Anak-anak sanggar tahu tentang kehamilanku. Mereka mengucapkan selamat. Beberapa bertindak over dengan memanjakanku ini itu. Ramai sekali. Bisa dibilang akulah yang pertama hamil di sanggar ini. Jangan hitung Ketua, dia kan pria. Istrinya tak masuk anggota.
Meskipun aku hamil bukan berarti porsi latihan dikurangi. Profesional saja. Aku serius tentang ingin memerankan Tirani. Beberapa bulan lagi. Dan kandunganku belum terlalu besar untuk berjibaku di panggung.
Milan bilang sih, kostumnya masih muat kalau umur segitu. Dia tak perlu cari kostum baru.
Kali ini kami sedang berlatih adegan dimana Kama menjambak Tirani. Beda dengan kemarin-kemarin, ketika Gumi menjambak, anak-anak lain kompak berteriak woo~ dan sontak latihan adegan berhenti.
“Aduh, maaf Kakak!” Gumi lagi-lagi meminta maaf.
“Adegan ini boleh dihapus gak sih, kasihan Viana.”
“Atau ganti jangan jambak kek, tiap adegan ini aku m
“Pak Riga!” teriak seorang wanita tak jauh dari kami.Aku mengenalnya, sudah pasti dua pria ini pun mengenalnya. Dia sekretaris Riga. Wanita yang satu kantor dengan dua pria ini.Wanita itu menghampiri, bersamaan dengan dilepasnya genggaman tanganku oleh Nara. Aku sedikit terhenyak, bagian tanganku mendadak kosong karena tiba-tiba Nara lepaskan. Nara hanya tak ingin kami ketahuan, tapi dadaku terlanjur mencelos dan ... sedih.“Kamu sedang apa di sini? Bukannya kamu lagi cuti bulan madu?” sahut Riga sambil bergerak menutupi tanganku dan tangan Nara.“Aku pulang lebih cepat, Pak. Sekarang mau buat janji dengan dokter kandungan,” jelasnya dengan kharisma khas seorang sekretaris.“Wow, secepat itukah kamu isi?”“Bukan, Pak. Cuma konsultasi program kehamilan. Katanya lebih cepat lebih bagus.”Sekretaris yang kutahu bernama Khiva itu tertawa manis sekali. Rupanya dia baru menikah y
“Kak Viana, apa yang kemarin jemput Kakak itu, suami kakak?”“Mmm ... bukan, dia sopirku.”“Sopir?”“Ya.”“Siapa namanya?”“Memangnya kenapa?”“Aku sepertinya suka sama sopir kak Viana.”Aku terdiam. Melotot. Tidak menyangka Gumi akan mengatakannya. Dia suka Nara? Yang benar saja.“Enggak boleh.”“Kenapa gak boleh, Kak?”“Dia mmm ... sudah punya pasangan.”“Istri?”“Ya. Istri.”“Enggak masalah.”“Apanya yang gak masalah.”“Aku kan menyukainya, bukan mau jadi istrinya. Tapi ya ... kalau dia mau menjadikanku istri kedua juga gak masalah.”Gumi mengatakannya dengan wajah datar tapi bibir menyeringai. Apa Gumi yang sebenarnya memang seperti ini. Wanita lain biasanya mundur saat tahu pria yang diincar
Malam-malam aku sedang menghapal dialogku di kursi santai ruang tengah. Di bagian ending ada beberapa dialog yang tak masuk ke kepala meskipun sudah kuulang berkali-kali.Entahlah, semenjak hamil aku jadi susah menghafal dengan baik. Semua kalimat seperti mengabur di otak. Kadang blank.Aku sempat melirik jam dinding di atas TV. Itu menunjukkan pukul 11 malam. Sudah larut menurutku, tapi Riga belum pulang dari tempat kerjanya. Apa dia lembur lagi?Tak berapa lama, mobil Riga kedengaran di halaman rumah. Ia pun masuk setelah menaruh sepatunya di atas rak dekat pintu. Aku jadi menonton Riga di tiap langkahnya. Ia kelihatan sangat lelah dengan wajah kusut dan ujung kemeja keluar dari celananya.Riga menolehku. Secepat kilat ia mengganti wajah lesunya dengan senyum sumringah seolah tidak mau menunjukkan wajah lelahnya dariku. Terlambat, aku sudah melihat itu, Riga.“Viana, kok belum tidur?” sahutnya sambil membuka kancing di lengan kemejany
