Hanya berselang tiga jam, Rio mendapatkan apa yang aku mau. Ia khusus datang ke ruanganku dengan secarik kertas kecil yang kutahu berisi alamat Nara seperti yang kupinta.
Rio menaruhnya di mejaku. Sedikit menyentak dengan tepukan tangan yang keras di meja. Aku jadi terpancing melihat raut wajahnya yang kentara sekali sedang marah.
“Lain kali jangan menyuruhku dengan iming-iming uang. Ini terakhir kalinya Pak Riga memintaku mencari-cari seperti ini. Nanti, lakukan saja sendiri.”
Meski cara memberinya kasar, tapi kuakui Rio punya keterampilan luar biasa untuk urusan mencari data. Dia lebih cepat dan akurat dibanding Biru yang katanya sedang mencari alamat Nara juga.
Kubuka secarik kertas darinya. Membaca tulisan paling atas dengan huruf tercetak tebal.
SMP Angkasa 1 Surabaya
SMP? Apa Rio tidak salah alamat? Aku mendongak dan menampilkan mimik bertanya.
“Aku gak menemukan alamat pastinya tempat Pak Nara tinggal. Tapi ak
Aku diantarkan ke dalam lingkungan sekolah. Murid-murid sedang beristirahat, ada yang bermain olahraga di lapangan, bergosip di depan kelas, atau pun memenuhi lorong sambil bersenda gurau. Melihat mereka, membangkitkan masa mudaku sewaktu masih belia seperti mereka.Lab komputer berada di sebelah perpustakaan sekolah. Guru tadi mengantarkanku hanya sampai pintu depan lab. Selanjutnya, tanpa perlu susah payah, pemandangan Nara dengan kemeja putih, duduk di depan komputer sambil dikerubungi murid-murid perempuan, tersaji di depan mataku.Nara sedang menimpali guyonan murid-murid yang sebagian besar berisi rayuan untuk guru tampan macam Nara.Kulihat, Nara banyak tersenyum bersama mereka. Tertawa dengan seringai lebar di bibirnya. Tawa yang tidak pernah kutemukan saat bersamaku dulu.Nara juga lebih banyak bicara dan kesan ramah melekat padanya. Dia sempurna berubah seratus delapan puluh derajat dari Nara yang dulu.Kupandangi Nara di mulut pintu. Seo
“Kumohon, kembalilah pada Viana.”Suaraku seperti menggema. Di kantin yang sepi. Di hadapan Nara yang mengubah raut wajahnya jadi serius. Pandangan mata kami bersirobok. Pintaku membuat kami jadi canggung kembali, sama seperti saat di rumah sakit kemarin.“Setelah dia bertemu denganmu kemarin, Viana jadi kehilangan gairah. Dia memikirkan banyak hal tentang masa lalu denganmu. Termasuk, merasa bersalah karena membuatmu terluka sangat banyak.”Aku tidak tahu apa yang kukatakan pada Nara. Aku hanya sedang mengungkapkan kegundahanku selama ini. Aku merasa Nara perlu tahu tentang ini.“Dia ingin bertemu denganmu sekali lagi. Mungkin ingin mengutarakan maaf, atau sesuatu yang lain yang belum tuntas antara hubungannya denganmu.”Aku terus bicara. Tidak mengizinkan Nara memotongku dengan kalimatnya yang mungkin akan sangat dewasa, tidak sepertiku yang kekanakkan dan pengecut.“Aku gak mungkin membawa Viana k
“Viana ... sayang ... aku pulang!”Tidak ada sahutan dari Viana. Mungkin ia sudah tertidur. Atau kalaupun ia bangun, ia lebih memilih pura-pura tidur. Daripada menjawabku yang empat hari meninggalkannya seorang diri.Kupeluk tubuh Viana dari belakang. Melingkarkan tanganku di perutnya. Juga menempelkan kepala pada punggungnya yang berbalut piyama.Kutitipkan segala rindu yang melantun terus menerus sepanjang perjalanan menuju kemari. Aku merindukan Viana.Aku tidak peduli lagi bagaimana Viana mengerucutkan bibir, atau menangis karena pilu. Aku hanya harus memastikannya bahagia, bersamaku.“Maafkan aku. Aku gak sungguh-sungguh saat aku bilang kamu boleh kembali pada Nara,” ujarku pelan.Aku tahu Viana bangun. Saat tanganku mengelus perutnya, Viana sedikit bergerak. Napasnya menghela berat, namun seluruh tubuhnya pasrah dipeluk olehku yang dingin terkena angin malam."Aku cemburu. Aku terlalu takut kehilanganmu.
