Valeria tidak pernah menyangka jika pria di hadapannya akan menipunya dengan parah seperti ini. Seharusnya ia menyadarinya, pantas saja seorang Revan Mahendra mau terlibat dengan dirinya, pantas saja pria itu mau menikah dengannya padahal dengan status keluarganya yang luar biasa, ia bisa mengabaikan malam itu dengan mudah. Ternyata Revan memiliki keinginan di balik kebaikannya selama ini. Tenyata Revan tengah memanfaatkan dirinya yang tidak tahu apapun.Meski seluruh kontak fisik dari pria itu ia tolak, Revan masih saja mencoba menyentuh tangannya."Saya bisa menjelaskan semuanya, tapi jangan di sini. Ayo kita bicara di mobil.""Tidak perlu,""Hanya sebentar, Valeria. Kamu bisa menanyakan apa saja pada saya. Saya akan menjawabnya."Meski saat ini amarah dan kekecewaan tengah menguasainya, namun Valeria sungguh ingin tahu kenapa Revan malah menipunya dengan kejam seperti ini."Baik, tapi tolong lepaskan tangan saya."Mendengar hal itu tangan Revan yang tengah memegang Valeria seketika
"Apa? Keluar?"Valeria mengangguk mendengar pertanyaan Revan yang sepertinya tidak menduga hal ini. Ya benar, setelah semalaman ia berpikir, setelah semalaman ia merasa terkhianati dan tertipu, akhirnya Valeria sampai pada keputusan ini. Ia lebih memilih menyingkir dari kehidupan Revan daripada harus menjadi alat untuknya. Meski awalnya Valeria berpikir untuk tidak terlibat masalah perasaan dengan atasannya ini, namun segalanya terlambat. Ia tahu hatinya telah jatuh terhadap pria itu tanpa bisa ia cegah."Ya, saya memutuskan untuk keluar. Setelah seluruh tugas yang pernah Anda berikan pada saya selesai, saya akan mengajukan surat pengunduran diri saya."Mata Revan terlihat terbelalak, "Kau tidak sedang bercanda bukan? Kau bilang kau membutuhkan pekerjaan ini, Valeria.""Itu benar, tapi saya akan mencari pekerjaan lain, Anda tidak perlu khawatir. Jika tidak ada yang ingin Anda bicarakan lagi, silahkan kembali ke ruangan Anda." Balas Valeria ketus.Revan yang masih tidak terima dengan k
Valeria bergegas berjalan menuju restoran, namun ketika ia sedang berjalan dengan terburu untuk bertemu dengan Barbara tubuhnya bertabrakan dengan Erik yang terlihat hendak pergi ke arah berlawanan."Ah maaf, maafkan saya Pak Erik.""Tidak, tidak apa-apa, sepertinya Anda terlihat begitu terburu-buru, Nona Valeria." ujar Erik dengan nada heran."Ah begitulah, saya memiliki urusan penting. Kalau begitu saya permisi."Erik terlihat mengangguk kecil, namun raut wajahnya menunjukkan keheranan melihat gerak-gerik Valeria. Valeria memang terlihat sedang terburu, namun ia yang seolah mengalihkan kontak dari matanya membuat Erik merasa jika wanita yang sangat dilindungi oleh atasannya itu tengah menyembunyikan sesuatu. Dengan penasaran, Erik diam-diam mengikuti langkah Valeria yang menjauh dari area kantor. Keningnya berkerut dalam, sebenarnya Valeria mau pergi kemana?Erik terus mengikuti langkah Valeria, hingga langkahnya membawanya ke restoran tionghoa yang berada tidak jauh dari kantor mer
