Beberapa hari kemudian rumah kami disulap jadi ruang kerja dadakan. Riga bersama beberapa orang kepercayaan mendata ulang proyek kerja. Menambahi beberapa bagian agar lebih prima.
Sengaja Riga pilih rumah, karena di kantornya ada musuh dalam selimut atau serigala berbulu domba. Sampai saat ini Riga belum tahu siapa pembelot itu. Maka seluruh pekerjaan proyek ini, Riga angkut ke rumah.
Tak ada yang tahu. Riga hanya mengumumkan pada khalayak ramai bahwa ia akan launching satu cabang baru untuk Abimahya Corp. Terobosan baru di bidang digital yang belum corporation punyai.
Riga mengumumkan tanggal 10 Mei sebagai tanggal launching-nya. Tepat sehari sebelum acara ulang tahun Eyang dilaksanakan.
Bagi si pencuri, Riga dianggap nekat karena meluncurkan produk yang sama seperti perusahaan pesaing. Tentu ia akan di-cap peniru karena ide miliknya sudah dulu dikenal khalayak sebagai inovasi milik si tetangga sebelah.
Tidak tahu saja, Riga
Hari peluncuran tiba. Riga mengundang banyak pihak untuk presentasi produk. Aku turut serta sebagai pendamping Riga, atau Nyonya Abimahya. Sejak tadi pagi Riga nampak percaya diri. Dengan pakaian terbaiknya, materi di luar kepala, Riga siap memukau berbagai investor dengan inovasi miliknya. Tidak lupa ia menggandeng Nara dan Biru. Serta mendapuk produk dipelopori oleh mereka bertiga. Warnakota, minus Cyan. Riga memulai presentasi di hadapan puluhan orang. Yang terdepan adalah Pak Danavy Abimahya. Direktur sebelumnya Abimahya Corp. Ia merasa masih bertanggung jawab di tahun pertama Riga menjabat. Meski sudah pensiun, Pak Danavy tetap punya andil untuk perusahaan keluarga ini. Salah satunya meyakinkan relasi untuk mendekat ketika Riga mengembangkan sayap ke kancah digital modern. Di belakangnya, ada Bunda juga Kak Elva yang turut serta membantu proyek Riga. Aku di sebelah mereka. Merasa waswas di setiap kata demi kata yang meluncur di mulut Riga
Ia terperanjat seperti dikageti. Kebetulan aku sedang berada di dekat wajahnya ikutan kaget begitu wajah Riga melesat cepat mengenai wajahku dan ... Bibir kami bersentuhan. Aku mundur selangkah merapat ke tembok belakang mejanya. Refleks yang lambat karena sempat terkejut dengan pertemuan bibir kami. Sementara itu, Riga seolah baru tersadarkan. Ia memental kembali ke kursi sebab tadi bertubrukan wajah denganku. Dipegangilah kepalanya karena migrain tiba-tiba datang hasil dari bangun yang dipaksakan. Riga mengaduh, sedangkan aku mematung dan merasakan denyut di bibirku menjadi bukti bahwa tabrakan tadi memang benar berasal dari sana. Lama Riga memegangi kepalanya, mengizinkanku untuk mengontrol wajah barang sejenak. Menelan ludah dan menjilati bibirku agar denyutannya hilang. Riga mendongak dan sadar ada aku merapat di tembok. Sedang melotot dan wajah penuh arti. “Viana?” Aku berkedip dan menyudahi wajah tegangku dengan tersenyu
Pagi-pagi Riga memanaskan mobil. Ia telah berdandan rapi dengan kemeja casual bergaris hitam putih, masih selaras dengan tema monokrom yang diusung. Riga melihatku yang mengenakan gaun bermotif bunga. Juga jepitan rambut tersemat di atas telinga. Sedetik ia melirikku lalu pada Nara yang dari tadi menggenggam tanganku sebelum melepas kepergian kami. “Yuk, Viana. Perjalanan kita lumayan jauh,” ujar Riga sembari membuka pintu mobil. Aku menghadap Nara sebelum pergi. Menerima ciuman Nara di pipi, hidung, kening, yang terakhir di bibirku. “Hati-hati di jalan.” Aku mengangguk. Nara menemaniku sampai ke pintu mobil. Ia bahkan menuntunku masuk ke jok sebelah Riga. Nara bantu memakaikan sabuk pengaman. Menyapa sahabatnya dan menitipkanku padanya. Kami telah bersiap. Jendela mobil kuturunkan untuk melambaikan tangan perpisahan. Mobil melaju meninggalkan Nara yang masih memandangi mobil meski telah berada di belokan jalan. Barulah kunaikkan jende
