Saling menitipkan diri pada hati masin
“Apa yang Nara punya, tapi aku enggak?”Riga memulai pertanyaan yang membuatku berpikir sejenak. Mataku lari ke langit-langit kamar. Menimang dengan dengungan di mulut.“Romantis.” Aku asal ucap. “Dan Nara bisa memberikanku rasa nyaman.”Riga menaikkan sebelah alisnya. Dahi melipat sampai beberapa bagian.“Romantis? Aku juga bisa jadi romantis.”“Oh ya?” aku menyangsikannya sembari memiringkan kepala.“Dan rasa nyaman ... ah, itu kecil. Aku jagonya soal memberikan kenyamanan.”Oke, Riga mulai terlihat seperti anak kecil yang tidak mau kalah. Aku menanggapinya dengan tertawa. Menganggap Riga lucu dengan sikap kekanakkannya tersebut.Riga memiringkan kepalanya melihat aku tertawa. Bibirnya mengulas senyum segaris yang kuakui sangatlah memesona.“Apa aku pernah bilang sebelumnya. Kamu terlihat cantik kalau tertawa.”Nah, kalau yang in
Tempat makan steak kesukaanku hanya sebuah foodcourt biasa di salah satu mall ibukota. Aku menyukai rasa steak spesial yang mereka sajikan. Tak kalah dengan steak buatan restoran mahal.Riga memilihkan kursi paling pinggir. Paling dekat jendela dengan pemandangan luar mall, juga pepohonan tertata apik seperti sebuah lukisan.Aku memang tahu kalau akan dapat kejutan romantis seperti kata Biru tadi. Tapi tetap saja aku berdebar menunggu hal luar biasa apa yang Riga siapkan untukku.Riga yang memesankan menu makan. Sengaja kuberi kesempatan padanya menuju stand steak dan bicara dengan penjaganya. Sekali lagi, aku menunggu eksekusi Riga.Tapi ... kutunggu selama apa pun, tidak ada kejutan apa-apa. Kami makan saat steak datang. Hanya steak biasa, tidak ada satu pun yang berbau romantis. Apalagi bunga.Aku mengendikkan bahu. Mungkin kejutannya setelah ini. Siapa yang tahu.Tidak juga. Sampai selesai makan steak dan Riga memutuskan berkeliling sebe
Malam-malam, aku menangis di kursi santai sambil menghadap jendela. Sebenarnya aku sedang menghafal dialog yang baru dimasukan di naskah. Di tengah jalan aku menyerah, memilih menghubungi Nara dengan handphoneku.Panggilan telepon, tidak diterima. Pesan tidak dibaca. Apalagi panggilan video, tak ada satu pun yang bisa menghubungkanku dengan Nara.Aku sangat merindukannya. Sekedar suaranya pun tak apa. Empat hari tanpanya bagaikan setahun. Sebenarnya aku bisa melewati ini, asalkan dia menghubungiku sekali saja. Sedetik pun tak apa. Aku hanya ingin tahu kabarnya di sana.Kalau seperti ini, pikiran buruk menguasaiku. Berbagai prasangka tentang Nara dan Lhasa sulit aku cegah.Bagaimana kalau mereka kembali saling suka? Bagaimana kalau Nara memeluk Lhasa yang sedih ditinggal suaminya? Bagaimana kalau ... mereka tidur bersama.Nara ... kumohon hubungi aku.Dalam keadaan kacau itu, kudengar Riga baru pulang dari kantornya. Aku enggan memperlihatkan