Hari demi hari. Kandungan Viana makin sehat saja. Viana mulai rutin mengikuti senam hamil. Ia melakukannya di Sanggar Latia. Kelas khusus ia buka untuk ibu-ibu hamil lainnya. Jadi ia tidak sendirian.Aku menyukai setiap Viana menikmati kehamilannya yang sudah berusia 8 bulan itu. Ia jadi lebih positif daripada saat terakhir kali.Dan berawal dari pikiran positif, maka janin di perutnya pun akan sehat.Satu yang berubah dari Viana yang biasanya. Dia jadi lebih manja. Tidak mau jauh terlalu lama. Hobinya tidur di pelukanku. Menjadikan lenganku bantalnya. Tubuhku sebagai gulingnya. Dan menghidu aroma tubuhku yang ia bilang harum musky.Dalam sehari hampir tak terhitung berapa kali ia memanggil namaku.Riga. Sayang. Riga. Ayah.Ngomong-ngomong, aku lebih suka dipanggil Papa daripada Ayah.Tak masalah. Aku suka Viana yang begitu. Seolah sosokku memang sangat dibutuhkan. Atau mungkin itu efek kehamilan tri semester akhirnya.
"Iya, Bun?""Riga, istrimu akan melahirkan, sekarang!"Aku terkesiap. Tanpa sadar berdiri dari kursi tempatku terduduk.Khiva melirikku. Heran melihat wajah pucat pasiku."Viana sudah dibawa ke dokter? Sudah mulai pembukaan?" tanyaku.Aku mulai panik. Kuminta Khiva membereskan peralatanku dengan satu isyarat tangan. Khiva mengerti itu dan melakukan yang kusuruh."Sekarang bukaan ke lima. Tadi pagi Viana bilang mulas, setelah dibawa ke dokter ternyata sudah bukaan dua. Ini Bunda keluar kamarnya dulu untuk meneleponmu.""Oke, aku akan pulang sekarang. Bunda tolong temani Viana dulu, ya. Aku usahakan pakai penerbangan paling cepat."Aku tergesa-gesa dan menutup telepon Bunda."Khiva, aku serahkan sisanya padamu. Viana mau melahirkan.""Oke, biar kuurus bagian di sini. Semoga Bu Viana dan bayinya selamat ya, Pak.""Terima kasih."Aku menyabet tas yang sudah diberesi Khiva tadi. Segera a
Usia Lyon sudah satu bulan. Dia makin gempal karena banyak minum ASI, juga tidur.Hebat sekali pengaruh seorang anak. Di kantor, aku selalu ingin cepat pulang. Ingin segera bertemu Lyon. Padahal hanya melihatnya tidur, atau menggeliat dan melakukan hal kecil lain. Tapi aku suka.Viana baru menjadi ibu, tapi sudah luwes menimang juga memperlakukan anak kami dengan lembut.Memang, selama satu bulan ini Bunda turut menemani Viana. Mengajari ini itu dan meminimalisir baby blues yang Bunda beritahukan padaku di suatu malam.“Baby blues cuma dialami oleh ibu yang kurang kasih sayang. Sebisa mungkin berilah istrimu sayang yang sangat luas. Jangan bebankan mengurus anak hanya pada istrimu saja. Itu tanggung jawab kalian berdua. Sesekali, ajaklah juga istrimu menikmati kesukaannya. Bisa kamu ajak makan malam romantis. Atau piknik berdua. Perlakukan dia dengan baik.”Aku selalu menjadikan wejangan Bunda sebagai alasanku untuk me
Kukira setelah keluar dari sandiwara pernikahan dengan Riga, maka usailah drama di antaraku dan Viana.Nyatanya, babak baru dimulai.Viana menyukai Riga. Itu yang kutangkap dari tangisannya malam itu. Dari caranya menyebutkan nama Riga, juga dari perubahan raut wajahnya ketika kusentuh ia.Viana memang tidak bilang. Aku benci dengan pikiranku yang peka ini. Aku lebih memilih pura-pura tidak tahu, daripada harus mengatakan hal itu pada Viana di suatu malam.“Apa kamu menyukai Riga?”Aku ingin ia menyangkal. Sekedar gelengan kepala, atau apa pun aku terima. Tapi Viana tidak berusaha menyangkal. Hanya air matanya turun bersama wajah sendu yang terus membingkai sejak kami pergi dari kediaman Abimahya.Aku ingin marah. Ingin menghancurkan segala yang ada di hadapanku. Tapi aku bisa apa. Rumah saja aku tak punya. Kami terpaksa menginap di rumah Kak Kazan, karena tak tahu lagi harus kemana saat kepura-puraan itu kami putuskan selesai.