Revan yang mendengar suara muntah Valeria segera mendekat padanya, ia menyentuh bahu Valeria dengan raut wajah cemas, "Ada apa? Apa kau sakit?"Valeria segera menepis tangannya, "Saya baik-baik saja. Saya harus ke toilet,"Sebelum mualnya semakin menjadi, Valeria segera berlari menuju toilet. Ia segera memuntahkan seluruh isi perutnya di dalam sana. Sial, apa yang terjadi padanya? Kenapa ia merasa mual dan pusing seperti ini?Valeria segera teringat mengenai jadwal menstruasinya yang seharusnya datang seminggu yang lalu. Mata Valeria melebar dengan sempurna. Sial, ini tidak mungkin. Tidak mungkin ia mengandung putera Revan. Ini pasti salah! Ia pasti hanya sedang mengalami keterlambatan menstruasi saja.Ya itu benar! Ia harus percaya bahwa tubuhnya baik-baik saja.Sebelum Revan menjadi curiga Valeria kembali ke ruangannya. Di sana Revan sudah menunggu, masih menampilkan raut cemas saat melihat kedatangan Valeria kembali."Kau baik-baik saja?"Valeria mengangguk lemah mendengar pertany
Mendapat tekanan seperti itu, Barbara ikut terbawa emosi, ia sungguh tidak terima Revan memarahinya karena Valeria, "Aku tidak melakukan apapun. Dia sendiri yang bilang bahwa hubungannya denganmu sudah selesai. Dia bilang hubungan kalian akan berakhir."Raut wajah Revan seketika berubah mendengar balasan Barbara. Ia segera melepas cengkramannya dari lengan wanita itu, sepertinya Barbara tidak berbohong dengan jawabannya. Ada rasa tidak nyaman ia mendengar Valeria bersikeras kepada Barbara bahwa hubungan mereka memang sudah berakhir."Sebenarnya ada apa denganmu, Revan? Kenapa kau tiba-tiba memarahiku hanya karena Valeria?" Tukas Barbara kembali dengan sebal.Revan terlihat menghela nafas, "Tidak apa-apa, aku hanya penasaran saja.""Kau begitu penasaran dengan pembicara kami sampai kau membentakku begitu?" Sambung Barbara kembali masih tidak terima mendapatkan perlakuan kasar."Baiklah aku minta maaf, saat ini kepalaku sedang pening."Barbara ikut menghela nafas, meski amarahnya tadi i
Setelah memeriksakan dirinya ke sebuah klinik terdekat dan menerima obat mual dari dokter yang bertugas di sana, Valeria kembali ke rumah. Ia membuka pintu rumahnya dengan lemah lalu memakan sarapan ala kadarnya dan juga obat-obatan yang ia terima. Setelah selesai memakan obatnya, Valeria segera berbaring. Sedikit demi sedikit mual yang ia rasakan mulai berkurang, Valeria menghela nafasnya panjang. Syukurlah... Sekarang sudah tidak apa-apa. Saat ini ia merasa lelah dan mengantuk karena sedari tadi hanya pergi bolak balik ke kamar mandi, Valeria mencoba memejamkan matanya, ia sungguh ingin beristirahat.Namun baru saja beberapa menit berlalu, terdengar ada yang mengetuk pintu flatnya. Matanya yang terpejam seketika terjaga kembali. Sial, siapa yang datang mengganggunya sekarang? Dirasa bahwa ia terlalu lelah, Valeria memilih mengabaikannya. Bisa saja ada anak-anak yang iseng seperti tempo hari mengetuk pintunya dengan jahil. Namun, ketika pintu itu malah semakin nyaring berbunyi, Valer
"Itu–""Jawab dengan jujur, kau benar-benar hamil?"Valeria menghela nafasnya panjang mendengar desakan dari Revan. Sudah terlambat, ia sudah tidak bisa mengelak lagi karena Revan sudah mengetahui semuanya."Ya benar, saya memang hamil. Tapi, Anda tidak perlu khawatir, saya tidak akan meminta pertanggungjawaban pada Anda."Revan terlihat terperangah mendengar ucapan Valeria, "Apa? Apa yang sebenarnya kau katakan?""Anda dengan jelas mendengarnya, saya tidak akan mengusik kehidupan Anda. Keputusan saya sudah bulat, saya tetap akan keluar dari pekerjaan ini.""Apa? Bagaimana bisa kau melakukan hal itu?""Bisa. Sekarang sebaiknya Bapak pulang, saya benar-benar harus beristirahat." ujar Valeria dengan lemah, ia mendorong tubuh Revan hingga menuju pintu."Keadaanmu sedang tidak baik, biarkan aku di sini sebentar.""Tolong Pak, jika Bapak bersikeras di sini saya benar-benar tidak akan bisa beristirahat."Melihat bahwa keadaan Valeria yang lemah dan enggan diganggu, Revan akhirnya menghela n
