Tubuh Elisa membeku menatap pria dengan balutan busana rancangannya kini berdiri di belakang keempat model lainnya.
“Stevan?” gumam Elisa hampir tanpa suara, mengenali punggung itu sebagai pria yang dirasa sangat amat tidak mungkin muncul di sana. “Tidak. Tidak. Tidak mungkin. Itu pasti bukan dia!”
Gadis itu masih belum bisa bergerak, terus menatap tanpa berkedip pada pria yang menyembunyikan sebagian wajahnya di balik topeng ala pesta.
“Elisa, persiapkan dirimu!”
Sera muncul, mengalihkan atensi Elisa dan menghapus keringat dingin di kening. Setelahnya, dia sibuk mengoleskan pewarna bibir untuk menyembunyikan wajah pucat sahabatnya.
“Ayo! Giliranmu keluar set
Langkah Stevan terhenti. Beberapa orang menghadangnya, meminta berfoto bersama. Meski pria itu berusaha menolak, tapi dia tetap terjebak di antara gadis-gadis yang sedari peragaan busana tadi terus memusatkan perhatian padanya.Hanya tinggal dua langkah lagi, Elisa bisa menggapai punggung Stevan. Ada begitu banyak pertanyaan yang ingin dia sampaikan pada pria itu. Bagaimana keadaannya? Ada demamnya benar-benar sudah turun? Kenapa dia bisa ada di sini?“Selamat, Elisa! Aku sangat bangga padamu!”Uluran tangan Elisa yang sedianya hampir menyentuh punggung Stevan, justru tak pernah sampai. Bastian tiba-tiba datang dan memeluknya begitu erat, bahkan membuat gadis 22 tahun itu kesulitan bernapas.Pria dengan topeng di wajah melirik sekilas, tapi tida
“Steve!”Tepat setelah Stevan meninggalkan hiruk pikuk fashion show, Shasa menghadangnya. Dia mengenali pria itu meski sebagian wajahnya tertutup topeng.“Kerja bagus, Kawan!” puji dosen muda itu, berusaha menepuk lengan Stevan yang merupakan temannya sewaktu kuliah di luar negeri. Sayangnya, justru tatapan sengit yang terlihat dari wajah pria itu. Dia terlihat marah.“Hey, ada apa dengan wajahmu?”Alih-alih menjawab pertanyaan Shasa, Stevan memilih pergi dari sana dan tidak menghiraukan wanita yang sudah memaksanya menjadi model untuk Elisa. Meskipun sebenarnya Stevan juga tidak akan tega melihat kegagalan gadis itu.“Kenapa?” tanya Shasa sambil mencekal tangan St
Elisa semakin tidak mengerti ke mana arah pembicaraan Stevan.“Sia-sia saja membantumu, Elisa!” Gemeletuk gigi Stevan terdengar saling beradu. Tangannya terkepal di samping badan, menahan emosi yang sedari tadi tersembunyi.“Aku mendatangi Thomas dan bicara dengannya, meminta Yohan mengurus promosi pameran kali ini dan penjualan produk Miracle tempo hari, melibatkan Wina dan Shasa, tapi tetap saja kamu tidak bisa menghadapi Clara. Kamu bodoh atau sengaja membodohiku?!”Elisa terhenyak, mencerna setiap kata yang menyapa indra pendengarannya.“Kau sengaja tertidur di ranjangku agar aku merasa berhutang padamu? Apa semua yang sudah kulakukan itu tidak ada artinya di matamu?” tanya Stevan dengan nada sengit. “Kau tidak