Siapa bilang melupakan seseorang itu mudah?Terlebih orang itu adalah Viana. Wanita yang pernah jadi belahan jiwaku. Orang yang membuatku bergerak punya perasaan suka lagi.Banyak yang sudah kutitipkan pada Viana. Hatiku, nalarku, napasku, segalanya. Sekarang aku harus memutuskan semuanya. Menghilangkan lagi seperti saat pada Lhasa dulu.Hari-hariku setelah itu tidak ada yang berjalan mulus. Selalu ada sekelibat bayangan Viana. Selalu ada gema suara Viana di belakang kepalaku, atau di mimpiku. Berulang kali aku menepisnya, membedakan mana anganku, mana kenyataan.Viana muncul dimana-mana. Lebih sering, bahkan saat berbincang dengan Bibi atau Paman. Mereka bertanya apa yang akan kulakukan ke depannya. Aku sendiri tak tahu jawabannya. Hanya menunduk dan bersikap pengecut.“Bibi masih menyimpan ijazahmu juga sertifikat-sertifikat zaman kuliahmu dulu. Kali saja kamu butuh itu untuk melamar pekerjaan,” seru Bibi.Itu kode agar aku mul
"Aku menunggumu datang, Nara."Aku terlena dengan desis suaranya. Seperti membuaiku dari kekalutan. Memberiku semangat sebab sempat terpuruk mendengar tangisnya.Viana memundurkan kepalanya hingga kami jadi saling bertatapan.Aku lupa, Viana memang seindah ini sebelumnya. Wajahnya, senyumnya, cara ia melirikku. Dia wanita yang punya kesempurnaan mutlak."Aku mau minta maaf, sudah merepotkanmu hari itu," sambung Viana."Merepotkan apa?""Kamu. Sampai sengaja menghiburku ke luar rumah demi membuatku gak sesak lagi berada di dalam sini."Aku belum menemukan inti dari perkataannya. Atau kemana arah pembicaraan ini akan berlangsung."Waktu itu aku sangat down. Aku benar-benar gak bisa berpikir dengan tepat. Aku juga gak ingat pernah berteriak pada semua orang tentangmu ataupun tentang Riga."Mendengar nama itu disebut lagi, spontan aku seperti diingatkan, kalau Viana bukan milikku, tapi Riga. Meski Riga sudah meningg
"Aku ingin kembali pada Viana. Apa aku salah?"Yenan mendorong kerahku hingga belakang kepalaku membentur tanah."Tentu saja kamu salah, bedebah! Kamu sudah mempermainkan perasaan Seya," teriak Yenan.Yenan bangkit dari menindih badanku. Ia mengacak rambutnya, seolah kehilangan akal."Sialan! Kalau tahu akhirnya akan begini, harusnya aku gak membiarkanmu dekat dengan Seya." Yenan meracau.Aku sama sekali tak beranjak dari tanah. Langit bisa kupandangi dari posisiku. Juga dingin dari jalanan yang mulai menghasilkan embun pagi."Pergi kamu, Nara! Aku akan menghancurkanmu kalau sampai menunjukkan wajahmu lagi di depan Seya."Bagiku, itu seperti isyarat bahwa ia menyerah terhadapku. Sebab, memintaku tetap berada di sini, kembali pada Seya, hanya akan memberikan luka padanya.Yenan memilih untuk membenciku dengan caranya.Aku beranjak dari tanah. Memandangi Yenan yang sedang memunggungiku lengkap dengan kepalan tangan yang te