"Aku menunggumu datang, Nara."Aku terlena dengan desis suaranya. Seperti membuaiku dari kekalutan. Memberiku semangat sebab sempat terpuruk mendengar tangisnya.Viana memundurkan kepalanya hingga kami jadi saling bertatapan.Aku lupa, Viana memang seindah ini sebelumnya. Wajahnya, senyumnya, cara ia melirikku. Dia wanita yang punya kesempurnaan mutlak."Aku mau minta maaf, sudah merepotkanmu hari itu," sambung Viana."Merepotkan apa?""Kamu. Sampai sengaja menghiburku ke luar rumah demi membuatku gak sesak lagi berada di dalam sini."Aku belum menemukan inti dari perkataannya. Atau kemana arah pembicaraan ini akan berlangsung."Waktu itu aku sangat down. Aku benar-benar gak bisa berpikir dengan tepat. Aku juga gak ingat pernah berteriak pada semua orang tentangmu ataupun tentang Riga."Mendengar nama itu disebut lagi, spontan aku seperti diingatkan, kalau Viana bukan milikku, tapi Riga. Meski Riga sudah meningg
"Aku ingin kembali pada Viana. Apa aku salah?"Yenan mendorong kerahku hingga belakang kepalaku membentur tanah."Tentu saja kamu salah, bedebah! Kamu sudah mempermainkan perasaan Seya," teriak Yenan.Yenan bangkit dari menindih badanku. Ia mengacak rambutnya, seolah kehilangan akal."Sialan! Kalau tahu akhirnya akan begini, harusnya aku gak membiarkanmu dekat dengan Seya." Yenan meracau.Aku sama sekali tak beranjak dari tanah. Langit bisa kupandangi dari posisiku. Juga dingin dari jalanan yang mulai menghasilkan embun pagi."Pergi kamu, Nara! Aku akan menghancurkanmu kalau sampai menunjukkan wajahmu lagi di depan Seya."Bagiku, itu seperti isyarat bahwa ia menyerah terhadapku. Sebab, memintaku tetap berada di sini, kembali pada Seya, hanya akan memberikan luka padanya.Yenan memilih untuk membenciku dengan caranya.Aku beranjak dari tanah. Memandangi Yenan yang sedang memunggungiku lengkap dengan kepalan tangan yang te
Namun, rupanya di rumahku ada seseorang.Seya.Ia berdiri menghadapku dengan wajah cemas dan kantung mata menghitam. Kutebak, ia juga tak tidur malam kemarin.“Nara!” suaranya terdengar serak. “Aku mencemaskanmu.”Seya mendekat. “Apa yang terjadi dengan ponselmu, kenapa gak menjawab teleponku. Aku hanya ingin tahu kabarmu. Aku cemas terjadi sesuatu dengan Nara.”Aku sudah menduga Seya akan begini. Hanya saja aku tidak menyangka akan terjadi secepat ini, di rumahku, tepat setelah aku kembali.Saat di perjalanan, aku sudah memikirkan ini matang-matang. Aku harus memilih Seya dan Viana. Dan pilihanku jatuh pada Viana.“Seya, ada yang mau kukatakan padamu,” potongku. Mengabaikan kalimatnya barusan.Wajah Seya tegang. Ia tidak pernah melakukan itu sebelumnya. Senyum yang kemarin jadi ciri khasnya seolah raib hanya lewat kalimatku barusan.“Jangan katakan! Aku tahu apa yang
"Viana, kamu mau pergi denganku?"Viana memandangiku dengan tatapan kuyu. Aku tahu ia masih terpengaruh obat bius. Ia juga masih lemas efek berontak siang tadi.Tapi sungguh, di dalam rumah ini terasa sangat menyesakkan. Aku ingin memberi Viana angin segar agar ia lepas dari stress yang membuatnya ingin terus berteriak.Kuraih jaket yang menggantung dekat rak. Kupakaikan pada Viana. Lalu membantunya turun dari kasur dan menggandengnya berjalan keluar kamar.Orang-orang masih terlelap tidur. Aku dan Viana leluasa jalan mengendap-endap sampai ke luar rumah. Sekilas aku melihat jam dinding menunjukkan pukul 1 dini hari. Malam akan sangat dingin di luar, maka kurapatkan jaket yang dikenakan Viana.Jejeran bunga tanda berduka masih berada memenuhi jalanan. Viana menoleh ke arah itu. Sambil menahan gemetaran di bibirnya. Kupegang erat tangannya, berjalan ke arah sebaliknya yang jauh dari karangan bunga.Jalan dan jalan. Tak ada yang kami ucapkan.