“Sebenarnya ada hubungan apa antara kamu dengan Nara?”Intens. Tepat sasaran. Langsung ke inti. Itulah Havana yang kukenal. Aku sempat mengabaikan kalau Havana pastilah bisa mengambil kesimpulan dari keanehan hubungan kami.Sebab dia yang tahu bagaimana aku mengejar Nara saat di cafe Tree dulu. Dia juga yang tahu bagaimana aku sebegitu cintanya pada Nara, sampai hanya nama dia yang keluar dari mulutku setiap bercerita dengan Havana. Tapi tiba-tiba aku memberi kabar padanya kalau aku menikah dengan Riga, bukan dengan Nara. Tentu Havana akan bertanya hal ini.“Aku masih ingat waktu itu kamu bilang kamu menolak kalau ibunya Riga datang untuk menjadikanmu menantu. Itu karena kamu masih pacaran dengan Nara. Tapi tak lama setelah itu, kamu mengabari kami kalau kamu menikah dengan Riga. Dan Nara secara ajaibnya jadi sopirmu dan Riga.” Tepat seperti dugaanku.“Aku memang gak masalah kalau hubungan kalian baik-baik saja. Tapi aku mera
“Lhasa. Nama ibu itu, Lhasa.”Apa?Tanpa tendeng aling-aling, tanpa perlu disuruh, aku berlari keluar gedung perkantoran. Mencari sosok wanita yang selama ini jadi momok menakutkan hanya dari namanya saja.Apa benar itu Lhasa yang itu? Lhasa mantan Nara? Kumohon, semoga bukan.Aku menangkap sosok wanita itu di pintu sebuah mobil sedan merah. Dalam satu langkah ia bisa saja masuk ke dalam mobilnya. Bisa juga berhenti dan menoleh kalau kupanggil. Tapi ... untuk apa kupanggil. Saling kenal saja tidak.Aku hanya menatapnya dari jauh. Memerhatikan jengkal wajahnya dari samping. Benar, itu Lhasa yang itu. Meski tampilannya berubah, tapi aku yakin dialah Lhasa yang muncul di layar ketika reuni kampus Nara tempo hari.Untuk apa dia kemari, ke kantornya Biru? Menemui Biru?Lhasa kembali. Dengan itu saja dadaku bergemuruh seolah ada badai di dalam perutku.Seiring dengan meluncurnya mobil sedan merah keluar dari pelataran kan
Lagi. Tengah malam aku terbangun untuk muntah. Daripada morning sickness, aku lebih sering muntah di tengah malam. Rasanya melelahkan, sakit sampai ke kerongkongan. Setelah keluar bukan perasaan lega yang kudapat malah makin mual.Banyak yang bilang tri semester pertama memang bagaikan neraka. Mungkin karena tubuhku beradaptasi dengan kehadiran sesuatu yang asing di perut. Tapi sungguh, perubahan-perubahan ini kadang membuatku frustrasi. Ditambah emosi labil dan sakit di sekujur tubuh.Seluar biasa inikah menjadi seorang ibu?Nara tidak terbangunkan oleh suaraku ke toilet. Ia tidur dengan nyenyaknya. Ia pasti kelelahan sehabis menjalankan motor ke Bandung.Mulutku pahit, cairan asam lambung turut serta saat aku muntah tadi. Aku butuh sesuatu untuk melumasi mulutku. Tapi tidak berani membangunkan Nara. Makanya aku keluar sendiri, menuju dapur dan membuat teh manis hangat untuk diriku sendiri.Denting sendok dengan cangkir membuatku ingat ke