Acara ulang tahun Eyang tidak ada perayaan semacam tiup lilin, potong kue, menyanyi-nyanyi, apalagi kedatangan badut sulap. Bukan. Ulang tahun Eyang bertujuan untuk berkumpulnya seluruh keluarga. Maka kami pun hanya berbincang-bincang di ruang tengah. Membanggakan si ini, menggosipkan si itu, pokoknya penuh keceriaan. Satu yang kusuka dari acara ini, banyaknya makanan dan kue-kue. Katanya, Eyang menyewa katering untuk ini. Yang bantu menyiapkan prasmanan juga orang-orang katering. Kukira tadinya yang memakai kaos putih rompi hitam itu asisten rumah tangganya Eyang. Hebat sekali kalau iya, jumlah mereka ada sekitar dua puluh. Sebegitu banyak hanya untuk melayani Eyang. Ckckck. Hari sudah menginjak malam, kami bergeser kumpul ke halaman utama dimana layar dan proyektor sudah terpajang di sana. Aku datang belakangan karena menunggu Riga yang bersikeras ingin membawa popcorn sebagai teman menonton. Bahan-bahan sudah ada, seperti tahu popcorn adala
Malam makin larut, anginnya pun makin kencang di halaman terbuka tanpa terhalang tembok. Aku memeluk lenganku. Gaunku terbilang tipis untuk menghalau angin pegunungan yang bertiup makin kencang. Sepertinya Bunda sadar aku kedinginan. Ia yang duduk tak jauh dari Riga, menegurnya pelan-pelan. “Riga, istrimu kedinginan, tuh. Bawakan dia jaket, sana!” Riga menolehku dengan mulut penuh popcorn. Ia kelihatan malas untuk sekedar beranjak. Atau ia malas mengurusiku. Riga membuat tanda pada Biru. Meminta Biru menyerahkan jaketnya padaku karena Nila sudah mengenakan pakaian panjang dan hangat. “Biru, pinjami Viana jaketmu, dong!” “Kok aku? Kamu ambillah ke dalam.” Riga keterlaluan, aku tahu dia dalam mode posisi ternyaman, atau sedang menghindar dariku setelah tadi sama-sama kikuk. Tapi tidak seharusnya ia menunjukkan ketidakpeduliannya begitu. Awas saja kalau ada acara seperti ini lagi, aku tidak akan datang. Tahu begini
Malam itu hujan tiba-tiba lebat. Kegiatan menonton di layar memang telah usai. Beralih ke ruang tengah hanya melakukan percakapan ringan. Hujan membuat kami bertahan. Rencana hanya sampai tengah malam saja di sini, lalu pulang ke ibukota. Namun hantaman air dari langit membabi buta mengenai apa saja yang ditemui. Jalanan basah, ditambah gelap yang mencekam, memaksa kami membatalkan rencana pulang. Bukan apa-apa, jalanan bisa sangat licin, penerangan pun akan minim. Termasuk bahaya kalau memaksakan diri berkendara dalam kondisi ini. Kebanyakan memutuskan menginap, toh ada banyak kamar yang bisa ditempati. Sebenarnya ide menginap tidak terlalu buruk, hanya saja berarti aku harus sekamar dengan Riga. Apa kuikuti saja pasangan Biru dan Nila yang terpisah kamar karena mereka belum resmi menikah. Tapi apa katanya nanti, Viana dan Riga pisah ranjang. Padahal dari awal kami memang tidak pernah seranjang. Aku dan Riga diam di pintu. Terpikir mengakali kasur be
