Rasanya bumiku berputar. Entah di mana sekarang aku berada. Yang jelas, gelap dan bahkan aku tak bisa melihat apa apa. Suara suara pengganggu dari alam lain pun sudah tak lagi aku dengarkan selain gelap dan sunyi.Apakah aku sudah mati? Apa aku sudah pindah alam?Rasanya masih tidak percaya jika aku kini terjebak di dunia lain. Aku tak bisa kembali dan aku tak tahu harus bagaimana. Aku mencoba bangkit meski meraba raba di mana aku berada. Aku berjalan dan berusaha melangkah untuk mencari titik jalan keluar dari kegelapan ini. Sembari membaca doa dan terus melangkah, aku putuskan ikhtiar. Berharap Allah melindungiku.“Randu,” panggil seseorang. “Randu.”Suaranya sangat mendayu, membuatku bertanya tanya, siapa yang sedang memanggilku. Aku tak kenal, aku sama sekali tak tahu suara siapa itu. Aku mengucek mataku yang terasa gatal, mendadak seperti ada serangga yang masuk ke dalam mataku. Begitu aku mengucek mata, mendadak aku kaget saat diri ini sudah berada di kamar yang sudah dihias s
..Samar samar aku merasa tubuh ini melayang. Tak melihat apapun, hanya merasa terbang lalu seperti ada sorot cahaya menembus indra penglihatan. Perlahan suara suara lantunan zikir dan doa berkumandang, terdengar sangat menyejukan.Apakah aku sudah di alam barzah. Apakah aku sudah menjadi budak setan dan iblis? Apakah aku diselamatkan oleh Allah dan kini sedang menunggu di alam lain.Banyak sekali pertanyaan yang bercokol dalam otakku. Tak bisa aku melihat apapun selain sorot cahaya yang akhirnya membuatku merasa silau. Berusaha, aku pun perlahan mencoba membuka mata. Berjalan dan mengikuti cahaya akhirnya menuntun kepada jalan yang terang. Aku terus berjalan dan Mencari hal yang mungkin saja bisa aku lihat dengan mataku.“Sudah bangun, Tadz. Sudah bangun,” teriak seseorang yang aku dengar suaranya. Aku melihat seluruhnya. Aku paham tempat ini. Aku pun mengerjap, lalu wajah Nona Lisa terlihat di depanku. “Nona? Inikah kamu?” Aku langsung bangkit dan memeluknya. Rasanya sangat kaget
"Hah?""Non mau nggak jadi istri saya?" tanyaku saat melihat wajah Nona Lisa mendadak kaget."Serius?" tanya Nona Lisa."Nggak ding, bercanda. Saya sadar diri non kalau saya memang tidak mungkin mendapatkan nona Lisa yang lebih kaya dari saya. Dari reaksi Nona Lisa saja saya sudah tahu jika tidak mungkin seorang random mendapatkan berlian seperti Nona Lisa. Pak Ustad, tolong kasih tahu sama santriwatinya untuk berlomba-lomba mendapatkan hati saya yang wajib kawin ini. Siapa tahu nanti ada yang bener-bener suka sama jomblo karatan yang nggak laku-laku dan kasihan ini, Pak Ustad," ucapku melirik pada Syarifah. "Papa saya akan datang ke sini untuk menjemput saya. Nanti Ustad Husni dan Randu silakan berembuk dan tanyakan tentang keinginan memiliki saya. Saya tidak menolak jika memang papa saya mengizinkan saya menikah," ucap Nona Lisa membuat kami semua tentu kaget mendengarnya."Nggak usah repot-repot non. Saya nggak punya keberanian untuk melamar Nona Lisa pada papanya Nona Lisa. Say