Tatapan kami bersinggungan. Dengan mata lemahnya ia menelusur ke dalam bola mataku. Dan begitu juga dengan yang kulakukan padanya.Bukan hanya itu, tanganku di dadanya ia genggam erat-erat hingga debar jantungnya bisa kurasakan berkedut di telapak tanganku.Napas Riga berat. Pasti karena demam yang ia rasa. Tangannya panas. Pasti karena itu juga. Tapi genggaman tangannya makin erat. Aku ragu ia melakukannya karena itu pula.“Ri-Riga?” panggilku pelan. Riga seolah hilang kesadaran dalam keadaan terbangun.Aku tidak tahu kenapa, tapi aku ingin menikmati sebentar momen ini. Melihat Riga yang sakit, merasai tangan Riga yang panas, juga tatapan sayu dimana ada pantulan diriku di matanya.Kenapa aku begitu terlena. Kenapa aku menikmati sesuatu yang kutahu salah ini. Kenapa pria yang panas begitu ... menggiurkan.Riga melepaskan tangannya. Ia mundur sedikit dari posisi pertama kami. Seperti tersadarkan, kami sama-sama berdeham dan kemba
“Kita ke ruang USG sekarang!”Aku dituntun oleh perawat. Begitu sampai di ruangan kecil dengan peralatan USG, aku diolesi cairan, dan dokter mulai memeriksa dengan cermat.Aku gemetaran karena takut terjadi sesuatu yang gawat. Kulihat Ketua pun sama cemasnya denganku.“Enggak apa-apa. Plasentanya masih utuh, detak jantungnya juga ada. Bayi anda baik-baik saja,” ucapan dokter membuatku lega.Kulihat Ketua juga menyemburkan napas lega sambil berpegangan pada meja. Ia pasti tegang bukan main. Bukan saja karena aku anggota sanggar yang menjadi tanggung jawabnya, tapi karena Ketua sudah menganggapku adiknya.Aku diperbolehkan bangun dan duduk di kursi menghadap dokter. Ketua menemaniku.“Tri semesta awal ini memang termasuk rentan untuk ibu hamil. Diharap anda bisa ekstra hati-hati karena ia masih lemah dan belum kuat menempel dengan rahim.”Aku mengangguk-angguk mendengar petuah dokter.“Se
"Aku menunggumu datang, Nara."Aku terlena dengan desis suaranya. Seperti membuaiku dari kekalutan. Memberiku semangat sebab sempat terpuruk mendengar tangisnya.Viana memundurkan kepalanya hingga kami jadi saling bertatapan.Aku lupa, Viana memang seindah ini sebelumnya. Wajahnya, senyumnya, cara ia melirikku. Dia wanita yang punya kesempurnaan mutlak."Aku mau minta maaf, sudah merepotkanmu hari itu," sambung Viana."Merepotkan apa?""Kamu. Sampai sengaja menghiburku ke luar rumah demi membuatku gak sesak lagi berada di dalam sini."Aku belum menemukan inti dari perkataannya. Atau kemana arah pembicaraan ini akan berlangsung."Waktu itu aku sangat down. Aku benar-benar gak bisa berpikir dengan tepat. Aku juga gak ingat pernah berteriak pada semua orang tentangmu ataupun tentang Riga."Mendengar nama itu disebut lagi, spontan aku seperti diingatkan, kalau Viana bukan milikku, tapi Riga. Meski Riga sudah meningg
"Aku ingin kembali pada Viana. Apa aku salah?"Yenan mendorong kerahku hingga belakang kepalaku membentur tanah."Tentu saja kamu salah, bedebah! Kamu sudah mempermainkan perasaan Seya," teriak Yenan.Yenan bangkit dari menindih badanku. Ia mengacak rambutnya, seolah kehilangan akal."Sialan! Kalau tahu akhirnya akan begini, harusnya aku gak membiarkanmu dekat dengan Seya." Yenan meracau.Aku sama sekali tak beranjak dari tanah. Langit bisa kupandangi dari posisiku. Juga dingin dari jalanan yang mulai menghasilkan embun pagi."Pergi kamu, Nara! Aku akan menghancurkanmu kalau sampai menunjukkan wajahmu lagi di depan Seya."Bagiku, itu seperti isyarat bahwa ia menyerah terhadapku. Sebab, memintaku tetap berada di sini, kembali pada Seya, hanya akan memberikan luka padanya.Yenan memilih untuk membenciku dengan caranya.Aku beranjak dari tanah. Memandangi Yenan yang sedang memunggungiku lengkap dengan kepalan tangan yang te