Riga menangkap tanganku yang berada di bahunya. Ia menarikku sampai bahu kami bertubrukan. Sampai wajahnya hanya beberapa inchi dari wajahku. “Kira-kira Nara marah gak ya, kalau aku cium kamu sekali saja.” Cukup, Riga sudah berlebihan. Aku tahu dia sedang bercanda karena setelahnya mulut Riga menggembung dan menyemburkan tawa membahana. Kuhajar kepalanya dengan bogeman mentah. Bertubi-tubi sampai Riga membenamkan kepalanya di antara bantal yang kulemparkan padanya tadi. Dia pikir lucu mengatakan omong kosong itu. Konyol. Lihat dia, dia tertawa-tawa seolah puas sudah membuat pipiku bersemu merah. “Ampun, ampun!” Riga melindungi kepalanya dari bogeman mentahku. Aku kadung emosi. Kuputuskan aku saja yang pergi. Begadang saja sekalian daripada harus meladeni si kunyuk ini. “Viana ... hei. Kamu mau kemana?” teriaknya masih dengan tawa yang tak juga berhenti. Masa bodoh. Aku melengos pergi dari kamar. Mengumpa
Kelopak mataku terbuka perlahan. Kehangatan itu masih bisa kurasakan menjalari tubuhku. Butuh sepersekian detik untukku menyadari dimana aku terbangun.Di pelukan Riga. Gawat.Aku terhuyung, menjauhi tubuhnya. Berdebar hebat saat wajah pulas Riga mendominasi pemandanganku.Mana guling yang jadi pemisah kami, dan ... eh, kenapa aku ada di sini. Seingatku, aku ketiduran di sofa. Siapa yang memindahkanku kemari? Apa Riga yang melakukannya?Tak lama, pria yang sedang kutatapi itu menggesek-gesekkan pipinya ke bantal. Ia mendengung.Sebelum kelopak matanya mulai terbuka atau ia terbangun, aku sudah turun dari kasur. Bergegas ke kamar mandi setelah membawa handuk dan baju salin.Riga sepertinya sudah terjaga. Ia melihatku yang bergerak aktif sekitar kamar mandi.“Sedang apa, Viana?” tanya Riga serak.“Mandi. Aku mau pulang.” Kukatakan tanpa menoleh padanya. Pintu pun tertutup keras menggetarkan tembok sekitarn
"Aku menunggumu datang, Nara."Aku terlena dengan desis suaranya. Seperti membuaiku dari kekalutan. Memberiku semangat sebab sempat terpuruk mendengar tangisnya.Viana memundurkan kepalanya hingga kami jadi saling bertatapan.Aku lupa, Viana memang seindah ini sebelumnya. Wajahnya, senyumnya, cara ia melirikku. Dia wanita yang punya kesempurnaan mutlak."Aku mau minta maaf, sudah merepotkanmu hari itu," sambung Viana."Merepotkan apa?""Kamu. Sampai sengaja menghiburku ke luar rumah demi membuatku gak sesak lagi berada di dalam sini."Aku belum menemukan inti dari perkataannya. Atau kemana arah pembicaraan ini akan berlangsung."Waktu itu aku sangat down. Aku benar-benar gak bisa berpikir dengan tepat. Aku juga gak ingat pernah berteriak pada semua orang tentangmu ataupun tentang Riga."Mendengar nama itu disebut lagi, spontan aku seperti diingatkan, kalau Viana bukan milikku, tapi Riga. Meski Riga sudah meningg
"Aku ingin kembali pada Viana. Apa aku salah?"Yenan mendorong kerahku hingga belakang kepalaku membentur tanah."Tentu saja kamu salah, bedebah! Kamu sudah mempermainkan perasaan Seya," teriak Yenan.Yenan bangkit dari menindih badanku. Ia mengacak rambutnya, seolah kehilangan akal."Sialan! Kalau tahu akhirnya akan begini, harusnya aku gak membiarkanmu dekat dengan Seya." Yenan meracau.Aku sama sekali tak beranjak dari tanah. Langit bisa kupandangi dari posisiku. Juga dingin dari jalanan yang mulai menghasilkan embun pagi."Pergi kamu, Nara! Aku akan menghancurkanmu kalau sampai menunjukkan wajahmu lagi di depan Seya."Bagiku, itu seperti isyarat bahwa ia menyerah terhadapku. Sebab, memintaku tetap berada di sini, kembali pada Seya, hanya akan memberikan luka padanya.Yenan memilih untuk membenciku dengan caranya.Aku beranjak dari tanah. Memandangi Yenan yang sedang memunggungiku lengkap dengan kepalan tangan yang te