Pagi hari aku dibangunkan suara murottal anak anak santri. Aku diminta untuk ikut berjamaah karena kata Abah dan Ustad semakin aku menebalkan ketakwaan maka Allah akan selalu melindungiku setiap saat. Malaikat subuh yang namanya sering jadi aroma parfum nampaknya bagian dari keistimewaan orang yang suka bangun lebih awal sepertiku saat ini.“Nggak denger apa apa lagi?” Sebuah tepukan di pundak membuatku menengok dan akhirnya tersenyum.“Nggak, aman udah kayaknya demitnya lagi semedi dulu.” Ujarku saat melihat Hamzah yang ternyata sudah lebih dulu bangun dariku.“Bray, gimana rasanya di detox dengan ruqyah? Aura auranya, lo ngebet kawin juga?” tanyaku. “Siapa sih yang nggak mau melakukan hal lumrah itu? Kita udah dewasa, kalau misal mau halal ya memang harus nikah,” jawab Hamzah.Selepas shalat tadinya aku mau ke rumah Pak Ustad. Beliau tadi tidak kelihatan, mungkin sedang beristirahat di rumah sederhananya. “Kalau lo jadi gue, lo milih Ipeh atau Nona Lisa?” tanyaku yang juga san
..“Apa maksudnya, Bah?” tanyaku.Abah hanya tersenyum dan mengangguk saja. Lah, dikira indra keenam aku bisa menembus kata hatinya apa. Ada ada saja Abah. Semoga ini bukan sebuah doorpresie harus menikahi anak si Abah yang kini sudah jadi Hafidzah di usia 18 tahunnya.Semua memandang dengan serius kedatangan tamu kali ini. Kedua orangtua Nona Lisa juga terlihat sangat marah satu sama lain. Aku memasang wajah lugu, berharap tidak disalahkan atas insiden yang tentu saja di luar kuasaku. Aku sudah mewanti-wanti Nona Lisa, semoga dia bisa ikut menjelaskan."Kedatangan kami ke sini tentu untuk menjemput anak saya yang sudah diculik oleh Randu, karyawan yang mungkin saja sakit hati karena baru saja kemarin saya pecat. Meskipun anak saya menjelaskan jika bukan seperti itu kronologinya tetapi saya kecewa karena dia membawa anak saya tanpa izin dan tentu saja tanpa sepengetahuan kami," Ucap pak bos yang sudah mulai mengutarakan isi hatinya itu. Aku memilih menyimaknya saja dan tidak ingin me
"Jadi menurut bapak bagaimana? Apa kiranya setuju jika anak bapak itu langsung menikah saja dengan Randu?" tanya Ustad Husni pada Pak Bos.Prank!Kami menengok ke arah suara di mana terdengar benda jatuh dari belakang. Aku melihat dan mendengar suara Syarifah yang meminta maaf. Apa mungkin dia kaget dengan pertanyaan dari Abah mengenai lamaranku atau sengaja mengalihkan suasana agar tidak tegang. Temanku yang satu itu sangat pengertian sekali dan mungkin saja Dia sedang mengalihkan suasana biar nggak begitu canggung saat ini. Mungkin sih."Kami belum kepikiran untuk hal itu tetapi kalau memang jalan keluarnya menikah tentu akan saya pertimbangkan mencari calon jodoh untuk dia yang lebih baik. Sekiranya Randu bisa memperbaiki sikapnya dan tentu saja bisa menunjukkan dedikasinya sebagai calon menantu di perusahaan tentu itu bukanlah hal yang buruk. Yang penting untuk sekarang ini kami bisa membawa Lisa pulang dan kondisinya memang sudah baik-baik saja," ucap Bu Bos."Ma! Jangan menyela
"Cie, yang langsung didukung melamar kan jodohnya sama Pak Ustad dan Abah kyai. Gimana rasanya?" ledek Hamzah begitu mobil Nona Lisa sudah pergi. Dia menepuk pundak ku hingga aku sadar, aku melamun di pinggir jalan."Apapun hasil keputusan tadi ustadz harap kamu bisa semakin mawas diri dan mengencangkan doa, semoga memang ada jodoh yang siap untuk kamu nikahi lahir dan batin," Ucap pak ustad yang juga ikut memberikan semangat saat aku ditolak mentah-mentah oleh pak bos."Sebenarnya, ada jodoh cuman kayaknya si Randu ini nggak ngeuh pak ustad," ucap Hamzah."Iyakah? Emangnya selama ini dia dekat dengan siapa? Kalau memang ada dilamar saja. Laki-laki harus gentle apalagi ini terkait dengan kesehatan jasmani dan rohani sebagai orang yang punya kelebihan seperti kamu, Ran," ucap Ustad Husni."Ngawur nih Hamzah. Mana ada wanita yang mau nemplek sama laki-laki miskin seperti saya. Jangankan wanita, lalat saja insecure deket sama saya saking sama-sama jeleknya. Kalaupun ada, paling makhluk a