Valeria terperangah mendengar ucapan Revan di balik telepon. Apa pria ini benar-benar sudah gila? Kenapa tiba-tiba berbicara seperti itu pada ayahnya?"Apa kamu serius dengan anak saya?"Mendengar suara ayahnya yang membalasnya, Valeria segera berteriak, "Jangan per–hmmmpp.."Belum sempat ia bersuara, Erik membekap mulutnya. Sial, Revan Mahendra benar-benar benar menyebalkan, bagaimana bisa ia mengambil keputusan sendiri seperti itu?"Tentu saja saya serius, sangat serius."Valeria mencoba berteriak sekuat tenaga, namun lengan besar Erik yang membekapnya membuat usahanya sama sekali tidak berguna."Baiklah saya tunggu kedatangan kamu nanti malam di rumah jika memang kamu benar-benar serius kepada anak saya.""Baik, ah jangan lupa undang semua anggota keluarga Anda karena saya harus mengabarkan kabar gembira ini ke semua orang."Saat Erik melepaskan cengkraman tangannya, Valeria segera memberikan tatapan nyalang terhadap pria itu, "Saya tahu Anda hanya menjalankan tugas Pak Erik, tapi
"Apa maksud?"Melihat Barbara yang menatapnya dengan raut wajah tidak mengerti membuat Revan seketika mendengus, "Rupanya kau benar-benar tidak tahu. Baiklah akan ku beritahu yang sebenarnya terjadi akhir-akhir ini karena kekacauan yang kita buat. Aku dipecat oleh ayahku."Barbara tersentak mendengar ucapan Revan, "Apa?""Ya aku baru saja dipecat secara tidak hormat oleh ayahku kemarin. Semua pemilik saham mengambil keputusan agar aku dikeluarkan dari perusahan. Jadi ya sekarang, aku tidak memiliki apa-apa. Aku bahkan berniat menjual apartemen ini nanti,"Mata Barbara seketika melebar, ia mundur beberapa langkah dari pegangan Revan. Kata-kata Revan sekarang seolah tidak bisa dipercaya, "Kau bercanda, bukan?""Astaga, untuk apa aku bercanda? Jadi kau benar-benar ingin bersamaku. Kalau begitu pertama kita jual tas mewahmu ini!"Revan seketika bergerak ke arah Barbara hendak merampas tasnya. Melihat tindakan Revan, Barbara semakin terkejut ia menepis tangan Revan dengan panik, "Apa yang
Melihat Revan yang masih saja terdiam saat ia mengulurkan berkas perceraian itu, Valeria seketika menghela nafas. Ia segera menyimpan berkas itu di atas meja lalu berkata, "Jika Anda masih tidak mau menerimanya terserah. Saya akan menyimpan berkas itu di sini. Anda harus menandatanganinya segera.""Lalu bagaimana dengan anak kita?" Tanya Revan lirih. Penyesalan yang ia rasakan semakin dalam. Ia sudah hancur lebur saat ini dan kehancurannya semakin terasa menyakitkan karena harus berpisah dengan Valeria."Saya yang akan merawatnya sendirian.""Tapi aku ayahnya, Valeria. Tidak bisakah kau memberiku kesempatan lagi? Setidaknya untuk anak kita?""Saya yang akan mengurusnya, Anda tidak perlu khawatir. Anda bisa melakukan apapun yang Anda mau tanpa harus terbebani dengan janin yang sedang saya kandung ini."Satu air mata seketika jatuh dari kelopak mata Revan. Merasa sangat terpukul karena ia sama sekali tidak berdaya. Kesalahannya terhadap wanita yang dicintainya ini memang sungguh tidak b