“Mana Nara?”Otomatis aku beringsut ke kamar Viana begitu mendengar namaku disebut. Cyan juga mengekor tak jauh dariku.Viana nampak sedang ditenangkan oleh kakak iparnya. Ia mengamuk seperti saat tadi pagi. Kali ini ia meneriakkan namaku. Seolah kehilangan akal. Itu bukan seperti Viana yang kukenal.“Nara, mana Nara? Jangan ceraikan aku. Aku gak mau cerai dari Nara,” teriak Viana.Cerai?“Nara!”Lagi, Viana berteriak. Aku yang saat itu di pintu hanya bisa menatapnya. Viana menolehku. Tatapan kami bersirobok. Dan secepat kilat, Viana berlari ke arahku. Memeluk tubuhku. Di hadapan orang-orang, ia melingkarkan tangannya di perutku, kepalanya membenam di dadaku."Kumohon, jangan ceraikan aku. Aku gak mau berpisah denganmu. Jangan pergi!"Semua membisu. Terutama aku.Aku sempat mendengar kalau orang yang memiliki stres akut, ingatannya bisa kembali pada saat trauma terberatnya.Bisa
Saat itulah, aku menghampiri Viana. Mengambil alih kanan dan kiri tubuhnya. Mencengkeram pergelangan tangannya. Dan menariknya masuk ke tubuhku.“Ssst, diamlah Viana!”Viana belum sadar benar siapa yang memeluknya ini. Ia memukuli punggungku dan masih saja berteriak. Lagi, aku memeluknya makin erat. Tidak peduli dia memukul seberapa keras, atau ia menggigit bahuku demi minta kulepaskan.“Viana, ini aku. Nara!”Saat itu, barulah Viana berhenti. Mata kami bertautan. Kupandangi kedalaman matanya yang terlihat sangat nelangsa. Ada ribuan kalimat sedih yang kutangkap dari sorot matanya.Entah sudah berapa lama Viana mengamuk seperti ini, hanya saja kulihat ia cukup lelah. Napasnya naik turun, kedua tangannya juga melemas ketika kutangkap.“Na-ra?”Viana sukses menyebutkan namaku dengan bibirnya yang bergetar. Dan tak lama, Viana kehilangan keseimbangan. Ia pingsan. Aku menangkap kepalanya sebelum jatuh k
“Nara, Riga meninggal dunia.”Aku tercekat. Mendadak darahku seperti berhenti mengalir dalam detik itu. Aku menelan ludah dan menjauhkan ponsel dari telingaku.Biru yang melakukan panggilan itu. Aku sudah menyimpan nomornya tempo hari.“A-apa yang kamu bilang barusan?” aku ingin mengkonfirmasi sekali lagi. Takutnya salah dengar. Atau Biru sedang bercanda.Namun, suara isakan yang kemudian mewarnai speaker ponselku. Kulihat Seya memiringkan kepalanya ke arahku sebab dahiku berkerut memandangnya.“Biru?”Biru terdengar berusaha keras mengontrol isakkannya. Dan ia mengulang apa yang barusan ia katakan. Kali ini lebih pelan dan penuh penekanan.“Nara, Riga meninggal dunia. Tadi malam. Tabrakan mobil beruntun.”Tidak.Aku lemas. Baru kemarin aku menyaksikan bagaimana Yenan terkulai lemah setelah berita meninggalnya Reist. Kali ini aku bisa tahu seperti apa rasa
Kami kembali ke Surabaya. Melakukan aktivitas seperti biasanya lagi. Kali ini tujuanku sangat jelas, aku akan menikahi Seya. Tanpa kompromi.Sudah kutanyai pihak sekolah untuk melakukan pinjaman. Dan mereka menyanggupi itu. Masalah biaya sepertinya bisa tertangani. Mental juga sudah. Tinggal meyakinkan sekali lagi, apa Seya benar-benar siap.Berbeda denganku. Aku pernah punya pengalaman dalam pernikahan. Seya tidak. Mungkin dalam hatinya masih ada keraguan atau ketakutan. Sebab pernikahan sesuatu yang indah di luar, namun bisa sangat menakutkan di dalam.Aku pernah gagal satu kali. Bersama Seya, aku tidak ingin mengalami kegagalan itu lagi. Aku berjanji pada diriku sendiri dan pada Yenan yang menyetujui keputusanku seratus persen.Aku baru pulang dari sekolah ke kontrakanku. Di depan pagar, kulihat seseorang menunggu sambil bersandar dekat mobil.Kalau aku tidak salah ingat, itu mobil Biru. Dan laki-laki dengan tinggi semampai juga punya kulit sepu
Sejak kedatangan Riga tempo hari, rasa sukaku pada Seya malah makin berlipat-lipat. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan. Menyukainya terasa sangat menyenangkan.Beberapa kali aku diajak berkunjung ke rumah keluarganya di Bandung. Hubungan kami tambah serius. Sosokku juga dianggap ‘ada’ bukan sekedar orang yang selalu bersama Seya saja.Karena khawatir dengan pendapat orang sekitar, aku pindah kontrakan. Jadi lebih dekat ke sekolah. Kami tetap bisa berkomunikasi. Kadang aku sarapan juga di rumah Seya dan Yenan. Tapi untuk tidur, kami tak bisa satu atap lagi. Kecuali aku menikahinya.Dialog itu pernah ada dalam otakku. Kutanya Yenan pun, ia setuju saja. Menurutnya usia kami sudah matang. Sudah sama-sama siap. Izin keluarganya sudah kukantongi. Pekerjaan pun punya. Lalu apa lagi?“Apa Nara gak mau mengenalkan aku pada keluargamu?” tanya Seya di suatu sore saat kami sedang berjalan-jalan di sebuah taman.Bukannya aku