Kali ini aku pulang sendiri menaiki sepeda motor menuju ke rumah emak Dan Bapak. Sebenarnya bisa saja nggak mampir tetapi sepertinya aku memang harus bertemu dengan mereka untuk meminta doa restu dan kemudahan agar setiap urusanku di tempat kerja maupun di manapun selalu dimudahkan. Aku memang jarang ke rumah karena tentu saja sadar diri bahwa gajiku minim dan seluruhnya aku kirimkan ke rumah sisanya. Tidak pernah menyisakan banyak karena gaji yang aku dapatkan UMR dan selalu sisa sedikit. Rasanya malu jika pulang tapi tidak membawa apa-apa dan untuk kali ini aku memberikan oleh-oleh yang dibeli di pinggir jalan.Aku merasa kali ini tubuhku begitu ringan Bahkan aku tidak melihat penampakan yang biasanya aku lihat. Sementara ini aku aman dari hal-hal yang berbau mistis karena sepertinya ustaz sedang berusaha untuk membuatku tenang sementara. Aku sudah meminta izin pada ustadz untuk pulang terlebih dahulu ke rumah kedua orang tuaku dan tentu diizinkan asal besok harus kembali ke pesantr
Beberapa hari di rumah ini aku pun mulai merasa normal. Tak ada suara suara aneh yang aku dengar kala malam. Mamak dan Bapak pun terlihat sudah mulai beraktivitas seperti biasa.Asma dan aku sudah siap berangkat kuliah. Kuliah jam 9 pagi, Mamak juga sudah selesai dengan aktivitasnya dengan bapak di luar yang katanya berjualan. Aku diberi uang saku, lalu dibawakan bekal seperti anak TK.“Besok bukan mamak lagi yang siapin bekal, tapi istrimu. Takutnya mamak pulangnya gak selalu pagi,” ucap Mamak membuatku merenges. Aku yang belum terbiasa bermanja untuk urusan seperti ini tak banyak memprotes. “Iya, Mak.”Aku pun ke sekolah menaiki motor yang baru dibeli Bapak seminggu yang lalu. motor lamaku ada di rumah lama dan tak boleh dibawa pulang. Alasanya, tak ada gunanya dibawa karena akan membonceng Asma dan bawa dagangan.Kami tiba di kampus jam setengah sembilan.Aku menyapa beberapa mahasiswa lain yang melintas, tentu yang cantik cantik. Asma sampai mencubitku dan aku merenges saja.“Kat
“Nggak apa apa. Mungkin wajah saya memang familiar,” ucap Kyai Hasanudin.“Mirip sama Ayahandanya Mak Nyai,” gumamku dan Pak Kyai Hasanudin hanya mengangguk dan tersenyum padaku. Sungguh, wajahnya sangat mirip. "Hus! Jangan sembarangan ngomong, Gil," bisik Emak dan aku hanya mengangguk saja. Tapi memang agak kenal. Serius sangat mirip Ayahanda.Kami berbincang banyak hal, termasuk kegiatan para santri di pondok pesantren ini. Bahkan, Pak Kyai menawarkan aku dan Asma untuk tinggal di sini tetapi aku menolak. Aku tak ingin jauh dari mamak. Tentu selain tak bebas ada di pesantren yang orangnya tak aku kenal, aku juga tak tahu apakah Pak Kyai ini manusia betulan atau jadi jadian. “Ya sudah kalau tak mau menginap. Tapi setiap hari bantu Yai urus asrama, bisa?” tanyanya.“Insyaallah, bisa,” ucap Asma langsung.Aku pun melirik padanya. Dia tak menatapku kembali dan fokus berbincang dengan salah satu Ustadzah yang terlihat masih muda. Tadi dikenalkan sebagai istri dari salah satu Ustad di p