Namun, rupanya di rumahku ada seseorang.Seya.Ia berdiri menghadapku dengan wajah cemas dan kantung mata menghitam. Kutebak, ia juga tak tidur malam kemarin.“Nara!” suaranya terdengar serak. “Aku mencemaskanmu.”Seya mendekat. “Apa yang terjadi dengan ponselmu, kenapa gak menjawab teleponku. Aku hanya ingin tahu kabarmu. Aku cemas terjadi sesuatu dengan Nara.”Aku sudah menduga Seya akan begini. Hanya saja aku tidak menyangka akan terjadi secepat ini, di rumahku, tepat setelah aku kembali.Saat di perjalanan, aku sudah memikirkan ini matang-matang. Aku harus memilih Seya dan Viana. Dan pilihanku jatuh pada Viana.“Seya, ada yang mau kukatakan padamu,” potongku. Mengabaikan kalimatnya barusan.Wajah Seya tegang. Ia tidak pernah melakukan itu sebelumnya. Senyum yang kemarin jadi ciri khasnya seolah raib hanya lewat kalimatku barusan.“Jangan katakan! Aku tahu apa yang
"Viana, kamu mau pergi denganku?"Viana memandangiku dengan tatapan kuyu. Aku tahu ia masih terpengaruh obat bius. Ia juga masih lemas efek berontak siang tadi.Tapi sungguh, di dalam rumah ini terasa sangat menyesakkan. Aku ingin memberi Viana angin segar agar ia lepas dari stress yang membuatnya ingin terus berteriak.Kuraih jaket yang menggantung dekat rak. Kupakaikan pada Viana. Lalu membantunya turun dari kasur dan menggandengnya berjalan keluar kamar.Orang-orang masih terlelap tidur. Aku dan Viana leluasa jalan mengendap-endap sampai ke luar rumah. Sekilas aku melihat jam dinding menunjukkan pukul 1 dini hari. Malam akan sangat dingin di luar, maka kurapatkan jaket yang dikenakan Viana.Jejeran bunga tanda berduka masih berada memenuhi jalanan. Viana menoleh ke arah itu. Sambil menahan gemetaran di bibirnya. Kupegang erat tangannya, berjalan ke arah sebaliknya yang jauh dari karangan bunga.Jalan dan jalan. Tak ada yang kami ucapkan.
“Mana Nara?”Otomatis aku beringsut ke kamar Viana begitu mendengar namaku disebut. Cyan juga mengekor tak jauh dariku.Viana nampak sedang ditenangkan oleh kakak iparnya. Ia mengamuk seperti saat tadi pagi. Kali ini ia meneriakkan namaku. Seolah kehilangan akal. Itu bukan seperti Viana yang kukenal.“Nara, mana Nara? Jangan ceraikan aku. Aku gak mau cerai dari Nara,” teriak Viana.Cerai?“Nara!”Lagi, Viana berteriak. Aku yang saat itu di pintu hanya bisa menatapnya. Viana menolehku. Tatapan kami bersirobok. Dan secepat kilat, Viana berlari ke arahku. Memeluk tubuhku. Di hadapan orang-orang, ia melingkarkan tangannya di perutku, kepalanya membenam di dadaku."Kumohon, jangan ceraikan aku. Aku gak mau berpisah denganmu. Jangan pergi!"Semua membisu. Terutama aku.Aku sempat mendengar kalau orang yang memiliki stres akut, ingatannya bisa kembali pada saat trauma terberatnya.Bisa