Namun, rupanya di rumahku ada seseorang.Seya.Ia berdiri menghadapku dengan wajah cemas dan kantung mata menghitam. Kutebak, ia juga tak tidur malam kemarin.“Nara!” suaranya terdengar serak. “Aku mencemaskanmu.”Seya mendekat. “Apa yang terjadi dengan ponselmu, kenapa gak menjawab teleponku. Aku hanya ingin tahu kabarmu. Aku cemas terjadi sesuatu dengan Nara.”Aku sudah menduga Seya akan begini. Hanya saja aku tidak menyangka akan terjadi secepat ini, di rumahku, tepat setelah aku kembali.Saat di perjalanan, aku sudah memikirkan ini matang-matang. Aku harus memilih Seya dan Viana. Dan pilihanku jatuh pada Viana.“Seya, ada yang mau kukatakan padamu,” potongku. Mengabaikan kalimatnya barusan.Wajah Seya tegang. Ia tidak pernah melakukan itu sebelumnya. Senyum yang kemarin jadi ciri khasnya seolah raib hanya lewat kalimatku barusan.“Jangan katakan! Aku tahu apa yang
"Viana, kamu mau pergi denganku?"Viana memandangiku dengan tatapan kuyu. Aku tahu ia masih terpengaruh obat bius. Ia juga masih lemas efek berontak siang tadi.Tapi sungguh, di dalam rumah ini terasa sangat menyesakkan. Aku ingin memberi Viana angin segar agar ia lepas dari stress yang membuatnya ingin terus berteriak.Kuraih jaket yang menggantung dekat rak. Kupakaikan pada Viana. Lalu membantunya turun dari kasur dan menggandengnya berjalan keluar kamar.Orang-orang masih terlelap tidur. Aku dan Viana leluasa jalan mengendap-endap sampai ke luar rumah. Sekilas aku melihat jam dinding menunjukkan pukul 1 dini hari. Malam akan sangat dingin di luar, maka kurapatkan jaket yang dikenakan Viana.Jejeran bunga tanda berduka masih berada memenuhi jalanan. Viana menoleh ke arah itu. Sambil menahan gemetaran di bibirnya. Kupegang erat tangannya, berjalan ke arah sebaliknya yang jauh dari karangan bunga.Jalan dan jalan. Tak ada yang kami ucapkan.
“Mana Nara?”Otomatis aku beringsut ke kamar Viana begitu mendengar namaku disebut. Cyan juga mengekor tak jauh dariku.Viana nampak sedang ditenangkan oleh kakak iparnya. Ia mengamuk seperti saat tadi pagi. Kali ini ia meneriakkan namaku. Seolah kehilangan akal. Itu bukan seperti Viana yang kukenal.“Nara, mana Nara? Jangan ceraikan aku. Aku gak mau cerai dari Nara,” teriak Viana.Cerai?“Nara!”Lagi, Viana berteriak. Aku yang saat itu di pintu hanya bisa menatapnya. Viana menolehku. Tatapan kami bersirobok. Dan secepat kilat, Viana berlari ke arahku. Memeluk tubuhku. Di hadapan orang-orang, ia melingkarkan tangannya di perutku, kepalanya membenam di dadaku."Kumohon, jangan ceraikan aku. Aku gak mau berpisah denganmu. Jangan pergi!"Semua membisu. Terutama aku.Aku sempat mendengar kalau orang yang memiliki stres akut, ingatannya bisa kembali pada saat trauma terberatnya.Bisa
