Setelah memeriksakan dirinya ke sebuah klinik terdekat dan menerima obat mual dari dokter yang bertugas di sana, Valeria kembali ke rumah. Ia membuka pintu rumahnya dengan lemah lalu memakan sarapan ala kadarnya dan juga obat-obatan yang ia terima. Setelah selesai memakan obatnya, Valeria segera berbaring. Sedikit demi sedikit mual yang ia rasakan mulai berkurang, Valeria menghela nafasnya panjang. Syukurlah... Sekarang sudah tidak apa-apa. Saat ini ia merasa lelah dan mengantuk karena sedari tadi hanya pergi bolak balik ke kamar mandi, Valeria mencoba memejamkan matanya, ia sungguh ingin beristirahat.Namun baru saja beberapa menit berlalu, terdengar ada yang mengetuk pintu flatnya. Matanya yang terpejam seketika terjaga kembali. Sial, siapa yang datang mengganggunya sekarang? Dirasa bahwa ia terlalu lelah, Valeria memilih mengabaikannya. Bisa saja ada anak-anak yang iseng seperti tempo hari mengetuk pintunya dengan jahil. Namun, ketika pintu itu malah semakin nyaring berbunyi, Valer
"Itu–""Jawab dengan jujur, kau benar-benar hamil?"Valeria menghela nafasnya panjang mendengar desakan dari Revan. Sudah terlambat, ia sudah tidak bisa mengelak lagi karena Revan sudah mengetahui semuanya."Ya benar, saya memang hamil. Tapi, Anda tidak perlu khawatir, saya tidak akan meminta pertanggungjawaban pada Anda."Revan terlihat terperangah mendengar ucapan Valeria, "Apa? Apa yang sebenarnya kau katakan?""Anda dengan jelas mendengarnya, saya tidak akan mengusik kehidupan Anda. Keputusan saya sudah bulat, saya tetap akan keluar dari pekerjaan ini.""Apa? Bagaimana bisa kau melakukan hal itu?""Bisa. Sekarang sebaiknya Bapak pulang, saya benar-benar harus beristirahat." ujar Valeria dengan lemah, ia mendorong tubuh Revan hingga menuju pintu."Keadaanmu sedang tidak baik, biarkan aku di sini sebentar.""Tolong Pak, jika Bapak bersikeras di sini saya benar-benar tidak akan bisa beristirahat."Melihat bahwa keadaan Valeria yang lemah dan enggan diganggu, Revan akhirnya menghela n
Valeria terperangah mendengar ucapan Revan di balik telepon. Apa pria ini benar-benar sudah gila? Kenapa tiba-tiba berbicara seperti itu pada ayahnya?"Apa kamu serius dengan anak saya?"Mendengar suara ayahnya yang membalasnya, Valeria segera berteriak, "Jangan per–hmmmpp.."Belum sempat ia bersuara, Erik membekap mulutnya. Sial, Revan Mahendra benar-benar benar menyebalkan, bagaimana bisa ia mengambil keputusan sendiri seperti itu?"Tentu saja saya serius, sangat serius."Valeria mencoba berteriak sekuat tenaga, namun lengan besar Erik yang membekapnya membuat usahanya sama sekali tidak berguna."Baiklah saya tunggu kedatangan kamu nanti malam di rumah jika memang kamu benar-benar serius kepada anak saya.""Baik, ah jangan lupa undang semua anggota keluarga Anda karena saya harus mengabarkan kabar gembira ini ke semua orang."Saat Erik melepaskan cengkraman tangannya, Valeria segera memberikan tatapan nyalang terhadap pria itu, "Saya tahu Anda hanya menjalankan tugas Pak Erik, tapi