Berhari-hari suasana di antara Stevan dan Elisa disertai perasaan canggung. Terjadi perang dingin yang membuat keduanya tak pernah makan bersama. Elisa tak pernah keluar dari kamar, menenggelamkan diri membuat sketsa untuk melampiaskan emosinya.Dia hanya akan keluar setelah mendengar suara mobil Stevan meninggalkan pelataran. Pun saat malam tiba, dia tidak akan menunjukkan batang hidungnya saat Stevan sudah pulang kerja.Sikap Stevan juga kembali seperti awal hubungannya dengan Elisa. Bahkan, sekarang tatapan matanya jauh lebih dingin. Saat tidak sengaja berpapasan dengan Elisa di anak tangga, pria itu membuang muka.Stevan tidak bisa menampik rasa kecewa setiap kali mengingat hari-harinya dengan Elisa yang tak memiliki kenangan manis sama sekali, berbanding terbalik dengan Elisa dan Bastian yan
“Aku lapar,” keluh Elisa begitu sampai di halte bus dengan bibir mengerucut. Tadinya, dia keluar dari kamar lebih awal dan berniat sarapan sebelum Stevan turun ke ruang makan, siapa sangka pria itu justru sedang menikmati santap paginya. “Kalau dipikir-pikir, kenapa tadi aku bilang akan makan dengan Bastian ya? Bagaimana kalau Stevan mengirim orang untuk membuntutiku dan ternyata dia tahu aku berbohong?” Elisa menutup wajahnya dengan tangan, menghentak-hentakkan kaki karena gemas sendiri. Entah kenapa, melihat Stevan acuh tak acuh seminggu ke belakang membuatnya kesal. Rasanya tersiksa. Lebih baik mendengar omelannya dibandingkan didiamkan begitu saja. “Menyebalkan sekali!” gerutu Elisa sambil menoleh ke kanan kiri, berharap menemukan kedai roti atau semacamnya di sekitar sana. Sayangnya, jauh panggang dari api. Tidak ada sama sekali. “Maafkan Mommy, Sayang. Nanti kita makan di kantin kampus ya,” ucap Elisa lirih sambil mengelus perut. Senyum penuh cinta terukir di wajahnya. Dia me
“Elisa!” Suara Sera berhasil menghentikan langkah Elisa yang menuruni anak tangga setelah kabur dari Bastian. “Untukmu.” “Apa ini?” Elisa mengerutkan kening, menatap dokumen di tangan sahabatnya. “Ambillah. Aku sengaja kembali lagi ke ruang arsip untuk mengambilnya. Kulihat kamu tertidur di kelas. Kemungkinan besar kamu tidak tahu apa yang dosen perintahkan.” Elisa mengangguk. Dia memang tidak tahu apa saja yang terjadi di kelas. Suara orang-orang yang berbicara di depan tak ubahnya dengung lebah yang masuk telinga kanan dan keluar melalui telinga di sisi yan lain. “Kita harus membuat laporan pertanggungjawaban tugas akhir. Itu contoh laporan milik kakak tingkat kita yang su
“Aku benar-benar harus minta maaf pada Stevan malam ini juga!” tekad Elisa sambil mengepalkan tangan erat-erat, berdiri di beranda menantikan kepulangan suaminya. Penjelasan dari Maria benar-benar menyadarkannya. “Tapi … apa Stevan mau berbicara denganku? Tadi pagi aku sudah memprovokasinya dengan sengaja. Sepertinya dia marah, bahkan melempar sendok garpu di tangannya.” Elisa berlari kembali ke kamar, melompat ke atas ranjang dan menyembunyikan wajahnya dengan bantal. “Apa aku bicara besok pagi saja saat sarapan?” Tangannya meraba-raba sisi lain kasur, mengambil ponsel. Dia ingin membaca artikel yang mungkin bisa membantunya. “Cara meminta maaf,” gumam Elisa, mengucapkan kata yang tengah diketik di laman mesin pencarian yang bisa memberikan segala macam informasi kepada penggunanya. Mata indah Elisa mengerjap, menatap deretan huruf di depannya. “Kenapa banyak sekali artikelnya? Aku harus membaca semuanya?” Elisa meletakkan ponsel, tapi kembali diambil tiga detik berikutnya. Sat