"Ada pengumuman mendadak yang diselenggarakan oleh Pak Agung dan seluruh pemilik anggota saham hari ini, Pak. Anda harus datang,"Revan menghela nafasnya panjang setelah mendapat pesan dari Erik beberapa menit yang lalu. Sudah ia duga ayahnya tidak akan menunggu lama untuk menyelesaikan masalah mereka. Tepat setelah hubungan masa lalu dirinya dan juga Barbara terbongkar, ayahnya segera bertindak.Revan segera masuk ke dalam ruang meeting yang sudah diisi oleh anggota pemilik saham dan juga ayahnya sendiri. Masalahnya dengan Barbara pasti akan ayahnya gunakan untuk menyingkirkannya dari perusahaan ini."Rupanya kamu masih punya muka untuk datang ke perusahaan,"Revan hanya terdiam mendengar sindiran sang ayah sebelum rapat berlangsung. Kali ini ia memilih untuk tidak mendebat pria paruh baya yang sedarah dengannya itu. Ia yakin setelah mengetahui sifat Barbara, ayahnya sama terlukanya dengan dirinya."Rasakan sendiri akibat dari perbuatanmu, Revan. Aku akan mendepakmu dari perusahaan k
Melihat Barbara yang hanya terdiam, penjaga keamanan itu kembali mengulurkan tangannya, "Bu? Tolong kuncinya...""Yang benar saja, kamu lupa siapa saya?""Berikan kunci itu Barbara, mobil itu merupakan pemberianku!"Barbara berdecak saat Agung rupanya sudah menyusulnya keluar, dengan kesal ia mengembalikan kunci kepada penjaga keamanan itu, "Aku sama sekali tidak butuh mobil ini!" ujarnya dengan nada angkuh sambil melirik ke arah Agung.Setelah berkata seperti itu, Barbara segera menyetop taksi lalu masuk ke dalamnya. Ia sangat kesal dengan tindakan Agung yang seenaknya, seharusnya sejak dulu ia meninggalkan Agung agar ia tidak perlu bersusah payah seperti ini. Barbara segera meminta supir taksi untuk bergerak menuju ke alamat Revan. Ia harus segera kembali bersama Revan agar tua bangka itu tau rasa.Setelah sampai Barbara mengetuk pintu Revan dengan kuat."Revan buka! Tolong buka pintunya Revan!"Revan segera membuka pintu lalu terhenyak melihat Barbara di sana, "Barbara? Kenapa kau
"Revan!"Revan memutar matanya dengan jengah saat melihat Barbara ada di depan apartemennya. Setelah membuat dirinya dan Valeria bertengkar, bagaimana bisa Barbara masih memiliki muka untuk menemuinya?Revan memilih mengabaikan wanita itu lalu berjalan maju meninggalkannya."Revan, aku sedang bicara! Aku bahkan sudah jauh-jauh datang kemari, kenapa kamu malah mengabaikan ku?"Revan berdecak saat Barbara menarik lengannya dengan kuat. Ia menatap Barbara dengan raut wajah kesal, "Tidak ada yang menyuruhmu untuk datang kemari, Barbara. Ada apa? Apa yang kau inginkan lagi sekarang?""Kenapa kau selalu bersikap dingin padaku Revan? Aku kemari tentu saja untuk menemuimu."Revan menghela nafasnya panjang mendengar ucapan Barbara, "Sebenarnya apa lagi yang kau inginkan dariku? Kau sudah berhasil membuat Valeria keluar dari rumah ini sekarang. Keinginanmu sudah terpenuhi, jadi tolong berhenti menggangguku."Sepertinya Barbara sama sekali tidak mendengarkan nada bahasa Revan yang sama sekali ti
Agung Mahendra tidak menyangka jika Valeria akan mengajaknya bertemu hari ini. Meski entah apa yang sebenarnya ingin wanita muda itu katakan hingga menyebutkan nama Barbara dan Revan hanya agar ia tidak menolak pertemuan mereka.Agung mengepalkan sebelah tangannya, lihat saja jika wanita rendahan itu berkata hal yang konyol, ia sungguh tidak akan diam saja kali ini.Agung merapihkan jasnya sebelum ia menghampiri Valeria. Tatapannya angkuh menatap tajam ke arah Valeria yang sudah datang terlebih dulu di tempat pertemuan mereka."Akhirnya Anda datang," ujar Valeria dengan senyuman tipis.Agung sama sekali tidak menunjukkan keramahtamahannya, "Sebenarnya apa yang ingin kau katakan? Hubungan kita bukanlah sebagai mertua dan menantu yang baik hingga bisa berbincang seperti ini.""Bukankah Anda datang kemari karena penasaran dengan apa yang hendak saya katakan? Silahkan duduk terlebih dulu," ujar Valeria sambil mengulurkan tangannya meminta Revan untuk duduk di hadapannya.Agung berdeham se