Valeria seketika terperangah mendengar ucapan Revan. Matanya membelalak dengan sempurna, bagaimana bisa Revan mengatakan hal semudah itu di hadapan keluarganya? Revan Mahendra benar-benar sudah gila. Ia melakukan cara apapun untuk menahannya di sisi pria itu."Apa? Valeria sedang mengandung?""Ya, dia sedang mengandung putera saya. Kami baru mengetahuinya beberapa hari ini."Urat wajah Herman seketika menegang mendengar ucapan Revan, ia mendekat ke arah Revan lalu menarik kerah bajunya, "Kau! Apa yang sudah kau lakukan pada puteriku hah?""Saya minta maaf, saya pasti–"Buukk!Valeria terhenyak saat melihat Revan diberikan pukulan oleh sang ayah, ayahnya terlihat sangat murka. Melihat ayahnya yang hendak menyerang kembali, Valeria segera maju ke depan Revan, menahan serangan sang ayah dengan tubuhnya sendiri."Minggir, Ayah harus menghajar bajingan ini!""Hentikan! Ayah tidak berhak memukulnya!"Mata Herman seketika terbelalak mendengar ucapan Valeria, "Apa? Aku ini ayahmu, tentu saja
Valeria segera menjauhkan dirinya saat merasakan kecupan itu. Revan terlihat tertegun sementara Valeria merasa sangat gugup. Ia sungguh tidak menyangka jika Revan akan menciumnya kembali. Jantungnya berdegup dengan cepat. Kenapa Revan tiba-tiba menciumnya dalam keadaan seperti ini?Tak ingin situasi menjadi canggung, Valeria segera menggeleng dengan cepat. Tidak, tidak apa-apa, tidak terjadi apapun. Jangan terpengaruh lagi dengan tindakan Revan yang berusaha menggodanya."Jangan memintaku meminta maaf, aku tidak akan minta maaf soal tadi."Valeria mendengus mendengar ucapan Revan, berusaha mengatur perasaannya agar tidak menjadi gelisah."Kenapa pula harus minta maaf? Ciuman itu sama sekali bukan apa-apa.""Kau bilang apa? Bukan apa-apa?" tukas Revan sedikit tersinggung mendengar ucapan Valeria.Valeria hanya mengangkat bahu, "Anda memang selalu bertindak sembarangan bahkan saat situasi kita sedang tidak baik, kenapa pula saya harus memikirkannya?""Apa?"Tanpa menanggapi Revan yang s
Valeria terhenyak saat melihat siapa yang berada di hadapannya saat ini, Rionandra. Alisnya berkerut melihat Rionandra yang datang ke flatnya pagi-pagi sekali. Sebenarnya apa yang sedang ia lakukan?"Kau? Sedang apa kau di sini?""Bisa kita bicara?"Valeria mengerutkan dahinya dengan heran, untuk apa pria itu datang kemari pagi-pagi sekali hanya untuk bicara?"Aku tidak ada waktu, aku harus pergi bekerja.""Kenapa kau masih bekerja padahal kau akan menikah dengannya, kau hendak mempermalukan dirimu di kantor Revan?" tukas Rio dengan nada tidak senang."Bukankah itu bukan urusanmu?"Rio terlihat menghela nafasnya panjang mendapati sikap sinis Valeria terhadapnya. Ia harus bisa bersabar dan tidak memancing emosi Valeria saat ini."Kau dan Revan... Kalian benar-benar akan menikah?""Bukankah kau sudah dengar kemarin di pertemuan keluarga, kenapa harus repot-repot menemuiku jika hanya ingin membahas itu?""Aku hanya tidak percaya... Seharusnya kita yang melakukan pernikahan, rasanya baru
Mendengar ucapan Revan, Rionandra hanya bisa mengepalkan sebelah tangannya. Ia tahu sekarang Valeria bukan lagi miliknya, ia tahu jika Revanlah yang kini berhak terhadap mantan kekasihnya itu, namun entah kenapa mendengar perkataan Revan yang begitu angkuh itu terasa menyebalkan di telinganya."Ayo kita pergi, Lucia."Dengan cepat Rio menarik tangan Lucia beranjak dari sana. Amarahnya sangat terlihat di sana, ia mendorong tubuh Lucia hingga menabrak ke arah dasbor mobil."Sakit, Kak!"Rio tidak bergeming, ia menatap tajam ke arah Lucia dengan sinis, "Ini semua terjadi akibat dirimu yang mengikutiku lalu membuat keributan, Lucia. Kau benar-benar mempermalukan aku di depan Revan dan juga Valeria.""Malu? Hanya itu yang Kakak pikirkan? Bagaimana dengan perasaanku yang melihat Kakak berkunjung ke rumah Valeria hari ini? Apa Kakak sama sekali tidak merasa bersalah?"Braak!Lucia seketika menjerit saat melihat Rio yang memukul kemudi dengan sekuat tenaga. Mata Lucia melebar sempurna, tidak