“Apa yang kamu lihat?” tanya Sera sambil menatap sekeliling, tetapi tidak ada satu pun yang menarik perhatian kecuali lalu lalang kendaraan di jalan. “Kamu menunggu seseorang?”Elisa menggeleng, berbalik dan memasuki gerbang universitas tanpa mengatakan apa pun. Dia masih belum percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Stevan mengacak rambutnya, tersenyum, bahkan juga melambaikan tangan. Itu tiga hal yang mustahil. Di luar nalar.“Benar-benar mustahil. Pasti aku hanya berhalusinasi.”Lagi-lagi Elisa menggeleng-gelengkan kepala, menyangkal memorinya. Tidak masuk akal bagi seorang pria tanpa perasaan yang suka menindas, tiba-tiba bersikap begitu baik. Bahkan juga bisa disebut sedikit romantis.“Ah, atau dia berusaha
*Satu minggu kemudian …. “Proses penyelidikan berjalan dengan lancar, Tuan. Tidak ada kendala. Tuan Harris dan juga Hilda mengakui semua perbuatan mereka. Bukti-bukti yang terkumpul sudah cukup untuk menuntut keduanya di meja hijau.” Stevan mengangguk sambil membaca berkas yang dibawa oleh Mario. “Tuntutan 10 tahun penjara?” “Benar, Tuan,” Mario mengangguk. Stevan mengangguk puas. Selain 10 tahun mendekam di balik jeruji besi, Harris dan Hilda juga harus membayar biaya denda yang tidak sedikit jumlahnya. Stevan lantas menutup dokumen dan menatap Mario. “Pastikan hal ini tidak mempengaruhi Wijaya Group.” Mario mengangguk. “Semuanya aman terkendali, Tuan. Semenjak Tuan Harris dikeluarkan dari jajaran direksi dengan cara tidak terhormat, kasus ini tidak membawa dampak besar bagi perusahaan.” “Bagus. Pertahankan,” kata Stevan.Mario kembali mengangguk. “Nyonya Besar akan mengambil alih selama Tuan cuti panjang?” “Ya. Kau bisa berkoordinasi dengan asisten Mama mulai hari ini. Janga
‘Paman, maaf mengganggumu malam-malam. Tapi aku ingin mengabarkan kalau Papa sudah siuman. Dia sudah dipindahkan ke kamar inap biasa.’ Elisa membaca pesan yang dikirimkan oleh Alex kepada Stevan. Ia mengerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan penglihatannya tidak keliru. Wanita itu lalu menatap Stevan yang tidak mengatakan apapun. Namun, melihat tubuhnya yang menegang, Elisa bisa memastikan bahwa suaminya juga sama terkejutnya dengan dirinya.“Steve? Kamu baik-baik saja?” Stevan tampak tercenung di tempatnya. Perasaannya campur aduk. Ia pikir Harris tak akan mampu melewati masa kritis panjangnya. Stevan pikir, pada akhirnya maut lah yang menjadi hukuman bagi kakaknya itu. Tapi ternyata, Sang Maha Kuasa punya rencana lain. Dan Stevan tidak tahu perasaan apa yang selayaknya ia rasakan saat ini. Melihat kemelut di wajah suaminya, Elisa lantas mengusap-usap lengannya dengan lembut, mencoba menyalurkan rasa nyaman yang menenangkan. “Apa yang kamu rasakan, Steve?” Elisa ragu-ragu
“Minggu depan?!” Elisa menjauhkan ponsel dari telinganya mendengar suara pekikan gadis di seberang sambungan. Ia tertawa mendengar suara grasak-grusuk yang terasa familiar. Meski sudah lama tidak saling kontak, nyatanya sahabatnya itu belum berubah, masih heboh seperti dulu saat mereka pertama kali berteman. “Astaga, aku belum menyiapkan apapun untuk calon bayimu!” kata Sera, terdengar panik. “Tenanglah, Sera,” kata Elisa sambil tertawa. “Kamu tidak perlu menyiapkan apapun.” “Tidak perlu bagaimana?! Calon keponakanku yang pertama akan lahir ke dunia, tidak mungkin aku tidak menyiapkan apapun!” protes Sera. Nadanya terdengar panik sekaligus antusias. Elisa tersenyum, senang karena Sera menyebut calon buah hatinya sebagai keponakan meskipun mereka tidak memiliki hubungan darah sama sekali. “Besok aku akan berbelanja setelah makalah sialan ini selesai,” gerutu Sera, yang lagi-lagi membuat Elisa tertawa mendengarnya. Sudah lama sejak terakhir kali mereka bertemu. Keduanya dis