..Akhirnya kami tiba di Bandung. Kota kembang yang katanya memiliki banyak warga gadis yang cantik cantik di sini. Aku pun dibawa Bapak dan Mamak ke sebuah hunian sederhana di dekat pondok pesantren. Bukan pondoknya, tapi kawasannya memang religius sekali.“Nanti diturunkan semua, Gil,” ucap Mamak saat mobil sudah turun.Kedatangan kami disambut seorang nenek paruh baya yang langsung menyapa Mamak. Mereka sepertinya sudah kenal lama dan aku pun langsung membuka bagasi untuk menurunkan koper.“Kamar sudah nini bersihkan,” ucap nenek itu. “Oh iya, kenalkan saya Sudarsih. Panggil saja nini Darsih. Nenek angkat Ibu kamu.”Entah sejak kapan mamak punya nenek. Dari garis wajah tak ada yang sama, hanya sama gendernya saja dan lainnya blas nggak ada yang sama.“Gilang,” ucapku memperkenalkan diri pada Nini Darsih yang langsung bergantian kenalan dengan Asma.“Geulis, Neng. Pantes dipilih jadi mantunya anak Nini,” ucap Nini.“Alhamdulillah, Nini sehat sekali nampaknya. Senang berkenalan denga
“Selamat ya, Gilang. Paman nitip Asma sama kamu. Kuliah yang bener di sana, kalau nggak mau repot jangan ada anak dulu. Kalian kan nikah untuk saling melindungi saja,” ucap Paman saat aku diminta membawa Asma ke Bandung.“Insya Allah, Paman,” jawabku singkat.“Nikah untuk ibadah tentunya, Zah. Masa buat melindungi saja. Ntar, kalau keduanya ngebet, berabe juga.” Bapak ikut menimpali.“Ya kan belum resmi, Fir. Mereka masih nikah siri, nggak ada kekuatan hukumnya. Gak apa apa tunda dulu, asal kalian berdua udah sah dan ke mana mana berdua nggak undang dosa. Apalagi jauh di sana.” paman Hamzah pun menjawabnya dengan serius.“Ya nggak bisa gitu, Ham. Anak gue laki sejati, mana bisa nahan lama lama. Udah, lo aman aja udah diam di sini kerja yang bener urus kebun, sawah dan peternakan. Awas aja kalau kerjanya di sini asal asalan,” omel mamak.“Peh, meski kita sahabatan juga kalau anak lo nggak becus jagain anak gue, gue murka lah. Pokoknya, Gilang harus jadi suami yang baik buat Asma. Jaga
Kode mahar? Apakah hadiah dari Mamak kemarin adalah mahar yang akan aku berikan pada Asma?Aku merogoh saku dan melihat kotak hadiah dari mamak. Warnanya bukan merah melainkan putih. Aku pun menunjukkannya pada Bapak dan Bapak mengangguk.“Coba dibuka,” ucap Paman Hamzah yang juga ada di sisiku.Aku membuka surat emas yang ada di tanganku, lalu melihat tulisan 5 gram emas yang ada di surat pembelian cincin itu. Tak banyak, tapi sepertinya ini mahar yang akan diberikan pada Asma.“Nanti bacakan saja nominalnya, biar langsung sah,” bisik Paman. Aku baru sadar, posisi paman dan Bapak ada di sebelahku dan cukup mengagetkan karena aku malah dipaksa nikah sama Asma pagi ini juga.“Gilang, meski umur kamu masih muda, tapi tubuh dan jiwa kamu yang seperti ayahmu ini, maka Yai menyarankan untuk kamu menikah saja. Pagi ini setelah kamu melakukan i’tikaf, Yai sarankan untuk menikah. Apa sekiranya kamu berkenan?” tanya Pak Yai pelan dan ramah sambil menepuk bahuku.“Tapi, Yai, Gilang belum ad
Setelah diberikan izin keluar pesantren, tujuanku saat ini adalah pulang ke rumah. Bapak sudah menjemputku, tak jauh di sana Namira adik bungsuku yang langsung minta turun dari gendongan Bapak dan berlari ke arahku.“Abang…”“Hai, bocil Abang yang comel. Kangennya,” ucapku.“Namila juga, Abang lama benel pulangnya. Namila jadi lama dititip di lumah Kak Ilma.”“Gak apa apa, dia seneng direpotin ngasuh kamu.”“Makasih ya, Irma, Hamzah, sudah mau dititipi Gilang. Kami pulang dulu, semoga setelah ini semuanya baik baik saja.”“Iya, Fir. Santai saja, anakmu sudah jinak di sini,” jawab Paman Hamzah.Aku tersenyum mendengarnya. Jinak katanya, padahal kalau bareng sama Asma kami bertengkar dan selalu bikin gaduh.Kami pulang berboncengan dan Namira begitu senang dengan kepulanganku seperti nya. Dia tak henti bercerita banyak hal tentang apa yang sudah dia lewati selama aku di rumah sakit. Aku juga senang karena Bapak ternyata baik baik saja, seperti tak ada kejadian apapun sebelum ini.“Aban