Valeria menghela nafasnya panjang melihat kepergian mobil Revan dari tempatnya. Ia menyentuh bibirnya yang masih terasa basah akibat tindakan Revan. Sentuhan itu hampir saja membuat hatinya kembali luluh terhadap Revan, bahkan jari jemarinya mengepal dengan kuat menahan segala desakan perasaan untuk membalas sentuhan itu. Jantungnya masih saja berdetak dengan cepat meski Revan sudah tidak ada lagi di hadapannya, Valeria berdecak kuat, meski mendapat kekecewaan berulang kali dari pria itu, kenapa reaksi tubuhnya sama sekali berkebalikan dengan apa yang seharusnya terjadi? Kenapa ia merasa tidak nyaman setelah memberikan tamparan keras kepada pria itu? Valeria segera menggeleng dengan cepat, tidak seharusnya ia berpikir seperti ini. Tidak ada waktu lagi, ia harus berbicara pada ayahnya saat ini juga.Valeria segera bergerak menuju kediaman keluarga Anderson. Namun, baru saja ia sampai di depan pintu, Kalina sudah berhadapan dengannya sambil menopang tangan di depan dada."Kenapa kamu ke
"Apa maksud?"Melihat Barbara yang menatapnya dengan raut wajah tidak mengerti membuat Revan seketika mendengus, "Rupanya kau benar-benar tidak tahu. Baiklah akan ku beritahu yang sebenarnya terjadi akhir-akhir ini karena kekacauan yang kita buat. Aku dipecat oleh ayahku."Barbara tersentak mendengar ucapan Revan, "Apa?""Ya aku baru saja dipecat secara tidak hormat oleh ayahku kemarin. Semua pemilik saham mengambil keputusan agar aku dikeluarkan dari perusahan. Jadi ya sekarang, aku tidak memiliki apa-apa. Aku bahkan berniat menjual apartemen ini nanti,"Mata Barbara seketika melebar, ia mundur beberapa langkah dari pegangan Revan. Kata-kata Revan sekarang seolah tidak bisa dipercaya, "Kau bercanda, bukan?""Astaga, untuk apa aku bercanda? Jadi kau benar-benar ingin bersamaku. Kalau begitu pertama kita jual tas mewahmu ini!"Revan seketika bergerak ke arah Barbara hendak merampas tasnya. Melihat tindakan Revan, Barbara semakin terkejut ia menepis tangan Revan dengan panik, "Apa yang
Melihat Revan yang masih saja terdiam saat ia mengulurkan berkas perceraian itu, Valeria seketika menghela nafas. Ia segera menyimpan berkas itu di atas meja lalu berkata, "Jika Anda masih tidak mau menerimanya terserah. Saya akan menyimpan berkas itu di sini. Anda harus menandatanganinya segera.""Lalu bagaimana dengan anak kita?" Tanya Revan lirih. Penyesalan yang ia rasakan semakin dalam. Ia sudah hancur lebur saat ini dan kehancurannya semakin terasa menyakitkan karena harus berpisah dengan Valeria."Saya yang akan merawatnya sendirian.""Tapi aku ayahnya, Valeria. Tidak bisakah kau memberiku kesempatan lagi? Setidaknya untuk anak kita?""Saya yang akan mengurusnya, Anda tidak perlu khawatir. Anda bisa melakukan apapun yang Anda mau tanpa harus terbebani dengan janin yang sedang saya kandung ini."Satu air mata seketika jatuh dari kelopak mata Revan. Merasa sangat terpukul karena ia sama sekali tidak berdaya. Kesalahannya terhadap wanita yang dicintainya ini memang sungguh tidak b