Stevan semakin sibuk menjelang hari persalinan Elisa. Ia ingin menyelesaikan banyak pekerjaan sekaligus sebelum mengambil cuti agar bisa fokus pada sang istri dan calon buah hati mereka nantinya. Kesibukan itu tentu berimbas pada banyak orang, tidak hanya Mario, tetapi juga divisi-divisi lain di bawah pengawasan Stevan, termasuk Alex yang sudah mendapatkan kepercayaan untuk mengepalai beberapa project besar. Namun, di tengah-tengah kesibukan itu, baik Stevan maupun Alex masih bisa mencuri waktu untuk orang-orang terkasih. Sesibuk apapun mereka di kantor, mereka masih meluangkan sedikit waktu untuk sekadar bercengkerama lewat panggilan telepon atau video. Obrolan singkat itu selalu menjadi pelipur di tengah hectic-nya pekerjaan di kantor. “Kau yakin tidak menginginkan apapun? Aku akan membelinya saat pulang nanti,” kata Stevan sambil menaikkan bingkai kacamata baca yang turun ke pangkal hidungnya. Matanya masih fokus pada dokumen di hadapan, dengan pulpen di tangan yang sesekali men
“Elisa!” Stevan menaiki undakan tangga teras dengan langkah lebar. Raut wajahnya tampak mengeras, dengan dada naik turun karena napasnya tidak beraturan. Ia bahkan mengabaikan pelayan yang tergopoh-gopoh mengikutinya dari belakang. Pelayan itu tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi melihat aura dingin dari tuannya, pelayan tersebut memilih untuk bungkam. Namun, saat Stevan hendak menaiki tangga ke lantai dua, pelayan itu segera menyela dan mengatakan keberadaan Elisa. “Nona berada di taman belakang bersama—” Stevan tidak menunggu pelayan tersebut menyelesaikan kalimatnya, langsung membawa langkah lebarnya ke arah taman di belakang kediaman utama. “Elisa—” panggil Stevan, tapi ia tidak melanjutkan kalimatnya saat sepasang matanya menangkap pemandangan asing yang membuatnya terpaku. Rasa marah dan kesal yang sedari tadi ia bawa dari kantor, seketika langsung menguap begitu saja saat melihat apa yang ada di depan matanya kini. “Steve? Kamu sudah sampai?” tanya Elisa terkejut. Waj
“ALEX?!” Suara Stevan terdengar meninggi satu oktaf, berkas yang sedari tadi ia bolak-balik sambil membubuhi beberapa halaman dengan tanda tangan teronggok begitu saja di atas meja. Ia terlalu terkejut mendengar satu nama itu disebut membersamai kata ‘teman’ dari mulut istrinya. Sejak kapan Alex menjadi teman Elisa?!“Ya,” sahut Elisa, tidak menyadari kegundahan sang suami yang begitu kentara sebab ia tampak sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. “Sebentar lagi Alex akan datang ber—” “Tunggu di sana,” sela Stevan sambil bergegas. Ia melupakan berkas dokumen yang masih menumpuk di atas meja, lantas mengambil jasnya yang tersampir di sandaran kursi dan langsung bergegas menuju pintu. “Steve—”“Aku akan tiba dalam 15 menit.” Stevan tidak menunggu respon dari Elisa. Ia segera memutus sambungan dan menaruh ponsel genggamnya ke dalam saku celana. Mario baru saja ingin mengetuk pintu saat Stevan keluar dari ruangan dengan langkah tergesa. Mereka nyaris bertabrakan kalau saja M