Saat itulah, aku menghampiri Viana. Mengambil alih kanan dan kiri tubuhnya. Mencengkeram pergelangan tangannya. Dan menariknya masuk ke tubuhku.“Ssst, diamlah Viana!”Viana belum sadar benar siapa yang memeluknya ini. Ia memukuli punggungku dan masih saja berteriak. Lagi, aku memeluknya makin erat. Tidak peduli dia memukul seberapa keras, atau ia menggigit bahuku demi minta kulepaskan.“Viana, ini aku. Nara!”Saat itu, barulah Viana berhenti. Mata kami bertautan. Kupandangi kedalaman matanya yang terlihat sangat nelangsa. Ada ribuan kalimat sedih yang kutangkap dari sorot matanya.Entah sudah berapa lama Viana mengamuk seperti ini, hanya saja kulihat ia cukup lelah. Napasnya naik turun, kedua tangannya juga melemas ketika kutangkap.“Na-ra?”Viana sukses menyebutkan namaku dengan bibirnya yang bergetar. Dan tak lama, Viana kehilangan keseimbangan. Ia pingsan. Aku menangkap kepalanya sebelum jatuh k
“Nara, Riga meninggal dunia.”Aku tercekat. Mendadak darahku seperti berhenti mengalir dalam detik itu. Aku menelan ludah dan menjauhkan ponsel dari telingaku.Biru yang melakukan panggilan itu. Aku sudah menyimpan nomornya tempo hari.“A-apa yang kamu bilang barusan?” aku ingin mengkonfirmasi sekali lagi. Takutnya salah dengar. Atau Biru sedang bercanda.Namun, suara isakan yang kemudian mewarnai speaker ponselku. Kulihat Seya memiringkan kepalanya ke arahku sebab dahiku berkerut memandangnya.“Biru?”Biru terdengar berusaha keras mengontrol isakkannya. Dan ia mengulang apa yang barusan ia katakan. Kali ini lebih pelan dan penuh penekanan.“Nara, Riga meninggal dunia. Tadi malam. Tabrakan mobil beruntun.”Tidak.Aku lemas. Baru kemarin aku menyaksikan bagaimana Yenan terkulai lemah setelah berita meninggalnya Reist. Kali ini aku bisa tahu seperti apa rasa
Kami kembali ke Surabaya. Melakukan aktivitas seperti biasanya lagi. Kali ini tujuanku sangat jelas, aku akan menikahi Seya. Tanpa kompromi.Sudah kutanyai pihak sekolah untuk melakukan pinjaman. Dan mereka menyanggupi itu. Masalah biaya sepertinya bisa tertangani. Mental juga sudah. Tinggal meyakinkan sekali lagi, apa Seya benar-benar siap.Berbeda denganku. Aku pernah punya pengalaman dalam pernikahan. Seya tidak. Mungkin dalam hatinya masih ada keraguan atau ketakutan. Sebab pernikahan sesuatu yang indah di luar, namun bisa sangat menakutkan di dalam.Aku pernah gagal satu kali. Bersama Seya, aku tidak ingin mengalami kegagalan itu lagi. Aku berjanji pada diriku sendiri dan pada Yenan yang menyetujui keputusanku seratus persen.Aku baru pulang dari sekolah ke kontrakanku. Di depan pagar, kulihat seseorang menunggu sambil bersandar dekat mobil.Kalau aku tidak salah ingat, itu mobil Biru. Dan laki-laki dengan tinggi semampai juga punya kulit sepu
Sejak kedatangan Riga tempo hari, rasa sukaku pada Seya malah makin berlipat-lipat. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan. Menyukainya terasa sangat menyenangkan.Beberapa kali aku diajak berkunjung ke rumah keluarganya di Bandung. Hubungan kami tambah serius. Sosokku juga dianggap ‘ada’ bukan sekedar orang yang selalu bersama Seya saja.Karena khawatir dengan pendapat orang sekitar, aku pindah kontrakan. Jadi lebih dekat ke sekolah. Kami tetap bisa berkomunikasi. Kadang aku sarapan juga di rumah Seya dan Yenan. Tapi untuk tidur, kami tak bisa satu atap lagi. Kecuali aku menikahinya.Dialog itu pernah ada dalam otakku. Kutanya Yenan pun, ia setuju saja. Menurutnya usia kami sudah matang. Sudah sama-sama siap. Izin keluarganya sudah kukantongi. Pekerjaan pun punya. Lalu apa lagi?“Apa Nara gak mau mengenalkan aku pada keluargamu?” tanya Seya di suatu sore saat kami sedang berjalan-jalan di sebuah taman.Bukannya aku