"Ada pengumuman mendadak yang diselenggarakan oleh Pak Agung dan seluruh pemilik anggota saham hari ini, Pak. Anda harus datang,"Revan menghela nafasnya panjang setelah mendapat pesan dari Erik beberapa menit yang lalu. Sudah ia duga ayahnya tidak akan menunggu lama untuk menyelesaikan masalah mereka. Tepat setelah hubungan masa lalu dirinya dan juga Barbara terbongkar, ayahnya segera bertindak.Revan segera masuk ke dalam ruang meeting yang sudah diisi oleh anggota pemilik saham dan juga ayahnya sendiri. Masalahnya dengan Barbara pasti akan ayahnya gunakan untuk menyingkirkannya dari perusahaan ini."Rupanya kamu masih punya muka untuk datang ke perusahaan,"Revan hanya terdiam mendengar sindiran sang ayah sebelum rapat berlangsung. Kali ini ia memilih untuk tidak mendebat pria paruh baya yang sedarah dengannya itu. Ia yakin setelah mengetahui sifat Barbara, ayahnya sama terlukanya dengan dirinya."Rasakan sendiri akibat dari perbuatanmu, Revan. Aku akan mendepakmu dari perusahaan k
Melihat Barbara yang hanya terdiam, penjaga keamanan itu kembali mengulurkan tangannya, "Bu? Tolong kuncinya...""Yang benar saja, kamu lupa siapa saya?""Berikan kunci itu Barbara, mobil itu merupakan pemberianku!"Barbara berdecak saat Agung rupanya sudah menyusulnya keluar, dengan kesal ia mengembalikan kunci kepada penjaga keamanan itu, "Aku sama sekali tidak butuh mobil ini!" ujarnya dengan nada angkuh sambil melirik ke arah Agung.Setelah berkata seperti itu, Barbara segera menyetop taksi lalu masuk ke dalamnya. Ia sangat kesal dengan tindakan Agung yang seenaknya, seharusnya sejak dulu ia meninggalkan Agung agar ia tidak perlu bersusah payah seperti ini. Barbara segera meminta supir taksi untuk bergerak menuju ke alamat Revan. Ia harus segera kembali bersama Revan agar tua bangka itu tau rasa.Setelah sampai Barbara mengetuk pintu Revan dengan kuat."Revan buka! Tolong buka pintunya Revan!"Revan segera membuka pintu lalu terhenyak melihat Barbara di sana, "Barbara? Kenapa kau
"Revan!"Revan memutar matanya dengan jengah saat melihat Barbara ada di depan apartemennya. Setelah membuat dirinya dan Valeria bertengkar, bagaimana bisa Barbara masih memiliki muka untuk menemuinya?Revan memilih mengabaikan wanita itu lalu berjalan maju meninggalkannya."Revan, aku sedang bicara! Aku bahkan sudah jauh-jauh datang kemari, kenapa kamu malah mengabaikan ku?"Revan berdecak saat Barbara menarik lengannya dengan kuat. Ia menatap Barbara dengan raut wajah kesal, "Tidak ada yang menyuruhmu untuk datang kemari, Barbara. Ada apa? Apa yang kau inginkan lagi sekarang?""Kenapa kau selalu bersikap dingin padaku Revan? Aku kemari tentu saja untuk menemuimu."Revan menghela nafasnya panjang mendengar ucapan Barbara, "Sebenarnya apa lagi yang kau inginkan dariku? Kau sudah berhasil membuat Valeria keluar dari rumah ini sekarang. Keinginanmu sudah terpenuhi, jadi tolong berhenti menggangguku."Sepertinya Barbara sama sekali tidak mendengarkan nada bahasa Revan yang sama sekali ti
Agung Mahendra tidak menyangka jika Valeria akan mengajaknya bertemu hari ini. Meski entah apa yang sebenarnya ingin wanita muda itu katakan hingga menyebutkan nama Barbara dan Revan hanya agar ia tidak menolak pertemuan mereka.Agung mengepalkan sebelah tangannya, lihat saja jika wanita rendahan itu berkata hal yang konyol, ia sungguh tidak akan diam saja kali ini.Agung merapihkan jasnya sebelum ia menghampiri Valeria. Tatapannya angkuh menatap tajam ke arah Valeria yang sudah datang terlebih dulu di tempat pertemuan mereka."Akhirnya Anda datang," ujar Valeria dengan senyuman tipis.Agung sama sekali tidak menunjukkan keramahtamahannya, "Sebenarnya apa yang ingin kau katakan? Hubungan kita bukanlah sebagai mertua dan menantu yang baik hingga bisa berbincang seperti ini.""Bukankah Anda datang kemari karena penasaran dengan apa yang hendak saya katakan? Silahkan duduk terlebih dulu," ujar Valeria sambil mengulurkan tangannya meminta Revan untuk duduk di hadapannya.Agung berdeham se