“Tidak ada yang mengunjungi Tuan Harris sebelum beliau dirawat di ruang ICU, Tuan,” lapor Mario keesokan paginya saat Stevan baru saja tiba di kantor. “Saya sudah cek CCTV beberapa minggu ke belakang. Selain keluarga, tidak ada yang datang untuk menjenguk Tuan Harris. Hanya ada beberapa petugas dari kantor kepolisian yang berganti menjaga di depan kamar inap beliau,” tambah Mario. Laporan itu membuat dahi Stevan mengerut. “Kau yakin?” Mario kemudian menyerahkan sebuah tablet begitu tuannya sudah duduk di kursi kebesarannya. Layar pipih itu menampilkan satu rekaman CCTV, waktunya sekitar satu minggu sebelum Harris dipindahkan ke ruang ICU. “Bukankah gadis ini Stella?” Mario mengangguk. “Benar, Tuan. Dia pernah datang, tetapi tidak diizinkan masuk untuk menjenguk Tuan Harris.” “Kenapa?” tanya Stevan. “Penjaga berkata bahwa itu adalah pesan dari Tuan Alex. Ia meminta pada para petugas agar tidak memberi akses kepada siapa pun untuk menemui ayahnya kecuali keluarga inti dan p
“Stevan?” Stevan mengalihkan tatapannya, menatap wajah ibunya yang tampak lelah. “Kamu melihat apa?” tanya Renata sembari melihat ke arah ujung koridor yang sepi. Tidak ada siapa-siapa di sana. “Tidak,” sahut Stevan, terdengar tidak yakin bahkan di telinganya sendiri. Ia lantas berdiri dari kursi dan menatap ibunya sejenak. “Aku akan ke toilet sebentar,” katanya, langsung pergi tanpa menunggu respon dari Renata. Stevan berjalan ke arah koridor di mana ia melihat seseorang berdiri di sana beberapa saat yang lalu. Namun, sekarang tidak ada siapa-siapa sejauh matanya menyapu sekitar. Ia membawa langkahnya menyusuri koridor, barangkali akan menemukan sebuah petunjuk. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Stevan merasa sedang diawasi. Tapi siapa? Dan untuk apa?Stevan mencoba menerka-nerka. Ia kemudian mengambil ponselnya di dalam saku dan bermaksud untuk menelepon Mario. Stevan akan meminta pria itu untuk mencari tahu siapa saja yang berkunjung ke ruangan Harris selama
“Tuan Harris dalam kondisi kritis. Saat ini beliau sedang dirawat di ruang ICU.” Stevan meletakkan sendok dan garpu di atas piring, lalu mengarahkan tatapannya pada Maria yang baru saja menyampaikan informasi yang didapatkannya dari pelayan kediaman kakak sulungnya itu. “Stevan ….” Perhatian Stevan teralihkan pada Elisa yang juga baru saja menghentikan aktivitas makan malamnya. Elisa meraih jemari Stevan dan menatapnya lekat, seolah tengah mencari perubahan emosi yang dirasakan oleh suaminya itu lewat sepasang matanya. Namun, tidak ada. Stevan memang tampak tercenung, tapi itu hanya selama beberapa detik sebelum ekspresinya kembali datar, seolah kabar itu tidak pernah ia dengar sama sekali. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Elisa, tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Stevan hanya mengangguk sekilas, sebelum kembali mengambil sendok dan garpunya, lalu melanjutkan makan malam yang sempat tertunda. “Kita makan dulu,” kata Stevan ringan. Seolah dengan begitu, selera makan Eli