Namun, rupanya di rumahku ada seseorang.Seya.Ia berdiri menghadapku dengan wajah cemas dan kantung mata menghitam. Kutebak, ia juga tak tidur malam kemarin.“Nara!” suaranya terdengar serak. “Aku mencemaskanmu.”Seya mendekat. “Apa yang terjadi dengan ponselmu, kenapa gak menjawab teleponku. Aku hanya ingin tahu kabarmu. Aku cemas terjadi sesuatu dengan Nara.”Aku sudah menduga Seya akan begini. Hanya saja aku tidak menyangka akan terjadi secepat ini, di rumahku, tepat setelah aku kembali.Saat di perjalanan, aku sudah memikirkan ini matang-matang. Aku harus memilih Seya dan Viana. Dan pilihanku jatuh pada Viana.“Seya, ada yang mau kukatakan padamu,” potongku. Mengabaikan kalimatnya barusan.Wajah Seya tegang. Ia tidak pernah melakukan itu sebelumnya. Senyum yang kemarin jadi ciri khasnya seolah raib hanya lewat kalimatku barusan.“Jangan katakan! Aku tahu apa yang
"Viana, kamu mau pergi denganku?"Viana memandangiku dengan tatapan kuyu. Aku tahu ia masih terpengaruh obat bius. Ia juga masih lemas efek berontak siang tadi.Tapi sungguh, di dalam rumah ini terasa sangat menyesakkan. Aku ingin memberi Viana angin segar agar ia lepas dari stress yang membuatnya ingin terus berteriak.Kuraih jaket yang menggantung dekat rak. Kupakaikan pada Viana. Lalu membantunya turun dari kasur dan menggandengnya berjalan keluar kamar.Orang-orang masih terlelap tidur. Aku dan Viana leluasa jalan mengendap-endap sampai ke luar rumah. Sekilas aku melihat jam dinding menunjukkan pukul 1 dini hari. Malam akan sangat dingin di luar, maka kurapatkan jaket yang dikenakan Viana.Jejeran bunga tanda berduka masih berada memenuhi jalanan. Viana menoleh ke arah itu. Sambil menahan gemetaran di bibirnya. Kupegang erat tangannya, berjalan ke arah sebaliknya yang jauh dari karangan bunga.Jalan dan jalan. Tak ada yang kami ucapkan.
“Mana Nara?”Otomatis aku beringsut ke kamar Viana begitu mendengar namaku disebut. Cyan juga mengekor tak jauh dariku.Viana nampak sedang ditenangkan oleh kakak iparnya. Ia mengamuk seperti saat tadi pagi. Kali ini ia meneriakkan namaku. Seolah kehilangan akal. Itu bukan seperti Viana yang kukenal.“Nara, mana Nara? Jangan ceraikan aku. Aku gak mau cerai dari Nara,” teriak Viana.Cerai?“Nara!”Lagi, Viana berteriak. Aku yang saat itu di pintu hanya bisa menatapnya. Viana menolehku. Tatapan kami bersirobok. Dan secepat kilat, Viana berlari ke arahku. Memeluk tubuhku. Di hadapan orang-orang, ia melingkarkan tangannya di perutku, kepalanya membenam di dadaku."Kumohon, jangan ceraikan aku. Aku gak mau berpisah denganmu. Jangan pergi!"Semua membisu. Terutama aku.Aku sempat mendengar kalau orang yang memiliki stres akut, ingatannya bisa kembali pada saat trauma terberatnya.Bisa
Saat itulah, aku menghampiri Viana. Mengambil alih kanan dan kiri tubuhnya. Mencengkeram pergelangan tangannya. Dan menariknya masuk ke tubuhku.“Ssst, diamlah Viana!”Viana belum sadar benar siapa yang memeluknya ini. Ia memukuli punggungku dan masih saja berteriak. Lagi, aku memeluknya makin erat. Tidak peduli dia memukul seberapa keras, atau ia menggigit bahuku demi minta kulepaskan.“Viana, ini aku. Nara!”Saat itu, barulah Viana berhenti. Mata kami bertautan. Kupandangi kedalaman matanya yang terlihat sangat nelangsa. Ada ribuan kalimat sedih yang kutangkap dari sorot matanya.Entah sudah berapa lama Viana mengamuk seperti ini, hanya saja kulihat ia cukup lelah. Napasnya naik turun, kedua tangannya juga melemas ketika kutangkap.“Na-ra?”Viana sukses menyebutkan namaku dengan bibirnya yang bergetar. Dan tak lama, Viana kehilangan keseimbangan. Ia pingsan. Aku menangkap kepalanya sebelum jatuh k