Tadinya Revan hanya ingin mengikuti Valeria diam-diam tanpa diketahui oleh wanita itu. Setelah meninggalkan kediaman mereka semalam, Valeria sama sekali tidak mau mengangkat panggilannya. Wanita itu terus saja menghindar seolah ingin menjauh darinya setelah semua yang terjadi. Baru semalam Valeria meninggalkan rumah, tapi sungguh Revan sudah teramat kehilangannya. Jadi di sinilah ia sekarang menguntit wanita itu diam-diam demi untuk mengetahui kabarnya. Namun, siapa yang menyangka, Rionandra tiba-tiba muncul di sana memaksa Valeria entah untuk apa. Apa pria itu sengaja melakukan itu demi mendekati Valeria lagi?Revan segera mengambil langkah, tatapannya tajam mengarah ke arah tangan Valeria yang dicekal oleh Rionandra."Lepaskan dia, Pak Rionandra Mahendra."Mau tak mau Rio melepaskan pegangan tangannya, keduanya saling menatap tajam seolah sama-sama saling menantang."Sedang ada urusan apa Anda dengan istri saya?" tanya Revan dengan nada dominan.Rio terlihat mendengus, "Astaga, apa
Hari ini Rio sengaja mengajukan cuti demi bertemu Valeria. Ia berdiri di depan rumah mertuanya dengan bingung. Ia datang kemari tanpa pemberitahuan terlebih dulu, alasan apa yang bisa ia berikan kepada mertuanya agar tidak menimbulkan rasa curiga. Ah sudahlah, ia bisa berpura-pura menanyakan masalah pekerjaan sambil menemui Valeria.Rio segera menekan bel pintu, asisten rumah tangga Yanuar yang sudah mengenalnya segera mempersilahkan dirinya untuk masuk.Setelah meminta menunggu sebentar, Kalina datang menyambutnya."Rio, kenapa datang kemari mendadak begini? Kamu sendirian?"Rio mengangguk kecil, "Ya, Rio sendiri, Ma. Kata Lucia, kalian juga akan bertemu nanti sore.""Ah ya Mama mau pergi dengan Lucia, sudah lama sekali Mama tidak jalan-jalan dengan anak Mama."Rio hanya tersenyum, ia melemparkan pandangannya ke seluruh rumah, mencari keberadaan Valeria. Melihat gerak gerik Rio, Kalina menjadi curiga, "Kamu kenapa datang kemari?"Mendapat teguran dari Kalina, Rio menyentuh tengkuknya
"Aku akan berpisah dari Revan Mahendra,"Perkataan Valeria sontak membuat Herman tertegun di tempat, ia menatap ke arah puterinya mencoba mencari keraguan dalam nada bicara yang penuh dengan keyakinan itu, namun Valeria tetap menatapnya dengan tatapan tajam seolah sudah yakin dan memutuskan semuanya dengan tepat."Berpisah? Tapi bukankah pernikahan kalian baru berusia seumur jagung?""Pernikahan kami hanyalah sebuah kesepakatan untuk saling membantu, cepat atau lambat pernikahan ini akan berakhir, jadi aku hanya mempercepatnya.""Kau yakin?"Ada jeda sejenak untuk kemudian Valeria mengangguk, "Ya, jadi ayah tidak perlu bertanya bagaimana sikap dirinya padaku. Ku rasa tidak ada kewajiban dia harus berbuat baik padaku di pernikahan ini, benar bukan?"Meski merasa kesal dengan fakta yang diberikan oleh Valeria, Herman terlihat menghela nafas. Ya, pernikahan puterinya memang bukanlah pernikahan yang bisa dikatakan normal, jadi bagaimana bisa mereka menuntut keluarga Mahendra untuk bersika