Aku membuka mata perlahan, melihat kembali cahaya yang tadinya membawa kami menuju jalan pulang. Aku melihat lampu putih di atas kepalaku, lalu mengerjapkan mata karena terlalu silau setelah tadi merasakan gelap yang sangat menyeramkan.Suara suara orang yang sangat aku kenal akhirnya sangat jelas terdengar. Aku mulai jelas melihat ke wajah mereka, lalu melihat mamak dengan wajah sembabnya.“Anak Mamak sudah bangun, alhamdulillah ya Allah.”Aku mencoba mengingat kembali terakhir aku berada di mana, tempat yang aneh dan berbeda dengan saat aku kini ada di mana. Aku menengok dan ternyata ada Bapak di sisiku.“Pak.”Aku melihat Bapak terpejam juga. Banyak selang infus daripada aku yang hanya di bagian tangan saja. Tapi kepala dan kaki Sepertinya tidak terluka.“Mak, Bapak kenapa?” tanyaku.“Sedang istirahat, Nak. Kamu bikin mamak panik, ditambah bapak mu juga,” ucap Mamak yang langsung memelukku. Aku melihat Asma dan Paman Hamzah juga Ustad Kyai di ruangan ini. Ada alquran di tangan mer
“Asma?”Aku menyentuh pundaknya. Dia sejak tadi hanya menangis dan diam saja. Tapi lelehan air mata itu membuatku cukup khawatir dan takut dengan apa yang akan terjadi dengan Bapakku.“Gilang, Bapakmu mencarimu. Beliau bilang akan mengusahakan. Hanya saja … kemarin Ustad Yai bilang, Bapak kamu mau ke sebuah hutan di belakang desa kita tanpa ditemani. Jadi, Mamak kamu khawatir dan mungkin juga beliau juga sudah kembali. Kita berdoa saja. Soalnya hutan di kawasan desa kita itu terkenal angker, Bapak kamu kan pernah hilang di sana.”Aku mengingatnya. Bapak pernah beberapa kali hilang di tempat tempat angker. Pernah di hutan bambu, pernah di kawasan hutan dan pernah juga hilang saat sedang tidur. Semua diceritakan agar aku waspada dan tentu tak sembarangan masuk kawasan kawasan itu.“Semoga Bapak bisa kembali.”Aku pun menunggu sembari berdoa. Asma juga menemaniku dan menghubungi Paman Hamzah. Beliau datang sendirian dan aku pun penasaran kenapa Paman tak datang dengan mamak dan bapakku.
..“Kita akan pulang nanti.”Bapak memastikan pastinya aku baik baik saja. Hal yang perlu dibahas dan diingat bahwa semua ini tak mungkin akan mudah. Namun, aku juga tak ingin menyia nyiakan kesempatan ini untuk bersama Bapak mencari jalan pulang. Bapak pergi bersama dengan sang raja dan beberapa pengawal, lalu tak lama kemudian kembali padaku. “Kalian makanlah,” ajak raja yang seperti Bapak panggil tadi. Raja. Aku yang dibaringkan di kamar khusus, hanya kamar ini terbuka sehingga aku bisa melihat Bapak duduk di meja khusus ditemani Mak Nyai.“Kalau tak begini, kamu tak mau datang ke sini lagi.” Mak Nyai terlihat menangis.“Untuk apa? Jangan membuat masalah dengan keluarga kami, bahkan setelah ini aku ingin kita hanya berdampingan beda dunia. Tak juga mencampuri urusan di alam masing masing.”“Mana bisa begitu? Gilang adalah anakmu, di mana kamu pernah mengatakan akan bisa menjaganya demi aku. Lupa?”“Menjaganya bukan berarti memilikinya. Ini tidak akan pernah terjadi lagi, jadi ber