Saat itulah, aku menghampiri Viana. Mengambil alih kanan dan kiri tubuhnya. Mencengkeram pergelangan tangannya. Dan menariknya masuk ke tubuhku.“Ssst, diamlah Viana!”Viana belum sadar benar siapa yang memeluknya ini. Ia memukuli punggungku dan masih saja berteriak. Lagi, aku memeluknya makin erat. Tidak peduli dia memukul seberapa keras, atau ia menggigit bahuku demi minta kulepaskan.“Viana, ini aku. Nara!”Saat itu, barulah Viana berhenti. Mata kami bertautan. Kupandangi kedalaman matanya yang terlihat sangat nelangsa. Ada ribuan kalimat sedih yang kutangkap dari sorot matanya.Entah sudah berapa lama Viana mengamuk seperti ini, hanya saja kulihat ia cukup lelah. Napasnya naik turun, kedua tangannya juga melemas ketika kutangkap.“Na-ra?”Viana sukses menyebutkan namaku dengan bibirnya yang bergetar. Dan tak lama, Viana kehilangan keseimbangan. Ia pingsan. Aku menangkap kepalanya sebelum jatuh k
“Nara, Riga meninggal dunia.”Aku tercekat. Mendadak darahku seperti berhenti mengalir dalam detik itu. Aku menelan ludah dan menjauhkan ponsel dari telingaku.Biru yang melakukan panggilan itu. Aku sudah menyimpan nomornya tempo hari.“A-apa yang kamu bilang barusan?” aku ingin mengkonfirmasi sekali lagi. Takutnya salah dengar. Atau Biru sedang bercanda.Namun, suara isakan yang kemudian mewarnai speaker ponselku. Kulihat Seya memiringkan kepalanya ke arahku sebab dahiku berkerut memandangnya.“Biru?”Biru terdengar berusaha keras mengontrol isakkannya. Dan ia mengulang apa yang barusan ia katakan. Kali ini lebih pelan dan penuh penekanan.“Nara, Riga meninggal dunia. Tadi malam. Tabrakan mobil beruntun.”Tidak.Aku lemas. Baru kemarin aku menyaksikan bagaimana Yenan terkulai lemah setelah berita meninggalnya Reist. Kali ini aku bisa tahu seperti apa rasa
Kami kembali ke Surabaya. Melakukan aktivitas seperti biasanya lagi. Kali ini tujuanku sangat jelas, aku akan menikahi Seya. Tanpa kompromi.Sudah kutanyai pihak sekolah untuk melakukan pinjaman. Dan mereka menyanggupi itu. Masalah biaya sepertinya bisa tertangani. Mental juga sudah. Tinggal meyakinkan sekali lagi, apa Seya benar-benar siap.Berbeda denganku. Aku pernah punya pengalaman dalam pernikahan. Seya tidak. Mungkin dalam hatinya masih ada keraguan atau ketakutan. Sebab pernikahan sesuatu yang indah di luar, namun bisa sangat menakutkan di dalam.Aku pernah gagal satu kali. Bersama Seya, aku tidak ingin mengalami kegagalan itu lagi. Aku berjanji pada diriku sendiri dan pada Yenan yang menyetujui keputusanku seratus persen.Aku baru pulang dari sekolah ke kontrakanku. Di depan pagar, kulihat seseorang menunggu sambil bersandar dekat mobil.Kalau aku tidak salah ingat, itu mobil Biru. Dan laki-laki dengan tinggi semampai juga punya kulit sepu
Sejak kedatangan Riga tempo hari, rasa sukaku pada Seya malah makin berlipat-lipat. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan. Menyukainya terasa sangat menyenangkan.Beberapa kali aku diajak berkunjung ke rumah keluarganya di Bandung. Hubungan kami tambah serius. Sosokku juga dianggap ‘ada’ bukan sekedar orang yang selalu bersama Seya saja.Karena khawatir dengan pendapat orang sekitar, aku pindah kontrakan. Jadi lebih dekat ke sekolah. Kami tetap bisa berkomunikasi. Kadang aku sarapan juga di rumah Seya dan Yenan. Tapi untuk tidur, kami tak bisa satu atap lagi. Kecuali aku menikahinya.Dialog itu pernah ada dalam otakku. Kutanya Yenan pun, ia setuju saja. Menurutnya usia kami sudah matang. Sudah sama-sama siap. Izin keluarganya sudah kukantongi. Pekerjaan pun punya. Lalu apa lagi?“Apa Nara gak mau mengenalkan aku pada keluargamu?” tanya Seya di suatu sore saat kami sedang berjalan-jalan di sebuah taman.Bukannya aku