“Nara, Riga meninggal dunia.”Aku tercekat. Mendadak darahku seperti berhenti mengalir dalam detik itu. Aku menelan ludah dan menjauhkan ponsel dari telingaku.Biru yang melakukan panggilan itu. Aku sudah menyimpan nomornya tempo hari.“A-apa yang kamu bilang barusan?” aku ingin mengkonfirmasi sekali lagi. Takutnya salah dengar. Atau Biru sedang bercanda.Namun, suara isakan yang kemudian mewarnai speaker ponselku. Kulihat Seya memiringkan kepalanya ke arahku sebab dahiku berkerut memandangnya.“Biru?”Biru terdengar berusaha keras mengontrol isakkannya. Dan ia mengulang apa yang barusan ia katakan. Kali ini lebih pelan dan penuh penekanan.“Nara, Riga meninggal dunia. Tadi malam. Tabrakan mobil beruntun.”Tidak.Aku lemas. Baru kemarin aku menyaksikan bagaimana Yenan terkulai lemah setelah berita meninggalnya Reist. Kali ini aku bisa tahu seperti apa rasa
Kami kembali ke Surabaya. Melakukan aktivitas seperti biasanya lagi. Kali ini tujuanku sangat jelas, aku akan menikahi Seya. Tanpa kompromi.Sudah kutanyai pihak sekolah untuk melakukan pinjaman. Dan mereka menyanggupi itu. Masalah biaya sepertinya bisa tertangani. Mental juga sudah. Tinggal meyakinkan sekali lagi, apa Seya benar-benar siap.Berbeda denganku. Aku pernah punya pengalaman dalam pernikahan. Seya tidak. Mungkin dalam hatinya masih ada keraguan atau ketakutan. Sebab pernikahan sesuatu yang indah di luar, namun bisa sangat menakutkan di dalam.Aku pernah gagal satu kali. Bersama Seya, aku tidak ingin mengalami kegagalan itu lagi. Aku berjanji pada diriku sendiri dan pada Yenan yang menyetujui keputusanku seratus persen.Aku baru pulang dari sekolah ke kontrakanku. Di depan pagar, kulihat seseorang menunggu sambil bersandar dekat mobil.Kalau aku tidak salah ingat, itu mobil Biru. Dan laki-laki dengan tinggi semampai juga punya kulit sepu
Sejak kedatangan Riga tempo hari, rasa sukaku pada Seya malah makin berlipat-lipat. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan. Menyukainya terasa sangat menyenangkan.Beberapa kali aku diajak berkunjung ke rumah keluarganya di Bandung. Hubungan kami tambah serius. Sosokku juga dianggap ‘ada’ bukan sekedar orang yang selalu bersama Seya saja.Karena khawatir dengan pendapat orang sekitar, aku pindah kontrakan. Jadi lebih dekat ke sekolah. Kami tetap bisa berkomunikasi. Kadang aku sarapan juga di rumah Seya dan Yenan. Tapi untuk tidur, kami tak bisa satu atap lagi. Kecuali aku menikahinya.Dialog itu pernah ada dalam otakku. Kutanya Yenan pun, ia setuju saja. Menurutnya usia kami sudah matang. Sudah sama-sama siap. Izin keluarganya sudah kukantongi. Pekerjaan pun punya. Lalu apa lagi?“Apa Nara gak mau mengenalkan aku pada keluargamu?” tanya Seya di suatu sore saat kami sedang berjalan-jalan di sebuah taman.Bukannya aku