Tadinya Revan hanya ingin mengikuti Valeria diam-diam tanpa diketahui oleh wanita itu. Setelah meninggalkan kediaman mereka semalam, Valeria sama sekali tidak mau mengangkat panggilannya. Wanita itu terus saja menghindar seolah ingin menjauh darinya setelah semua yang terjadi. Baru semalam Valeria meninggalkan rumah, tapi sungguh Revan sudah teramat kehilangannya. Jadi di sinilah ia sekarang menguntit wanita itu diam-diam demi untuk mengetahui kabarnya. Namun, siapa yang menyangka, Rionandra tiba-tiba muncul di sana memaksa Valeria entah untuk apa. Apa pria itu sengaja melakukan itu demi mendekati Valeria lagi?Revan segera mengambil langkah, tatapannya tajam mengarah ke arah tangan Valeria yang dicekal oleh Rionandra."Lepaskan dia, Pak Rionandra Mahendra."Mau tak mau Rio melepaskan pegangan tangannya, keduanya saling menatap tajam seolah sama-sama saling menantang."Sedang ada urusan apa Anda dengan istri saya?" tanya Revan dengan nada dominan.Rio terlihat mendengus, "Astaga, apa
Hari ini Rio sengaja mengajukan cuti demi bertemu Valeria. Ia berdiri di depan rumah mertuanya dengan bingung. Ia datang kemari tanpa pemberitahuan terlebih dulu, alasan apa yang bisa ia berikan kepada mertuanya agar tidak menimbulkan rasa curiga. Ah sudahlah, ia bisa berpura-pura menanyakan masalah pekerjaan sambil menemui Valeria.Rio segera menekan bel pintu, asisten rumah tangga Yanuar yang sudah mengenalnya segera mempersilahkan dirinya untuk masuk.Setelah meminta menunggu sebentar, Kalina datang menyambutnya."Rio, kenapa datang kemari mendadak begini? Kamu sendirian?"Rio mengangguk kecil, "Ya, Rio sendiri, Ma. Kata Lucia, kalian juga akan bertemu nanti sore.""Ah ya Mama mau pergi dengan Lucia, sudah lama sekali Mama tidak jalan-jalan dengan anak Mama."Rio hanya tersenyum, ia melemparkan pandangannya ke seluruh rumah, mencari keberadaan Valeria. Melihat gerak gerik Rio, Kalina menjadi curiga, "Kamu kenapa datang kemari?"Mendapat teguran dari Kalina, Rio menyentuh tengkuknya
"Aku akan berpisah dari Revan Mahendra,"Perkataan Valeria sontak membuat Herman tertegun di tempat, ia menatap ke arah puterinya mencoba mencari keraguan dalam nada bicara yang penuh dengan keyakinan itu, namun Valeria tetap menatapnya dengan tatapan tajam seolah sudah yakin dan memutuskan semuanya dengan tepat."Berpisah? Tapi bukankah pernikahan kalian baru berusia seumur jagung?""Pernikahan kami hanyalah sebuah kesepakatan untuk saling membantu, cepat atau lambat pernikahan ini akan berakhir, jadi aku hanya mempercepatnya.""Kau yakin?"Ada jeda sejenak untuk kemudian Valeria mengangguk, "Ya, jadi ayah tidak perlu bertanya bagaimana sikap dirinya padaku. Ku rasa tidak ada kewajiban dia harus berbuat baik padaku di pernikahan ini, benar bukan?"Meski merasa kesal dengan fakta yang diberikan oleh Valeria, Herman terlihat menghela nafas. Ya, pernikahan puterinya memang bukanlah pernikahan yang bisa dikatakan normal, jadi bagaimana bisa mereka menuntut keluarga Mahendra untuk bersika